Tuesday, February 2, 2010

TEKNOLOGI DIRGANTARA: Vegetasi Papua Terdeteksi Stasiun Lapan

Kehancuran vegetasi hutan Papua makin meluas akibat kegiatan rencana konversi hutan menjadi perkebunan sawit. Padahal, sebelumnya, vegetasi hutan Papua sudah rusak akibat kegiatan pertambangan.

Kondisi kerusakan vegetasi tersebut saat ini dapat dideteksi melalui stasiun bumi Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) yang selesai dibangun dan mulai dioperasikan di Biak, Papua.

”Stasiun bumi Lapan di Biak menambah cakupan citra Satelit Lapan-Tubsat di wilayah Indonesia Timur, bahkan hingga pantai Australia,” kata Kepala Pusat Teknologi Elektronika Dirgantara Lapan Toto Marnanto Kadri, Minggu (24/1) di Jakarta.

Toto mengatakan, pendeteksian vegetasi di Papua menjadi salah satu cakupan citra satelit Lapan-Tubsat, sebuah satelit mikro dengan ukuran bobot di bawah 100 kilogram. Satelit itu dibuat Lapan bekerja sama dengan Universitas Teknik Berlin, Jerman, diluncurkan dengan orbit polar pada ketinggian 635 kilometer di atas permukaan bumi pada Januari 2007.

Satelit membawa dua kamera menghasilkan gambar resolusi 5 kilometer dengan lebar 3,5 kilometer, serta gambar dengan resolusi 200 kilometer dengan lebar 81 kilometer. Saat ini baru terpasang dua stasiun bumi Lapan-Tubsat di Rumpin dan Rancabungur, Bogor, Jawa Barat.

Memantau Suramadu

Citra satelit dari kedua stasiun bumi yang dimiliki sebelumnya masih terpusat untuk wilayah Indonesia bagian tengah. Citra satelit ini pernah dimanfaatkan untuk pemantauan pembangunan Jembatan Suramadu yang menghubungkan Surabaya dan Madura. Saat ini pula masih digunakan untuk pemantauan pembangunan jalan tol di Pulau Jawa bagian utara.

Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Lapan Elly Kuntjahyowati mengatakan, kedua stasiun bumi yang sudah dioperasikan sebelumnya berada di Rumpin dan Rancabungur, Bogor. Keduanya menggunakan teknologi yang langsung dibeli dari Amerika Serikat.

Teknologi stasiun bumi di Biak dibangun dengan mengintegrasikan komponen-komponen yang dibeli sesuai rancangan dan diupayakan mengandung komponen lokal sebanyak-banyaknya. Teknisinya pun dari Lapan.

”Antena di stasiun bumi Biak juga spesial,” kata Elly.

Menurut Elly, antena yang digunakan itu berkemampuan gerak untuk mengubah orientasi secara cepat tatkala satelit muncul dan hilang dari horizon kurang dari 15 menit.

”Pada tahun 2010 akan dibuat pula stasiun bumi Lapan-Tubsat di Kototabang, Sumatera Barat,” kata Elly.

Dengan empat stasiun bumi Lapan-Tubsat, diharapkan citra wilayah dari Aceh hingga Papua akan terdeteksi dengan lebih akurat. (NAW)

LISTRIK KALIMANTAN: Tetap Gelap di Lokasi Dekat Jantung Tambang

Punya sumber energi melimpah, tetapi tidak kebagian energi. Inilah ironi Kalimantan, khususnya Kalimantan Selatan, yang memiliki hamparan gunung-gemunung batu bara dengan jumlah tiada terbilang banyaknya.

Tumpukan padi menggunung di atas altar sesaji saat memasuki ruang tengah Balai Adat Desa Haratai, Kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, Selasa (12/1). Seratusan pasang mata para damang, pemuka masyarakat, dan warga Dayak Meratus yang mengelilingi gunungan padi itu seolah tak berkedip.

Mereka bukan sedang menggelar ritual aruh ganal, yakni syukuran panen padi, tetapi menatap layar di sudut dalam balai. Ini sesuatu yang baru. Layar itu mempertontonkan saat warga membangun pembangkit tenaga listrik mikrohidro (PLTMH) di dekat kampung mereka. Penyediaan listrik bertenaga air dari Hutan Lindung Buntasan inilah yang mereka syukuri.

