Wednesday, November 25, 2009

Akan Ada Aturan Lubang Resapan Biopori


Setelah aturan sumur resapan dan kolam resapan sudah dibekukan satu paket dalam Izin Mendirikan Bangunan (IMB), aturan tentang lubang resapan biopori akan 'naik kelas'. Pejabat Harian Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta Ridwan Panjaitan mengatakan pemerintah daerah tengah merencanakan aturan ini diikat dalam ketentuan hukum.

"Sumur resapan dan kolam resapan kan sudah wajib dalam IMB. Sekarang yang imbauan adalah lubang resapan biopori. Itu juga mau dibuat peraturan yang lebih tinggi," ujarnya dalam keterangan pers Anugerah Jakarta Green Office 2009 di FX Plaza, Rabu (25/11).

Pembahasannya masih di tahap awal. Namun, menurut Ridwan, ini akan jadi prioritas karena lubang resapan biofori sangat berperan penting dalam mengantisipasi banjir. Tanpa mendetilkan penjelasannya dengan data, Ridwan mengatakan menurut perhitungan pakar, biopori sangat efektif untuk antisipasi banjir jika volumenya sampai 70 juta lubang di Jakarta.

"Kalau ini dilaksanakan, tentu bagus karena ini begitu murah dan mudah. Dengan membuat biopori di lahan taman kita yang tak terpakai, itu bisa menjadi sumbangan yang efektif," tandasnya.

RABU, 25 NOVEMBER 2009 | 20:13 WIB

Laporan wartawan KOMPAS.com Caroline Damanik



Belum Ada Standar Green Building di Jakarta


Upaya menjadikan green buildingdi Indonesia sudah banyak terdengar. Bahkan banyak gedung perkantoran, pusat perbelanjaan, sekolah yang mengklaim sebagai green building. Tapi tahukah Anda, standar apa yang digunakan untuk menunjukkan suatu gedung patut dikategorikan ramah lingkungan?

Direktur Procon Integrated Property Solutions, Gunawan Yonatan mengatakan belum ada standar yang jelas dalam penetapan label green building untuk gedung-gedung di Indonesia, terutama Jakarta. "Green-nya standarnya apa dulu? Usahanya sudah ada tapi standarnya belum ada," tuturnya di sela acara Anugerah Jakarta Green Office 2009 di FX Plaza, Rabu (25/11).

Menerka alasan sejumlah gedung menetapkan diri sebagai green building, dengan berseloroh Gunawan mengatakan para pengelola mungkin menggunakan standar sendiri yang disebutnya 'Standar Jakarta'. Parameternya sendiri tak jelas, lanjut Gunawan.

Gunawan enggan mengatakan karena ketiadaan standar atau pakem maka upaya green building sendiri untuk menjaga bumi sebenarnya tengah mengalami disorientasi. Namun, dia menegaskan bahwa sudah sepatutnya ada suatu standar yang ditetapkan bersama oleh pemerintah daerah dan asosiasi untuk memiliki standardisasi green building.

"Tengah digodok, tapi belum tahu juga kapan dan bagaimana," ungkapnya.

Merespon adanya standardisasi atau aturan tegas soal green building, Pejabat Harian Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLHD) DKI Jakarta Ridwan Panjaitan mengatakan hal ini tengah dibicarakan.

"Green building akan selabel dengan pergub sedang dalam proses pembahasan dan harus dibahas bersamastakeholder sehingga masukan lebih operasional," ujarnya.

RABU, 25 NOVEMBER 2009 | 20:03 WIB

Laporan wartawan KOMPAS.com Caroline Damanik



BNI Terima Asia Responsible Entrepreneurship Award



Sebagai salah satu bank papan atas BNI masih dipercaya publik menjadi bank yang peduli pada isu-isu lingkungan dan pemberdayaan masyarakat. Hal ini terbukti dari penghargaan yang diterima oleh BNI dari NGO Asia Pasifik (Enterprise Asia) untuk dua kategori sbb:

1. Green Leadership Award
2. Community Engagement Award

Malam penghargaan berlangsung pada hari Senin (23/11/2009) di Hotel
Sang-rila dimana BNI diwakili oleh sebelas orang, masing-masing lima orang Pemimpin Divisi, tiga orang anggota Corporate Sustainability Team dan tiga orang SKC Purwakarta termasuk debitur Kampoeng BNI Subang. Tampak pada foto: Intan Abdams Katoppo, Corporate Secretary BNI (mewakili Direksi BNI) menerima Award dari Datuk Seri Dr Fong Chang Onn, Chairman Entreprise Asia.

