Friday, August 14, 2009

Kepulauan Riau: Ladang Empuk Eksploitasi Alam

Kepulauan Riau merupakan provinsi yang berbatasan dengan empat negara, yaitu Singapura, Malaysia, Vietnam, dan Thailand. Kepri memiliki luas laut 242.497 kilometer persegi (95 persen) dan luas darat 10.104 kilometer persegi dengan 2.408 pulau. Kekayaan sumber daya alam pun berlimpah. Dari minyak dan gas bumi (migas) di Kabupaten Natuna hingga bauksit di Kabupaten Bintan. Ikan dan hasil laut ada di seluruh perairan Kepri, khususnya perairan Kabupaten Kepulauan Anambas dan Kabupaten Natuna. Ket Foto: Bauksit yang dibawa tongkang kemudian diangkut ke kapal-kapal tanker yang menunggu di beberapa titik di perairan Kepulauan Riau, seperti Pulau Telang, Bintan. Tongkang bermuatan bauksit yang ditarik dengan tugboat, akhir Juli lalu, dengan bebas dan leluasa keluar dari Sungai Hulu Riau, Kota Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, menuju kapal tanker yang menunggu di perairan Selat Malaka.

Ironisnya, kekayaan alam di daerah itu tidak mampu menggerakkan ekonomi dan pembangunan daerah. Misalnya, pembangunan infrastruktur listrik dan air bersih di Kabupaten Bintan, termasuk Kota Tanjung Pinang, sebagai daerah produsen bauksit seperti berjalan di tempat. Sebagian besar masyarakat di Bintan masih mengandalkan genset. Produksi dan distribusi air bersih terbatas. Waduk dari Sungai Pulai untuk memasok air bersih pun susut hingga 4 meter.

Contoh lain, ladang gas di Natuna belum mampu membuat Kepri dan wilayah lain di Sumatera terlepas dari ”penyakit akut”: krisis listrik! Kekayaan sumber daya kelautan belum digarap maksimal dan cenderung hanya menjadi potensi dan wacana seminar kelautan.

Intinya, tidak ada industri yang mampu memberikan nilai tambah dari kekayaan sumber daya alam yang ada. Hampir tidak ada industri yang dibangun dengan berbasis sumber alam dan berorientasi ekspor.

Industri di Batam, Bintan, dan Karimun lebih banyak merupakan industri ”tukang jahit” atau industri rakitan dan industri berat, seperti galangan kapal. Industri tersebut sarat dengan bahan baku impor dan mengandalkan tenaga buruh murah.

Industri yang berbasis bahan baku lokal dan kekayaan alam di daerah yang memberikan nilai tambah dan berorientasi ekspor tidak tergarap. Akibatnya, terjadi defisit neraca perdagangan di Kepri, yang punya tiga daerah—Batam, Bintan, dan Karimun—sebagai kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas.

Sebagai gambaran, data Badan Pusat Statistik (BPS) Kepri menunjukkan, total nilai ekspor—baik migas maupun nonmigas—tahun 2008 sebesar 7,47 miliar dollar AS. Dari nilai itu, Batam memiliki kontribusi terbesar, yaitu sekitar 70 persen.

Akan tetapi, total nilai impor Kepri pada tahun yang sama— baik migas maupun nonmigas— mencapai 12,17 miliar dollar AS. Itu berarti, terjadi defisit neraca perdagangan sebesar 4,7 miliar dollar AS. Dengan asumsi nilai tukar dollar AS Rp 10.000, defisit neraca perdagangan mencapai Rp 47 triliun.

Jika nilai impor dapat dihemat 50 persen, secara teori, setidaknya devisa sebesar Rp 20 triliun dapat dihemat dan uang berputar di dalam negeri lebih besar. Devisa sebesar Rp 20 triliun itu jauh lebih tinggi daripada nilai Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah di Provinsi Kepri dengan lima kabupaten dan kota yang masih di bawah Rp 5 triliun.

Eksploitasi

Salah satu sumber kekayaan alam di Kepri yang banyak dieksploitasi adalah bauksit. Tambang bauksit tumbuh sporadis di beberapa tempat di Kabupaten Bintan dan Kota Tanjung Pinang. Tambang bauksit dibuka oleh perusahaan swasta, baik asing maupun domestik.

