Monday, February 28, 2011

Internet Crime Trends 2011

Non-delivery of payment or merchandise. Scams impersonating the FBI. Identity theft.
These were the top three most common complaints made to the joint FBI/National White Collar Crime Center’s Internet Crime Complaint Center (IC3) last year, according to its just-released 2010 Internet Crime Report. The report also includes a state-by-state breakdown of complaints.
In May 2010, the IC3 marked its 10th anniversary, and by November, it had received its two millionth complaint since opening for business.
Last year, the IC3 received more than 300,000 complaints, averaging just over 25,000 a month. About 170,000 complaints that met specific investigative criteria—such as certain financial thresholds—were referred to the appropriate local, state, or federal law enforcement agencies. But even the complaints not referred to law enforcement, including those where no financial losses had occurred, were valuable pieces of information analyzed and used for intelligence reports and to help identify emerging fraud trends.
So even if you think an Internet scammer was targeting you and you didn’t fall for it, file a complaint with the IC3. Whether or not it’s referred to law enforcement, your information is vital in helping the IC3 paint a fuller picture of Internet crime.
Additional highlights from the report:
  • Most victims filing complaints were from the U.S., male, between 40 and 59 years old, and residents of California, Florida, Texas, or New York. Most international complainants were from Canada, the United Kingdom, Australia, or India.
  • In cases where perpetrator information was available, nearly 75 percent were men and more than half resided in California, Florida, New York, Texas, the District of Columbia, or Washington state. The highest numbers of perpetrators outside this country were from the United Kingdom, Nigeria, and Canada.
  • After non-delivery of payment/merchandise, scams impersonating the FBI, and identity theft, rounding out the top 10 crime types were: computer crimes, miscellaneous fraud, advance fee fraud, spam, auction fraud, credit card fraud, and overpayment fraud. 
The report also contained information on some of the alerts sent out by the IC3 during 2010 in response to new scams or to an increase in established scams, including those involving:
  • Telephone calls claiming victims are delinquent on payday loans. More
  • Online apartment and house rental and real estate scams used to swindle consumers out of thousands of dollars. More
  • Denial-of-service attacks on cell phones and landlines used as a ruse to access victims’ bank accounts. More
  • Fake e-mails seeking donations to disaster relief efforts after last year’s earthquake in Haiti. More
Over the past few years, the IC3 has enhanced the way it processes, analyzes, and refers victim complaints to law enforcement. Technology has automated the search process, so IC3 analysts as well as local, state, and federal analysts and investigators can look for similar complaints to build cases. Technology also allows law enforcement users who may be working on the same or similar cases to communicate and share information. 
Because there are so many variations of Internet scams out there, we can’t possibly warn against every single one. But we do recommend this: practice good security—make sure your computer is outfitted with the latest security software, protect your personal identification information, and be highly suspicious if someone offers you an online deal that’s too good to be true.
Resources:
IC3 website

24 Februari 2011

Friday, February 25, 2011

Energi Panas Bumi Dilirik Jerman

Potensi panas bumi Indonesia yang mencapai 40 persen dari potensi panas bumi dunia dilirik investor Jerman. Selama ini, Indonesia belum maksimal menggunakan potensi energi panas bumi, yakni baru sekitar 1.189 megawatt atau 4,2 persen dari potensi yang ada.

Duta Besar Indonesia untuk Jerman Eddy Pratomo mengatakan, riset panas bumi atau geotermal Jerman sangat maju. Namun, negara tersebut terbatas potensinya. Oleh karena itu, berlimpahnya potensi panas bumi Indonesia mempunyai daya tarik tersendiri bagi Jerman.

”Sejak tahun 2010 sudah ada rencana-rencana untuk bekerja sama dan berinvestasi dalam bidang tersebut. Lokasi yang dilirik antara lain Papua dan Aceh,” kata Eddy seperti dilaporkan wartawan Kompas, Indira Permanasari, dari Berlin, Jerman, Sabtu (19/2).

