Friday, August 14, 2009

Aqua Rancang Proyek "WASH" di NTT

Perlu komitmen serius dan pro aktif untuk melakukan peningkatan akses terhadap air bersih dan aman untuk dikonsumsi, serta fasilitas sanitasi yang baik sebagai kebutuhan mendasar bagi masyarakat.

Hal tersebut diungkapkan oleh Troy Pantouw, Direktur Komunikasi Tirta Investama, perusahaan yang membawahi perusahaan air minum Aqua, di sela jumpa pers di Jakarta, Selasa (14/7). Troy mengatakan, untuk mendukung komitmen tersebut, Aqua telah merancang proyek WASH (akses air, sanitasi, dan higienis) di NTT melalui program "1L untuk 10L" atau satu liter untuk 10 liter.

Menurut Troy, program tersebut merupakan prakarsa konsep pemasaran berdimensi sosial (cause related marketing). Program yang bertujuan untuk meningkatkan kesehatan ribuan keluarga di seluruh penjuru negeri di Indonesia.

"Kami mengakui bahwa kami belum bisa menyediakan sumber-sumber air bersih, untuk itu kami menggandeng ACF untuk mencari lokasi-lokasi tersebut demi memberi dukungan penyediaan air bersih ini di NTT," ujar Troy.

Action Contre La Faim (ACF) merupakan Lembaga Swadaya Masyarakat dari Perancis. ACF inilah yang akan melakukan penelitian untuk mencari cadangan sumber-sumber air bersih di NTT.

Terkait hal itu, Troy menampik bahwa program ke NTT ini bukan untuk mencari sumber air baru untuk mendukung potensi bisnisnya ke depan.

"Nantinya, berdasarkan penelitian itu kami bisa menyediakan sanitasi agar selanjutnya masyarakat dapat meneruskan program ini dan bisa tetap hidup dengan air sehat," ujarnya.

Program WASH pertama telah berhasil dilakukan pada September 2009 lalu. Dari program pertama tersebut, sekitar 19.000 jiwa di 4 kecamatan di kabupaten TTS dapat memiliki akses yang lebih baik terhadap air bersih dan sebuah kehidupan yang lebih sehat.

"Untuk putaran kedua yaitu 2009-2011 akan ditargetkan beberapa desa lagi di NTT, secara keseluruhan sekitar 35.000 jiwa akan mendapat manfaat dari program ini," tuturnya.

Selasa, 14 Juli 2009 | 16:10 WIB

JAKARTA, KOMPAS. com —http://sains.kompas.com/read/xml/2009/07/14/16104224/aqua.rancang.proyek.wash.di.ntt

Biochar Suburkan Lahan dan Serap Karbon

Pembentukan biochar atau arang hayati dengan potensi jutaan ton setiap tahunnya secara ilmiah mampu menyuburkan lahan sekaligus bermanfaat menyerap karbon. Namun, potensi ini masih terabaikan padahal bahan baku melimpah, seperti sekam serta jerami padi, tempurung kelapa, limbah biji sawit, dan limbah industri kayu.

”Tidak perlu mekanisme yang sulit untuk berpartisipasi mengurangi emisi karbon. Potensi biochar sangat berlimpah, tetapi implementasinya sampai sekarang masih sangat sedikit,” kata peneliti ekofisiologi Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Sukamandi, Anischan Gani, dalam seminar di Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor, Kamis (18/6).

Gani memaparkan, pemanfaatan biochar khususnya untuk perbaikan lahan pertanian. Manfaat lainnya adalah dapat menyimpan karbon secara stabil selama ribuan tahun dengan cara dibenamkan ke dalam lahan itu.

Pembicara lainnya yaitu peneliti pada Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (Balitkabi) Yudi Widodo. Yudi menyampaikan makalah mengenai peran ubi-ubian untuk antisipasi pangan dan energi dalam menghadapi pemanasan global.

