Thursday, August 20, 2009

10.000 Hektar Hutan Bakau NTT Rusak

Kepala Dinas Kehutanan Nusa Tenggara Timur (NTT) Joseph Diaz mengatakan, sekitar 9.989 hektar (2,25 persen) hutan bakau di provinsi itu rusak dari 40.695 hektar yang ada. Ket Foto: ilustrasi

"Dari 40.695 hektar luas hutan mangrove di NTT ini sudah banyak yang mengalami tekanan di antaranya akibat penebangan hutan mangrove oleh masyarakat untuk kebutuhan bahan bangunan, kayu bakar," katanya di Kupang, Minggu (16/8).

Menurut Diaz, hasil survei yang dilakukan Dinas Kehutanan, Univesitas Nusa Cendana (Undana), dan Institut Pertanian Bogor (IPB) menyebutkan, potensi mangrove di Nusa Tenggara Timur cukup besar dapat ditemukan di perairan NTT.

Pada wilayah ini, ekosistem ini pada beberapa lokasi lebih menonjol bila dibandingkan dengan ekosistem pesisir lainnya.

Hutan mangrove di NTT tidak sebanyak di pulau-pulau besar di Indonesia karena kondisi alam di NTT yang membatasi pertumbuhan mangrove, seperti kurangnya muara sungai yang besar di NTT sehingga pertumbuhan mangrove yang ada sangat tipis.

"Di beberapa lokasi mangrove dapat tumbuh dengan baik karena didukung muara sungai besar dengan sedimentasi yang cukup tinggi seperti di muara sungai Benenain di Kabupaten Belu dan muara sungai Noelmina di Kabupaten Kupang," katanya.

Mantan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedalda) NTT ini lebih lanjut mengatakan, hasil survei Dinas Kehutanan, UNDANA, dan IPB juga berhasil mengidentifikasikan 11 spesies mangrove di Pulau Timor, Rote, Sabu, dan Semau.

"Hasil survei itu juga menemukan hutan mangrove di NTT, terdapat kurang lebih sembilan famili yang terbagi dalam 15 spesies bakau genjah (Rizophora mucronata), bakau kecil (Rizophora apiculata), bakau tancang (Bruguera), bakau api-api (Avecinnia), bakau jambok (Xylocorpus), bakau bintaro (Cerbera mangkas), bakau wande (Hibiscus tiliacues)," katanya.

Namun, keberadaan spesies ini, sebagai salah satu sumber daya pesisir dan laut NTT, terdegradasi yang mengancam kapasitas berkelanjutan (sustainable capacity) dalam mendukung pembangunan daerah.

Di NTT, degradasi sumber daya pesisir dan laut ini disebabkan tidak saja oleh faktor manusia, tetapi juga oleh faktor alam, seperti perubahan suhu dan salinitas air laut, perubahan iklim, dan ombak keras.

Namun dari data yang diperoleh, kerusakan yang lebih banyak dan lebih parah diakibatkan pengaruh antropogenic (aktivitas manusia), antara lain tumpahan minyak dan sampah, tangkapan berlebih (overfishing), penambangan terumbu karang, konservasi menjadi tambak, serta pengeboman ikan dengan potasium dan sianida.

Minggu, 16 Agustus 2009 | 13:23 WIB

KUPANG, KOMPAS.com —http://sains.kompas.com/read/xml/2009/08/16/13234767/10.000.hektar.hutan.bakau.ntt.rusak

Elang Jawa dan Tikukur Botol Selangkah Lagi Punah

Populasi elang jawa dan burung tikukur botol di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS) kian terancam punah akibat pemburuan juga kerusakan hutan lindung yang dilakukan masyarakat. Ket Foto: Anak elang jawa (Spizaetus bartelsi) berusia sembilan bulan sedang belajar terbang di kawasan Cagar Alam Telaga Warna, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Jumat (3/11).

"Diperkirakan populasi elang jawa sekitar 19 ekor dan tikukur botol hingga kini belum terdeteksi keberadaannya," kata Kepala Seksi Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Kabupaten Lebak, Nurli, Kamis (18/6).

Nurli mengatakan, berkurangnya satwa yang dilindungi pemerintah itu karena tanaman yang dijadikan sumber makanan kian menipis, bahkan beberapa titik sudah menghilang akibat adanya penebangan liar tersebut. Selain itu, juga akibat pemburuan yang dilakukan orang yang tidak bertanggung jawab.