Ucapan syukur pantas diucapkan karena daerah mereka adalah salah satu desa yang puluhan tahun gelap. Listrik PLN tak menyentuh Haratai. Selama ini, masyarakat menikmati penerangan dari genset atau solar sel bantuan pemerintah. PLTMH yang dinamai Buntasan itu kini menjadi jawaban.

Ironis memang! Pegunungan Meratus yang mengandung jutaan ton sumber energi berupa batu bara tidak bisa menyediakan penerangan bagi masyarakat setempat. Negara lebih memilih membawa batu bara di sana keluar, tanpa memedulikan krisis listrik di Kalsel.

Dinas Pertambangan dan Energi Kalsel mencatat, ada 222 desa yang belum teraliri listrik di daerah ini. Warga yang dibekap gelap ini hanya bisa menyaksikan cahaya benderang dari lubang-lubang tambang yang terus dikeruk selama 24 jam.

”Sebelum ada listrik mikrohidro, kami memakai solar sel. Itu pun hanya malam hari dengan satu lampu neon karena kapasitasnya kurang dari 100 watt,” ujar Sumartono, warga Haratai. Ketiadaan listrik juga dirasakan warga desa lain. Udin Samprong, Kepala Desa
Kamawakan, mengungkapkan, sebagian warganya terpaksa memakai genset untuk penerangan. Akibatnya, harga bahan bakar, seperti premium, melambung. Di tingkat eceran mencapai 8.000 per liter, normalnya
Rp 4.500 per liter.

”Itu pun gensetnya tidak bisa hidup semalaman karena penghasilan warga terbatas. Biasanya nyala lima jam,” kata Udin.

Pegunungan Meratus mencakup sembilan dari 13 kabupaten/kota di Kalsel dengan luas mencapai 1,6 juta hektar. Hutan alam yang masih bertahan kurang dari 500.000 hektar.

Kini, pegunungan yang berada pada ketinggian 100 hingga 2.000 meter di atas permukaan laut itu justru menjadi ajang terbesar penambangan batu bara dan bijih besi. Hanya dua di antara sembilan kabupaten di Kalsel yang belum mengeluarkan izin kuasa pertambangan, yakni Kabupaten Hulu Sungai Selatan dan Hulu Sungai Tengah

Sudah ratusan izin penambangan yang dikeluarkan untuk mendapatkan emas hitam itu di sana. Tidak heran bila sebagian kawasan pegunungan rusak.

Jantung ekologi

Warga Kecamatan Loksado hanyalah sedikit di antara daerah di Kalsel yang jelas-jelas menolak penambangan batu bara dan bijih besi. Mereka lebih peduli menyelamatkan hutan.

Tidak mengherankan jika Laksado menjadi andalan Kalsel, utamanya sebagai daerah incaran para wisatawan, termasuk dari mancanegara. Di sini, mereka bisa menjelajah hutan hujan tropis, hidup bersama masyarakat Dayak Meratus, dan menikmati bamboo rafting.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Selatan Hegar Wahyu Hidayat menilai Loksado jantung ekologi Pegunungan Meratus, yang kelestariannya sampai saat ini masih terjaga. Salah satu potensi yang menghidupinya adalah keberadaan sungai-sungai. Di Haratai, misalnya, air dari empat sungai dari Gunung Kayuan dialirkan ke rumah generator guna memutar turbin. Hasilnya, daya listrik mikrohidro itu mencapai 17.000 watt.

Kini setidaknya 120 keluarga telah menikmati listrik tersebut, dengan daya masing-masing 350 watt per rumah. Pembangkit serupa berkekuatan dua kali lipat lebih besar dari PLTMH Buntasan juga dibangun pemerintah, tetapi tidak berjalan karena masih dalam perbaikan.

Jika dua PLTMH ini berjalan baik, Haratai tentu mendapat pasokan listrik cukup besar untuk mengembangkan berbagai kegiatan ekonomi setempat. ”Di Loksado ada 48 permukiman komunitas adat Dayak. Lebih dari separuhnya belum berlistrik,” kata DP Jatmiko, Direktur Yayasan Cakrawala Hijau Indonesia.