Menurut Gani, biochar merupakan arang hayati dari sebuah pembakaran tidak sempurna sehingga menyisakan unsur hara yang menyuburkan lahan. Jika pembakaran berlangsung sempurna, biochar berubah menjadi abu dan melepas karbon. ”Berbeda dengan pupuk bahan organik yang mengalami pembusukan itu akan melepas emisi berupa metana yang 21 kali lipat besarnya melebihi karbon dioksida dalam menyebabkan pemanasan global,” ujarnya.

Yudi mengemukakan, ubi-ubian sebagai tanaman penghasil karbohidrat dapat dikembangkan dengan sistem wanatani. Pengembangan ubi-ubian bisa dilakukan di bawah naungan pepohonan di hutan sekaligus dapat menyelamatkan hutan dan memenuhi kebutuhan pangan dan energi.

Sabtu, 20 Juni 2009 | 10:58 WIB
Laporan wartawan KOMPAS Nawa Tunggal
BOGOR, KOMPAS.com —http://sains.kompas.com/read/xml/2009/06/20/1058258/biochar.suburkan.lahan.dan.serap.karbon.

LIPI Ciptakan Alat Ukur Hujan Online

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) membuat terobosan dalam pengukuran curah hujan. Alat yang dinamakan dengan Stasiun Pengukuran Curah Hujan ini mampu mencatat curah hujan, dan dalam hitungan menit bisa langsung diakses melalui internet. Sehingga potensi banjir bisa dideteksi sejak dini. Ket Foto: Stasiun Pengukuran Curah Hujan yang terdapat di Kecamatan Cilengkrang Bandung Jabar (14/8). Alat yang bisa menyediakan data real time per-3menit itu satu-satunya di Indonesia.

"Kami mulai penelitian sejak 2007. Sensor jadi duluan, baru tahun lalu interfacenya jadi. Kami prihatin karena yang ada sekarang database cuaca warisan Belanda," kata Tigor Nauli, Kepala Pusat Penelitian Informatika LIPI Bandung, di Kantor Kecamatan Cilengkrang, Bandung, Jawa Barat, Jumat (14/8), di mana alat ini berada.

Menurut Elli A. Gojali, peneliti bidang komputer LIPI, alat yang BMG saja belum mempunyainya, berbeda dengan alat pengukur curah hujan sebelumnya. Bedanya, dulu mengggunakan gelas ukur, sehingga tidak bisa disambungkan ke alat elektronik. "Tiap pagi orang mengambil gelas ukur itu dan mengukurnya," tuturnya.

Kalau alat yang investasinya Rp. 10 juta ini, memiliki dua bejana kecil. Keduanya akan berjungkit-jungkit ketika ada air yang masuk. Gerakan inilah yang menghasilkan pulsa elektrik. Kemudian, pulsa elektrik ini lewat interface dikirim ke server. "Dari situ orang sudah bisa mengakses data curah hujan per milimeter. Orang bisa melihat data real time per 3 menit," tandasnya.

Data ini sangat berguna, karena daerah Cilengkrang merupakan daerah hulu. Selama ini kalau Cilengkrang hujan deras, daerah hilirnya berpotensi besar banjir. "Yang berpotensi kena banjir kalau di sini hujan adalah Gedebage Bandung Timur. Kalau grafik sudah menunjukkan data di atas 50 milimeter, mereka sudah siap-siap," katanya.

Adapun, stasiun pengukur curah hujan ini, lanjut Tigor terdiri dari sensor curah hujan berstandar World Meteorological Organization (WMO), dua interface pengubah sinyal, jalur komunikasi dan software pengendali berbasis open source. "Ke depan kami akan mengembangkan sensor yang lain dan jalur komunikasinya menggunakan wireless supaya bisa dipasang di perkebunan. Sekarang masih memakai kabel," papar Tigor.

Dengan tambahan alat tersebut dan penambahan beberapa APCH kita bisa membuat stasiun cuaca kecil. Dengan demikian, tambah Tigor, bukan hanya curah hujan yang bisa diukur tapi juga suhu, kelembaban, dan kecepatan angin. "Sehingga kemungkinan terjadinya banjir, perubahan suhu, kapan periode suatu daerah itu kering atau basah, dan lain-lain sudah bisa kita prediksi. Kalau sudah begini kita sudah berkembang ke Sistem Informasi Cuaca," harap Tigor.