Bauksit dari daerah-daerah tambang diangkut dengan truk ke dermaga-dermaga tongkang. Bauksit kemudian dimasukkan ke dalam tongkang di dermaga tongkang di pinggir-pinggir hutan-hutan bakau.

Tongkang yang membawa bauksit kemudian mengangkutnya ke kapal-kapal tanker yang menunggu di beberapa titik perairan Kepri, seperti Pulau Telang. Tongkang-tongkang yang ditarik dengan tugboat dengan bebas dan leluasa lalu lalang di selat-selat kecil menuju kapal yang menunggu di perairan.

Persoalannya, siapa yang bisa mengawasi volume ekspor bauksit yang diangkut dengan tongkang dari dermaga-dermaga kecil di hutan-hutan bakau ke kapal-kapal tanker? Pengawasan masih sangat lemah sehingga diduga kuat ada penyelewengan volume ekspor.

Penyelewengan itu memang sulit ditunjukkan dengan data pasti. Akan tetapi, ada beberapa data yang dapat mengindikasikan adanya penyelewengan ekspor bauksit, termasuk di Kabupaten Bintan dan Kota Tanjung Pinang, sebagai salah satu daerah penghasil bauksit.

Sebagai gambaran, dari laporan Shipping Intelligence Network disebutkan, Indonesia menjadi pemasok bauksit terbesar ke China. Dari 9,3 juta metrik ton (MT) impor bauksit China tahun 2006, sebesar 90,5 persen atau sekitar 8,4 juta MT diimpor dari Indonesia.

Dari data BPS yang diolah Departemen Perdagangan, volume ekspor bauksit dari Indonesia ke China tahun 2006 hanya tercatat 7,2 juta MT. Itu berarti, ada selisih nilai ekspor dari Indonesia ke China dengan nilai impor bauksit China dari Indonesia sebesar 1,2 juta MT.

Dari laporan Bloomberg juga terlihat volume ekspor bauksit dari Indonesia ke China cukup tinggi. Dari 12,5 MT impor bauksit China selama tujuh bulan pada tahun 2007, 8,81 MT diimpor dari Indonesia. Sementara dari laporan World Aluminium Market, pada periode Januari-Juni 2009 atau dalam semester I-2009 total volume impor bauksit China sebesar 7,15 juta MT. Dari jumlah volume itu, China mengimpor bauksit dari Indonesia 4,99 juta MT.

Dengan asumsi besaran volume impor bauksit China dari Indonesia pada semester II-2009 sama dengan semester I-2009 itu, volume impor bauksit China dari Indonesia tahun 2009 bisa mencapai 10 juta MT. Sayangnya, masih sulit mendapatkan data volume ekspor bauksit dari Indonesia ke China versi BPS. Apalagi data volume ekspor bauksit dari Kabupaten Bintan. Data volume ekspor bauksit di Bintan selama ini cenderung ditutup-tutupi.

Perikanan

Selain bauksit, masih ada kekayaan alam yang ”dieksploitasi”. Produk perikanan selama ini dicuri oleh nelayan-nelayan asing di perairan Kepri, seperti di Natuna. Perairan laut Natuna merupakan perairan yang selalu menjadi incaran nelayan Vietnam dan Thailand.

Sayangnya, dari sekian banyak kapal asing yang ditangkap aparat TNI Angkatan Laut dan petugas dari Departemen Kelautan dan Perikanan, keberadaan dan pemanfaatan kapal-kapal tidak jelas. Sebagian besar kapal yang ditangkap dan disita itu kemudian rusak dan menjadi bangkai di beberapa pelabuhan.

Tarmizi, Ketua Ikatan Kerukunan Nelayan Kepulauan Anambas, mengungkapkan, saat ini setidaknya ada 24 kapal nelayan asing—baik Thailand maupun Vietnam—yang bersandar di Tarempa, Kabupaten Kepulauan Anambas. Kapal-kapal itu masih diproses secara hukum sehingga kapal dilego di Tarempa. Setelah diproses secara hukum, kapal-kapal asing itu dilelang. Pemenang lelang umumnya pengusaha kapal di Batam dan Tanjung Pinang.

”Saya mencurigai ada tangan-tangan perusahaan ikan Thailand dan Vietnam di Batam yang ikut lelang. Jadi, setelah dilelang, kapal beroperasi lagi di laut Anambas,” katanya.