Kriteria untuk Green Leadership Award adalah sbb:

  1. Partisipan memiliki tanggung jawab yang besar dari dampak bisnis mereka terhadap lingkungan dan berusaha untuk mengurangi atau mengubah dampak itu.
  2. Partisipan secara sadar telah mengimplementasikan program-program atau usaha-usaha yang di dalamnya termasuk (tak terbatas pada): efisiensi energi, tanggungjawab produk, rancangan produk hijau, pengurangan limbah, konservasi air dan daur ulang.
  3. Faktor tambahan akan diberikan kepada partisipan yang memiliki program pengurangan dampak kerugian disertai program untuk mengubah dampak kerugian tersebut.
  4. Partisipan telah melakukan integrasi kinerja lingkungan ke dalam strategi pembangunan berkelanjutan (sustainable development strategy) dan memiliki laporan tahunan yang terstruktur dari kinerja tersebut. 


Kriteria untuk Community Engagement Awad adalab sbb:

  1. Partisipan harus memiliki program atau proyek-proyek yang memasukkan unsur pengentasan kemiskinan, kesempatan pendidikan yang lebih baik, meningkatkan kehidupan orang-orang miskin dan yang tak beruntung serta program-program lain yang melibatkan komunitas masyarakat dalam bisnis mereka.
  2. Partisipan harus dapat menunjukkan secara jelas rencana keterlibatan/keikutsertaan masyarakat secara berkelanjutan, disertai bukti berupa business case (dalam hal ini seberapa besar masyarakat lokal mampu menerima benefit dari bisnis tersebut baik dalam jangka pendek maupun panjang). 


Di Indonesia, pemberian penghargaan dari Enterprise Asia merupakan penyelenggaraan yang kedua kali (pertama tahun 2008). Kalangan CEO dan konglomerat turut hadir dan sebagian mendapatkan penghargaan antara lain sbb: Mochtar Riady (Lippo Group), Chairul Tanjung (TransTV dan Para Group), Bank Mandiri, Jakarta Eye Center, Bosowa Group, PT. Samudera Indonesia (LTP).



BNI Terima Asia Responsible Entrepreneurship Award 2009



Sebagai salah satu bank papan atas BNI masih dipercaya publik menjadi bank yang peduli pada isu-isu lingkungan dan pemberdayaan masyarakat. Hal ini terbukti dari penghargaan yang diterima oleh BNI dari NGO Asia Pasifik (Enterprise Asia) untuk dua kategori sbb:

1. Green Leadership Award
2. Community Engagement Award

Malam penghargaan berlangsung pada hari Senin (23/11/2009) di Hotel
Sang-rila dimana BNI diwakili oleh sebelas orang, masing-masing lima orang Pemimpin Divisi, tiga orang anggota Corporate Sustainability Team dan tiga orang SKC Purwakarta termasuk debitur Kampoeng BNI Subang. Tampak pada foto: Intan Abdams Katoppo, Corporate Secretary BNI (mewakili Direksi BNI) menerima Award dari Datuk Seri Dr Fong Chang Onn, Chairman Entreprise Asia.

Kriteria untuk Green Leadership Award adalah sbb:

  1. Partisipan memiliki tanggung jawab yang besar dari dampak bisnis mereka terhadap lingkungan dan berusaha untuk mengurangi atau mengubah dampak itu.

  2. Partisipan secara sadar telah mengimplementasikan program-program atau usaha-usaha yang di dalamnya termasuk (tak terbatas pada): efisiensi energi, tanggungjawab produk, rancangan produk hijau, pengurangan limbah, konservasi air dan daur ulang.