Gubernur Kalsel Rudy Ariffin mengakui, untuk memenuhi kebutuhan listrik di daerah pedalaman yang memiliki aliran sungai cukup banyak, penyediaan listrik mikrohidro seperti di Haratai merupakan solusi tepat. Jika saja pengakuan ini ditindaklanjuti dengan penyediaan listrik mikrohidro lebih banyak lagi, tidak menutup kemungkinan ratusan desa di Kalsel akan menjadi terang. Selain bisa memacu kemandirian dalam penyediaan listrik, hutan dan lingkungannya pun akan terjaga.

Keadaan serupa, tetapi tak sama, dialami Desa Mukti Jaya dan Rantau Makmur di Kecamatan Rantau Pulung, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Karena listrik dari PLN belum tersedia, sejak dua tahun terakhir mereka menikmati listrik dari pengusaha setempat yang menyediakan mesin pembangkit berbahan bakar solar.

Meski tidak semurah mendapat listrik mikrohidro, warga tetap bersedia merogoh kocek cukup dalam, yakni Rp 200.000 per bulan, untuk penerangan sejak petang hingga subuh. ”Bagi yang ingin pakai listrik siang hari, warga beli genset dengan biaya tambahan,” kata Poniso Suryo, Camat Rantau Pulau.

Sebanyak 2.000 warga di kedua desa itu tentu lebih beruntung karena lima desa transmigran lainnya dengan penduduk mencapai 5.500 jiwa, sejak ditempatkan tahun 1994, hingga kini belum menikmati listrik. Mereka terpaksa beli genset seharga Rp 3 juta dengan kemampuan 13 daya kuda. Lima desa itu bagian dari 100 desa di Kutai Timur yang masih gelap.

Padahal, sebagian desa berada di sekitar areal tambang PT Kaltim Prima Coal (KPC), yang memiliki pasokan listrik 19 megawatt untuk memproduksi 35 juta ton batu bara per tahun. Namun, cahaya dari tambang itu mereka nikmati hanya lewat tatapan mata dari kampung mereka yang didekap gelap.

Mereka memang berada di jantung tambang, tetapi tidak menikmati listrik hasil eksplorasi sumber daya alam di sekitar tempat mereka bermukim.

(Ambrosius Harto Manumoyoso/A Handoko)

Selasa, 26 Januari 2010 | 03:08 WIB

Oleh Defri Werdiono dan M Syaifullah

Menhut Ancam Mencabut Izin Tambang di Kalimantan

Tim Pengawas Pemerintah Langsung ke Lokasi
Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan menegaskan, dalam waktu satu hingga dua minggu ke depan, paling lambat satu bulan, ia akan mendatangi penambang yang tidak melakukan reklamasi lahan bekas tambang mereka. Ket.foto: Danau bekas penggalian tambang batu bara di RT 25 Kelurahan Sempaja Selatan, Kecamatan Samarinda Utara, Kota Samarinda, Kalimantan Timur, Selasa (12/1). Keberadaan danau tambang itu mengakibatkan permukiman warga lebih sering kebanjiran.

”Lihat saja di Bangka Belitung, di Kalimantan, di Papua, banyak sekali hutan yang rusak oleh mereka. Jika mereka tidak melakukan reklamasi, izin tambang mereka akan kami cabut,” ujar Zulkifli seusai meresmikan Taman Wisata Alam Angke Kapuk di Jakarta, Senin (25/1), menjawab pertanyaan pers tentang kerusakan lingkungan yang diakibatkan eksploitasi lahan tambang oleh pengusaha pertambangan batu bara di Kalimantan (Kompas, 25/1).

Zulkifli yang belum genap 100 hari menjabat menteri kehutanan (menhut) mengatakan, ada 169 pemegang izin tambang yang ditengarai nakal. Mereka menambang hingga ke wilayah hutan konservasi dan hutan lindung. ”Kami tidak main-main (mengenai) masalah ini. Setiap provinsi harus memiliki wilayah hutan seluas 30 persen. Jika wilayah hutan ini mereka rusak, maka mereka akan berhadapan dengan hukum,” kata Zulkifli.