Jika saja ratusan kapal yang ditangkap selama ini digunakan untuk kepentingan di daerah, manfaat yang diperoleh sangat besar. Misalnya, untuk menangkap ikan di perairan yang lebih jauh oleh para nelayan kita.

Selama ini, nelayan-nelayan pesisir hanya mengandalkan perahu kecil atau perahu pancung untuk menangkap ikan di perairan pulau-pulau, seperti Batam, Bintan, dan Karimun. Penangkapan ikan oleh kapal-kapal besar dilakukan pengusaha ikan dengan mempekerjakan nelayan lokal.

Berangkat dari kondisi itu, memang perlu ditinjau ulang strategi besar kebijakan pemerintah, baik pusat maupun daerah, yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam di daerah, khususnya di Kepri yang juga menjadi daerah perbatasan.

Sejauh mana kontribusi kekayaan alam, baik itu migas, bauksit, maupun komoditas lain, yang dikelola bermanfaat untuk kesejahteraan rakyat? Sejauh mana pula pengelolaan kekayaan laut, termasuk pulau-pulau kosong dan terluar, untuk menyejahterakan rakyat. Tanpa itu, daerah-daerah perbatasan yang kaya sumber alam justru hanya jadi ladang eksploitasi....

Kamis, 13 Agustus 2009 | 05:27 WIB

Penulis: Ferry Santoso

Source: http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/13/05273471/ladang.empuk.eksploitasi.alam.

Simbol Pertahanan Negara Kepulauan

Pulau Nipah merupakan satu dari 19 pulau terluar di Provinsi Kepulauan Riau. Letaknya di antara Pulau Batam dan Pulau Karimun. Di bagian utara, di perairan Selat Philip, Pulau Nipah berbatasan dengan negara Singapura. Ket Foto: Pulau Nipah seluas 60 hektar di Provinsi Kepulauan Riau. Pulau Nipah merupakan pulau terluar yang berbatasan dengan Singapura, dan selesai direklamasi akhir tahun 2008. Pemerintah Indonesia akan mengembangkan pulau ini dengan zonasi pertahanan, ekonomi terbatas, dan konservasi.

Pulau seluas sekitar 1,5 hektar saat air laut pasang ini sebelum direklamasi berupa karang saja, tidak berpenghuni, dan nyaris ”tenggelam” bila air laut pasang. Saat air laut surut, luas Pulau Nipah menjadi 60-an hektar.

Meskipun berbatasan dengan Singapura, tahun 1960-an para nelayan dari wilayah Kepulauan Riau leluasa melintas di perairan Singapura. Sebaliknya, nelayan-nelayan dari Singapura—sebagian besar juga merupakan orang Melayu—dapat memasuki perairan Indonesia.

Menurut Musa Jantan (68), warga Pulau Belakang Padang, Batam, tahun 1960-an nelayan lokal dapat menjual langsung hasil tangkapan laut ke pulau-pulau di Singapura, seperti Pulau Sekijang, Semakau, dan Senang.

Akan tetapi, menurut Musa, Penasihat Lembaga Adat Melayu Batam, tahun 1980-an Singapura mulai memperketat pengawasan wilayah perairannya. Mobilitas nelayan Riau pun semakin terbatas. Pulau-pulau yang dulu lahan penghidupan nelayan kian hari ditinggalkan karena mobilitas nelayan berkurang. Lambat laun, kerawanan perbatasan itu semakin terasa.

Apalagi Singapura terus mereklamasi wilayah, seperti di daerah Tuas, dan Jurong, termasuk di pulau-pulau seperti Pulau Semakau dan Pulau Sentosa. Di sisi lain, sampai akhir 2008, batas wilayah perairan Indonesia-Singapura belum juga disepakati.

Nilai strategis

Pada 10 Maret 2009, Pemerintah RI dan Singapura menandatangani perjanjian batas wilayah laut di antara kedua negara untuk segmen barat. Perundingan untuk menyepakati batas laut di atas Pulau Nipah. (Kompas, 11/3).

Kesepakatan itu memiliki arti penting bagi Indonesia. Apalagi Indonesia sudah diakui dunia internasional sebagai negara kepulauan (archipelagic state) melalui ratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) tahun 1982 dengan UU No 17/1985 tentang Pengesahan UNCLOS.

