Sunday, August 8, 2010

Pengembangan Pangan: Arus di Belakang Gelora MIFEE

Tahun 2008, ketika gelombang krisis pangan menghantam dunia dan memicu melonjaknya harga komoditas di pasar dunia—beras, misalnya, dari 300 dollar AS per ton menjadi 1.000 dollar AS per ton—banyak negara mulai sadar untuk mengurangi ketergantungan pangan mereka dari impor. Banyak negara maju dan kaya serta korporasi lintas negara mulai mencari wilayah baru untuk berinvestasi dalam bidang pertanian pangan dan energi.
Meskipun di dalam negeri Pemerintah Indonesia mampu membuat harga relatif stabil, menurut Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi, krisis tersebut mendorong para pengambil keputusan membuat langkah serius di bidang pangan. Apalagi sebelum itu, pada 2004 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah memperingatkan, kecukupan pangan dan energi harus menjadi perhatian serius dan mendapat prioritas strategis.
Lalu tercetuslah gagasan mencari wilayah pengembangan pangan baru yang diproyeksikan tidak hanya mencukupi kebutuhan pangan lokal, tetapi juga nasional, bahkan ekspor.
Dari situ diliriklah Merauke. Wilayah di timur Indonesia itu pada masa pemerintahan kolonial Belanda (1939-1958) memang pernah dikembangkan menjadi lumbung pangan untuk wilayah Pasifik Selatan melalui proyek Padi Kumbe-Kurik.
Di tingkat lokal, gagasan menjadikan Merauke sebagai lumbung pangan sebenarnya telah bergulir sejak tahun 2000 ketika Bupati Merauke Johanes Gluba Gebze menggagas pengembangan pertanian padi berskala luas, atau dikenal dengan Merauke Integrated Rice Estate (MIRE).
Bak bertemu jodoh, pengembangan lanjut program itu ternyata cocok dengan niat pemerintah pusat mengembangkan wilayah pertanian baru. Lahirlah program pertanian pangan dan energi berskala luas atau Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Pengembangan usaha itu melibatkan swasta dan dikelola dengan model perkebunan. Basisnya tetap pada beras, jagung, kedelai, tebu, dan sawit. Dengan potensi efektif lahan—berdasarkan kajian Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional—mencapai 1,283 juta hektar, Merauke dinilai amat potensial.
Prospek ekonominya menurut Bayu Krisnamurthi sangat menjanjikan. Ia mencontohkan, China dan Filipina masih kerap mengimpor bahan pangan, demikian pula dengan Indonesia. Bayu mengatakan, setiap tahun Indonesia mengimpor 3 juta ton gula mentah. ”Mengapa tidak, pabrik-pabrik di sini nantinya membeli gula mentah itu dari Merauke,” kata Bayu.
Sekretaris Korporasi Medco Group Widjajanto mengatakan, pihaknya melihat pula peluang itu. Selain beroperasi di Buepe, Merauke, dalam bidang kayu serpih, korporasi itu tengah mengembangkan penelitian tebu di Kurik. PT Bangun Tjipta Sarana pun tak tinggal diam. Perusahaan itu sejak beberapa tahun lalu menanam jagung seluas 200 hektar di Kurik, Merauke. Meskipun—menurut Siswono Yudo Husodo, pemilik PT Bangun Tjipta Sarana—saat ini kegiatan itu terhenti karena kendala infrastruktur, ia berpendapat program itu layak diteruskan.
Minat investor yang kuat dan didorong peluang ekonomi yang lebar membuat pemerintah getol dengan program tersebut. Dukungan yang diberikan, antara lain, diwujudkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional yang menempatkan Merauke sebagai kawasan andalan dengan unggulan di sektor pertanian. Bahkan, program itu telah menjadi bagian dari program Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional 2010.
”Agustus nanti, direncanakan akan diluncurkan mini MIFEE di Merauke,” kata Sekretaris Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Merauke Harmini. (JOS)
06 Agustus 2010