Bahkan, populasi burung tikukur botol menghilang dan saat ini belum ditemukan kembali. Sedangkan populasi elang jawa masih berkeliaran di sekitar Cikaniki, Blok Wates, dan Gunung Endut sekitar kawasan hutan lindung TNGHS.

"Saya sendiri hingga kini belum mengetahui bentuk burung tikukur botol itu," ujar Nurli. Oleh karena itu, pihaknya terus melakukan pemantauan dan monitoring untuk menyelamatkan burung yang kategori langka itu supaya tidak terancam punah.

Dia mengatakan, berdasarkan hasil monitoring di lapangan diperkirakan 19 ekor burung elang jawa yang masih berkeliaran di kawasan hutan konservasi TNGHS. Namun, hingga saat ini burung elang jawa sulit berkembang biak karena adanya kerusakan kawasan hutan taman nasional itu.

Untuk mencegah kepunahan elang jawa dan tikukur botol di kawasan hutan Gunung Halimun-Salak, pihaknya berkoordinasi dengan Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) Sukabumi. Kawasan hutan lindung TNGHS yang meliputi tiga kabupaten, yakni Lebak, Bogor, dan Sukabumi, banyak satwa spesies yang dilindungi pemerintah, misalnya elang jawa, owa abu-abu, dan macan tutul.

Kamis, 18 Juni 2009 | 17:38 WIB
LEBAK, KOMPAS.comhttp://sains.kompas.com/read/xml/2009/06/18/17385287/elang.jawa.dan.tikukur.botol.selangkah.lagi.punah

Elang Jawa Dilepasliarkan di Gunung Gede Pangrango

Satu ekor elang jawa (Spizaetus bartelsi) hasil sitaan dilepasliarkan kembali di habitat aslinya di kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango sehari setelah hari kemerdekaan Indonesia. Satwa tersebut adalah salah satu satwa edemik (yang hanya hidup) di Pulau Jawa.

Dalam siaran pers yang dikeluarkan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Rabu (19/8), diingatkan bahwa elang jawa adalah burung yang diidentikkan dengan lambang negara Indonesia, yaitu Garuda. Pada tahun 1993, elang jawa ditetapkan sebagai salah satu dari tiga satwa yang identik dengan bangsa dan negara Indonesia.

"Elang jawa yang dilepasliarkan ini berasal dari PPS Cikanagara, yang kami terima akhir tahun 2008. PPS menyita dari warga yang memeliharanya secara ilegal. Setelah menjalani tahapan rehabilitasi di Suaka Elang, elang jawa ini akhirnya siap untuk menjadi satwa liar di habitat aslinya," kata Gunawan, koordinator Suaka Elang.

Berdasarkan data dari Pusat Penyelamatan Satwa (PPS), dalam lima tahun terakhir tidak kurang 20 ekor elang jawa disita dari pemeliharaannya secara ilegal. Diduga, jumlah satwa ini yang ada di perdagangan gelap lebih banyak lagi. Satwa ini di alam liar jumlahnya pun makin terancam susut akibat perburuan dan perdagangan liar serta kerusakan hutan habitatnya.

PPS adalah lembaga nirlaba di bawah pengendalian Departemen Kehutanan cq Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Begitu juga Suaka Elang, adalah organisasi nirlaba yang aktivisnya adalah organisasi atau individu pemerhati dan peduli pada kelestarian satwa yang dilindungi, termasuk burung raptor (pemangsa) khususnya elang. Suaka Elang berlokasi di Taman Nasional Gunung Halimun Salak.

Menurut Gunawan, elang hasil sitaan tidak serta-mereta dapat dilepasliarkan di habitat aslinya. Elang tersebut harus diobservasi dan menjalani berbagai penialaian atau kajian kelayakannya, seperti masalah kesehatan fisik dan perilakunya. Perilaku tersebut meliputi kesiapan dirinya berburu di alam, sosialisasinya dengan sesama jenis maupun jenis satwa lain, dan perilaku umum seperti terbang, bertengger, serta bersarang. Selain satwanya, kajian juga dilaksanakan pada habitat yang menjadi lokasi pelepasliaran.