Jumat, 14 Agustus 2009 | 14:09 WIB

BANDUNG, KOMPAS.com - http://sains.kompas.com/read/xml/2009/08/14/14094626/LIPI.Ciptakan.Alat.Ukur.Hujan.Online

Perubahan Iklim Menyebabkan Burung Lebih Kecil

Burung-burung Australia telah mengecil ukurannya dalam 100 tahun terakhir akibat terjadinya pemanasan global. Demikian diutarakan oleh sejumlah ilmuwan. Dengan menggunakan spesimen yang ada di museum, para peneliti tersebut mengukur besar tubuh delapan spesies burung. Hasilnya, mereka menemukan bahwa burung-burung itu ukurannya semakin mengecil, yang tampaknya merupakan respons dari fenomena perubahan iklim. Seorang ahli biologi dari Australian National University (ANU), Janet Gardner, mengatakan bahwa burung-burung modern ukurannya lebih kecil 4 persen dibandingkan dengan generasi pendahulunya—sebuah perubahan yang, menurut para peneliti tersebut, cukup signifikan. ”Burung, seperti hewan lain, punya kecenderungan mengecil ukurannya jika hidup di iklim yang lebih hangat karena tubuh yang berukuran kecil lebih mudah kehilangan suhu badan dibandingkan dengan hewan bertubuh lebih besar,” ujar Gardner. ”Individu hewan dengan spesies yang sama, ukuran tubuhnya cenderung lebih besar bagi hewan yang hidup di kutub daripada yang hidup di dekat ekuator. (AFP/ISW)

Jumat, 14 Agustus 2009 | 03:48 WIB, Source: http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/14/03485323/kilas.iptek

Royalti untuk Mbah Surip

Mbah Surip mendapat royalti ringbacktone Rp 4,5 miliar. ”Ha-ha-ha, aku kaya juga rupanya,” komentar penyanyi ”Tak Gendong” itu walaupun dia tidak pernah tahu di mana kekayaannya itu berada. Rp 4,5 miliar itu ternyata ada di pemberitaan sejumlah media elektronik dan media cetak. Bisa jadi Mbah Surip menganggap berita itu main-main untuk menyenangkan hatinya, seperti dia yang selalu berusaha menyenangkan teman-teman dan kerabatnya. Theodore KS

Bukan pula tidak mungkin Rp 4,5 miliar itu benar, bahkan barangkali jumlahnya bisa lebih banyak lagi hingga Rp 10 miliar, seperti kata Ketua Persatuan Penata Musik dan Pencipta Lagu Indonesia Dharma Oratmangun (Warta Kota, 6/8). Kalau sebanyak itu royaltinya dari ringbacktone (RBT), mengapa Mbah Surip belum menerima?

Pertanyaan itu semakin mencuat begitu Mbah Surip tutup usia. Akibatnya, industri musik Indonesia jadi bulan-bulanan di Facebook dan pengulasan di media elektronik. Konon ada sebuah stasiun televisi yang berniat membahas masalah RBT lebih jauh dan menganggap inilah waktunya mempertanyakan sekaligus menelusuri seluk-beluk bisnis RBT yang melibatkan sejumlah pihak itu. Mulai dari operator telepon seluler, perusahaan rekaman yang belakangan ini disebut label, publisher (penerbit musik), collecting society (Yayasan Karya Cipta Indonesia dan Wahana Musik Indonesia), pencipta lagu, hingga penyanyi.

Belakangan ini bukan hanya lagu-lagu baru, lagu-lagu lama yang populer para masa 1950-an hingga 1990-an juga dijadikan RBT, bahkan ”dijual” ke Malaysia. Sementara lagu-lagu perjuangan ciptaan Ismail Marzuki juga sudah dijadikan RBT (Kompas, 16 Agustus 2006), demikian lagu-lagu keroncong, campursari, termasuk lagu-lagu Benyamin S yang sangat populer tahun 1960 hingga 1970-an, sampai lagu-lagu Mbah Surip yang direkam beberapa tahun silam itu ikut di-RBT-kan. Sementara itu, General Manager Telkomsel Regional Jawa Barat TB Daniel Azhari pada tahun 2007 menyatakan menyediakan RBT lagu- lagu berbahasa Sunda yang diikuti lagu-lagu berbahasa daerah lainnya.

