Monday, March 1, 2010

Hutan Rusak karena Sawit dan Tambang Ilegal

Posisi Indonesia Tak Menentu

Indonesia menjadi negara berkembang pertama yang mengumumkan target penurunan emisi sukarela 26 dan 41 persen jika ada bantuan asing pada 2020. Akan tetapi, komitmen ini tidak disertai langkah-langkah konkret dan strategis sehingga posisi Indonesia dalam percaturan politik internasional dalam isu perubahan iklim menjadi tak menentu.

”Akibat ketidakjelasan programnya, Indonesia bakal menjadi bulan-bulanan dunia internasional,” kata Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN) Abdon Nababan, Selasa (23/2) di Jakarta.

”Kepemimpinan itu akan makin hilang jika mekanisme reduksi emisi tidak dijalankan dengan baik,” kata Abdon.

Menurut Abdon, Indonesia sebelumnya berpotensi memimpin isu perubahan iklim global, di antaranya dengan gencar memperjuangkan mekanisme Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) ataupun kegiatan adaptasi dan mitigasi. Hal ini mengingat Indonesia merupakan negara tropis kepulauan terbesar memiliki megabiodiversitas tertinggi yang perlu diselamatkan dan menghadapi tingkat kerentanan paling tinggi.

Rencana mundurnya Sekretaris Jenderal Kerangka Kerja Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) Yvo de Boer per 1 Juli 2010, tambah Abdon, sebenarnya membuka peluang Indonesia tampil menyampaikan calon pengganti.

Konsolidasi ke dalam

Abdon menyebutkan, pemerintah Indonesia saat ini perlu konsolidasi ke dalam. Program reduksi emisi harus diperjelas dan bisa dilaksanakan agar bisa diketahui dunia internasional. ”Saat ini program di tingkat kementerian terkait perubahan iklim tidak jelas. Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) pun tidak jelas,” kata Abdon.

Sekretaris DNPI Agus Purnomo menyebutkan, Februari ini ditargetkan untuk memperjelas program penanaman satu miliar pohon yang dicanangkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Menteri Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta dalam konferensi pers, beberapa waktu lalu, menyebutkan, langkah yang perlu dibangun lainnya adalah mengembangkan sistem pemantauan dan evaluasi (measurable, reportable, and verifiable/MRV). Tetapi, langkah-langkah konkret untuk itu belum jelas mekanismenya.

Ketua Kelompok Kerja Perubahan Iklim Kementerian Kehutanan Wandojo Siswanto mengatakan, luas lahan 500.000 hektar hutan terdegradasi disediakan sebagai lokasi penanaman bagian dari program satu miliar pohon. ”Dari lahan seluas itu diharapkan ada penanaman sampai 500 juta pohon,” ujarnya.

Untuk menggenapi satu miliar pohon, menurut Wandojo, juga diperhitungkan areal hutan tanaman industri. Berdasarkan Rencana Aksi Penurunan Emisi 26 persen, target penurunan emisi dari sektor kehutanan ditetapkan 392 juta ton dari jumlah total 767 juta ton ekuivalen karbon dioksida. (NAW)

Indonesia Sasaran Sampah Elektronik

Indonesia Tidak Memiliki Target yang Jelas

Indonesia sebagai negara berkembang menjadi salah satu sasaran pembuangan sampah elektronik dari industri di negara-negara maju. Masuknya 9 truk peti kemas berisi monitor komputer bekas dari Massachusetts, Amerika Serikat, pada 2009, salah satu buktinya.

Jim Puckett, Koordinator Jaringan Aksi Basel (Basel Action Network), mengingatkan itu dalam konferensi pers di sela-sela acara ”Simultanous Extraordinary Conference of the Parties Basel, Roterdam, and Stockholm Conventions” di BICC, Nusa Dua, Bali, Senin (22/2).

Acara itu dihadiri 1.200 delegasi dari 192 negara. Menteri Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta membuka acara itu disaksikan Gubernur Bali Made Mangku Pastika. Pertemuan akan dilanjutkan dengan Konferensi Menteri Lingkungan Hidup Dunia (Special Session of The United Nation Environment Programme Governing Council/GC-UNEP), 24-26 Februari.

Menurut Jim, ekspor sampah elektronik (e-waste) ke negara berkembang bermotif ekonomi. Namun, dalam jangka panjang dampaknya bisa mengganggu kesehatan, seperti merusak susunan saraf anak-anak. Soalnya, sampah elektronik mengandung zat-zat kimia berbahaya yang tidak bisa didaur ulang.