Arti pentingnya adalah bahwa ”secuil” Pulau Nipah yang tidak terlihat di dalam peta Indonesia itu memiliki nilai strategis di bidang pertahanan. Keberadaan pulau Nipah—yang hampir lenyap saat air laut pasang sebelum direklamasi—menunjukkan betapa penting pulau terluar sebagai titik batas wilayah NKRI, termasuk titik tolak perundingan batas wilayah.

Itulah yang menjadi alasan kuat mengapa Pulau Nipah direklamasi sejak 2004. Dari sekian banyak pulau terluar di Indonesia, hanya Pulau Nipah yang direklamasi secara besar-besaran. Pulau Nipah jadi simbol pertahanan di wilayah perbatasan.

Direktur Rawa dan Pantai Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Departemen Pekerjaan Umum Jaya Murni mengungkapkan, biaya reklamasi Pulau Nipah sejak 2004 mencapai Rp 365 miliar.

Saat ini ada beberapa bangunan di Pulau Nipah. Misalnya, Pos TNI Angkatan Laut (AL), rumah kosong untuk istirahat, dermaga, jalan kecil yang mengitari sebagian Pulau Nipah, mercusuar, dan beberapa bangunan sementara untuk para pekerja. Pada umumnya, Pulau Nipah masih berupa lahan kosong dan gersang. Tanaman sangat sedikit karena baru ditanam.

Menurut Jaya, pemerintah merencanakan mengembangkan tiga zonasi di Pulau Nipah, yaitu pertahanan, kegiatan ekonomi terbatas, dan konservasi. Untuk zonasi pertahanan, pemerintah tetap menempatkan pos TNI AL dan dermaga TNI AL. Untuk zonasi ekonomi, kemungkinan dibuat tempat transit kapal-kapal tanker untuk pengisian bahan bakar, air, dan kebutuhan pokok. Untuk zonasi konservasi, ditanam tanaman bakau.

Dengan pengelolaan seperti itu, diharapkan Pulau Nipah makin memiliki fungsi pertahanan, fungsi ekonomi, ataupun konservasi.

Mampu mengelola

Sebagai negara kepulauan, Pemerintah Indonesia seharusnya mampu menunjukkan kemampuan mengelola wilayah laut sesuai ketentuan UNCLOS. Bahkan, pemerintah pusat, termasuk pemerintah daerah, perlu memprioritaskan kebijakan yang berbasis negara kepulauan. Misalnya, sektor minyak dan gas bumi di lepas pantai, sektor perikanan, pariwisata, pengelolaan pulau-pulau tak berpenghuni, dan industri pelayaran nasional.

Dengan meratifikasi UNCLOS, Pemerintah Indonesia dimungkinkan mendapat perlakuan khusus dari dunia internasional melalui kerja sama dengan lembaga-lembaga internasional.

Dalam putusan Mahkamah Internasional, tahun 2002, pada kasus Pulau Sipadan dan Ligitan misalnya, Malaysia menyatakan pihak Indonesia tidak memiliki perhatian terhadap Sipadan dan Ligitan. Bahkan, Malaysia menyatakan, Indonesia ”tidak menunjukkan eksistensi (presence) di wilayah itu, tak berupaya mengelola pulau, tidak membuat UU, dan tidak membuat peraturan atas kedua pulau itu”.

Sebaliknya, untuk menunjukkan eksistensi, Malaysia mengontrol pengambilan penyu dan pengumpulan telur penyu. Pengumpulan telur penyu dianggap aktivitas ekonomi paling penting selama bertahun-tahun.

Dari argumentasi Malaysia itu terlihat bahwa di Sipadan dan Ligitan—dua pulau kecil di ujung Nunukan, Kalimantan Timur—sudah terdapat aktivitas ekonomi.

Karena itu, pengelolaan pulau terluar harus lebih konkret melalui pembangunan ekonomi di daerah yang lebih luas.

Penulis: Ferry Santoso

Rabu, 12 Agustus 2009 | 12:55 WIB, Source: http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/12/03175578/simbol.pertahanan.negara.kepulauan

PERLINDUNGAN SATWA: Jangan Hanya Semata Polemik

Satwa langka komodo (Varanus komodoensis) diyakini telah menghuni tanah kering Nusa Tenggara mungkin jutaan tahun silam. Munculnya isu relokasi lima pasang komodo dari Pulau Flores menyebabkan komodo menjadi satwa yang mengundang komentar banyak kalangan.