Pengembangan Pangan; Di Balik Gempita MIFEE

Bagi para pengusaha seperti Siswono Yudo Husodo, pemilik PT Bangun Tjipta Sarana, dan Arifin Panigoro, pemilik Medco Group, langkah Bupati Merauke Johanes Gluba Gebze layak diacungi jempol. Siswono berpendapat, Gluba Gebze mampu mengangkat potensi Merauke dan membuat daerah yang dinilai masih asli itu terbuka terhadap dunia luar. Ket.Gbr:KOMPAS/B JOSIE SUSILO HARDIANTO. Anak-anak yang tinggal di muara Sungai Byang, Merauke, belum mengenyam pendidikan dasar. Di kampung mereka hingga saat ini belum ada sekolah dasar.
Bahkan, semangat bupati menjadikan Merauke sebagai lumbung pangan mereka dukung. Oleh karena itu, tanpa ragu-ragu PT Bangun Tjipta Sarana menancapkan bendera usaha di wilayah itu. Demikian juga dengan Medco. Setidaknya hingga saat ini terdapat 36 perusahaan yang tertarik berinvestasi di wilayah itu.
Jika melintasi Serapu di Distrik Semangga ke arah Kumbe, banyak lahan pertanian dibuka. Beberapa di antaranya merupakan sawah percontohan untuk proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) atau pengembangan pertanian pangan dan bahan bakar nabati berskala luas.
Demikian juga di beberapa distrik lain, seperti Kurik dan Salor. Petak-petak sawah percontohan dibuka. Hal itu menampakkan betapa getolnya Pemerintah Kabupaten Merauke mendorong perwujudan program itu. Apalagi, pada Agustus pemerintah pusat berniat meluncurkan desain besar program itu.
Kendala
Meski demikian, tampaknya program itu akan segera menemui kendala. Salah satunya adalah kesiapan warga terlibat aktif dalam program itu. Di Onggari, misalnya, meski warga telah diperkenalkan dengan pola pertanian sawah, mereka belum mampu mandiri mengembangkannya.
Menurut tokoh masyarakat, Onggari Martinus Ndiken (60), pemerintah telah membantu warga membuka 100 hektar lahan yang kemudian dibagikan kepada warga untuk dikerjakan. Namun, menurut Martinus, warga belum mengelola lahan karena tidak yakin akan mampu menggarap. Modal pun menurut Martinus belum tersedia.
Di salah satu desa transmigrasi di Semangga, sebuah distrik di pinggiran Kota Merauke, petani-petani di desa itu juga belum mendengar program pengembangan pertanian berskala luas tersebut.
Bahkan, mereka terkejut ketika mendengar dalam proyek percontohan pengelolaan sawah di Merauke dihasilkan padi tujuh ton per hektar. ”Selama ini kami hanya mampu menghasilkan paling banyak lima ton gabah per hektar,” kata Nurhadi (40), petani asal Brebes, Jawa Tengah, yang sejak tahun 1983 menjadi transmigran di Merauke.
Selama ini ia juga hanya mampu menanami lahannya dengan padi sekali dalam setahun. ”Pasokan air tawar tidak mencukupi,” tutur Nurhadi.
Jika memaksakan diri menanam dua kali dalam setahun, petani harus menyediakan pupuk dalam jumlah besar. Itu menurut dia juga sulit karena, selain modal harus besar, pasokannya pun selalu terbatas.
Minim sarana
Selain itu, sebagaimana dikemukakan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, minimnya daya dukung infrastruktur, seperti jalan dan listrik, membuat para investor mulai menimbang kembali rencana mereka berinvestasi di Merauke.
Namun, pemilik PT Bangun Tjipta Sarana, Siswono Yudo Husodo, tetap optimistis dengan misi perusahaannya di Merauke. Apalagi di Merauke pengembangan pertanian pangan dapat dilakukan dengan mekanisasi tingkat tinggi yang tidak dapat diterapkan di wilayah lain di Indonesia.
Potensi itu menurut dia dapat menekan biaya produksi. Meskipun saat ini kinerja usahanya di Merauke terhenti karena persoalan infrastruktur, pihaknya tetap berminat mengembangkan usaha di wilayah tersebut. ”Untuk sementara, traktor-traktor disimpan di gudang,” tutur Siswono.
Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi mengakui tersedianya infrastruktur yang memadai menjadi salah satu persoalan. Apalagi, tak ada dana khusus dari APBN dan APBD yang disediakan untuk itu.
Sejauh ini, pihaknya telah mengajak para investor turut memikirkan persoalan itu. Memang, pengembangan MIFEE akan jauh lebih cepat, tutur Bayu, jika infrastruktur disediakan pemerintah. Faktanya, pemerintah tampak tidak sanggup menyediakan. Jembatan Sungai Kumbe yang roboh pun hingga saat ini belum dibenahi. Banyak jalan ke wilayah-wilayah yang akan dikembangkan sebagai kawasan sentra produksi pertanian rusak. Jika hujan turun, jalan tanah liat itu sulit melintasi.
Kelestarian lingkungan
Di sisi lain, Menteri Kehutanan juga telah mewanti-wanti agar pengembangan program itu tidak merusak keragaman hayati dan kawasan hutan di wilayah itu. ”Prinsipnya, pembangunan berkelanjutan, ramah lingkungan, dan menjaga betul lingkungan agar tidak terdegradasi,” tutur Menteri.
Ia pantas gelisah jika mengingat kelakuan buruk investor di beberapa tempat yang hanya ingin meraup untung dengan hanya mengambil kayu dari lahan konsesi lalu pergi begitu saja dengan meninggalkan lahan kosong tak terurus.
Di Merauke, deretan lahan seperti itu tampak jelas di kawasan Serapu. Beberapa papan nama perusahaan berdiri tegak di pinggiran lahan yang kosong melompong ditumbuhi semak belukar.
Bagi masyarakat adat Malind-Anim yang menghuni Merauke, sikap-sikap seperti itu menyakitkan hati mereka. Dalam pandangan kosmologis mereka, tanah tidak hanya menjadi sumber hidup, tetapi juga terikat erat dengan identitas diri. Jika ruang kosmologis itu rusak, rusak pula tatanan hidup masyarakat adat Malind-Anim.
Melihat semua persoalan itu, tampaknya pemerintah harus berpikir ulang untuk melanjutkan program tersebut. Meski memiki potensi besar, persiapan dan penguatan sumber daya manusia tidak dapat dilakukan dengan ala kadarnya. (JOS)
06 Agustus 2010