Tentang apakah AS sebagai pihak importir bisa dikenai sanksi atas pengiriman sampah elektronik ke negara-negara berkembang, Jim angkat bahu. ”Ada tiga negara yang tidak mau menandatangani Konvensi Basel, yaitu Afganistan, Haiti, dan Amerika. Jadi, sulit,” ujarnya.

Direktur Eksekutif UNEP Achim Steiner mengingatkan negara-negara berkembang agar bersiap menghadapi banjir sampah elektronik dari negara-negara, seperti China dan India.

Gusti, saat membuka konferensi, membenarkan bahwa Indonesia adalah wilayah sangat rawan untuk pembuangan sampah dan limbah berbahaya. ”Ada sekitar 2.000 titik berpotensi menjadi pintu masuk,” ujarnya.

Aktivitas industri pertanian dan industri lainnya di Indonesia juga menghasilkan bahan beracun dan berbahaya (persistent organic pollutants/POP).

Menurut Deputi Menteri Lingkungan Hidup Bidang Pengelolaan Bahan dan Limbah Berbahaya Beracun Imam Hendargo Abu Ismoyo, kasus pengiriman 9 kontainer komputer bekas dari AS sudah diproses secara hukum. ”Barangnya dipulangkan. Importirnya ditegur,” ujarnya.

Tidak jelas

Sementara itu, Minggu, sejumlah perwakilan organisasi nonpemerintah bertemu dengan Gusti. Hadir, antara lain, adalah Chalid Muhammad (Institut Hijau Indonesia), Riza Damanik (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan), dan Hendro Sangkoyo (Sekolah Ekonomika Demokratik), dan beberapa orang lainnya.

Menurut siaran pers dari Teguh Surya dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), pada pertemuan itu Gusti menjelaskan tentang pertemuan akbar tersebut.

Namun, menurut pihak lembaga swadaya masyarakat, penjelasan tersebut tidak menyentuh substansi soal penggabungan tiga konvensi (Basel, Rotterdam, Stockholm) karena tak ada analisis dampak pada sisi ekologi, ekonomi, dan politik.

Menteri menjelaskan, setidaknya ada dua keuntungan bagi Indonesia sebagai penyelenggara kegiatan itu, yaitu pertama, dunia akan menilai komitmen Indonesia terhadap lingkungan besar. Kedua, Indonesia dipercaya dapat menyukseskan acara.

”Bagaimana mungkin komitmen terhadap lingkungan hanya dinilai dari penyelenggaraan even global. Seharusnya, Indonesia mesti memiliki target yang lebih berguna bagi kepentingan nasional dan keselamatan warga bukan pencitraan semata, seperti biasa dipertontonkan SBY (Presiden Susilo Bambang Yudhoyono),” tulis Teguh dalam siaran persnya. (SUT/*/ISW)

Trembesi Masih Pro dan Kontra

Alasan penanaman massal pohon raksasa trembesi atau Albizia saman yang disarankan pemerintah untuk menunjang program penanaman satu miliar pohon pada 2010 masih pro dan kontra. Hal ini menunjukkan bahwa pemilihan trembesi itu masih membutuhkan dukungan riset yang lebih saksama.

”Kebijakan penanaman pohon idealnya memerhatikan penggunaan dan kebutuhan masyarakat di tiap daerah. Trembesi termasuk jenis pohon dengan evaporasi atau penguapan tinggi sehingga berpotensi mengeringkan sumber air,” kata Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Mochammad Na’im, Senin (22/2) di Yogyakarta.

Hal berbeda diungkapkan dosen Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Endes N Dahlan, di Bogor, kemarin. Menurut dia, trembesi pada mulanya diketahui tumbuh di savana Peru, Brasil, dan Meksiko, yang minim air. ”Kemampuan tumbuh di savana menunjukkan, pohon ini tidak memiliki evaporasi tinggi,” ujarnya.

Endes adalah salah satu akademisi yang diundang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk memberikan pembekalan penanaman trembesi, 13 Januari 2010 di Istana Negara. Endes meneliti daya serap emisi karbon dioksida atas 43 jenis tanaman pada 2008.

Hasil penelitian pada trembesi dengan diameter tajuk 10-15 meter menunjukkan, trembesi menyerap karbon dioksida 28,5 ton per tahun. Ini angka terbesar di antara 43 jenis tanaman yang diteliti, bahkan ditambah 26 jenis tanaman lain, daya serap karbon dioksida trembesi tetap terbesar. Meskipun demikian, Endes belum bisa menjelaskan 68 jenis pohon lainnya yang diteliti.