”Ringtone” dan ”truetone”

Pada awalnya adalah ringtone dan truetone, yaitu lagu minus vokal penyanyi sebagai pengganti dering telepon seluler. Ringtone mulai dikenal di Indonesia tahun 2002. Dua tahun kemudian, 2004, nada dering itu diperkirakan diunduh oleh tidak kurang dari 6 juta pemilik telepon seluler. Tahun 2002 Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI) berhasil mengumpulkan royalti pencipta lagu Rp 178.450.000 (2002), Rp 1.017.826.472 (2003), dan Rp 2.268.342.966 (2004), seperti diberitakan Kompas, 8 September 2005.

Pertengahan tahun 2004, lagu dengan musik plus vokal penyanyi, sebagaimana terdengar di kaset dan CD, dikompres dalam format MP3 menjadi RBT yang biasanya diputar selama lebih kurang 30 detik, menggeser ringtone dan truetone, menjadi pasar baru industri musik Indonesia. Konsumennya adalah pemilik telepon seluler di seluruh Indonesia yang waktu itu diperkirakan berjumlah sekitar 30 juta orang. Peterpan antara lain tercatat sebagai grup musik yang menikmati royalti dari RBT-nya yang diunduh waktu itu dengan lagu ”Ada Apa Denganmu”.

Operator telepon seperti, Telkomsel, Indosat, Satelindo, Flexi, 3, Esia, Exelmindo, IM3, atau Axis, mengurangi pulsa user (pemilik telepon seluler) Rp 9.000 untuk pengunduhan lagu itu dengan masa aktif satu bulan. ”Ada Apa Denganmu” setiap hari antara Januari dan Mei 2005 diunduh 5.000 hingga 10.000 user. Setiap RBT yang dijual operator dipotong Rp 2.000 untuk biaya administrasi dan infrastruktur operator. Jadi, Rp 9.000-Rp 2.000 > Rp 7.000. Ini berarti selama lima bulan (150 hari), lagu-lagu Peterpan terjual 150 hari x Rp 10.000 x Rp 7.000 > Rp 10,5 miliar. Jumlah ini dibagi dua, operator (dalam hal ini Telkomsel) dan Musica Studio’s sebagai perusahaan yang memproduksi rekaman Peterpan masing-masing memperoleh Rp 5,25 miliar. Pencipta lagu kebagian 5,4 persen dari hasil itu, sebagaimana penjual kaset dan CD.

Namun, sekarang, menurut Djadjat Sudradjat, Ketua Umum Asosiasi Industri Musik Indonesia, dan Eddy Hariatno, Ketua Umum Wahana Musik Indonesia, persentase royalti pencipta lagu untuk RBT adalah 9 persen. Sementara bagi penyanyi, tergantung dari perjanjiannya dengan label. Jan Djuhana dari Sony-BMG menyatakan persentasenya bisa 5 persen, 10 persen, atau 15 persen. Penyanyi baru bisa jadi 5 persen, sementara penyanyi yang sudah punya nama besar 15 persen, bahkan lebih.

Setiap lagu Mbah Surip seperti ”Tak Gendong”, ”Bangun Tidur”, ”Melodi Sekuriti”, ”Enak Tenan”, ”Sejarah Cintaku”, ”Aku Sekarang Ganteng”, ”Tukang Nasi Goreng”, ”Dikejar Aku Gak Mau”, ”Ujug Ujug”, ”I Love You Full”, ”Papa Rock ’n Roll”, ”Jodi (Jomblo Ditinggal Mati)”, ”Gak Ada Waktu”, dan ”Pejuang Cinta” yang pasti memperoleh 9 persen, sementara sebagai penyanyi, masih belum jelas perolehannya. Katakanlah Mbah Surip memperoleh royalti sebagai penyanyi dari RBT lagu-lagunya 10 persen dan sebagai pencipta lagu 9 persen, berarti jumlah royaltinya untuk setiap lagu adalah 19 persen.

