Wednesday, September 2, 2009

Prof. Adrian Bernard Lapian, 80 Tahun Nakhoda Sejarah Kelautan


Selasa, 1 September ini, sejarawan Prof Dr Adrian Bernard Lapian genap berusia 80 tahun. Dalam usia senja, lelaki ini masih berbicara dengan jelas dan runut. Ia mampu mencari sendiri di rak bukunya beberapa pustaka dan majalah yang pernah memuat tulisan tentang dirinya. Salah satunya, Itinerario, jurnal sejarah maritim Belanda, yang lima tahun lalu memuat hasil wawancara dengannya.

Kecuali asam urat dan daya pendengaran yang dirasakannya menurun, Lapian relatif tak punya keluhan kesehatan serius. Ia biasa melakukan perjalanan sendiri ke Jakarta dari Tomohon, Sulawesi Utara. Setelah pensiun sebagai peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 1994, ia lebih banyak tinggal di kampung halaman.

Beberapa bulan lalu ia kembali tinggal di Jakarta guna menyiapkan penerbitan buku yang akan diluncurkan dalam acara peringatan ulang tahunnya ke-80 ini. Meski, ia sudah memercayakan penyuntingan naskah itu kepada penerbit.

”Mungkin mereka (penerbit) khawatir saya tak puas, jadi minta saya mengedit sendiri,” katanya. Maklum, Komunitas Bambu, penerbitnya, dikelola beberapa mantan mahasiswa Lapian.

Acara peringatan ulang tahunnya bakal diisi peluncuran buku Orang Laut-Bajak Laut-Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX. Buku ini adalah naskah disertasinya yang pernah diterbitkan menjadi buku pada 2001. Namun, ia tak puas dengan hasilnya.

Salah satu tesis yang dikemukakan Lapian adalah tentang bajak laut. Menurut dia, definisi yang hanya melihat bajak laut sebagai kriminal perlu dikoreksi. Ia mencontohkan Sir Francis Drake, petualang Inggris yang oleh bangsa Spanyol disebut pirate, perompak/bajak laut. Namun, Pemerintah Inggris justru menganggap Drake sebagai
corsair, orang yang diberi hak merompak sebagai tugas negara. Ia bahkan diberi gelar kehormatan, Sir.

Kesimpulannya, seseorang disebut bajak laut atau corsair tergantung dari pihak yang bicara. Ini sama dengan mereka yang disebut teroris dan berkonotasi negatif, tetapi oleh pihak lain malah dianggap pahlawan.

Buku lain yang juga diluncurkan dalam acara sama yang digelar di Auditorium Perpustakaan Nasional, Salemba, Jakarta, petang nanti, adalah Kembara Bahari. Antologi esai Kehormatan 80 Tahun Lapian ini didedikasikan untuk dia, dari para rekan dan mantan mahasiswanya, yang menjadi sejarawan dan budayawan Indonesia ataupun asing, seperti RZ Leirissa, guru besar sejarah UI, Pieter Drooglever, sejarawan Belanda, Ajip Rosidi, sastrawan, dan sosiolog Mely G Tan.

Peluncuran kedua buku tersebut membangkitkan gairah Lapian. ”Saya senang karena teman-teman ternyata tidak melupakan saya,” ujarnya.

Tak ada duanya

Apa pun bentuk acara peringatannya, Lapian adalah sosok peneliti dan akademisi Indonesia yang membanggakan. Keberadaannya lebih dari pantas untuk dirayakan. Ia, sejarawan yang lewat penelitian dan karya tulis, ikut mengharumkan nama bangsa di berbagai seminar dan lokakarya internasional.

Lebih spesifik lagi, Lapian adalah maestro di bidang sejarah maritim, sejarah kelautan, dan sejarah bahari. Sampai kini boleh dikata belum ada sosok yang mampu menandingi keempuannya itu, bahkan di Asia Tenggara.

Tak kurang dari begawan sejarah Indonesia, almarhum Prof Sartono Kartodirdjo, memuji Lapian setinggi langit. ”Apa yang dilakukan Lapian dengan karyanya merupakan keberhasilan cemerlang. Ia sudah melakukan prinsip yang mengarah ke excellence. Caranya memegang dan menghayati prinsip ini dalam berkarya sebagai akademisi mengingatkan bahwa only the best is good enough,” kata guru besar sejarah Universitas Gadjah Mada itu.

Di bawah bimbingan Sartono, Lapian lulus dengan predikat cum laude dalam ujian doktor tahun 1978.

Adapun Anthony Reid, sejarawan senior dan peneliti utama Asia Research Institute, National University of Singapore, menilai Lapian sebagai sejarawan Indonesia yang tak ada duanya.