Indonesia menargetkan pada tahun 2005 sekitar 5 persen dari total kebutuhan energi nasional akan dipenuhi dari energi panas bumi.

Saat ini Eslandia adalah negara percontohan pengembangan energi panas bumi di dunia. Pemanfaatan energi panas bumi Indonesia yang baru 1.189 MW menempatkan Indonesia di bawah Filipina (2.000 MW) dan Amerika Serikat (2.700 MW). Padahal, potensi panas bumi Indonesia mencapai sekitar 28.000 MW.

Makky Sandra Jaya, ilmuwan Indonesia yang bekerja sebagai Project Coordinator di International Center for Geothermal Research di GeoForschungs Zentrum (GFZ/German Research Center for Geoscience), mengatakan, panas bumi yang dimanfaatkan Indonesia sangat kecil jika dibandingkan dengan potensi yang ada karena beragam faktor. Salah satu faktornya adalah investasi di sektor panas bumi sangat besar.

Di sisi lain, Jerman sedang berusaha menukar sumber energi mereka ke arah energi yang terbarukan dan ramah lingkungan agar komposisinya lebih dari 30 persen dari total energi guna mengurangi emisi. Panas bumi yang ramah lingkungan menjadi salah satu perhatian.

Jerman aktif meneliti dan mengembangkan sumber panas bumi karena sumber energinya terbatas dan kondisinya lebih sulit dimanfaatkan, Jerman mengembangkan teknologi stimulasi panas bumi (enhanced geothermal). Teknologi itu membuat panas bumi dapat distimulasi sehingga jauh lebih besar hasilnya dan pemanfaatannya lebih efisien.

Kendala
Namun, menurut Eddy, masih terdapat keluhan untuk pemanfaatan panas bumi, antara lain iklim investasi, stabilitas ekonomi, dan politik. Selain itu juga penyelarasan pengembangan energi panas bumi dengan upaya konservasi hutan mengingat panas bumi sebagian besar kemungkinannya berada pada lokasi yang sama dengan hutan konservasi.

”Karena pertimbangan ini, Jerman menjadi sangat hati-hati,” kata Eddy.

Makky mengatakan, investasi energi panas bumi berteknologi tinggi tersebut sangat mahal sehingga mereka juga menginginkan adanya jaminan, seperti adanya harga tetap dan energi yang dihasilkan nantinya dibeli Pemerintah Indonesia. Selain itu, biaya eksplorasi ditanggung bersama.

”Di Jerman yang ingin menukar sumber energi mereka ke arah energi terbarukan dan ramah lihgkungan, pemerintah federal dan negara bagian ikut menanggung risiko investasi eksplorasi yang dilakukan sektor privat. Itu semacam insentif untuk mendorong pengembangan ke arah sumber energi ramah lingkungan,” ujarnya.

Secara umum, kerja sama Indonesia dan Jerman yang tahun depan memasuki tahun ke-60 memiliki tiga fokus kerja sama, yakni perubahan iklim, pengembangan sektor privat, dan pemerintahan yang baik.


21 Feb 2011

Tuesday, February 15, 2011

"Green Finance" Solusi Perubahan Iklim

Konsep green finance atau pengucuran modal dengan menggunakan prinsip ramah lingkungan bisa menjadi solusi dari sektor finansial untuk mengatasi dampak perubahan iklim global.

"Ada dua ancaman serius, yaitu masalah penggunaan energi dan lingkungan hidup yang bisa diatasi dengan green finance," kata Special Advisor Head Environment Finance Japan Bank for International Cooperation (JBIC) Takashi Hongo dalam diskusi yang digelar Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN) di Jakarta, Kamis (28/1/2011).

Namun, menurut Hongo, untuk menerapkan konsep green finance secara nyata dibutuhkan tekad dari badan finansial, baik swasta maupun pemerintah, untuk mengeluarkan investasi dalam jumlah yang besar. Selain itu, penerapan green finance membutuhkan kemajuan teknologi yang dapat mengurangi dampak perubahan iklim.

