Tuesday, February 9, 2010

Orang Asing dalam Properti Kita

Berita tentang kemungkinan diizinkannya orang asing memiliki properti di Indonesia menimbulkan harapan baru di kalangan pengusaha. Sepanjang tahun 2008-2009 masih ada pemilik properti yang terimbas krisis. Namun, kalau dibuka, menurut Menteri Perumahan Rakyat Suharso Monoarfa, akan masuk investasi asing sebesar 3 miliar-6 miliar dollar AS per tahun.

Namun, benarkah properti menarik untuk asing dan benarkah rencana ini menarik bagi pelaku usaha di sini.

Pembeli asing dalam industri properti kita sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru. Di daerah Karawang dan Bekasi, Jawa Barat, banyak orang India dan Korea tinggal di sejumlah kawasan itu. Mereka mengatakan sebagai pemilik rumah. Namun, kalau hal itu ditanyakan kepada pengembang, didapat jawaban bahwa orang-orang asing yang sudah tinggal 10 tahun lebih itu membeli properti tersebut atas nama perusahaannya.

Di Bali juga banyak properti dibangun oleh orang-orang Italia, Perancis, Australia, dan Brasil. Hanya, tanah dan bangunan itu diatasnamakan orang-orang tertentu. Hal yang sama kita temui di Batam dan Bintan, banyak properti di sana dimiliki oleh orang-orang Singapura dan Hongkong.

Di Kepulauan Mentawai yang ombaknya bagus untuk selancar, turis-turis asing tinggal di atas kapal. Tentu saja bukan karena lebih nyaman, melainkan karena tidak mudah membangun atau memiliki properti yang memadai bagi turis-turis yang rutin berada di sana.

Kalau hal ini dibiarkan, tentu saja negara kehilangan kesempatan memperoleh penghasilan dari pajak karena begitu banyak peluang yang terlewatkan dan luput dari perhatian.

Terbiasa membuat peraturan

Bahwa asing tidak dilarang memiliki properti, hal itu sebenarnya sudah diketahui. Namun, kita memang terbiasa membuat peraturan yang menghambat daripada membuka.

Dalam ketentuan yang lama disebutkan, orang asing yang diperkenankan membeli properti adalah mereka ”yang berkedudukan di Indonesia”. Kalimat ”yang berkedudukan di Indonesia” ini begitu ditelusuri ternyata lebih banyak menyatakan ”no” daripada ”yes”.

Mengapa tidak dipendekkan saja menjadi ”Orang yang diperkenankan membeli properti”, titik?

Selain itu, hak pakai yang diberikan terbatas hanya 25 tahun. Bagi pembeli yang melihat properti sebagai instrumen investasi, ketentuan itu tentu kurang menarik jika dibandingkan dengan ketentuan yang berlaku di negara-negara di kawasan yang sama.

Di Malaysia dan Singapura, mereka bisa diberikan hingga 99 tahun, bahkan ada yang diberikan hak selama 900 tahun.

Selain itu, di negara-negara yang menghendaki datangnya investasi asing itu, kebijakan properti sejalan dengan kebijakan lainnya, seperti keimigrasian, izin usaha, keamanan, ketentuan pencegahan pencucian uang, serta perbankan dan keuangan.

Orang-orang yang melakukan investasi biasanya memerlukan izin tinggal, status kewarganegaraan, dan seterusnya. Di sini, wacana seperti itu masih belum seragam.

”Debottlenecking mindset”

Ada banyak alasan yang perlu diperhatikan mengapa orang asing mau membeli properti di suatu negara. Selain karena kebutuhan akan tempat tinggal, misalnya untuk menyekolahkan anak, mengurus kesehatan atau berobat, penempatan bekerja, atau pedagang, juga untuk kebutuhan investasi.

Banyak pedagang asing yang sering bolak-balik membawa produk-produk buatan Indonesia ke luar negeri memilih mempunyai rumah sendiri di sini dengan cara-cara ilegal daripada harus tinggal di hotel.

Namun, di lain pihak, properti Indonesia sebenarnya juga menarik bagi investor di kawasan ASEAN. Harga properti Indonesia di jalan-jalan utama dengan kualitas setara rata-rata masih berkisar 20 persen dari harga yang berlaku di Singapura.