PENGEMBANGAN PANGAN:MIFEE, Berkah atau Kutuk?

Hanya desah dan gumam tak jelas yang menjadi ekspresi keresahan Christianus Basik Basik (38), seniman dan tokoh pemuda di Wendu, Distrik Semangga, Kabupaten Merauke, Papua. Ia mengatakan telah lama menyimpan kekecewaan terhadap pemerintah, terutama Pemerintah Kabupaten Merauke.
”Mereka lebih peduli kepada investor daripada kepada rakyatnya sendiri. Lihat saja, di sini tidak ada listrik. Sejak Indonesia merdeka hingga saat ini, Wendu selalu gelap. Dulu di sini ada hutan sagu kecil, tetapi sudah digusur proyek jalan,” kata Christianus.
Jalan itu sebenarnya tidak begitu dibutuhkan warga karena sudah ada jalan beraspal yang menghubungkan Merauke-Wendu. Jalan tanah yang menggusur hutan sagu itu melingkar melintasi belakang Desa Wendu hingga tembus ke Serapu, melintasi lahan-lahan kosong yang dikuasai perusahaan-perusahaan yang berminat berinvestasi di Merauke.
Martin layak kesal lantaran dana miliaran rupiah justru digelontorkan untuk membangun akses ke wilayah-wilayah tak berpenduduk itu. Ia makin kesal ketika menceritakan banyak lahan di sekitar Wendu dan Serapu dibiarkan terbengkalai oleh investor yang telah mengambil lahan itu dari warga.
Baginya, program pengembangan pertanian pangan dan bahan bakar hayati berskala luas, Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE), tidak banyak menghadirkan manfaat bagi warga setempat. ”Sebaliknya, tanah dan hutan sagu kami hilang,” ujar dia.
Tempat-tempat keramat yang menjadi pusat kosmologi masyarakat adat suku Malind-Anim pun tercemar karena batas-batas wilayah adat terbongkar akibat pembukaan lahan. ”Satu saat nanti, hal itu akan menimbulkan konflik antarwarga,” kata Christianus Basik Basik.
Hatinya makin gusar saat melihat peta yang dibawa rekannya menunjukkan, sebagian besar wilayah Merauke telah terbagi untuk 36 investor di kawasan itu.
MIFEE
Meski begitu, tampaknya kegusaran hati warga seperti Christianus Basik Basik tidak menyurutkan minat Bupati Johanes Gluba Gebze mengembangkan wilayah itu menjadi agropolitan, agroindustri, dan agrowisata berskala raksasa.
Program tersebut menjadi isi kampanye pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Merauke periode 2010-2015, yaitu Daniel Walinaulik dan Omah Laduani Ladamay yang didukung Bupati Gebze. Bak gayung bersambut, ambisi itu sejalan dengan misi pemerintah pusat yang berminat membangun ketahanan pangan dan energi nasional.
Para investor pun diundang, di antaranya Medco, PT Bangun Tjipta Sarana, dan Artha Graha. Mereka diajak mengelola lahan seluas total 1.282.833 hektar yang berdasar rekomendasi Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) layak dikembangkan menjadi kawasan pertanian pangan dan bahan bakar hayati skala luas.
Siswono Yudo Husodo, pemilik PT Bangun Tjipta Sarana, berpendapat, gagasan Gluba Gebze menjadikan Merauke sebagai lumbung pangan layak dihargai. Menurut Siswono, potensi wilayah Merauke yang sejauh mata memandang merupakan hamparan luas dengan aneka vegetasi, seperti rawa, padang rumput dan hutan, harus diaktualkan. Namun, kemajuan itu, tutur dia, haruslah dinikmati pula oleh semua warga. ”Maju dengan bahagia,” kata Siswono.