Ia mencontohkan, sejumlah nelayan di Jepang beberapa tahun lalu memutuskan untuk menggunakan teknologi LED (light emitting diode) akibat mahalnya harga bahan bakar yang biasa dipakai untuk melaut.

Hongo memaparkan, pada awalnya memang dibutuhkan biaya yang besar untuk membeli dan melengkapi kapal penangkap ikan dengan LED, tetapi setelah digunakan mereka dapat menghemat biaya operasional. "Mereka (para nelayan) meminjam uang dari bank," katanya.

Untuk itu, menurut dia, pembiayaan dan dorongan untuk menggunakan teknologi ramah lingkungan merupakan kunci yang dibutuhkan dalam penerapan green finance.

Sementara itu, pembicara lainnya, Staf Ahli Menteri Kelautan dan Perikanan Bidang Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Suseno Sukoyono mengatakan, sebenarnya terdapat banyak peluang bisnis atau finansial yang dapat dikembangkan akibat perubahan iklim, termasuk salah satunya green finance.

Apalagi, ujar dia, Indonesia sebenarnya bukanlah merupakan penyumbang emisi terbesar tetapi perubahan iklim telah mengakibatkan sejumlah masalah seperti kenaikan suhu dan naiknya permukaan air laut yang tampak seperti fenomena rob yang akhir-akhir ini kerap terjadi di kawasan Muara Baru, Jakarta Utara.

"Indonesia menghasilkan 1,7 emisi per kapita, sedangkan Amerika Serikat 20,6 dan Australia 16,2," katanya.

Ia juga mengingatkan, krisis energi seperti kenaikan harga minyak yang kini telah mencapai sekitar 100 dolar AS seharusnya juga bisa menjadikan salah satu aspek untuk mendorong penerapan green finance.

Ketua MPN Muhammad Taufiq mengharapkan terbangun jaringan baik di dalam maupun luar negeri atau organisasi internasional dalam menciptakan sumber peluang pembangunan berkelanjutan melaluigreen finance.

"Skema pendanaan green finance dengan dilandasi lingkungan investasi yang kondusif dengan memasukkan aspek perubahan iklim menjadi salah satu solusi penting dalam membangun Indonesia secara berkelanjutan," katanya.

Berdasarkan data MPN, terdapat potensi total ekonomi kelautan Indonesia yang mencapai 800 miliar dolar AS per tahun yang belum sepenuhnya bisa dimanfaatkan antara lain karena kendala biaya.

28 Januari 2011

Wednesday, February 9, 2011

Sejahtera di Negeri Bahari

Nasib sebagian besar nelayan di Tanah Air seperti kata pepatah: bagai ayam mati di lumbung padi. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan luas daratan 1,8 juta kilometer persegi dan lautan 6,1 juta kilometer persegi, kenyataan menunjukkan, justru para nelayanlah yang berada pada strata kemiskinan paling bawah.

Di Indonesia, yang pernah begitu jaya di laut, sudah lama sekali ekonomi kelautannya terpuruk ditelan ekonomi daratan. Bahkan, pepatah untuk menggambarkan ketidakmampuan mengeksplorasi kekayaan bahari ini pun sangat kental bernuansa pertanian.

Meski sejarah menunjukkan bahwa Nusantara pernah jaya di samudra dengan kerajaan-kerajaan maritim yang terkenal—sebutlah Sriwijaya dan Majapahit di antaranya, kepentingan dagang Portugis, Inggris, dan Belanda pada abad ke-16-18 pelan-pelan melumpuhkan kekuatan bahari ini. Warisannya kemudian adalah disorientasi sosial budaya bangsa yang berkelanjutan. Ini terbukti dari rezim pemerintahan Orde Lama dan terutama Orde Baru, yang lalai membangun kembali kesejahteraan dari laut.