Menyangkut sinyalemen bahwa kerusakan lingkungan di kawasan pertambangan dipicu oleh tumpang tindih perizinan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan dan pemerintah daerah setempat, Kepala Pusat Informasi Kehutanan Kementerian Kehutanan Masyhud MM, kemarin, menjelaskan tiga hal. Pertama, Menteri Kehutanan sesuai dengan ketentuan tidak pernah menerbitkan izin pinjam pakai kawasan hutan pada kawasan hutan konservasi. Kedua, izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan diberikan sepanjang memenuhi ketentuan yang berlaku. ”Dengan demikian, tidak setiap kuasa pertambangan yang diterbitkan oleh bupati akan memperoleh izin pinjam pakai. Ketiga, kegiatan pertambangan yang berada di luar kawasan hutan bukan kewenangan Menteri Kehutanan,” kata Masyhud.

Tim pengawas

Pada hari yang sama, Senin kemarin, Deputi Menteri Lingkungan Hidup Bidang Tata Lingkungan Hermien Rosita di Jakarta menyatakan, tim pengawas dari Kementerian Lingkungan Hidup, Senin, langsung dikirim ke wilayah Kalimantan Selatan (Kalsel) untuk menyelesaikan masalah kerusakan lahan akibat kegiatan tambang batu bara. Meskipun sebagian besar perizinan kuasa penambangan diberikan pemerintah daerah (pemda), pemerintah pusat tetap berhak memberikan sanksi.

Selain tim pengawas dari pemerintah pusat, menurut Hermien, tim pengawas regional juga diturunkan untuk klarifikasi persoalan kerusakan lingkungan akibat tambang di wilayah Kalimantan Timur (Kaltim).

Hermien mengatakan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Pasal 77, Menteri Lingkungan Hidup dapat menjatuhkan sanksi administratif jika pemda secara sengaja tidak menerapkan sanksi bagi pelanggaran serius di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan.

Tidak mau mereklamasi

Operasi penambangan batu bara di Kalsel dan Kaltim kini meninggalkan lubang-lubang raksasa. Lubang-lubang itu tak hanya ditinggalkan oleh para penambang yang memiliki izin kuasa pertambangan, tetapi juga perusahaan pemegang perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B).

Data yang dihimpun Kompas dari Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Kalsel menyebutkan, kegiatan reklamasi tambang di Kalsel hingga Oktober 2009 mencapai 3.132 hektar (ha) dari 20.000 ha areal bukaan tambang. Reklamasi itu dilakukan 16 perusahaan pemegang PKP2B. Artinya, masih ada 16.868 ha yang belum direklamasi.

Kepala BLHD Kalsel Rachmadi Kurdi, pekan lalu, mengungkapkan, ada dua perusahaan pemegangan izin PKP2B yang menyatakan tidak sanggup menutup sejumlah lubang tambang. Keduanya adalah PT Adaro Indonesia dan PT Arutmin Indonesia.

”Kami tetap menahan pemberian amdal (analisis mengenai dampak lingkungan) untuk peningkatan produksi batu bara perusahaan bersangkutan apabila tidak ada upaya yang serius untuk menutup lubang-lubang tambang tersebut. Kami sudah minta perusahaan-perusahaan mengurangi jumlah lubang yang ditinggalkan,” kata Rachmadi.

Zainuddin Jr Lubis, anggota staf humas PT Arutmin Indonesia, yang dihubungi secara terpisah, mengatakan, dirinya belum mendapat penjelasan dari pimpinan terkait dengan tidak bisa direklamasinya 17 lubang tambang itu. Namun, pihak Arutmin sebagai mitra pemerintah tetap akan memerhatikan arahan dari BLHD Kalsel untuk menangani lubang-lubang itu.

Tidak lapor

Khusus menyangkut pemegang izin kuasa pertambangan, Rachmadi mengakui, BLHD Kalsel kesulitan mendapatkan data pasti berapa besar tambang yang ditinggal. Hal ini terjadi karena pemerintah kabupaten yang mengeluarkan izin tersebut tidak melaporkannya ke provinsi. Di satu sisi, jumlah tenaga pengawasan terhadap kegiatan tambang di daerah terbatas.