Jika melihat sasaran MIFEE, program itu sangat menjanjikan. Desain besarnya menggambarkan, pada tahun 2030 ketika MIFEE telah berjalan stabil, Indonesia akan memiliki tambahan cadangan pangan, antara lain beras 1,95 juta ton, jagung 2,02 juta ton, kedelai 167.000 ton, ternak sapi 64.000 ekor, gula 2,5 juta ton, dan CPO 937.000 ton per tahun. PDRB per kapita Merauke terdongkrak menjadi Rp 124,2 juta per tahun pada tahun 2030. Tidak hanya itu, devisa negara dihemat hingga Rp 4,7 triliun melalui pengurangan impor pangan.
Menolak
Meski begitu, gambaran itu tidak membuat warga terpukau. Sekretaris Dewan Adat Wilayah V: Ha-Anim, Johanes Wob (52), mengatakan, kehadiran industri pertanian berpotensi mengancam kelestarian adat masyarakat Merauke. Kerap kali, dalam negosiasi dengan perusahaan, warga ada dalam posisi lemah karena tidak paham dengan aneka ketentuan. Ujungnya, meskipun ada rancangan peraturan daerah tentang tanah ulayat, yaitu tidak boleh diperjualbelikan, nyatanya saat ini telah ratusan hektar lahan milik warga terlepas hanya dengan ganti beberapa unit sepeda motor atau motor tempel.
Tingkat pendidikan yang rendah—rata-rata sekolah dasar—membuat mereka kalah bersaing dengan tenaga kerja dari luar Papua. Marius Moiwend, warga Desa Sanggase, Distrik Okaba, Merauke, mengatakan, ia dan beberapa rekannya ditolak menjadi petugas satpam oleh PT Medcopapua Industri Lestari karena tidak memiliki ijazah SMP. ”Ijazah SD hanya untuk (penerimaan) gelombang pertama dan kedua, kata petugas di sana,” tutur Marius.
Masyarakat bukan tidak ingin berkembang. Damianus Yorwen (45), warga Muara Byan, menuturkan, selama ini warga di kampungnya telah berulang kali meminta agar pemerintah mau membuat sekolah darurat untuk menampung anak-anak mereka. ”Hingga saat ini belum juga dipenuhi. Malah sekarang mereka beli pesawat terbang,” kata Damianus merujuk tiga jet 737-300 yang dibeli Pemerintah Kabupaten Merauke.
Hal itu memunculkan kekhawatiran bahwa masyarakat asli Merauke akan semakin termarjinalkan dan mereka hanya menjadi penonton aneka kemajuan yang digambarkan akan diraih melalui MIFEE. Tokoh masyarakat Merauke, JP Kamarka (65), meminta pemerintah tidak sembrono dengan proyek tersebut.
”Masyarakat perlu lebih dilibatkan dan diajak bicara. Dasarnya adalah pengelolaan sumber daya manusia. Masyarakat perlu waktu untuk berubah. Kami khawatir masyarakat justru akan menjadi obyek penguasaan lahan, inti-plasma. Sebaiknya masyarakat lokal diberdayakan dulu karena proyek MIFEE sebenarnya bukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat setempat, tetapi untuk ekspor dan industri,” papar Kamarka.
Menurut dia, pemberdayaan masyarakat di akar rumput perlu dilakukan guna meminimalkan intrik dan ambisi politik segelintir elite Merauke yang memanfaatkan gagasan pengembangan potensi pangan daerah itu. Oleh karena itu, Dewan Adat Wilayah V: Ha-Anim melalui suratnya kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tertanggal 8 Juli 2010 menyatakan penolakan mereka terhadap pelaksanaan program MIFEE di Merauke. Setidaknya, mereka berharap pemerintah tidak terlalu memaksakan diri karena dapat berdampak pada makin bertambahnya rasa tidak puas mereka terhadap pemerintah.
06 Agustus 2010

Food Estate Merauke Diluncurkan 11 Agustus 2010

Program pelaksanaan konsep lumbung pangan nasional atau yang dikenal sebagai Food Estate Merauke Papua akan diluncurkan secara resmi oleh pemerintah pada Rabu (11/8/2010). 