”Tak ada sarjana Indonesia yang menunjukkan keahlian sebagai sejarawan lebih baik dari Lapian,” kata Reid, seperti dikutip di sampul belakang buku.

Lapian bukan ilmuwan yang hanya meneropong dari menara gading. Saat sebagian di antara kita baru belakangan sadar dan mewacanakan kurangnya perhatian bangsa kepada kebaharian, Lapian sejak 30-an tahun lalu mengingatkan pentingnya mengalihkan orientasi kehidupan bangsa dari darat ke laut.

Indonesia sebagai negara kepulauan, mengacu pada kata archipelago yang diterjemahkan menjadi nusantara. Terjemahan ini, menurut Lapian, salah kaprah.

”Archipelago berasal dari kata arche yang artinya besar dan pelago yang maknanya laut. Jadi, archipelago berarti laut besar, bukan kepulauan atau nusantara, kata yang sebetulnya bermakna pulau-pulau luar atau pulau-pulau di seberang laut,” paparnya.

Penggunaan istilah nusantara menunjukkan cara pandang bangsa yang lebih berorientasi kepada darat daripada laut.

Namun, tambah Lapian, kesadaran kebaharian sudah jauh lebih baik. Ia menunjuk adanya Departemen Kelautan dan Perikanan sebagai bukti. ”Saya senang karena makin banyak sarjana, termasuk sejarawan, yang berminat terhadap masalah kelautan.”

Dia juga melihat semakin banyak buku sejarah kebaharian, termasuk Angkatan Laut, seperti buku yang ditulis sejumlah purnawirawan perwira tinggi TNI AL, Dan Toch Maar. Buku ini berisi pengalaman anggota TNI AL pertama yang dikirim ke Eropa untuk belajar di Sekolah Tinggi Angkatan Laut Belanda tahun 1950-an.

Dalam seminar sejarah di Jakarta pada 1998, Shahril Talib, guru besar sejarah University of Malaysia, untuk pertama kali menyebut Lapian sebagai ”Nakhoda Sejarah Maritim Asia Tenggara”. Sejak itu ia kerap disapa dengan julukan tersebut.

Julukan nakhoda bagi Lapian tak berlebihan. Ia pelopor sekaligus pengembang utama disiplin sejarah kelautan Indonesia dan Asia Tenggara. Ia menentukan ke mana biduk ilmu pengetahuan itu berlayar. Meski sejarawan maritim muda bermunculan, pengaruh Lapian tetap terasa.

BIODATA 

• Nama: Adrian Bernard Lapian • Lahir: Tegal, Jawa Tengah, 1 September 1929 • Pendidikan: - SD, SMP, SMA/AMS di Tomohon, Sulawesi Utara, lulus ”algemene middelbare school” (AMS), 1950 - Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Jurusan Sipil (kini ITB), 1950-1953, tak selesai - Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra UI, 1956-1961 - Mendalami sejarah maritim di Universitas Leiden, Belanda, 1966 - Doktor ilmu sejarah Universitas Gadjah Mada, lulus 1978 • Karier: - Pustakawan Biro Perancang Negara (kini Bappenas), awal 1950-an - Wartawan ”The Indonesian Observer”, 1954-1957 - Kepala Seksi Sejarah Angkatan Laut dan Maritim, Markas Besar TNI Angkatan Laut, 1962-1965 - Peneliti Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia (kini LIPI), antara lain sebagai Kepala Puslitbang Kemasyarakatan dan Kebudayaan, 1957 sampai pensiun, 1994 - Dosen dan pembimbing kandidat doktor UGM, UI, dan Universitas Sam Ratulangi - Guru besar luar biasa UI, 1992 • Penghargaan: - Bintang Jasa Utama dari Pemerintah Indonesia, 2002

BPPT Ciptakan Hujan Buatan di 17 Wilayah

Untuk menghadapi dampak kekeringan akibat gejala El Nino tahun ini, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi menciptakan hujan buatan di 17 wilayah yang tersebar di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan Jawa. Sebanyak tiga pesawat terbang jenis Cassa 100 dioperasikan untuk pelayanan teknologi modifikasi cuaca sebesar Rp 110 juta per hari ini.

”Hari ini sudah dimulai untuk wilayah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat dengan tujuan memadamkan kebakaran lahan dan hutan. Di wilayah itu sekarang ada sekitar 100 titik panas yang terpantau satelit,” kata Heru Widodo dari Unit Pelaksana Teknis Hujan Buatan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) di Pontianak, Kalimantan Barat, Senin (31/8).

Menurut Heru, wilayah Kalimantan disusul Sumatera, terutama kawasan Riau, merupakan wilayah prioritas untuk menciptakan hujan buatan. Tujuannya untuk memadamkan titik-titik panas yang muncul kembali akhir-akhir ini.

Berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), pada awal pekan ini hujan di beberapa wilayah Indonesia berkurang karena masa Osilasi Madden-Julian (MJO), yang menimbulkan hujan, sudah lewat. Selama dua pekan sebelumnya dampak MJO mendatangkan hujan, terutama di wilayah Kalimantan dan Sumatera, memadamkan titik-titik panas yang ada.

Osilasi MJO ini memiliki periode berulang 40-50 hari khusus di kawasan Samudra Hindia. Kepala Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara BMKG Edvin Aldrian mengatakan, fenomena MJO akan menghilang ketika El Nino menguat. Pada November 2009 dan Januari 2010, El Nino diprediksikan menguat, dan awal musim hujan 2009-2010 diperkirakan akan mundur.

Pompa tenaga surya

Secara terpisah, Deputi Peningkatan Infrastruktur pada Kementerian Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal Agus Dasuki mengatakan, untuk mengatasi kekeringan di beberapa wilayah, pada tahun 2009 ditargetkan akan ada pemasangan pompa tenaga surya. Dua lokasi dari 11 lokasi pemasangan adalah Kulon Progo (Yogyakarta) dan Wonogiri (Jawa Tengah). Lokasi-lokasi lainnya berada di Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, kemudian di beberapa wilayah Sulawesi.

”Pemasangan pompa tenaga surya ini hanya sedikit, hanya bersifat stimulan supaya dapat diikuti pemerintah daerah ataupun pihak-pihak lainnya untuk mengatasi kelangkaan air pada musim kemarau,” kata Agus.

Alokasi anggaran untuk sistem pompa tenaga surya beserta sistem distribusinya, menurut Agus, menelan biaya sampai Rp 1 miliar. Pompa tenaga surya diharapkan bisa untuk menaikkan air dari kedalaman tanah maksimal 90 meter dan menyuplai air bersih 20-60 meter kubik per hari.

Selain pompa tenaga surya yang menggunakan teknologi pengeboran tanah dan pemompaan air tersebut, menurut Agus, institusinya juga menerapkan teknologi pengolahan air sungai. Kemudian dengan pompa pula, air itu didistribusikan kepada masyarakat.

”Program pengolahan air sungai menjadi air bersih hanya dilaksanakan di Sorong, Papua Barat. Ini juga sebagai stimulan bagi wilayah lainnya untuk mengatasi kelangkaan air bersih,” ujar Agus Dasuki. (NAW)

Limbah Merkuri Mulai Cemari Poboya

Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Kota Palu, Sulawesi Tengah, menguji contoh air di sejumlah titik di areal penambangan emas Poboya. Langkah itu menyusul temuan dinas kesehatan mengenai kandungan merkuri 0,05 ppm pada sumur warga sekitar areal tambang. Batas toleransi merkuri 0,01 ppm.

Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Kota Palu Rosida Thalib, Senin (31/8), mengatakan, pihaknya sudah mengambil contoh air di sungai, sumur, dan sumber air Perusahaan Daerah Air Minum.

”Kandungan merkuri sudah mengkhawatirkan sehingga perlu diwaspadai dan dicari solusinya segera,” katanya.

Kepala Dinas Kesehatan Kota Palu drg Emma Sukmawati menuturkan, bulan Juli lalu, pihaknya mengambil contoh air di sumur warga sekitar tempat beroperasi tromol. Tromol adalah alat berat pengolahan biji dan pasir menjadi emas menggunakan air keras.

Pencemaran merkuri adalah salah satu yang dikhawatirkan terkait maraknya aktivitas penambangan emas di Poboya. Para aktivis lembaga swadaya masyarakat, di antaranya Wahana Lingkungan Hidup Sulteng, beberapa kali mengingatkan soal ini.

Poboya merupakan salah sumber air dan penyangga bagi kota Palu. Poboya juga salah satu kawasan hutan dengan luas 200 hektar. Semula aktivitas penambangan dilakukan secara tradisional oleh warga. Belakangan, Poboya juga didatangi penambang dari Gorontalo, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Selatan.

Aktivitas penambangan meningkat menjadi industri tambang skala kecil dan menengah. Saat ini sudah lebih dari 20 tromol beroperasi.

Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah Brigjen (Pol) Suparni Parto menyatakan, tahun lalu hanya sekitar 200 penambang di Poboya. Saat ini penambang sudah mencapai 1.000 lebih dengan lubang galian mencapai ratusan.