Jadi, kata Usep Suparman dari Raptor Conservation Socisty, elang jawa dilepaskan di kawasan Tapos Taman Nasional Gunung Gede Pangrango pada ketinggian 950-1500 mdpl ini bukan asal pilih, tetapi berdasarkan kajian yang cukup mendalam. Lokasi ini layak untuk tempat pelepasliaran karena merupakan kawasan penyanggga taman nasional, tingkat gangguan dan ancaman pada elang relatif kecil dan ketersedian pangannya cukup, kata Usep.

Kegiatan pelepasliaran satu ekor elang Jawa tersebut berlangsung Selasa (18/8) pagi di resort PTN Tapos BTN Wilayah III, Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrang di Desa Citapen, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor. Seremonial pelepasliaran dilakukan Dirjen PHKA Darori dan disaksikan para undangan dan perwakilan dari berbagai LSM lingkungan dan pemerintah daerah setempat.

Kamis, 20 Agustus 2009 | 02:16 WIB

BOGOR, KOMPAS -http://sains.kompas.com/read/xml/2009/08/20/02160465/elang.jawa.dilepasliarkan.di.gunung.gede.pangrango

109 Spesies Terancam Punah

Sebanyak 109 spesies dalam hutan restorasi Harapan Rainforest di perbatasan Jambi-Sumatera Selatan terancam punah. Hal itu disebabkan menurunnya kerapatan pepohonan dalam kawasan hutan tersebut. Ket Foto: Rangkong badak

Penelitian yang dilakukan selama 15 bulan di kawasan restorasi ekosistem Jambi-Sumatera Selatan menunjukkan, terdapat ratusan jenis hewan dan tumbuhan terancam punah di kawasan ini, yaitu 293 spesies burung, 154 mamalia, 27 amfibi, 42 reptilia, dan 444 spesies pohon.

Asisten Riset PT Restorasi Ekosistem Indonesia Harapan Rainforest Wili Rombang mengatakan, dari seluruh spesies tersebut, 109 di antaranya terancam punah, terdiri atas 70 spesies burung, 23 spesies mamalia, 4 spesies amfibi, 1 spesies reptilia, dan 11 spesies tanaman terancam punah.

”Sangat disayangkan jika spesies yang seharusnya dilindungi tersebut sampai punah,” ujar Wili, Rabu (19/8).

Ia melanjutkan, dibutuhkan upaya pemulihan yang melibatkan peran manusia secara lebih alami. Upaya pengembalian fungsi lingkungan tersebut, menurutnya, juga melibatkan peran alami satwa sebagai faktor regenerasi alami.

Burung rangkong

Ia mencontohkan, burung rangkong badak (Buceros rhinoceros) berperan besar menyebarkan buah dan melakukan regenerasi ratusan jenis pohon yang sebelumnya pernah ada dalam Harapan Rainforest, yang merupakan eks hak pemanfaatan hutan (HPH) PT Asialog.

Terdapat sembilan jenis rangkong hidup di sana, di antaranya rangkong gading dan rangkong badak yang memiliki sarang di pepohonan tinggi.

Berkurangnya jenis pohon-pohon tinggi membuat terjadinya peningkatan migrasi burung.

Untuk itu, pihaknya mengupayakan penempatan 20 sarang buatan untuk rangkong pada sejumlah titik di kawasan restorasi. Sarang buatan itu terbuat dari tiga jenis bahan, yaitu serbuk kayu yang dipadatkan, drum plastik, dan drum seng yang dipotong menjadi dua.

Pilihan ketiga jenis bahan tersebut adalah untuk menilai yang paling disukai rangkong sebagai tempat singgah. Pengetahuan jenis pohon yang tumbuh sebelumnya, membuka peluang ketersediaan sumber pakan bagi hewan.

Menurut Wili, butuh 3 sampai 5 tahun hingga rangkong mau menempati sarang buatan. Selain rangkong, penyebaran biji dan benih juga dibantu jenis burung penyebar biji-bijian, seperti merpati, kutilang, dan burung pemakan buah. (ITA)

Kamis, 20 Agustus 2009 | 08:09 WIB

JAMBI, KOMPAS.com -http://sains.kompas.com/read/xml/2009/08/20/08090352/109.spesies.terancam.punah

LIPI Luncurkan ISRA, Radar Pantai Buatan Indonesia

Indonesian Sea Radar (ISRA) radar pengawas pertama milik Indonesia hasil ciptaan para peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) akhirnya diluncurkan. Ini merupakan radar yang dapat digunakan untuk membantu pengaturan transportasi laut dan udara, pengamatan cuaca, pemetaan wilayah, serta navigasi. Ket Foto: Kepala LIPI Prof. Dr. Umar Anggara mengamati radar ISRA saat peluncuran di Balai Besar Pengembangan Teknologi Tepat Guna Subang, Kamis (20/8).