Alasan yang sama juga dikemukakan Kepala Bidang Pertambangan Umum pada Dinas Pertambangan Kaltim Frediansyah. Ia menjelaskan, pihaknya belum memiliki laporan data bekas tambang yang belum dan yang sudah direklamasi.

Sambudi, pengusaha batu bara di Kutai Kartanegara, Kaltim, menyatakan, pihaknya kini tidak memberikan dana jaminan reklamasi dalam kegiatan penambangan kepada pemda. Namun, perusahaannya tetap wajib mereklamasi lubang tambang yang telah selesai digali.

Pejabat Pelaksana Bupati Kutai Kartanegara Sulaiman Gafur mengatakan, para pemilik izin kuasa pertambangan yang melakukan kegiatan dari tahap eksplorasi ke eksploitasi, wajib menyerahkan dana jaminan reklamasi yang langsung disetorkan ke kas negara. ”Setahu saya, paling kecil jaminan reklamasi tersebut mencapai Rp 500 juta,” katanya.

Di Kalimantan, izin kuasa pertambangan yang dikeluarkan para bupati mencapai 2.047 buah. Kalsel memiliki 400-578 buah atau menempati urutan kedua setelah Kaltim yang memiliki 1.180 kuasa pertambangan. Produksi batu bara per tahun di Kalsel 80-100 juta ton dan Kaltim 100,91 juta ton (Kompas, Senin, 25/1).

Sejumlah lembaga swadaya masyarakat bidang lingkungan, baik di Kalsel maupun di Kaltim, membenarkan keengganan perusahaan mereklamasi tambang karena pengawasan yang minim.(bro/ful/why/wer/naw/ har/ong/hrd/ARN/AHA)

Penambangan di Kalimantan Memprihatinkan: Kawasan Konservasi Pun Dikeruk

Praktik penambangan batu bara di Kalimantan saat ini sudah sangat memprihatinkan. Tak hanya hutan produksi yang habis digarap secara membabi buta, tetapi juga kawasan konservasi dan lahan pertanian masyarakat.

Pantauan Kompas selama sepekan terakhir di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan menunjukkan, penambangan di kedua provinsi itu semrawut dan tidak terkontrol. Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Soeharto di Kaltim dan Hutan Lindung Pegunungan Meratus di Kalsel, yang mestinya dilindungi, pun tak luput dari operasi penambangan batu bara.

Di Tahura, lahan yang digarap penambang justru yang masuk kawasan hutan Pusat Penelitian Hutan Tropis Universitas Mulawarman (PPHT Unmul), Samarinda, seluas 40 hektar. Pengelola PPHT mengatakan, pihaknya tak berdaya karena izin penambangan dikeluarkan Kementerian Kehutanan, dengan alasan sebelum Menteri Kehutanan menetapkan batas Tahura dengan Surat Keputusan Nomor 577 Tahun 2009, lokasi itu berada di luar kawasan hutan konservasi tersebut.

Yang lebih menyedihkan, lanjut Chandradewana Boer, Direktur PPHT Unmul, lahan Unmul lainnya seluas 51.000 hektar, yang dirancang untuk pembangunan Kompleks Laboratorium Rumah Kaca di Telukdalam, Kecamatan Tenggarong Seberang, Kabupaten Kutai Kartanegara, pun tak lepas dari ketamakan penambang. Pelakunya, kontraktor yang dipercaya untuk membangun proyek tersebut dan tak memiliki kuasa pertambangan.

”Kami memercayakan proyek itu kepada dua kontraktor. Ternyata, ketika mereka mengetahui kandungan batu bara di lahan itu cukup banyak dan bagus, mereka menggarap tambangnya lebih dulu,” kata Boer, Sabtu (23/1).

Pengamat ekonomi lingkungan dari Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Udiansyah, mengungkapkan, kondisi Hutan Lindung Pegunungan Meratus lebih mengkhawatirkan lagi. Di hutan lindung tersebut tak cuma ada banyak pemilik kuasa pertambangan, tetapi juga bertebaran lubang besar yang batu baranya sudah habis dikeruk.