Maka, makin terpinggirkanlah masyarakat nelayan. Pascareformasi, upaya membangkitkan kembali kejayaan di laut dimulai, tetapi ketertinggalan yang sedemikian parah membuat empat periode menteri kelautan dan perikanan belum bisa mengangkat nasib nelayan secara signifikan.

Situasi nelayan

Data Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2010 menunjukkan, jumlah nelayan di Indonesia hingga 2008 mencapai 2.240.067 nelayan. Dari jumlah itu, dua juta di antaranya bergantung pada perikanan tradisional: menggunakan peralatan dan pengetahuan yang serba terbatas untuk menangkap ikan.

Dengan menggunakan nilai tukar nelayan, bisa diketahui bagaimana tingkat kesejahteraan nelayan. Angka ini dihitung dari indeks harga yang diterima nelayan dibagi indeks harga yang dibayarkan nelayan.

Bila angka mencapai 100, berarti harga ikan sebanding dengan biaya konsumsi ataupun produksi. Dengan demikian, semakin tinggi nilai tukar, semakin sejahteralah kehidupan nelayan.

Ternyata, dari 33 provinsi, sebanyak 20 provinsi memiliki nilai tukar nelayan di atas 100. Nilai tertinggi dicapai Maluku (123,54), diikuti Nusa Tenggara Timur (121,43), Lampung (114,58), Daerah Istimewa Yogyakarta (113,54), dan Sumatera Selatan (113,31).

Pada 13 provinsi sisanya, nilai tukar nelayan masih di bawah 100. Terendah adalah Papua (86,13), Bangka Belitung (86,07), Kalimantan Selatan (88,62), Jambi (91,24), dan Bali (91,41).

Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri yang hadir dalam diskusi mengingatkan, jumlah nelayan di satu kawasan yang terlalu banyak bisa mengurangi pendapatan nelayan di kawasan tersebut.

Dengan menggunakan estimasi jumlah nelayan optimal di setiap kawasan pesisir, tampaklah bahwa tingkat kesejahteraan nelayan di Bangka Belitung rendah karena jumlah nelayan di kawasan Selat Malaka sudah melebihi kapasitas. Menurut Rokhmin, pada tahun 2002 di Selat Malaka hanya butuh 99.579 nelayan, sedangkan jumlah yang ada 224.766.

Namun, masih banyak faktor lain yang memengaruhi tingkat kesejahteraan nelayan. Misalnya, potensi produksi dan tingkat pemanfaatan sumber daya di setiap kawasan, tingkat pengetahuan dan peralatan nelayan, serta keberlanjutan rantai produksi pascapenangkapan. Jalinan persoalan inilah yang melilit para nelayan di Indonesia sehingga menimbulkan disparitas kesejahteraan yang demikian besar.

Memberdayakan nelayan

Harus diakui, pemerintah memang belum sepenuhnya mampu memenuhi hak-hak nelayan dan petambak tradisional. Mulai dari belum dilindunginya wilayah tangkap tradisional sampai belum diakomodasinya keluarga nelayan sebagai satu kesatuan unit produksi.

Riza Damanik mencontohkan, kerja pemerintah yang sering bersifat sektoral membuat pencemaran laut tak juga selesai ditangani. Padahal, justru di daerah yang tercemar itulah sebagian besar nelayan menangkap ikan karena wilayah tangkapan mereka paling jauh hanya mencapai 5,4 kilometer.

Di sisi lain, masih banyak praktik penangkapan ikan dengan kapal besar di wilayah yang sama. Akibatnya, meski data penangkapan ikan sudah mencapai 5,6 juta ton per tahun—mendekati potensi produksi tahun 2010 yang diperkirakan 6,5 juta ton per tahun, masih sedikit sekali yang bisa dinikmati para nelayan dan keluarganya.