  3. Faktor tambahan akan diberikan kepada partisipan yang memiliki program pengurangan dampak kerugian disertai program untuk mengubah dampak kerugian tersebut.

  4. Partisipan telah melakukan integrasi kinerja lingkungan ke dalam strategi pembangunan berkelanjutan (sustainable development strategy) dan memiliki laporan tahunan yang terstruktur dari kinerja tersebut. 



Kriteria untuk Community Engagement Awad adalab sbb:

  1. Partisipan harus memiliki program atau proyek-proyek yang memasukkan unsur pengentasan kemiskinan, kesempatan pendidikan yang lebih baik, meningkatkan kehidupan orang-orang miskin dan yang tak beruntung serta program-program lain yang melibatkan komunitas masyarakat dalam bisnis mereka.

  2. Partisipan harus dapat menunjukkan secara jelas rencana keterlibatan/keikutsertaan masyarakat secara berkelanjutan, disertai bukti berupa business case (dalam hal ini seberapa besar masyarakat lokal mampu menerima benefit dari bisnis tersebut baik dalam jangka pendek maupun panjang). 



Di Indonesia, pemberian penghargaan dari Enterprise Asia merupakan penyelenggaraan yang kedua kali (pertama tahun 2008). Kalangan CEO dan konglomerat turut hadir dan sebagian mendapatkan penghargaan antara lain sbb: Mochtar Riady (Lippo Group), Chairul Tanjung (TransTV dan Para Group), Bank Mandiri, Jakarta Eye Center, Bosowa Group, PT. Samudera Indonesia (LTP).



Friday, November 20, 2009

HUTAN Di Brasil: Wilayah Kontestasi Politik Terpanas


Menteri Lingkungan Brasil Carlos Minc menuduh lembaga pemerintah lain yang tidak mematuhi hukum-hukum lingkungan demi proyek-proyek pembangunan Amazon. Kondisi itu pula yang, menurut Reuters dan Associated Press (1/6), menyebabkan mundurnya Menteri Lingkungan Marina Silva setahun sebelumnya. Ket.Foto: Hamparan luas lahan tanaman kedelai terlihat di dekat kota Santarem,Para, Brasil, Desember 2004. Menurut para aktivisling kungan, pertanian kedelaimembuat harga lahanhasil penggundulan hutan membubung tinggi.

Jalan raya itu konon akan memudahkan dan mengefisienkan akses transportasi petani dan peternak ke pasar. Namun, Minc mengingatkan, pengaspalan jalan raya BR-319 yang menembus jantung Amazon dari kota Manaus dan Porto Velho itu adalah bencana lingkungan karena melewati wilayah preservasi terbaik dari Amazon. Karena proses yang bertubi-tubi, pemerintah menunda sementara kontrak pembangunan BR-319, sampai 13 wilayah konservasi dibentuk.

Minc juga mengeluhkan usulan perubahan regulasi kehutanan yang melonggarkan upaya-upaya perlindungan lingkungan. Hal itu termasuk penambahan area untuk perubahan tata guna lahan dan mengurangi persyaratan untuk menghutankan kembali wilayah-wilayah hutan yang telah gundul.

Politik-ekonomi

Terkait dengan itu, Koordinator Kebijakan Publik Greenpeace di Brasilia, Rabu (4/11), mengatakan, kabar baik tentang menurunnya tingkat deforestasi tiga tahun terakhir ini tampaknya tak akan bertahan lama,
seiring dengan meningkatnya harga agrokomoditas, seperti kedelai dan daging sapi, yang membuat lesunya ekonomi dalam negeri.

”Deforestasi di Amazon berkelindan dengan siklus ekonomi. Kalau pertumbuhan turun, kegiatan deforestasi juga menurun, pun sebaliknya,” ujar Sergio Leitao, Direktur Kampanye Greenpeace, di Sao Paulo, Selasa (3/11).

Situasi itu digunakan Kongres Brasil yang dipengaruhi oleh sektor agrobisnis dan agroenergi untuk mencuri kesempatan mengubah peraturan dalam Forest Code.