Perkiraan Populasi dan Kepadatan Komodo

Pulau

Populasi

Kepadatan

Komodo

628

17,60

Rinca

615

17,99

Gili Motang

115

12,21

Nusa Kode

75

10,36

Total

1.435

58,1

Hasil survey populasi komodo oleh Ciofi dan de Boer (tahun 1997, 1998, dan 2000) : Cagar Alam Wae Wuul (300 ekor), CA Riung (100 ekor), CA Wolo Tadho (200 ekor) dan TWA 17 pulau (50 ekor)



Selama dua pekan pemberitaan gencar di berbagai media. Sebagian besar menolak rencana pemindahan komodo ke Taman Safari Indonesia III Gianyar, Bali.

”Saya benar-benar shock,” kata Kepala Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Nuramaliati Prijono di kantornya, akhir pekan lalu. Bukan saja karena pemberitaan menolak pemindahan yang santer setiap hari itu, melainkan juga karena data populasi yang diterimanya.

Pihak LIPI, selaku otoritas keilmuan yang wajib diminta rekomendasinya—termasuk rencana konservasi di luar habitat alam (ex situ)—meletakkan dasar rekomendasi berdasarkan laporan jumlah populasi 650 ekor di Pulau Flores. Surat resmi Departemen Kehutanan (Dephut) menyebutkan, 300 ekor komodo dilaporkan hidup di Cagar Alam Wae Wuul, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur.

Setelah muncul penolakan dari banyak kalangan, Dephut merevisi populasi komodo di Cagar Alam Wae Wuul menjadi 17 ekor saja, bandingkan dengan data awal 300 ekor! ”Bagaimana mungkin kami tidak percaya dengan data yang diberikan dulu?” kata Siti, terheran.

Sebuah laporan riset ”Dugaan Kelimpahan, Kepadatan, Laju Survival Tahunan, dan Laju Pertumbuhan Populasi Biawak Komodo di Balai Taman Nasional Komodo” memberikan gambaran kritisnya populasi komodo.

Riset oleh lembaga Komodo Survival Program yang didesain Jeri Imansyah tahun 2002 hingga 2006 menuliskan jumlah 1.435 ekor komodo dari 10 lembah di Pulau Komodo, Gili Motang, Rinca, dan Nusa Kode.

”Studi kami mengindikasikan populasi di Gili Motang dan Nusa Kode perlu perhatian intensif untuk cegah kepunahan,” kata Jeri. Adapun pihak Dephut menyebut total populasi komodo masih lebih dari 2.500 ekor.

Menurut Jeri, Komodo Survival Program juga turun mengidentifikasikan komodo di Flores, khususnya di Cagar Alam Wae Wuul. Pada survei 22 hari, Juni-Juli 2009, mereka mengidentifikasi 17 ekor komodo berbobot di bawah 20 kilogram.

Salah satu kesimpulan penelitian adalah populasi komodo di Wae Wuul rentan punah karena minimnya mangsa utama: rusa timor. Satu-satunya jalan adalah pengelolaan habitat alami untuk meningkatkan lagi populasi komodo di Flores. Di samping itu, kebakaran hutan harus dicegah.

Populasi komodo di dua pulau tersebut berada di bawah ambang batas teoretis—menunjukkan gejala kepunahan—yakni di bawah 100 ekor dalam satu populasi. ”Jumlah 17 ekor di satu populasi, seperti di Wae Wuul, bisa dibilang tinggal menunggu waktu punah,” kata Siti.

Tanpa mangsa mencukupi akan terjadi kanibalisme. Perkembangbiakan alami terganggu karena akan terjadi kawin keluarga (inbreeding)—keturunannya berdaya tahan rendah.

Komodo memiliki sifat partenogenesis, yaitu komodo betina membuahi telurnya sendiri apabila tidak bertemu jantan. ”Keturunannya jantan semua,” kata Siti. Seiring waktu jantan anakan itu kemungkinan akan kawin dengan induknya sendiri.

Reptil purba dengan endemisitas di Indonesia ini jauh dari perhatian pemerintah. Komodo layak disebut sebagai harta karun terbengkalai. Deputi Bidang Ilmu Hayati LIPI Endang Sukara menyebutkan hal itu, Selasa (4/8) di Jakarta.

”Tidak ada dana riset pemerintah untuk terus menelusuri perkembangan komodo. Data sangat minim, itu pun dari riset orang asing,” ujar Endang.