”Di kawasan tersebut terdapat 299 kuasa pertambangan. Artinya, ada 299 pihak yang diberi izin menambang batu bara di Hutan Lindung Pegunungan Meratus. Ironisnya, hanya beberapa kuasa pertambangan saja yang meminta izin pinjam pakai kawasan hutan dari Menteri Kehutanan,” kata Udiansyah.

Izin lainnya, lanjut Udiansyah, dikeluarkan bupati setempat karena yang bersangkutan tidak tahu bahwa lokasi yang diizinkan untuk ditambang itu berada di kawasan hutan lindung.

Menurut catatan Kompas, selama enam tahun terakhir (sampai 2009), di empat provinsi di Kalimantan saat ini ada 2.047 kuasa pertambangan. Kaltim berada di peringkat pertama yang mengeluarkan kuasa pertambangan, yakni 1.180 kuasa pertambangan, disusul Kalsel (400- 578), Kalimantan Tengah (427), dan Kalimantan Barat (40).

Jika luas wilayah satu kuasa pertambangan sekitar 2.000 hektar, lahan yang sudah dikapling untuk pertambangan itu berarti mencapai 4,09 juta hektar, lebih luas dari daratan Provinsi Kalsel yang 3,75 hektar.

Tentang banyaknya kuasa pertambangan di Kaltim, Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak mengatakan, pihaknya tak bisa berbuat banyak mengingat Menteri Kehutanan dan kepala daerah tingkat dua (bupati/wali kota) memiliki kewenangan mengeluarkan kuasa pertambangan.

Pernyataan Awang setidaknya diperkuat oleh fakta penambangan batu bara di Samarinda. Saat ini sekitar 70 persen luas wilayah kota itu (71.823 hektar) habis dikapling sebagai kawasan pertambangan. Sebagian sudah jadi kolam raksasa yang ditinggalkan pengeruknya. Jika hujan turun, air pun memenuhi kolam tersebut, bahkan melimpah dan menggenangi permukiman.

Warga di Sempaja Selatan, Kecamatan Samarinda Utara, Samarinda, merupakan salah satu korban pertambangan tak bertanggung jawab itu. ”Kami sudah sangat terganggu dengan penambangan batu bara di sekitar ini. Permukiman kami

hanya sekitar 25 meter dari lubang bekas tambang. Akibat lubang itu, perumahan kami sering diterjang banjir,” kata Karnain, Ketua RT 25, Kelurahan Sempaja Selatan.

Petani Desa Separi dan Bangunrejo, di Kecamatan Tenggarong Seberang, Kutai Kartanegara, pun mengaku pertanian mereka terganggu oleh aktivitas pertambangan. ”Kami sering gagal panen karena air limbah tambang (batu bara) masuk ke sawah kami. Karena itu, tidak sedikit petani di sini yang akhirnya menjual sawah mereka ke pemegang kuasa pertambangan. Tapi, harga jualnya lumayan tinggi,” papar beberapa petani Desa Separi yang ditemui Kompas pekan lalu.

Mereka juga mengatakan, tak sedikit lahan sawah yang dibeli pemegang kuasa pertambangan itu kini sudah berubah jadi kawasan pertambangan batu bara.

Di Kalsel, selain Hutan Lindung Pegunungan Meratus, kerusakan parah akibat penambangan batu bara ditemukan di sejumlah desa. Sebagian jalan di beberapa desa, misalnya, hilang ”tertelan” kawasan tambang. Bahkan, ada jalan yang sudah diaspal terpotong akibat jalan itu digarap pemegang kuasa pertambangan (dijadikan lahan galian tambang).

Warga yang tinggal di Kecamatan Lok Paikat (antara Desa Parandakan menuju ke Miawa) dan Kecamatan Siani, Kabupaten Tapin, merupakan contoh korban ”jalan hilang”. Kini mereka tak lagi bebas berlalu lalang di jalan desa akibat sebagian jalan terkait sudah masuk kawasan tambang.