Sebagai perbandingan, harga properti bintang lima di Singapura sudah mencapai Rp 150 juta per meter persegi. Di sini, dengan kelas yang sama, maksimal hanya Rp 30 juta per meter persegi. Selain itu, kenaikan harga properti sungguh menarik. Jadi, sebenarnya potensinya ada.

Bagi kaum pensiunan Jepang, biaya hidup yang tinggi di negaranya juga telah mendorong mereka mencari lokasi tempat tinggal di negeri lain. Indonesia termasuk tempat yang mereka minati, tetapi mereka selalu gagal mendapatkannya sehingga memilih Filipina dan Thailand.

Pengalaman-pengalaman yang ada menunjukkan masih banyak debottlenecking mindset yang harus diselesaikan untuk mengawal peraturan pemerintah baru, yang memungkinkan masuknya investasi-investasi baru di sektor properti.

Debottlenecking mindset itu ada pada sejumlah sektor di pemerintahan, parlementer, yaitu DPR dan DPRD, Kamar Dagang dan Industri (Kadin), pengusaha, serta kalangan masyarakat. Pertama, ketentuan baru itu harus cukup menarik bagi investor. Hak pakai tidak perlu diberi embel-embel lain yang terkesan mengada-ada, misalnya disebutkan ”dapat diperpajang dua kali masing-masing 20 tahun” setelah sekian tahun.

Kedua, debottlenecking mindset pada departemen-departemen terkait, seperti keimigrasian, ketenagakerjaan, serta keuangan dan perbankan.

Ketiga, debottlenecking mental blok. Debottlenecking ini menyangkut ketakutan-ketakutan atau nasionalisme yang berlebihan, yang mengakibatkan selalu berpikir bagaimana caranya menahan daripada mendorong, misalnya saja beredar gagasan agar asing dibatasi boleh membeli properti di atas Rp 1,5 miliar, dan hanya boleh membeli rumah baru.

Mindset yang terakhir beredar di tengah kekhawatiran bahwa kebutuhan masyarakat untuk memiliki rumah masih tinggi, yaitu 800.000 unit. Sementara itu, data dari Panangian Simanungkalit and Associates menunjukkan, jumlah rumah baru yang dibangun baru mencapai 257.365 unit pada 2010.

Kita perlu memahami bahwa pasar properti tidak hanya ditentukan oleh ”kebutuhan” atau keinginan membeli saja, tetapi juga pada kesiapan membeli atau daya beli.

Daripada mempersoalkan hal-hal yang sudah ada mekanisme pasarnya sendiri, mengapa kita tidak membatasi pada hal-hal strategis saja, seperti larangan membeli properti di daerah-daerah strategis, perbatasan, atau wilayah yang dapat merusak kekayaan alam?

Penulis: Rhenald Kasali Guru Besar ManajemenUniversitas Indonesia
Senin, 8 Februari 2010 | 02:30 WIB
Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/08/02301271/orang.asing.dalam.properti.kita

Dunia Internet Kita

Berbeda dengan bayangan pemerintah dan mungkin media, Internet Indonesia banyak di dorong oleh dunia usaha dan content lokal berbasis masyarakat.

Ini karena murahnya akses RT/RW-net dan broadband unlimited yang tidak sampai Rp 200.000 per bulan, bahkan akses di bawah Rp 5.000 per hari melalui seluler! Statistik di Bekas.com menunjukkan, akses warnet tinggal 21 persen, sebagian besar (42 persen) dari rumah (termasuk telepon seluler), 33 persen kantor, dan 4 persen hotspot.

Hampir semua provider dan operator telekomunikasi mengakui bahwa 40-60 persen trafik internet didominasi oleh Facebook! Memang bandwidth Youtube mendominasi, terutama di Speedy, tetapi di seluler dan lainnya hampir semua di dominasi Facebook.

Data Checkfacebook.com menunjukkan, Indonesia peringkat ke-7 di dunia dengan 12 juta pengguna. Bahkan, Indonesia merupakan negara yang paling banyak menambah pengguna Facebook di dunia dengan lebih dari 700.000 pengguna per minggu! Hal ini di konfirmasi Alexa (www.alexa.com) yang memeringkat Facebook sebagai situs nomor satu di Indonesia.