Intervensi segera

Mempertimbangkan populasi belasan ekor komodo di Wae Wuul atau di bawah 100 ekor di kawasan lain, dibutuhkan campur tangan segera untuk mengurangi risiko kepunahan.

”Konservasi di luar habitat atau di dalam habitat alami harus cukup pakan, cukup tutupan lahan yang memberi perlindungan, dan populasi jantan-betina dengan kekerabatan jauh yang cukup,” kata Siti.

Dalam jangka pendek, pendataan komodo di Wae Wuul perlu dilakukan untuk memastikan jumlah, tingkat kekerabatan, ketersediaan pakan, dan tingkat keterancamannya.

Sementara itu, peneliti Komodo Survival Program berharap Menteri Kehutanan membatalkan rencana pemindahan lima pasang komodo dari Wae Wuul. Sebaliknya, pemerintah memberi perlindungan khusus untuk populasi yang tersisa dengan bantuan dari Asosiasi Kebun Binatang Asia Tenggara (EAZA), yang memiliki buku silsilah sejumlah komodo yang ditangkarkan di sejumlah kebun binatang.

Koordinator Program Komodo Survival Program Deni Purwandana menyatakan, koleksi komodo di penangkaran dapat dicukupkan dari penangkaran-penangkaran lain yang sukses.

Polemik diharapkan tidak berakhir menang-kalah para pihak yang berkepentingan, tetapi berujung pada penyelamatan komodo dari kepunahan yang sudah di depan mata.

Jeri dan Endang Sukara sepakat, konservasi komodo butuh keseriusan pemerintah. ”Butuh keputusan presiden untuk menetapkan lembaga koordinator riset dan pengembangan komodo,” ujar Endang Sukara.

Menurut Jeri, belum terlambat menangani ancaman kepunahan komodo. Selama masih tersisa, seperti 17 ekor di Wae Wuul, peluang mempertahankannya dari ancaman kepunahan masih tetap ada. (NAW)

Oleh: Gesit Ariyanto

Senin, 10 Agustus 2009 | 03:31 WIB, Source: http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/10/03311192/jangan.hanya.semata.polemik

Sulit Buat Jurnal Internasional

Publikasi Hasil Riset Belum Menjadi Tradisi

Jurnal-jurnal ilmiah yang dikelola perguruan tinggi masih sulit untuk ditingkatkan menjadi jurnal internasional. Peningkatan kualitas dan pembiayaan menjadi persoalan utama.

Direktur Riset dan Kajian Strategis Institut Pertanian Bogor (IPB), Rabu (12/8), Arif Satria menyatakan, ada 28 jurnal di IPB. Empat jurnal berakreditasi nasional dan 11 jurnal dalam proses untuk akreditasi nasional. Sebuah jurnal yang sudah terbit sejak tahun 1994, Jurnal Hayati, sedang diupayakan menjadi jurnal internasional.

Arif mengatakan, tidak mudah membuat sebuah jurnal menjadi jurnal internasional. Umumnya, adalah dengan memasukkan jurnal ke dalam situs Spocus, yang merupakan situs web database abstrak dan citation terbesar dengan data bersumber dari literatur-literatur yang dievaluasi oleh peer.

Ada pula persyaratan terkait dengan kualitas jurnal, seperti terbit berkala dan editing yang bagus serta peer review yang melibatkan akademisi internasional atau dari luar negeri. Pemuatan dalam database Spocus terkait dengan citation (menjadi acuan bagi para peneliti).

”Setelah sebuah jurnal memenuhi persyaratan Spocus, setiap tahunnya harus membayar 2.500 dollar AS,” ujarnya.

Belum jadi tradisi

Selama ini pengembangan kualitas jurnal dan biaya penerbitan menjadi permasalahan. Apalagi di Indonesia, memublikasikan hasil riset belum menjadi tradisi.

Jurnal ilmiah hidup dengan pembiayaan para penulis atau sponsor (biasanya lembaga pemberi dana). Iklan tidak diperbolehkan. Penjualan jurnal ilmiah kepada masyarakat hanya cukup untuk menutupi biaya cetak. Untuk satu kali penerbitan jurnal, misalnya, dibutuhkan biaya Rp 15 juta.

Perguruan tinggi akan kesulitan kalau harus mendorong jurnal ilmiah menjadi berkelas internasional hanya dengan mengandalkan dana peneliti. Oleh karena itu, bantuan

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi berupa dana Rp 150 juta untuk mengembangkan jurnal internasional merupakan angin segar.