Dia mengaku, belum meriset secara rinci kapasitas evaporasi trembesi. Diketahui pula, trembesi memiliki sistem perakaran yang mampu bersimbiosis dengan bakteri Rhizobium untuk mengikat nitrogen dari udara.

Kandungan 78 persen nitrogen di udara memungkinkan trembesi bisa hidup di lahan-lahan marjinal, juga lahan-lahan kritis, seperti bekas tambang, bahkan mampu bertahan pada keasaman tanah yang tinggi. ”Selain tahan kekeringan, juga tahan genangan,” kata Endes.

Menurut dia, pemerintah akan merealisasikan penanaman trembesi di sepanjang jalan Semarang-Kudus, Jawa Tengah. Sebanyak 2.767 pohon akan ditanam di sana hari Rabu besok.

Menurut Na’im, trembesi memiliki tajuk yang luas, sekaligus tebal. Kondisi ini membuat cahaya matahari sulit menembus. ”Tanaman di bawah naungan tajuknya tidak bisa tercukupi cahaya matahari sehingga tidak bisa tumbuh subur, bahkan mati. Jenis tanaman ini sebaiknya untuk perindang,” ujar Na’im.

Distribusi benih

Saat ini pemerintah telah mendistribusikan benih trembesi. Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta, Anik Indarwati, mengatakan, pihaknya sudah menerima 40 kg benih trembesi pada awal Februari 2010.

”Trembesi dikenal dengan nama munggur. Tanaman ini tidak diarahkan untuk perkebunan rakyat karena khawatir membunuh tanaman lain,” kata Anik.

Trembesi dikenalkan pemerintah kolonial Belanda. Biasa ditanam sebagai perindang, termasuk perindang pada penampungan kayu kehutanan.

Trembesi cepat tumbuh, dalam lima tahun diameter batang bisa mencapai 25 sentimeter-30 sentimeter. Tetapi, keunggulan yang sama juga dimiliki berbagai pohon spesies asli Indonesia, di antaranya keluarga meranti, jabon, ketapang, atau pulai.

Menurut peneliti senior Biotrop Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Supriyanto, jenis trembesi saat ini juga belum diteliti apakah termasuk jenis yang invasif atau bukan. Jenis invasif itu mampu mendesak atau mematikan jenis tanaman lain di sekitarnya.

Hal ini seperti terjadi pada jenis tanaman akasia yang ditanam di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur. Tanaman ini mengakibatkan rumput sebagai sumber pakan kerbau liar tidak tumbuh. (IRE/GSA/NAW)

Selasa, 23 Februari 2010 | 03:42 WIB

jakarta, Kompas - http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/23/03423295/trembesi.masih.pro.dan.kontra

20 Perusahaan Pertambangan Diselidiki

Tim terpadu yang dimotori Kementerian Kehutanan mulai menyelidiki 20 perusahaan di Kalimantan yang diduga menambang batu bara dengan merambah hutan. Kegiatan ini dinilai melanggar karena merusak lingkungan dan beroperasi tanpa izin pinjam pakai kawasan hutan dari Menteri Kehutanan.

Hal itu dikemukakan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan kepada wartawan di Bandara Supadio, Kubu Raya, Kalimantan Barat, Sabtu (20/2). Tim terpadu terdiri atas Komisi Pemberantasan Korupsi, Kejaksaan Agung, Kepolisian Republik Indonesia, dan Kementerian Kehutanan.

Zulkifli meminta instansi kehutanan di daerah mulai mengidentifikasi dan mengumpulkan bahan untuk keperluan penyidikan tanpa menunggu pemerintah pusat.

Kepala Pusat Informasi Kementerian Kehutanan Masyhud yang dihubungi dari Pontianak mengatakan, tim terpadu mulai mengidentifikasi status tambang dari 20 perusahaan itu, termasuk yang mengeluarkan izin. Tim sudah memetakan lokasi tambang berdasarkan citra satelit.

Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah Pembinaan Pelestarian Alam Dinas Kehutanan Kalimantan Timur Wahyu Widi Heratana di Kota Samarinda, Senin (22/2), menuturkan, tim dari Kementerian datang sekitar tiga minggu lalu ke Kaltim, tetapi pihaknya belum mengetahui hasilnya.

Sebelum tim turun, pihaknya sudah melaporkan kondisi pertambangan di kawasan hutan Kaltim kepada Kementerian Kehutanan. Dinas Kehutanan Kaltim mencatat, wilayah konsesi sembilan kuasa pertambangan (KP) masuk Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Soeharto sehingga diusulkan kepada Pemkab Kutai Kartanegara agar izinnya dicabut.