Tidak heran, Gramedia banyak memajang buku kiat berkiprah di Facebook. Jika kita telaah statistik Alexa, Facebook, blogger.com, wordpress.com, dan kaskus.us merupakan situs yang banyak di akses Indonesia. Ini menjadi menarik karena semua situs tersebut, termasuk Facebook, hanya wadah. Semua isi situs di-generate oleh pengguna internet, bukan pengelola situs. Bahkan, kaskus.us hanya forum diskusi elektronik. Baru sesudah kaskus.us bermunculan situs seperti detik.com, kompas.com, dan okezone.com di Alexa.

Istilah kerennya user generated content ternyata menarik/marak. Pengguna di Indonesia tampaknya suka pada berita/content dari pengguna lain, bukan content yang ”resmi” dan profesional. Hal ini secara tidak langsung menjadi ”ancaman” bagi situs berita, content provider.

Juga ancaman bagi berbagai inisiatif top down untuk membuat content lokal yang banyak menjadi proyek di APBN. Merangkul komunitas sebagai bagian dari produsen informasi menjadi sangat penting dan strategis. Yang tidak kalah menarik, situs jejaring sosial/forum ataupun blog ternyata tidak hanya digunakan untuk sharing pengetahuan dan silaturahim.

Menguntungkan

Mengais rezeki di internet menjadi bagian yang tak bisa dipisahkan dari komunitas informasi. Situs Facebook, kaskus.us, dan bekas.com menjadi alter- natif wadah mengais rezeki di internet. Caranya pun mudah dan gratis. Kita dapat aktif berdiskusi, menawarkan solusi, menempelkan produk di dinding atau catatan di Facebook, atau dengan sedikit uang memuat iklan baris di situs seperti bekas. com.

Dengan 12 juta pengguna Facebook Indonesia, transaksi di Facebook menguntungkan. Nama Facebook yang digunakan eksplisit memperlihatkan usahanya, seperti Tripti Batik, the Bou- tique, teabag butik, Karina Jualan Sepatu, Jual Mobil Bekas, Jual- beli Sepeda, House of Nayza-Butik Kaus Muslimah, Butik Anakku, Sepatu Lukis, sepedaku. com. Adanya grup dan fans profile Facebook seperti motifbatik (1 juta fans), Aku Cinta Batik Indonesia (40.000 fans), Fotografer.net (17.000 fans) menjadi ajang pertemuan dan silaturahim komunitas. Penghasilan internet sebagai tambahan sangat lumayan. Pengalaman Lina, seorang ibu rumah tangga di Pekalongan, yang aktif di Facebook, dari rumah dapat menjual batik Pekalongan dengan keuntungan Rp 1-2 juta per bulan.

Biaya akses internet tertutup, putra-putri tetap terawasi tanpa perlu lelah kerja di kantor. Tren ini tampaknya menjadi solusi para ibu untuk berusaha di rumah, salah satu komunitas yang besar adalah http://komunitas.bundainbiz.com yang dimotori Ibu Nadia, Ibu Sotya, Ibu Sharah, Ibu Riana, dan Ibu Mia.

Selain Facebook, kaskus.us forum jual beli merupakan salah satu situs perdagangan Indonesia yang paling menarik. Ada 10 barang yang paling diperdagangkan di kaskus.us, yaitu action figures, Blackberry Onyx, Sony PSP Go, Sony Digital Camera, iPod Touch, HTC PDA Phone, Acer Notebook, Canon DSLR Camera, Motor Ninja, dan kaus distro. Cara jual sangat sederhana, penjual posting di forum beserta gambar dan harga. Pembeli dapat menawar di forum. Transfer uang melalui bank sebelum barang dikirim.

Andrew Darwis, salah seorang pendiri kaskus.us, menceritakan, edaran uang di Kaskus lumayan. Seorang penjual kamera digital dapat memutarkan Rp 100 juta per minggu tanpa stok barang! Barang diambil dari distributor saat ada pemesanan.

Memang tidak semua usaha di internet berakhlak, lumayan banyak usaha yang tidak berakhlak, seperti foto bugil dan situs porno. Untungnya, usaha demikian sulit untuk menembus Facebook, kaskus.us, dan lain-lain karena mekanisme moderasi dan filtering yang lumayan ketat. Pelaporan kepada administrator Facebook menjamin halaman esek-esek di tutup.