Proposal yang diusulkan itu menambah persentase penggundulan dari 20 persen menjadi 50 persen di properti hutan yang menjadi otoritas petani di Amazon dan mengizinkan Legal Reserve—yakni kawasan yang menurut hukum boleh digunakan untuk kegiatan ekonomi, tetapi spesies lokalnya harus dilindungi—ditanami spesies asing, seperti pohon sawit untuk produksi bahan bakar dan eucalyptus untuk industri bubur kertas (pulp) dan arang.

Wilayah yang sudah kehilangan hampir 18 persen kawasan hutannya karena penebangan dan kebakaran hutan 40 tahun terakhir—lebih besar dari luas Perancis—mengalami kerusakan karena pembalakan dan kegiatan yang bersifat saling memangsa.

”Perubahan yang sedang didiskusikan kongres akan melegalisasi deforestasi 36 persen di tangan sektor swasta,” ujar Nilo.

Situasi itu berpotensi mendorong migrasi lebih besar, perampasan tanah, dan konflik hak-hak atas tanah di Amazon. Jutaan hektar hutan akan dilegalkan untuk ditebang dan dibakar demi kepentingan-kepentingan jangka pendek.

Forest Code 1965

Forest Code yang merupakan produk hukum tahun 1965 telah mengalami amandemen beberapa kali terkait perubahan arah politik-ekonomi di negeri itu. Forest Code mengatur wilayah yang membutuhkan perlindungan penuh (Permanent Protected Areas) di hutan publik maupun swasta untuk melindungi kawasan penyimpan air.

Wilayah yang tersisa boleh digunakan untuk kepentingan ekonomi, termasuk penebangan selektif, tetapi tak boleh dibabat bersih dan diubah tata guna lahannya (land clearing). Izin dari pemerintah dibutuhkan untuk penebangan selektif maupun land clearing di lahan milik swasta. Sampai tahun 1996, regulasi itu menetapkan bahwa Legal Reserve di Amazon sedikitnya meliputi 50 persen dari seluruh properti di pedalaman.

Setelah deforestasi di Amazon mencapai puncaknya tahun 1996, Presiden Hernando Cardoso menambah amandemen Forest Code dengan dekrit yang meningkatkan Legal Reserve sampai 80 persen. Dekrit MP 2166 itu merupakan ketetapan yang seharusnya didukung kongres agar menjadi definitif dan terintegrasi penuh dalam Forest Code.

”Namun, itu tak pernah terjadi,” ungkap Nilo. ”Perlindungan Amazon dan ekosistem lain di Brasil terus dilanggar.”

Hal itu disebabkan insentif pemerintah tidak kompatibel dengan Forest Code dan reforma lahan. Kesulitan lain adalah implementasi hak atas tanah karena banyaknya pendudukan tanah oleh pendatang dan kemungkinan pengambilalihan sehingga pemilik lahan memilih mengabaikan Forest Code.

Forest Code terus menghadapi tantangan dari sektor agribisnis yang punya lobi kuat di parlemen. ”Tahun 2001 muncul versi baru Dekrit MP 2166 yang merekonfirmasi Legal Reserve 80 persen di hutan-hutan Amazon dan 20 persen di ekosistem hutan lainnya di Brasil,” sambung Nilo.

Untuk mengakomodasi kebutuhan lobi pedesaan, MP 2166 mendefinisikan Legal Reserve di sabana-sabana (padang rumput tanpa pohon yang sangat luas) di Amazon boleh 35 persen (sebelumnya 50 persen sampai tahun 1996). Sabana terluas terdapat di Mato Grosso, meliputi sekitar 50 persen wilayah itu. Mato Grosso merupakan penghasil kedelai dan produk daging sapi terbesar di Brasil.

”Praktik peternakan sangat tidak produktif,” ujar Penasihat Senior The Nature Conservacy Bidang Kebijakan Konservasi di Kawasan Amerika Selatan Fernanda Viana de Carvalho. ”Di Negara Bagian Para rata-rata 0,9 kawanan ternak per hektar, rata-rata nasional 1,6.”