Pemkab Kutai Kartanegara, kata Wahyu, menerbitkan 52 izin KP yang wilayah konsesinya ada di dalam dan sekitar Tahura Bukit Soeharto. Dari jumlah itu, ada 12 KP yang wilayah konsesinya tumpang tindih dengan tahura. Dua KP, yakni CV Bintang Pelangi Nusantara dan CV Pelangi Borneo, dicabut Mei 2009. Satu KP yang dipegang CV Dwi Karya masih diproses pencabutannya.

Kawasan konservasi dilarang ditambang kecuali memiliki izin pinjam pakai dari Menteri Kehutanan. ”Masih ada sembilan KP yang wilayah konsesinya tumpang tindih dengan tahura,” kata Wahyu.

Di Banjarmasin, saat ditanya tindak lanjut hasil inspeksi Menteri Lingkungan Hidup ke lokasi-lokasi tambang di Kabupaten Tapin dan Banjar, dua minggu lalu, Gubernur Kalsel Rudy Ariffin mengatakan, pihaknya sampai saat ini belum menerima rekomendasi menteri.

”Hasil temuan kerusakan lingkungan perlu didetailkan sehingga daerah bisa melakukan tindakan tepat,” kata Rudy seusai meresmikan gedung serba guna dan wisma di Unit Pelaksana Teknis Daerah Sekolah Luar Biasa C, Landasan Ulin Barat, Banjarbaru, Senin.(AHA/BRO/WER)

Deforestasi Mengancam Kehidupan Satwa Endemik

Hutan di Pulau Jawa terus terancam deforestasi. Hal ini dinilai akan mengancam kehidupan masyarakat dan kelestarian satwa endemik Jawa.

Berdasarkan data laju deforestasi (kerusakan hutan) Departemen Kehutanan periode 2003-2006, diketahui laju deforestasi di Pulau Jawa sebesar 2.500 hektar per tahun (0,2 persen) dari total deforestasi di Indonesia. Laju deforestasi di Indonesia sebesar 1,17 juta hektar per tahun.

Profauna mengajak masyarakat menyadari bahwa kondisi hutan di Pulau Jawa sangat terancam. ”Tanggung jawab pelestarian bukan hanya pada pemerintah, melainkan juga masyarakat secara luas,” kata juru kampanye hutan Profauna, Radius Nursidi, Senin (22/2) di Malang, Jawa Timur.

Terkait hal itu, Profauna menggelar unjuk rasa di Jalan Simpang Balapan, Kota Malang. Sejumlah anggota Profauna berdiri bagai pohon, berjajar menghadap jalan sambil membawa tulisan ”Save Forests in Java”.

”Rata-rata deforestasi hutan terjadi karena perambahan untuk ladang atau dijadikan lokasi pabrik. Hal ini menyebabkan bencana banjir atau tanah longsor, seperti yang terjadi di Pujon dan Cangar (Malang),” katanya.

Dampak buruk lain akibat kerusakan hutan adalah terancamnya kelestarian satwa endemik Jawa, misalnya lutung jawa (Trachypithecus auratus), owa jawa (Hylobates moloch), surili (Presbytis comata), macan tutul (Panthera pardus), elang jawa (Spizaetus bartelsi), dan merak (Pavo muticus), akibat hutan yang menjadi habitat mereka rusak.

Direktur Profauna Malang Rosek Nursahid mencontohkan, populasi lutung jawa di Malang Raya saja terus merosot. Sekitar 15 tahun lalu di sekitar Pegunungan Panderman, Batu, ditemukan lebih dari lima kelompok lutung jawa (setiap kelompok terdapat 5 hingga 25 ekor). Kini lutung jawa tidak lagi ditemukan.

Di lokasi lain, lereng timur Gunung Arjuno, 15 tahun lalu Rosek menemukan 7 hingga 10 kelompok lutung jawa. Sekarang jumlahnya tidak lebih dari dua kelompok.

Padahal, lutung jawa merupakan indikator tingkat kerusakan hutan. Lutung jawa dikenal sebagai binatang dengan sensitivitas tinggi, yang hanya bisa hidup di hutan dengan kondisi masih bagus, makanan masih banyak, minim aktivitas manusia, dan masih banyak pohon.

”Lutung jawa jenis binatang arboreal (hidup di atas pohon). Kalau vegetasi sudah rusak, lutung tidak akan bisa bertahan,” katanya. Lutung juga banyak ditangkap untuk dimakan sebagai obat peningkat stamina. (DIA)

Selasa, 23 Februari 2010 | 03:40 WIB

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...