Dalam bertransaksi di internet jangan pernah menipu. Cerita mulut ke mulut akan dahsyat efeknya dan mematikan. Di samping adanya UU ITE yang menambahkan payung hukum untuk transaksi di internet.

Penulis: Onno W Purbo Ahli Teknik Elektro
Senin, 8 Februari 2010 | 03:53 WIB 
Source:http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/08/03530778/dunia.internet.kita

Predator Incar Anak Kita di Dunia Internet

Semua Pihak Harus Menyadari Ancaman Itu dan Mencari Solusinya

Pertumbuhan penggunaan internet yang pesat di Indonesia telah diakui membawa pengaruh positif dalam berbagai hal. Namun, masih banyak yang terlupa, di sisi lain internet juga berpotensi memberi dampak buruk, khususnya kepada golongan usia anak-anak.

Anak-anak dan remaja menjadi golongan paling rentan tersasar praktik kejahatan siber, seperti pencabulan. Kepala Unit Cyber Crime Badan Reserse Kriminal Polri Kombes Petrus Reinhard Golose dan peneliti dari Pusat Kajian Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Kahardityo, mengungkapkan hal itu, pekan lalu. Kejahatan siber merupakan kejahatan berbasis teknologi informasi. Meski kerap disebut kejahatan maya, dampaknya nyata. Secara terpisah, keduanya menjelaskan, sejumlah pihak sepatutnya saat ini lebih menyadari ancaman tersebut dan mencari solusinya.

”Anak-anak dan remaja saat ini merupakan golongan masyarakat yang digital native. Sementara itu, generasi orangtua dari mereka saat ini masih cenderung menjadi digital immigrant. Akibatnya, kesadaran akan potensi negatif yang mengancam anak- anak dan remaja tidak disadari dan diseriusi oleh kalangan dewasa. Sebenarnya telah banyak hal yang bobol dari perhatian kita,” kata Kahardityo.

Anak-anak yang digambarkan sebagai digital native, menurut Kahardityo, merupakan kalangan serupa penduduk asli di dunia digital saat ini. Mereka lahir dan tumbuh di era digital yang menjadikan mereka memiliki cara berpikir, berbicara, dan bertindak berbeda dengan generasi sebelumnya yang diibaratkan sebagai digital immigrant. Adapun kalangan orangtua saat ini diasosiasikan sebagai digital immigrant atau penduduk pendatang yang masih berusaha beradaptasi di dunia digital. Sekalipun, dunia tersebut awalnya ditemukan dan dikembangkan oleh penemu dari kalangan ”imigran” itu sendiri.

Kahardityo mengatakan, mencuatnya berita soal praktik pencabulan/prostitusi melalui media sosial Facebook yang terungkap di Surabaya, Jawa Timur, oleh polisi, beberapa waktu lalu, merupakan potret fenomena gunung es soal kejahatan siber berwujud pornografi yang menimpa anak atau remaja. Praktik yang lebih parah diyakini sebenarnya telah banyak terjadi, tetapi masih terkubur.

”Germo-germo digital, bandar narkoba digital, judi digital, sekarang sudah bertumbuhan subur di Indonesia jika kita menelisik dan mengamati kehidupan di internet,” kata Kahardityo yang aktif mengamati pengaruh internet dalam kehidupan masyarakat.

Hasil riset

Berdasarkan hasil riset Yahoo di Indonesia yang bekerja sama dengan Taylor Nelson Sofres pada tahun 2009, pengguna terbesar internet adalah usia 15-19 tahun, sebesar 64 persen. Berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, usia 0-18 tahun tergolong usia anak-anak. Riset itu dilakukan melalui survei terhadap 2.000 responden. Sebanyak 53 persen dari kalangan remaja itu mengakses internet melalui warung internet (warnet), sementara sebanyak 19 persen mengakses via telepon seluler.

Sebagai gambaran, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia pada 2009 menyebutkan, pengguna internet di Indonesia diperkirakan mencapai 25 juta. Pertumbuhannya setiap tahun rata-rata 25 persen. Riset Nielsen juga mengungkapkan, pengguna Facebook pada 2009 di Indonesia meningkat 700 persen dibanding pada tahun 2008.