Sampai hari Rabu (4/11), kongres membatalkan pembahasan usulan perubahan Forest Code itu. ”Untuk sementara, kita merasa lega,” ujar Nilo.

Namun, Mario Manthovani dari SOS Atlantic Forest mengingatkan kemungkinan pembalasan dari kelompok yang menghendaki perubahan Forest Code. ”Di sini, orang bisa dibunuh karena persoalan ini. Pengusiran suku asli dari hutan mereka juga selalu menggunakan kekerasan,” ujar Mario.

Konflik kepentingan

”Pandangan menteri lingkungan tak bisa sejalan dengan menteri-menteri pembangunan (ekonomi),” ujar Osvaldo Stella Martins, Koordinator Peneliti dari Amazon Environmental Research Institute (IPAM), di Brasilia, Kamis (5/11).

Data resmi Lembaga Penelitian Ruang (INPE) pun bisa digunakan secara berbeda. ”Datanya sangat ilmiah, tetapi kebijakan yang dihasilkan bergantung pada kepentingan politik masing-masing,” ujar Jean Pierre Ometto, peneliti INPE.

Tajamnya konflik kepentingan di antara lembaga-lembaga memperlihatkan terkotak-kotaknya pemahaman tentang masalah hutan dan lingkungan. Hal itu terlihat jelas saat berbincang dengan para pejabat bidang komunikasi Departemen Pertanian, Edit Silva; dari Kementerian Pertambangan dan Energi, Fernando Henrique C Teixertrense; dan dari Kementerian Lingkungan, Ronie Lima.

Edit tidak menyangkal bahwa sektor pertanian (dan peternakan) sebagai penyumbang terbesar deforestasi. Akan tetapi, lapangan kerja dan pemenuhan kebutuhan pangan adalah soal serius dan rumit karena tekanan kependudukan. ”Sekitar 25 juta orang hidup dari hutan. Bagaimana mereka harus hidup,” tanya Edit.

”Memang kebutuhan pangan penting,” tukas Ronie. ”Namun, selama pola konsumsi dan produksi tak berubah, semua upaya menahan laju emisi karbon dioksida (CO) dengan mengurangi deforestasi sampai 80 persen tak ada artinya.”

Fernando mengungkapkan, kebutuhan lahan untuk perkebunan tebu, bahan dasar produksi etanol untuk energi bersih. Namun, disadari, hal itu akan berkonflik dengan kebutuhan lahan untuk pangan manusia dan ternak. ”Namun, dengan teknologi baru, produksi tebu bisa efektif di lahan kecil,” ujar Fernando.

Marina vs Dilma

Persoalan lingkungan tampaknya akan menajam dalam pemilu tahun 2010. Menteri Lingkungan Marina Osmarina da Silva yang mundur dari Partai Buruh akan menjadi calon presiden dari Partai Hijau.

Sementara itu, Presiden Luiz Inácio ”Lula” da Silva yang memenangi dua kali pemilu—menurut konstitusi, tak boleh ikut pemilu lagi—memilih Dilma Rousseff, Head of Staff lembaga kepresidenan, sebagai calon penggantinya dari Partai Buruh.

”Dilma bertanggung jawab atas revolusi pembangunan dengan konsep primitif,” ujar Osvaldo. ”Masalah lingkungan selalu ia pandang dalam perspektif ekonomi,” sambung Cláudio Angelo, editor sains harian terbesar di Sao Paulo, Folha de São Paulo.

Namun, perseteruan dua perempuan itu tampaknya tak akan lama. Menurut Gabriela Goes, mahasiswa tingkat akhir Jurusan Politik Universitas Brasilia,

Marina yang didukung kelompok lingkungan dan Dilma yang didukung partai-partai beraliran kiri tengah akan berkoalisi menghadapi lawan yang tangguh, José Serra, yang didukung partai-partai beraliran kanan tengah.

(MARIA HARTININGSIH)

Jumat, 20 November 2009 | 04:50 WIB

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...