Peluncuran ini menjadi acara peresmian grand launching food estate setelah sebelumnya telah di luncurkan melalui soft launching pada Februari 2010 lalu.

"Rabu (11/8/2010) akan ada grand launching di Merauke," kata Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi  disela-sela acara sekolah lapang media, Dupont Indonesia di Kampung Parakan Mulya, Kecamatan Tirta Mulya, Karawang, Minggu (8/8/2010)

Ia menambahkan rencananya grand launching food estate akan di hadiri oleh menteri pertanian dan wakil menteri pertanian. Sementara Presiden SBY dikabarkan tak menghadiri acara peluncuran ini.

"Sebelumnya sudah ada, tapi yang sebelumnya soft launching," katanya.

Sebelumnya Food Estate Merauke sudah dirilis  pemerintah pada tanggal 12 Februari 2010 sebagai soft launching.

Program Food Estate Merauke merupakan usaha Indonesia untuk memastikan ketahanan pangan nasional dalam jangka menengah maupun panjang. Merauke sangat potensial sebagai lahan yang bisa ditanam untuk padi maupun tebu dan beberapa komoditas unggulan lainnya.

08 Agustus 2010

Indosat Ajak Koperasi dan UKM Berbagi Informasi

Kurangnya informasi dianggap menjadi salah satu kendala bagi koperasi dan usaha kecil dan menengah (UKM) untuk berkembang. Melihat adanya potensi bisnis di balik keadaan tersebut, Indosat pun menyediakan layanan SMS Community agar mereka bisa sharinginformasi.

Dalam program yang dimaksudkan untuk pengembangan komunitas serta mendukung upaya pemerintah dalam mensukseskan program pengembangan industri kecil dan menengah ini, Indosat Regional Jabar melakukan kerjasama dengan Dekopinwil Jabar
untuk pengembangan sistem SMS Community.

"Kerjasama ini merupakan wujud komitmen kami untuk berperan serta dalam membangun usaha mikro kecil dan menengah melalui dukungan sistem aplikasi SMS Community," ujar Kepala Regional Indosat Jabar, Asep Suhendi saat berbincang dengan detikINET di acara Cooperative Fair yang berlangsung di Lapangan Gasibu, Bandung, Rabu (4/8/2010) malam.

Selama ini, imbuhnya, pelaku koperasi dan UKM kesulitan untuk mendapatkan informasi. Baik untuk mencari ataupun menjual produknya. Asep mencontohkan kondisi nyata yang terjadi di lapangan adalah tidak terjangkaunya informasi ke pelosok-pelosok daerah. Padahal mereka menjadi andalan bagi perekonomian daerah.

"Seperti yang disampaikain oleh Kadis Koperasi dan UKM Jabar, ada satu kondisi di Sumedang yang membutuhkan beras ketan, tapi harus membeli bahan bakunya ke Jateng. Padahal di Subang saat itu panen beras ketan. Dan mereka menjual ke Jateng. Nah, ini ada informasi yang terputus. Dengan adanya program ini, harapannya bisa menjembatani kebutuhan mereka," paparnya.

Aplikasi SMS Menu Browser koperasi dan UKM tersebut merupakan layanan value added services Indosat dengan menggunakan kode akses 7788 bagi para pengguna produk Indosat.

"Informasi-informasi yang dibutuhkan bisa didapatkan secara cepat dan mudah, dimanapun dan kapanpun, serta memberikan tambahan benefit tarif murah dan benefit lainnya secara Close User Group (CUG). Karena ponsel sudah menjadi kebutuhan dari masyarakat dimanapun," katanya.

Disinggung mengenai target pelaku yang dapat memanfaatkan layanan ini, Asep mengatakan dari sekitar 8,2 juta pelaku koperasi dan UKM yang tersebar di Jabar, 5-10 persennya diharapkan dapat memanfaatkan fasilitas ini.

"Angka tersebut cukup realistis. Kita optimistis ini bisa tercapai. Karena sebetulnya ini bukan yang pertama kali kita lakukan. Dulu tahun 2005 sudah saya lakukan untuk regional Jateng. Jadi apakah ini akan menjadi program nasional? Itu sangat mungkin," tukasnya.


05 Agustus 2010
Source:http://www.detikinet.com/read/2010/08/05/081714/1413894/328/indosat-ajak-koperasi-dan-ukm-berbagi-informasi

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...