Institut Teknologi Bandung (ITB) juga tengah mengupayakan jurnal-jurnal ilmiahnya bertaraf internasional. Wakil Rektor Bidang Riset, Inovasi, dan Kemitraan ITB Prof Indratmo Soekarno secara terpisah mengatakan, di ITB, dari

32 jurnal ilmiah, dua di antaranya sudah jurnal internasional. Saat ini dua jurnal lainnya tengah diupayakan menjadi berkelas internasional.

Tidak mudah menciptakan jurnal internasional. Editor harus betul-betul pilihan. Untuk jurnal internasional ITB Journal of Science, naskah yang masuk datang dari peneliti di berbagai negara dan diperiksa kelayakannya oleh para editor. Para editor tersebut tidak hanya dari Indonesia saja. Ada sekitar 20 editor yang tersebar di Indonesia dan berbagai negara.

Kepala Subdit Pelayanan dan Pengabdian Masyarakat Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia Yoki Yulizar, Ph.D. mengatakan, tahun ini enam jurnal di UI dalam persiapan untuk jurnal internasional. Untuk meningkatkan kualitas pengelolaan jurnal ilmiah, UI melakukan koordinasi dengan pengelola teknis dan dewan editor secara berkala. (INE)

Kamis, 13 Agustus 2009 | 03:42 WIB

Jakarta, Kompas -http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/13/03423384/sulit.buat.jurnal.internasional

Akrilamida, Bahaya Kelezatan

Apakah Anda termasuk penggemar berat kentang goreng, keripik kentang, roti panggang, produk sereal, dan produk-produk tinggi karbohidrat lainnya yang diolah dengan digoreng, dibakar, atau dipanggang? Atau Anda tidak dapat melewatkan waktu santai pada sore hari ditemani kopi dan makanan kecil?

Jika jawabannya adalah ya, mulai sekarang Anda sebaiknya mengakrabkan diri dengan istilah akrilamida. Mengapa? Karena akrilamida (biasa disingkat akrilamid) adalah senyawa kimia berbahaya yang belakangan ini terbukti terkandung dalam berbagai makanan tersebut.

Umumnya, akrilamida digunakan di industri untuk membersihkan air minum, bahan baku perekat, tinta cetak, zat warna sintetik, zat penstabil emulsi, kertas, dan kosmetik. Selain itu, akrilamida sering digunakan sebagai kopolimer pada pembuatan lensa kontak. Sebenarnya, akrilamida tidak berbahaya dalam penggunaannya di industri, tetapi akan berbeda halnya apabila zat ini terkandung dalam makanan yang biasa dikonsumsi sehari-hari.

Pada tahun 2002 The Swedish National Food Authority mengumumkan hasil penelitian dari Stockholm University, yaitu ditemukannya peningkatan kadar akrilamida dalam beberapa jenis pangan, terutama yang mengandung banyak karbohidrat (zat tepung), seperti kentang dan produk sereal yang diproses dengan pemanasan tinggi (misalnya, dibakar, dipanggang, atau digoreng) pada temperatur di atas 120° celsius. Peneliti Swedia menemukan bahwa terdapat konsentrasi akrilamida yang sangat besar pada makanan yang digoreng (keripik kentang 1.200mg/kg dan kentang goreng 450 mg/kg) serta makanan yang dipanggang (sereal dan roti 100-200 mg/kg).

Lantas, apa bahaya dari akrilamid? Pada tahun 2005 Joint FAO/WHO Expert Committe on Food Additivies (JECFA) mengumumkan bahwa paparan akrilamid dalam jangka waktu lama pada hewan coba tikus menunjukkan gejala genotoksik (memengaruhi gen) dan karsinogenik (dapat memicu kanker). Akrilamida pada dosis tinggi terbukti dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan saraf dan mengganggu reproduksi. Namun, pengaruh karsinogenik pada manusia belum teruji kebenarannya. Meskipun demikian, penelitian lanjutan tentang bahaya akrilamida pada manusia masih terus dilakukan.