Hasil diskusi kelompok terbatas yang dilakukan Kiara di Desa Morodemak, Jawa Tengah, menunjukkan bahwa waktu istri beraktivitas dibanding suami dalam suatu keluarga nelayan hampir tidak jauh beda. Selain kegiatan domestik, istri nelayan juga membuat kerupuk, menjual ikan, dan pergi ke pelelangan. Total istri bekerja 16 jam sehari, sedangkan suami 15 jam sehari, itu sudah termasuk melaut dan memperbaiki jaring.

Dengan demikian, pemerintah harus mengembangkan nelayan sebagai kesatuan keluarga. Insentif tidak hanya menyangkut penangkapan, tetapi pada keseluruhan kegiatan produksi, termasuk pascatangkap. Tanpa intervensi luar biasa pada kelompok perempuan, mustahil kegiatan perikanan rakyat bisa bangkit.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah berkurangnya masa tangkap karena cuaca ekstrem. Frekuensi melaut nelayan kini tinggal 160-180 hari dalam setahun, padahal sebelumnya bisa 260-300 hari, sehingga otomatis terjadi penurunan pendapatan.

Maka, agar Revolusi Biru menjadi solusi yang menyejahterakan rakyat, ada tiga model yang bisa menjadi pilihan: teknokratik, populis, dan teknopopulis.

Teknokratik yang berorientasi pada peningkatan produksi, padat modal, dan mengandalkan pelaku besar sudah dipraktikkan di Peru, China, dan Vietnam. Produksi perikanan tangkap Peru pernah menjadi nomor satu dunia dan kini menempati urutan kedua (7,4 juta ton) setelah China (14,8 juta ton).

Model populis berorientasi pada penanggulangan kemiskinan dan mengandalkan pelaku-pelaku kecil, seperti di Filipina. Investasi besar tidak bermain di sektor hulu, tetapi di hilir. Pilihan ini sangat pronelayan, tetapi tidak menghasilkan angka produksi dan ekspor yang spektakuler.

Model ketiga yang merupakan perpaduan teknokratik dan populis dipraktikkan di Jepang dan Norwegia. Model ini melindungi nelayan kecil, tetapi pada saat yang sama mengembangkan industri skala besar dengan mendorong nelayan-nelayan yang kuat beroperasi di perairan internasional. Nelayan kecil sejahtera, tetapi produksi tetap tinggi.

Bila amanat konstitusi menjadi pertimbangan, maka perpaduan model teknokratik dengan populis atau teknopopulis menjadi pilihan tepat untuk mengembangkan industri bahari di negeri ini. Jumlah nelayan tradisional yang masih 90 persen akan terlindungi dan masih ada ruang untuk mengembangkan industri perikanan, termasuk pengolahannya.

Ini berarti optimalisasi informasi baik iklim maupun kawasan potensi ikan ke komunitas nelayan, peningkatan sumber daya manusia, penyediaan asuransi iklim dan modal usaha bagi nelayan, infrastruktur yang memadai, serta terbukanya kawasan investasi perikanan yang efisien dan bebas pungutan liar.

Semua itu sungguh bukan pekerjaan yang mudah di tengah euforia otonomi. Akan tetapi, justru di sinilah peran Kementerian Kelautan dan Perikanan diuji.

09 Februari 2011
Source:http://cetak.kompas.com/read/2011/02/08/04332498/.sejahtera.di..negeri.bahari

Mengembalikan Keberpihakan Perbankan

Kesadaran akan pentingnya keberpihakan perbankan terhadap sektor perikanan sudah muncul sejak Indonesia merdeka. Salah satu buktinya, selain Bank Negara Indonesia Tahun 1946, negara mendirikan pula Bank Tani dan Nelayan.

”Waktu itu sudah disadari petani dan nelayan miskin,” ujar Sri-Edi Swasono, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Dengan demikian, diperlukan bank khusus tani dan nelayan untuk membantu pembiayaan.

Namun, dalam perkembangannya, bank untuk tani dan nelayan itu akhirnya tertelan sejarah, melebur ke bank lain. Melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 41 Tahun 1960, Bank Rakyat Indonesia (BRI) serta Bank Tani dan Nelayan melebur ke dalam Bank Koperasi, Tani, dan Nelayan (BKTN). Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM) juga melebur ke dalam BKTN.