Persentase ini diperhitungkan dari harga yang dibayar seorang user Rp. 9000 untuk jangka waktu satu bulan, dipotong Rp 2.000 (administrasi dan infrastruktur operator) hingga menjadi Rp 7.000, dibagi 2, masing- masing 50 persen untuk operator telepon (Excelmindo, Indosat, Telkomsel, 3, Axis, Esia, Fren, Flexi) dan 50 persen bagi label (Sony-BMG, Musica Studio’s, Aquarius Musikindo, GNP, EMI, Warner, Nagaswara, dan lain-lain).

Berarti, untuk setiap lagunya yang menjadi RBT, Mbah Surip menerima Rp 3.500 x 19 persen > Rp 665 untuk jangka waktu satu bulan. Apabila RBT lagu itu akan digunakan user pada bulan berikutnya, Mbah Surip menerima lagi jumlah yang sama. Rp 665 akan dikalikan jumlah RBT yang diunduh di semua operator telepon. Jumlahnya dilaporkan kepada label per kuartal (per tiga bulan). Jadi, dari satu operator telepon bisa saja berjumlah 100.000 pengunduh dalam waktu satu kuartal atau lebih, bisa juga hanya 10.000 RBT atau kurang.

Sebagai perbandingan, lagu ”Matahariku” yang dinyanyikan Agnes Monica diunduh sebanyak 3 juta RBT dalam waktu sembilan bulan. Labelnya, Aquarius Musikindo, tidak bersedia menyebutkan berapa persen Agnes memperoleh royalti RBT lagu yang dinyanyikannya. Agnes menerima royaltinya setiap kuartal. Kalau saja dia memperoleh 20 persen, berarti Rp 3.500 x 20 persen x 3 juta > Rp. 2,1 miliar dalam waktu sembilan bulan (tiga kuartal).

Sementara RBT lagu-lagu Mbah Surip baru ramai diminati sekitar tiga bulan. Jadi, sudah waktunya dia menerima pembayaran royalti dari RBT lagu-lagunya. Tetapi berapa jumlah itulah yang tidak mudah dihitung. Berdasarkan pengamatan pelaku industri musik, untuk kurun waktu itu, paling banyak lagu Mbah Surip diunduh 1 juta user, yang berarti royaltinya lebih kurang Rp 665 juta.

Kalau ditambah dengan penjualan CD, kaset, dan performing right-nya yang dipungut YKCI, bisa lebih. YKCI mendistribusikan royalti para pencipta lagu satu kali dalam satu tahun, tahun ini sudah berlangsung. Jadi Mbah Surip baru memperoleh royalti performing right lagu-lagu yang dinyanyikannya di televisi dan panggung tahun depan, 2010.

Sementara dari penjualan CD dan kaset, bisa saja royaltinya dibayar sekarang, tapi sekali lagi tergantung dari bagaimana kontraknya dengan label. Kalau Mbah Surip menandatangani kontrak flat (sekali bayar), secara hukum berarti dia tidak memperoleh apa-apa lagi walaupun CD atau kasetnya terjual sampai ratusan ribu atau hingga jutaan keping.

Lagi pula, penjualan fisik media musik seperti CD dan kaset saat ini sudah sangat menurun, mencapai penjualan 100.000 keping saja sulit. Sejauh ini label yang memproduksi lagu-lagu Mbah Surip juga belum bereaksi sehingga perhitungan Rp 4,5 miliar yang entah dari mana asalnya itu dan harapan ahli waris Mbah Surip terus bergulir.

”An old man turned ninety eight, he won the lottery and died the next day, it’s a black fly in your Chardonnay, it’s a death row pardon two minutes too late, isn’t it ironic ... don’t you think …” kata Alanis Morissette dalam lagunya, ”Ironic”.

Theodore KS Penulis Masalah Industri Musik

Kamis, 13 Agustus 2009 | 05:18 WIB, Source: http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/13/05181371/royalti.untuk.mbah.surip

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...