Lalu, bagaimana bisa sampai terbentuk akrilamida pada makanan? Mekanisme pembentukan utama akrilamid dalam makanan terjadi pada reaksi Maillard, yaitu reaksi ketika gula dalam makanan (contohnya glukosa, fruktosa, dan laktosa) bereaksi dengan asparagin bebas (sejenis asam amino dalam makanan yang terbentuk karena reaksi pencoklatan). Gula, asparagin, dan beberapa asam amino lainnya adalah senyawa yang secara alami terdapat dalam pangan nabati. Asparagin bereaksi dengan gula pada temperatur tinggi (di atas 120° celsius).

Biasanya peristiwa ini terjadi pada saat penggorengan, pemanggangan atau pembakaran. Ketiga proses inilah yang bertanggung jawab terhadap tinggi-rendahnya akrilamid dalam pangan. Semakin gelap warna produk akibat pemasakan, makin banyak kandungan akrilamida di dalamnya.

Jadi, apa yang harus dilakukan agar dapat terhindar dari bahaya akrilamid? Tentu saja, yang paling utama adalah mengurangi paparan akrilamid dalam makanan sehari-hari. Mulailah dengan mengurangi konsumsi makanan yang digoreng, dibakar, dan dipanggang (akrilamid tidak ditemukan pada makanan yang dikukus atau direbus karena suhu pengolahannya berkisar 100° celsius dan tidak menyebabkan pencoklatan) serta pangan yang kaya lemak trans dan lemak jenuh karena lebih berpotensi meningkatkan risiko kanker.

Selain itu, tingkatkan konsumsi makanan yang kaya serat, seperti buah-buahan dan sayur-sayuran, sehingga racun dalam tubuh dapat dikurangi.

Selain dengan mengurangi konsumsi makanan yang mengandung akrilamida, bahaya senyawa beracun ini juga dapat dihindari dengan mengurangi akrilamida dalam bahan pangan lewat cara memasak yang tepat.

Dengan memerhatikan beberapa teknik memasak di rumah, kandungan akrilamida yang terbentuk dari pemasakan dapat diminimalkan. Umumnya, lebih banyak akrilamida terakumulasi pada proses memasak yang lebih lama dan pada temperatur yang lebih tinggi. Beberapa hal yang dapat dilakukan adalah mencegah pemasakan yang berlebih saat memanggang, menggoreng, atau membakar pangan kaya karbohidrat, misalnya, memasak kentang goreng dan kentang bakar hingga berwarna kuning keemasan saja (bukan kuning kecoklatan) serta memanggang roti hingga berwarna coklat muda.

Selain itu, pada saat akan memasak kentang, kentang dapat direndam dahulu selama 15-30 menit sebelum pengolahan lanjutan agar dapat mengurangi akrilamid yang terbentuk selama pemasakan. Hal ini dapat terjadi karena jumlah gula yang terkandung dalam kentang telah berkurang dengan adanya perendaman. Penambahan antioksidan berupa daun bambu atau ekstrak teh hijau juga telah terbukti mengurangi level akrilamid pada pangan. Sebenarnya, akrilamid ditemukan paling banyak pada pangan yang digoreng (karena suhu yang digunakan paling tinggi).

Jadi, usahakan untuk menggoreng pada temperatur yang lebih rendah (jangan melebihi 175° celsius) dan hindari produk yang terlalu garing atau gosong.

Setelah mengenal akrilamida lebih jauh, apakah kita perlu menghindari sepenuhnya makanan-makanan favorit kita? Tentu tidak. Karena belum ada bukti dari penelitian terbaru yang menunjukkan bahwa akrilamida positif sebagai pemicu kanker pada manusia, belum perlu benar-benar menghindari produk pangan tertentu.

Sebenarnya, kita tidak perlu terlalu khawatir dengan keberadaan akrilamid dalam makanan karena kandungan akrilamid dalam makanan bukanlah suatu hal yang baru. Akrilamid telah ada dalam pangan manusia sejak beribu-ribu tahun lalu sejak pertama kali manusia memasak makanan mereka. Hanya saja, keberadaannya dalam makanan baru diketahui akhir-akhir ini setelah dilakukan penelitian di Swedia pada tahun 2002. Jadi, tidak perlu panik saat menikmati makanan favorit Anda, yang terpenting adalah senantiasa memerhatikan pola makan sehari-hari dan menjaga pola hidup sehat.

Kamis, 13 Agustus 2009 | 03:33 WIB, Source: http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/13/03335325/akrilamida.bahaya.kelezatan

FELICIA THALIP Mahasiswi Institut Pertanian Bogor

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...