Sementara pada periode tahun yang sama, pengguna Twitter tahun 2009 meningkat 3.700 persen. Sebagian besar pengguna berusia 15-39 tahun. Masyarakat Indonesia pengguna internet juga cenderung menghabiskan waktu lebih lama di internet dibanding tahun sebelumnya.

Senada dengan Kahardityo, Golose juga mengatakan, mengingat ”kodrat” praktik kejahatan selalu mengikuti perkembangan teknologi, dunia siber merupakan ladang subur bagi praktik kejahatan pada masa kini dan mendatang. Berbagai bentuk kejahatan konvensional bertransformasi ke dunia siber untuk memperluas cakupan secara efisien dan lintas batas/transnasional. Kejahatan siber menjadi sebuah keniscayaan zaman saat ini.

”Namun, kejahatan siber berkarakter memiliki fear of crime atau rasa terancam yang rendah sehingga itu membuat ancamannya kerap tidak disadari. Padahal, dampak kejahatan siber bisa secara nyata menjadi destruktif. Salah satu yang kita lupa adalah ancaman pornografi anak atau kejahatan seksual pada anak-anak melalui internet. Sementara masyarakat kita masih sibuk dengan isu pornografi dewasa,” kata Golose.

Seks virtual

Rendahnya kesadaran akan ancaman tersebut tercermin pula dari minimnya laporan polisi terkait kejahatan seksual terhadap anak-anak melalui internet. Meski demikian, terdapat beberapa kasus yang pernah ditangani polisi berdasarkan informasi dari kepolisian di luar negeri, mengingat praktik kejahatan siber yang lintas batas negara.

Golose mencontohkan, kejahatan seksual yang bisa menimpa anak-anak, misalnya, pelecehan seksual terhadap anak-anak melalui chat room dan media sosial seperti Facebook, Friendster, Twitter, dan lain-lain. Bentuknya, mulai dari tak adanya kontak fisik sampai yang berlanjut pada kontak fisik seperti yang terjadi di Surabaya.

Salah satu contoh adalah chatting cabul di berbagai chat room. Unsur cabul itu bisa dimulai secara teks ataupun visual, baik foto maupun gambar video. Perangkat webcam sangat berpotensi memuluskan praktik pencabulan.

”Seperti contohnya virtual seks. Anak-anak chat dengan orang dewasa yang lalu menyuruhnya untuk membuka baju, memperagakan suatu adegan, dan sebagainya. Lalu, itu semua direkam oleh pelaku untuk dinikmati sendiri ataupun dengan orang atau komunitas sesamanya, baik gratis ataupun diperjualbelikan,” papar Golose.

Golose mengingatkan, orang tua kerap lengah ketika anak- anak mereka asyik berinternet, baik di rumah, melalui ponsel, maupun di warnet. Secara fisik anak tampak anteng dan baik-baik saja di depan perangkat digital, tetapi mereka boleh jadi telah terpapar hal-hal yang membahayakan, sekalipun fisiknya tidak terlihat tengah dalam kondisi yang berbahaya.

Pencabulan melalui internet itu besar kemungkinan akan berakhir pula di dunia nyata, misalnya, pada akhirnya pelaku (predator anak) mengajak sang anak untuk bertemu.

”Sejauh ini, ancaman kejahatan seksual terhadap anak-anak melalui internet dilindungi melalui UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) di Pasal 27 Ayat 1. Namun, merebaknya kasus Prita membuat banyak orang ingin merevisi pasal itu, yang di ayat tiganya memuat soal pencemaran nama baik,” ujar Golose.

Golose menyayangkan ”efek samping” dari kasus Prita Mulyasari versus RS Omni Internasional, membuat sebagian masyarakat merasa perundangan tersebut sebagai momok bagi masyarakat pengguna internet tanpa melihat fungsi positifnya.

”Jangan karena abuse of power pengguna pasalnya lantas seolah semua UU-nya ditolak. Masyarakat jadi seperti tidak mau diatur di dunia siber, padahal kalau mengingat anak-anak, mereka kelompok paling rentan di dunia siber,” kata Golose.