Di jalan-jalan seperti itu warga selain harus berhati-hati terhadap kendaraan proyek yang lewat, tak jarang pula mereka mesti minta izin untuk lewat. Hal serupa terjadi di Kecamatan Pengaron dan Sungai Pinang di Kabupaten Banjar.

Suria Dharma dari Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Unmul, mengatakan, selain lingkungan rusak, pertambangan terbuka (open pit) seperti yang banyak ditemukan di Kaltim, juga mengubah fungsi kawasan. ”Pembabatan hutan memusnahkan 7-12 ton karbon organik setiap tahun. Karbon itu amat diperlukan mikroorganisme untuk keberlangsungan suatu ekosistem,” katanya mengingatkan.

Pernyataan senada dikemukakan Udiansyah. Menurut dia, penambangan batu bara yang berlangsung selama ini tak banyak memajukan daerah. ”Dari nilai produksi batu bara Kalsel yang mencapai 22 triliun (untuk produksi 80-100 ton per tahun), yang menjadi pendapatan asli daerah tidak mencapai Rp 1 triliun,” ujarnya.

Meski demikian, kalangan pengusaha tetap berpendapat bahwa yang mereka kerjakan memberi efek positif. ”Tambang menyerap tenaga kerja dan menggerakkan ekonomi warga, seperti munculnya warung dan jasa sewa tempat tinggal,” kata Maskur Achmad, Manajer Proyek PT Satria Bahana Sarana, kontraktor pertambangan batu bara di Kecamatan Sangasanga, Kabupaten Kutai Kartanegara. (BRO/AHA/WER/FUL)

Senin, 25 Januari 2010 | 03:59 WIB

Samarinda, Kompas - http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/01/25/03590432/penambangan.memprihatinkan

Penambangan di Kalimantan: Kami Tak Sanggup Menghentikan Kerakusan Ini

Rakus. Begitu kesan pertama saat melihat sebagian hutan pendidikan dan penelitian milik Universitas Mulawarman, Samarinda, di kawasan Taman Hutan Rakyat Bukit Soeharto, digerogoti.

Pihak kampus tak bisa berbuat banyak, bahkan ketika hutan yang terletak di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, tersebut ditambang secara liar oleh berbagai kalangan. ”Kami tidak mampu menghentikan kerakusan ini. Kewenangan kami cuma memakai hutan ini untuk kepentingan pendidikan dan penelitian, tidak lain dari itu,” kata Direktur Pusat Penelitian Hutan Tropis Universitas Mulawarman (PPHT Unmul) Chandradewana Boer.

Tanggal 14 Januari lalu, Boer menunjukkan seluk-beluk hutan di wilayahnya, termasuk melihat seberapa parah penambangan yang telah berlangsung saat ini. Benar saja, hati tersayat melihatnya.

Betapa tidak. Hutan seluas lebih dari 40 kali lapangan sepak bola atau sekitar 40 hektar dari 20.271 hektar hutan yang dikelola Unmul itu sedang dihancurkan. Permukaan tanah dikupas dan materialnya dipindah-pindah. Perut bumi diacak-acak dan dibongkar agar batu bara bisa diambil dan dijual.

Pertambangan masih berlangsung, tetapi sudah menyisakan lubang galian (pit) yang amat lebar dan sangat dalam, mencapai 150 meter. Dasar dan dinding pit itu hitam sebagai bukti bahwa hutan Unmul itu mengandung batu bara yang melimpah. Buldoser, eskavator, traktor, truk, dan mobil gardan ganda berseliweran di jaringan jalan dalam pit, seperti berlomba.

Kegiatan seperti itu bukan hanya di lahan Unmul saja. Di sekeliling Tahura Bukit Soeharto beroperasi 19 perusahaan pemilik kuasa pertambangan dengan izin dari Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara. Yang ironis, 12 kuasa pertambangan di antaranya mengelola lahan konsesi yang ternyata tumpang tindih, seluas 1.156 hektar, dengan hutan Unmul.

Meskipun ditunjuk sebagai pengelola oleh Kementerian Kehutanan, Unmul tidak mampu menghentikan pertambangan. Yang mengenaskan, operasi tambang batu bara itu ternyata legal akibat adanya tiga Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan yang saling berbeda mengenai koordinat tata batas Tahura Bukit Soeharto. Padahal, SK-SK itu menjadi dasar bagi Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara untuk meminta rekomendasi Kementerian Kehutanan guna penerbitan kuasa pertambangan.