"Selain itu dapat digunakan untuk aplikasi pertahanan keamanan (militer) seperti pemandu rudal dan pengunci sasaran," ucap Kepala LIPI Prof. dr. Umar Anggara Jenie saat peluncuran radar tersebut yang merupakan bagian dari peringatan hari ulang tahun LIPI ke-42 di Balai Besar Pengembangan Teknologi Tepat Guna (B2PTTG) LIPI Subang, Jawa Barat. Ikut hadir dalam acara para pejabat LIPI.

Prof. Umar mengatakan, radar ISRA merupakan bukti bahwa tenaga ahli dalam negeri mampu membuat peralatan dengan teknologi tinggi. "Ini mendukung kemandirian membuat alat-alat strategis. Belum lagi prosedur pembelian radar luar negeri sulit dan harganya mahal," jelasnya.

Kepala Bidang Elektronik dan Telekomunikasi LIPI dr. Mashury Wahab mengatakan, penelitian untuk membuat radar tersebut dilakukan selama 3 tahun oleh satu tim berjumlah 20 orang dengan memakan biaya sekitar Rp 3 milyar. Sebelumnya, para peneliti diberikan bantuan oleh pemerintah Belanda untuk pelatihan dasar di Delft University of Technologi the Netherlands yang kemudian diaplikasikan dan dikembangkan di Indonesia.

Radar dengan panjang 2 meter dan lebar 1 meter, berat sekitar 200 kg, serta jangkauan deteksi hingga 64 km tersebut, paparnya, telah menggunakan teknologi Frequency-Modulated Continuous (FM-CW) yang konsumsi daya listrik lebih rendah dan ukuran radar lebih kecil dibanding radar yang digunakan di Indonesia.

"Radar yang digunakan instansi-instansi pemerintah teknologinya ketinggalan, daya (listrik) dan ukurannya juga besar. Kalau radar ISRA biaya operasional dan perawatannya jauh lebih rendah," ujar dia.

60 persen komponen radar, ungkapnya, masih di impor sehingga menjadi hambatan dalam proses pembuatan karena harus menunggu masuknya komponen.

Uji coba radar sudah dilakukan di Cilegon dengan mendeteksi kapal-kapal yang melintasi selat sunda. Menurutnya, produksi masal untuk radar tersebut diharapkan dapat dilakukan pada 2011 setelah melalui proses penyempurnaan.

"Tahap selanjutnya pada akhir tahun ini, kita akan buat radar mobile yang bisa dibawa kemana-mana. Tahap terakhir tahun 2011 kita akan buat jaringan dengan beberapa radar yang terkoneksi dan bisa dipantau dari pusat tanpa harus ke lapangan," jelas dia.

Untuk harga jual, lanjut dia, diperkirakan lebih murah 50 persen dibanding radar pesaing dari negara Polandia yang dibandrol Rp 9 milyar.

Radar versi militer

Lebih lanjut Mashury menjelaskan, LIPI sudah ditugaskan oleh Kementrian Negara Riset dan Teknologi untuk membuat radar versi militer dengan teknologi yang sama untuk dipasang di kapal milik TNI AL pada tahun 2010. "Saat ini semua radar di kapal TNI AL masih impor. Hanya radar dan senjata saja memakan 55 persen dari total harga kapal," ucapnya.

Selain TNI AL, katanya, berbagai pihak mulai tertarik menggunakan radar tersebut seperti Badan Koordinasi Keamanan Laut, Departemen Perhubungan, pihak swasta untuk pengawas pelabuhan, dan beberapa pihak asing. "Di Asia Tenggara cuma kita yang bisa buat (radar)," ujarnya.

Kamis, 20 Agustus 2009 | 15:32 WIB

SUBANG, KOMPAS.com -http://sains.kompas.com/read/xml/2009/08/20/15324239/lipi.luncurkan.isra.radar.pantai.buatan.indonesia

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...