Di negara maju, meskipun masyarakatnya amat melek internet, anak tetap terproteksi melalui perangkat hukumnya. Seseorang dapat dikenai hukuman amat berat jika kedapatan menyimpan gambar anak dengan pose erotis. Di bandara, petugas juga kerap memeriksa laptop penumpang untuk memeriksa materi bermuatan pornografi anak.

Penyidik dari Unit Cyber Crime Ajun Komisaris Besar Faizal Thayeb menjelaskan, saat ini polisi belum terlalu banyak menangani masalah kejahatan seksual terhadap anak-anak melalui internet karena minimnya pengaduan. Beberapa kasus yang pernah ditangani, misalnya, kasus pornografi anak melalui situs www.jualtocil.com, yang terbongkar Oktober 2009. Situs itu dibuat dan dikelola oleh warga Indonesia, berisi gambar anak- anak dari berbagai negara.

Berdasarkan penyidikan, tingginya konsumen di Indonesia yang memesan rekaman gambar dari pengelola situs itu dapat diindikasi peminat pornografi anak di Indonesia kian tumbuh.

Menurut Faizal, polisi dapat mengungkap kasus itu atas kerja sama dengan Australian Federal Police dan US Immigrationand Customs Enforcement Attache Singapore. ”Laporan soal praktik kejahatan seksual terhadap anak di internet selama ini kerap karena laporan dari luar negeri. Kejahatan ini borderless, lintas batas,” kata Faizal.

Pengelola situs yang memuat pencabulan anak-anak selama ini kerap memakai server di luar negeri. Meski demikian, kerja sama polisi antarnegara terkait pornografi anak dan terorisme menjadi prioritas penting kepolisian di negara-negara maju.(SF)

Senin, 8 Februari 2010 | 02:33 WIB

Jakarta, Kompas -  http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/08/0233028/predator..incar.anak.kita.

Tuesday, February 2, 2010

TAMBANG: UU Lingkungan Hidup Lebih "Bergigi"

Kerusakan lingkungan dan pencemaran akibat masifnya kuasa penambangan batu bara di wilayah Kalimantan membutuhkan penegakan hukum. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dinilai lebih ”bergigi” atau lebih kuat untuk menindak.

”Undang-undang itu sekarang menjadi payung bagi seluruh upaya perlindungan lingkungan hidup,” kata pakar hukum lingkungan Asep Warlan Yusuf dari Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Selasa (26/1), ditemui sebagai salah satu pembicara dalam lokakarya Pos Pengaduan dan Peraturan Daerah Bidang Lingkungan Sebagai Perangkat Pelaksanaan UU Nomor 32 Tahun 2009 di Jakarta.

Pada kesempatan sama diungkapkan hal senada oleh pakar hukum lingkungan, Mas Achmad Santosa, dari Center for Environment Law (ICEL) dan Deputi Menteri Negara Lingkungan Hidup Bidang Penaatan Lingkungan Ilyas Asaad. Menurut Achmad Santosa, daripada menggunakan UU Kehutanan, lebih baik digunakan UU PPLH.

”Tentu sumbatan-sumbatan untuk penegakan hukum masih ada,” kata Achmad Santosa.

Menurut dia, sumbatan itu terletak pada ketidaksiapan aparatur negara dalam penegakan hukum lingkungan. Dimulai dari aparat penegak hukum kepolisian, kejaksaan, hingga kehakiman.

Asep mengatakan, untuk menumbuhkan keyakinan dalam menindak perkara hukum lingkungan, pemerintah perlu menetapkan pemegang sertifikasi kecakapan bagi aparatur kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman.

Kerusakan lingkungan di wilayah Kalimantan sudah berlangsung cukup lama. Menurut Ilyas, pemidanaan bagi para pelakunya saat itu masih sulit.

”Saya pernah mengajak polisi dari Mabes Polri ke Kalimantan Selatan beserta aparat kejaksaan. Komentar yang muncul, itu sulit untuk dipidanakan,” kata Ilyas.

Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transparansi dan Akuntabilitas Tata Kelola Sumber Daya Ekstraktif Ridaya Laodengkowe dalam siaran persnya menyatakan, tindakan pemerintah atas kerusakan lingkungan akibat kegiatan ekstraktif di Kalimantan belum tegas.