Dalam catatan sejarah BRI, lebih lanjut disebutkan bahwa lima tahun kemudian, berdasarkan Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 9 Tahun 1965, BKTN diintegrasikan ke dalam Bank Indonesia dengan nama Bank Indonesia Urusan Koperasi, Tani, dan Nelayan.

Setelah berjalan selama satu bulan, keluar Penpres Nomor 17 Tahun 1965 tentang Pembentukan Bank Tunggal dengan nama Bank Negara Indonesia (BNI). Dalam ketentuan baru itu, Bank Indonesia Urusan Koperasi, Tani, dan Nelayan (eks BKTN) diintegrasikan dengan nama BNI Unit II Bidang Rural, sedangkan NHM menjadi BNI Unit II Bidang Ekspor Impor.

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang Undang-Undang Pokok Perbankan dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Undang-Undang Bank Sentral akhirnya mengembalikan fungsi Bank Indonesia sebagai bank sentral. Selain itu, BNI Unit II Bidang Rural dan Ekspor Impor dipisahkan masing-masing menjadi dua bank, yaitu BRI dan Bank Ekspor Impor Indonesia. Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1968 menetapkan kembali tugas-tugas pokok BRI sebagai bank umum.

”Sejak itu, kredit-kredit besar tidak lagi diberikan bagi kepentingan petani dan nelayan,” kata Sri-Edi. Padahal, kredit perbankan ini sangat diperlukan untuk investasi mengembangkan perikanan tangkap yang tangguh dan membangun industri pengolahan perikanan.

Data Bank Indonesia menunjukkan bahwa dalam kurun 2005-2009 alokasi kredit untuk perikanan hanya naik dari 0,22 persen menjadi 0,23 persen. Selama tahun 2009, misalnya, penyaluran kredit perikanan Rp 3,33 triliun (0,23 persen) dari total kredit perbankan. Kredit itu meliputi usaha kecil dan menengah Rp 2,1 triliun, sisanya Rp 1,2 triliun untuk usaha besar.

Kredit bermasalah

Meski alokasi kredit minim, tingkat kredit bermasalah (nonperforming loan/NPL) di sektor perikanan tergolong tinggi. Tahun 2009, NPL perikanan mencapai 11,76 persen dari total kredit. Penyebab kredit macet itu, di antaranya, nelayan yang telah mendapat kredit dari bank tidak mampu membayar atau pindah wilayah tinggal tanpa pemberitahuan sehingga sulit dilacak oleh perbankan. ”Perikanan masih menjadi sektor yang menakutkan bagi perbankan,” ujar Deputi Gubernur Bank Indonesia Budi Rochadi (Kompas, 23/4/2010).

Dekan Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor Arif Satria juga mengakui perbankan masih menilai NPL perikanan menjadi momok, baik terhadap perusahaan perikanan besar maupun terhadap nelayan kecil. Terkait masalah ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan pernah berdebat panjang dengan direksi Bank Indonesia dan direksi BRI tentang alokasi kredit untuk sektor perikanan.

Bank Indonesia sebetulnya tidak tinggal diam. Bank Indonesia telah menandatangani nota kesepakatan dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan pada 22 April 2010. Salah satu butir kesepakatan itu adalah membentuk kluster di daerah-daerah guna mempertemukan pengusaha besar, kelompok nelayan, pembudidaya, pemerintah daerah, dan perbankan guna mengatasi masalah permodalan usaha perikanan. Namun, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Perikanan Indonesia (Gappindo) Bambang Suboko menilai, BI telah gagal mendorong fungsi intermediasi perbankan di sektor perikanan.

