Fakta ini terkait dengan posisi kota sebagai situs transaksi, tempat berbagai barang konsumsi dan barang kebutuhan lain dikuantifikasi menjadi satu susunan harga. Harga di kota telah menjadi cara bagaimana satu dan lembaga lain menjalin hubungan. Di sini harga bisa bersifat langsung dalam sebuah transaksi, tetapi dapat juga tidak langsung, yaitu melalui alat tukar, seperti uang.
Alat tukar yang sesungguhnya menaikkan posisi lembaga atau individu dalam lingkungan kota. Dari posisi ini, daya tawar lembaga atau individu dimainkan untuk kompensasi material di antaranya.
Dalam harga yang dimanifestasi dalam uang, bukan hanya barang yang dikuantifikasi, melainkan juga keahlian. Keahlian—yang terkategorisasi sebagai jasa—dalam keuangan, manajemen, teknik, rekayasa sosial, rekayasa politik dan banyak lainnya telah dikuantifikasi dalam harga. Kesenangan pun memiliki harga.
Hanya berbekal berbagai keahlian atau jasa penghuni kota menentukan satu wilayah yang luas di luar kota. Kota yang tidak bisa mencukupi kebutuhan sehari-harinya dan hanya mengeluarkan sejumlah kebijakan—sebutlah sejumlah uraian tentang undang-undang yang retorik—justru menjadi penguasa sebagian besar sumber-sumber energi yang ada di luar kota.
Dalam konteks global, kultur kota yang direpresentasi negara-negara utara ini, menurut Saskia Sassen (2000), memproduksi dan mengekspor tenaga-tenaga ahli dengan kemampuan manajemen canggih ke negara-negara bagian selatan. Dengan cara itu, negara-negara utara hidup makmur, sementara negara-negara selatan, produsen dari berbagai sumber daya alam, hidup kekurangan.
Pemodal dan pekerja
Adanya kuantifikasi segala hal dalam bentuk harga mendorong kota ke arah pembagian sosial yang tak terelakkan, yaitu golongan bermodal dan golongan pekerja. Pemilik modal yang jumlahnya sedikit menguasai pekerja yang jumlahnya jauh lebih banyak, yang menjadi alat produksi dengan upah terbatas.
Pemilik modal—dibantu pemerintah—menerapkan ketentuan tentang perumahan, upah, jam kerja terhadap kalangan pekerja. Sebuah ketetapan yang tak hanya menciptakan keseragaman di kalangan buruh, tetapi juga sampai ke soal konsumsi bahkan orientasi setiap buruh.
Dari kesamaan yang menciptakan solidaritas kaum buruh ini, Castell meyakini, perubahan sosial dapat terjadi. Penentangan kelas pekerja terhadap kelas pemilik modal—seperti digagas Marx—adalah cara untuk meraih kehidupan yang adil dan perwujudan kesejahteraan bersama. Keseragaman buruh dalam soal perumahan, organisasi, bahkan etnis dan agama menjadi syarat terjadinya solidaritas dan mobilisasi.
Pendapat berbeda dikemukakan Kian Tajbakhsh, warga AS keturunan India. Dalam The Promise of The City (2001), Kian menyatakan, kota-kota di AS tidak mengarah kepada sentimen polarisasi sosial seperti diutarakan Manuel Castell.
Perbedaan kelas pekerja AS ada pada keberagaman etnik dan karena itu, juga linguistik dan agama. Perbedaan diperkuat sistem perumahan yang berbeda dengan di Eropa. Ini menyebabkan terciptanya politik ”peruangan” yang berbeda dibandingkan kelas pekerja monolitis.
Keadaan itu, bagi Kian, memustahilkan pembentukan kelas pekerja yang solid dan ketat sehingga bisa dimobilisasi dalam rangka pertentangan dengan kelas pemilik modal. Dalam konteks Amerika, pertama, kota tidak bisa direduksi pada masalah ekonomi semata, dan kedua, multikulturalisme telah memustahilkan para pekerja diasosiasikan secara monolitis.
Identitas puak
Dengan itu, Kian memandang tidak relevannya kelas sosial ala Marx diterapkan dalam konteks AS. Dalam konteks AS, isu permukiman menjadi bagian dinamika sosial di hidup keseharian. Berbeda dengan studi Castell, di Amerika tempat pekerja dan di mana para pekerja tinggal nyata-nyata dua hal yang terpisah.
Diagnosis ini membedakan dan mengarahkan Kian kepada analisis identitas yang justru menguat di komunitas tempat mereka bermukim dan bukan pada tempat mereka bekerja.
Sementara itu, identitas menguat bukan dalam kaitan dengan kalangan berkuasa dan pemodal, tetapi karena legitimasi yang lebih kultural. Identitas dalam komunitas yang menjadi cara mereka bertahan hidup, baik ekonomis maupun kultural.
Adanya dorongan memunculkan identitas di kota semacam ini dapat dilihat sebagai cara warga minoritas untuk bersuara, lantaran tidak mendapat tempat bersuara di tingkat formal. Identitas menjadi cara lain menunjukkan berbagai ketidakadilan, bahkan, kegagalan di ranah sosial-ekonomi-politik.
Akhirnya, puak atau kekerabatan—sebagai ekspresi budaya—tetap berlaku sebagai prosedur identitas; menjadi satu-satunya cara meyakinkan diri sendiri bahwa melalui warisan etnik mereka ”ada”. Dengan etnik pula, mereka mengabarkan kepada dunia luar bahwa mereka masih ada di jantung kapitalisme dunia (Octavio Paz, The Labyrinth of Solitude, 1961).***
Penulis: IMAM MUHTAROM - Anggota Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar, Surabaya, Menetap di Jakarta.