”Harus dibuat panel khusus untuk audit penambangan batu bara,” katanya. (NAW)

Rabu, 27 Januari 2010 | 03:39 WIB

Investasi Tambang Tertunda: Perlu Ada Sinkronisasi Aturan Perundang-undangan

Asosiasi Pertambangan Indonesia memperkirakan realisasi investasi pertambangan yang tertunda saat ini mencapai 10 miliar dollar AS. Hal itu terjadi karena iklim investasi di Indonesia yang tidak kondusif, terutama ketidakpastian hukum.

Ketua Umum Asosiasi Pertambangan Indonesia Arif S Siregar memaparkan hal itu dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR di Jakarta, Selasa (26/1).

Menurut Ketua Komisi VII DPR Teuku Riefky Harsya, pemerintah harus mempercepat sinkronisasi regulasi yang telah diterbitkan.

Sejumlah aturan di sektor tambang yang mesti disinkronisasi adalah Undang-Undang Migas, UU Mineral dan Batu Bara, UU Lingkungan Hidup, UU Kehutanan, UU Tata Ruang, dan UU Perpajakan.

Hal itu diperlukan untuk mendorong investasi tambang demi meningkatkan ketahanan energi, pendapatan negara, dan memberikan dampak berantai bagi perekonomian.

Industri pertambangan memberikan manfaat besar melalui pengelolaan lingkungan, pengembangan wilayah, pembangunan infrastruktur, dan penyerapan tenaga kerja.

Industri pertambangan bergantung pada modal besar dengan pengembalian modal relatif lebih lama daripada industri lain. ”Ada beberapa industri pertambangan mau membawa modal ke Indonesia. Tetapi, karena tidak ada kepastian hukum, mereka menunda. Seharusnya jumlahnya 10 miliar dollar AS sejak tahun 2009, tetapi sampai saat ini masih tertunda,” ujar Arif.

Sejumlah rencana investasi pertambangan yang tertunda antara lain tambang seng dan timah hitam Dairi Prima 500 juta dollar AS dan tambang nikel Rio Tinto 4 miliar dollar AS.

Selain itu, tambang nikel Weda Bay-Eramet senilai 2 miliar dollar AS dan proyek Htdromet PT Aneka Tambang 1 miliar dollar AS. Juga tambang emas Mearest Soputan 500 juta dollar AS, proyek FeNi4 Antam 320 juta dollar AS, dan tambang batu bara BHP Billiton.

Sistem regulasi pertambangan seharusnya mampu mendatangkan investasi baru 25 miliar dollar AS dalam jangka waktu 25 tahun dari sekarang. ”Namun, saat ini terjadi tumpang tindih lahan dan peraturan perundangan,” ujar Arif.

Pasal 169 b UU No 4/2009 tentang Mineral dan Batu Bara menyebutkan, pemegang kontrak mesti menyesuaikan dengan UU baru, paling lama setahun.

Namun, Pasal 169 a menyebutkan, kontrak dihormati sampai habis masanya. ”Ini membingungkan,” kata Arif.

Dalam UU No 32 Tahun 2009, Kementerian Lingkungan Hidup memiliki kekuasaan mutlak menetapkan izin di atas izin lain. ”Kami berharap ada aturan pelaksanaan yang jelas dan memberi kepastian hukum,” ujarnya.

Indonesia-Amerika

Sementara itu, President US-ASEAN Business Council Alexander C Feldman seusai bertemu Wakil Presiden Boediono menyatakan, pengembangan bisnis dan investasi Amerika Serikat di Indonesia diharapkan tumbuh signifikan sejalan dengan peningkatan hubungan kedua negara.

Iklim investasi perlu diciptakan lebih kondusif oleh Pemerintah Indonesia ataupun pemerintah dan sektor swasta AS.

Feldman berharap kunjungan Presiden AS Barack Obama ke Indonesia tahun ini akan menghasilkan kesepakatan yang nyata untuk mendorong investasi pebisnis Amerika di Indonesia, sekaligus membantu ekspansi pebisnis Indonesia di AS.

US-ASEAN Business Council, yang mewadahi lebih dari 100 perusahaan AS, juga menyampaikan kondisi yang perlu diperbaiki untuk mendorong investasi, di antaranya transparansi dan kejelasan aturan dan penguatan penegakan hukum.

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...