Dengan gagalnya fungsi intermediasi itu, sekadar ilustrasi, ikan patin Indonesia tidak mungkin akan bersaing dengan ikan patin Myanmar atau Vietnam. Petani yang memelihara ikan patin di Myanmar dan Vietnam mendapat diskon kredit, sedangkan suku bunga kredit di Indonesia sulit bergerak pada kisaran 14 persen. ”Dengan suku bunga semacam ini, saya kira kita tidak bisa bergerak sama sekali,” ujar Bambang.

Terlebih lagi jika nanti tahun 2015 Indonesia masuk menjadi bagian dari komunitas negara-negara Asia Tenggara (ASEAN Community), Indonesia akan kembali ”dimakan” negara-negara ASEAN lain karena kalah dalam insentif suku bunga.

Untuk itu, Bambang Suboko menyarankan kepada perbankan untuk mengambil peran dalam pengembangan sektor perikanan ini. Pertama, memperbaiki peranan intermediasi. Kedua, menurunkan suku bunga kredit konsumsi yang sekarang 16,63 persen dan kredit investasi yang sekarang sebesar 13,78 persen, menurunkan bunga surat utang negara yang sekarang 9-10 persen, serta meninjau kembali giro wajib minimum. Selain itu, memperbaiki persepsi pada sektor riil yang berisiko besar. Ketiga, memperbaiki fasilitas pembiayaan ekspor seperti kredit modal kerja ekspor, pembiayaan letter of credit, dan asuransi ekspor.

Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri sepakat dengan Bambang Suboko bahwa sesuai data Bank Dunia, suku bunga kredit tertinggi di seluruh dunia ada di Indonesia, yaitu sekitar 14 persen. Padahal di Thailand, suku bunga kredit hanya 2,8 persen. Inti masalahnya, kata Rokhmin, kalau dari sisi pembiayaan Indonesia sudah kalah kompetitif dibandingkan negara lain, maka lupakan sektor perikanan bisa kompetitif.

”Oleh karena itu, perlu terobosan dari sisi pembiayaan,” tambah Arif Satria.

Perlu instrumen nonbank

Arif Satria menilai, selama sektor perikanan bergantung pada bank, sektor ini selalu akan berbenturan dengan kepentingan bank yang mengacu pada UU Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Bank tidak sepenuhnya bisa dipersalahkan karena ada prinsip kehati-hatian yang harus ditaati perbankan.

Salah seorang peserta diskusi, Son Diamar, menyarankan agar diadakan perubahan Undang-Undang Bank Indonesia agar fungsi intermediasi perbankan bisa lebih berjalan.

Pemerintah juga mempunyai program kredit usaha rakyat (KUR) perikanan untuk membantu pembiayaan. Kementerian Kelautan dan Perikanan telah pula menjalin kerja sama dengan sejumlah bank. Kerja sama dengan BNI, misalnya, ditandatangani pada 27 September 2010. Kerja sama itu, seperti dikutip dalam siaran pers BNI, langsung diwujudkan dengan penandatanganan persetujuan pemberian fasilitas kredit senilai Rp 70 miliar.

Namun, praktik di lapangan, seperti diamati Rokhmin Dahuri, tidak selalu mulus. ”KUR perikanan itu susah sekali didapatkannya. Selain bunganya tinggi sekali, rakyat kecil enggak bisa pinjam ke bank,” tuturnya.

Arif Satria mengusulkan perlunya menciptakan instrumen lain nonbank. Kalau sekarang Kementerian Pertanian membuat RUU Pembiayaan Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan juga perlu mengusulkan RUU Pembiayaan Perikanan. Dengan demikian, nanti ada Lembaga Keuangan Mikro (LKM) di lapangan yang tidak kaku seperti bank.

”LKM harus fleksibel dan adaptif terhadap kepentingan nelayan,” katanya.

Namun, kembalinya perbankan berpihak pada kepentingan tani dan nelayan—sebagaimana tercatat dalam sejarah terbentuknya Republik Indonesia— tetap menjadi harapan.

09 Februari 2011
Source: http://cetak.kompas.com/read/2011/02/08/04340062/.mengembalikan.keberpihakan.perbankan

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...