Dalam konteks itu, SK terbaru bernomor 577 Tahun 2009 membatalkan SK 270/1991 dan SK 419/2004. Namun, kuasa-kuasa pertambangan yang telanjur keluar berdasarkan dua SK terdahulu tetap berlaku sampai izinnya habis.

Untuk mencapai pelabuhan harus melalui jalan-jalan dalam hutan ini. Boer dan kami pun harus ditanyai ini-itu oleh satuan pengamanan perusahaan tambang batu bara untuk masuk ke kawasan Unmul tersebut. Tuan rumah ternyata tidak leluasa menyusuri hutan milik mereka.

Di hutan Unmul bahkan juga ada ladang, permukiman, menara telekomunikasi, dan instalasi listrik. Kerusakan bertahun-tahun akibat pembalakan, perambahan, dan pertambangan mengakibatkan tidak lebih dari 6.000 hektar hutan Unmul yang masih berkondisi baik meskipun tidak terlalu lebat.

Tidak ada lagi hutan perawan karena Tahura Bukit Soeharto pernah terbakar hebat. Hutan berkondisi baik yang tersisa adalah generasi kedua yang masih selamat dari ancaman penghancuran. ”Kami berharap diberi kewenangan mengelola hutan secara mandiri, meski tidak luas, cukup yang 6.000 hektar yang masih bagus ini,” tambah Boer.

Kerakusan perlahan juga memangsa bumi Samarinda. Tidak hanya dirasakan kampus yang notabene memiliki kepentingan penelitian, yang memiliki kepentingan jauh ke depan, batu bara juga meresahkan warga. Warga di RT 25 Kelurahan Sempaja Selatan, Kecamatan Samarinda Utara, Samarinda, contohnya.

Saat ini, permukiman RT 25 yang berjarak sekitar 25 meter dari bekas pertambangan batu bara sering kebanjiran akibat tiga danau bekas galian (pit) tidak direklamasi. Setiap sehabis hujan, air tiga danau yang bercampur lumpur dari erosi tanah bekas tambang meluap ke permukiman warga.

Masih di Kecamatan Samarinda Utara, tambang batu bara sudah tiga tahun ini menyusahkan warga RT 28 Kelurahan Tanahmerah. Sebelum ada tambang, warga memanfaatkan Sungai Rimbawan di belakang permukiman untuk mandi dan mencuci. Warga kadang berani mengonsumsi air sungai itu.

Namun, setelah ada tambang, sungai mendangkal akibat endapan lumpur dan pasir yang tebal dan hampir setinggi permukaan jalan. Air sungai masih ada, tetapi sangat sedikit. ”Kalau air dipakai mandi bisa membuat badan gatal-gatal. Air tidak bisa dipakai minum lagi sehingga kami harus membeli air isi ulang,” kata warga RT 28, Dominicus.

Pemerintah Kota Samarinda telah menerbitkan 76 kuasa pertambangan pada lahan konsesi 50.808 hektar atau 71 persen dari luas Kota Tepian yang 71.823 hektar. Sebanyak 55 kuasa pertambangan di antaranya sudah berproduksi pada lahan konsesi 38.814 hektar atau lebih dari separuh luas Samarinda. Kuasa-kuasa pertambangan itu ada di sekeliling bahkan di segala penjuru dalam kota.

Padahal, dari batu bara, Samarinda cuma mendapat pendapatan asli daerah Rp 399 juta atau 4 persen dari total PAD tahunan yang Rp 112 miliar.

Suria Dharma dari Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Unmul mengatakan, Samarinda kian rentan kebanjiran karena dikepung tambang. ”Reklamasi memang mahal, tetapi dampak bencana bagi masyarakat sebenarnya jauh lebih mahal sebab menyangkut kerugian material dan sosial,” katanya. (wer/ful)

Senin, 25 Januari 2010 | 03:59 WIB

Oleh Ambrosius Harto Manumoyoso dan A Handoko

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...