”Kami siap menghentikan aktivitas penambangan dengan langkah hukum, tetapi tidak semudah itu. Kami perlu mengambil langkah yang bersifat persuasif, tidak agresif dan tidak menimbulkan persoalan. Perlu solusi bagi para penambang setelah aktivitas mereka dihentikan,” kata Suparni. (REN)

Selasa, 1 September 2009 | 04:38 WIB

Jangan Legalkan Pelanggaran Tata Ruang

Direktur Lingkungan Hidup Perkotaan Institut Hijau Indonesia Selamet Daroyni meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak memutihkan pelanggaran penggunaan lahan dalam Rencana Umum Tata Ruang DKI Jakarta 2010-2030. Pemutihan pelanggaran penggunaan lahan, terutama ruang terbuka hijau, dapat menyebabkan kerusakan lingkungan dan melestarikan banjir.

”Sejak 1985, Pemprov DKI Jakarta cenderung memutihkan pelanggaran tata ruang melalui penyusunan RUTR (rencana umum tata ruang) yang baru. Pemutihan selalu terlihat dari mengecilnya luas untuk ruang terbuka hijau dan berganti dengan lahan terbangun,” kata Selamet.

Pada Rencana Induk Djakarta 1965-1985, alokasi lahan kota untuk ruang terbuka hijau (RTH) mencapai 37,2 persen. Luas RTH berkurang menjadi 26,1 persen pada RUTR 1985-2005 dan berkurang lagi menjadi 13,94 persen pada Rencana Tata Ruang Wilayah 2000-2010.

Selamet mengatakan, tekanan pengusaha untuk memanfaatkan setiap jengkal lahan Jakarta menjadi area bisnis membuat para pejabat pemprov sering mengesahkan perubahan tata guna lahan, terutama dari RTH. Perubahan peruntukan lahan kemudian sering dilegalkan atau diputihkan dalam rencana tata ruang yang baru.

Selamet mencontohkan, lahan ruang terbuka hijau di Senayan dijadikan hotel. Lahan hutan bakau di Jakarta Utara juga diubah menjadi permukiman besar.

Menurut Ketua Program Studi Kajian Pengembangan Perkotaan Universitas Indonesia Rudy P Tambunan, RUTR 2010-2030 harus berkonsentrasi pada transportasi, banjir dan sanitasi, sampah, dan permukiman. Pemprov harus memerhatikan dampak lingkungan yang mungkin timbul dari perencanaan tata ruang yang disusun.

Kawasan Jakarta Utara merupakan dataran rendah yang tidak mungkin mengalirkan air banjir secara gravitasi dan harus didominasi oleh tanaman bakau. Namun, kawasan tersebut justru dipenuhi oleh lahan terbangun.

”Untuk mengatasi dampak banjir yang timbul karena kesalahan perencanaan kota itu, Pemprov DKI harus menyediakan banyak polder untuk menyedot dan membuang air banjir,” kata Rudy.

Banjir

Selamet mengatakan, menyusutnya ruang terbuka hijau karena berubah menjadi lahan terbangun menyebabkan daya serap tanah terhadap air menurun. Daya serap tanah hanya 26,6 persen sehingga 73,4 persen air hujan mengalir ke laut.

Masalahnya, saluran drainase di Jakarta dalam kondisi buruk karena tidak terawat dengan baik. Bahkan, jumlah situ di Jakarta yang berada dalam kondisi baik untuk menampung air hanya 16 situ dari 45 situ yang ada.

Sebanyak 23 situ dalam kondisi rusak, satu situ sedang direhabilitasi, sedangkan lima situ sudah hilang. Situ yang hilang sudah diuruk dan dijadikan permukiman. (ECA)

Selasa, 1 September 2009 | 04:37 WIB

Publikasi Seni Budaya Banyak Karya Asing

Publikasi yang berkualitas tentang seni budaya Indonesia sampai saat ini masih diwarnai oleh para peneliti dan sarjana asing yang karyanya banyak tersebar di berbagai daerah. Adapun di dalam negeri karya seperti itu masih terhambat minimnya dana dan minimnya apresiasi.

Buku-buku yang cukup standar secara akademis tentang Minangkabau, misalnya, selama ini masih merujuk pada karya-karya sarjana asing, yang memang secara mendalam dan sungguh-sungguh melakukan pekerjaannya.

Budayawan dan mantan Ketua Dewan Kesenian Sumatera Barat, Edy Utama, mengatakan hal itu ketika dihubungi Senin (31/8) di Padang.

”Kalau ada yang ingin melakukan penelitian tentang teater tradisional Minangkabau, randai, misalnya, kita masih harus merujuk kepada karya Prof Kirstin Pauka dari Hawaii University serta tentang silat Minangkabau pada karya Dr Hiltrud Cordes dari Jerman. Atau, kalau mau mempelajari sijobang, sebuah teater tutur dari Payakumbuh, kita masih terpaksa menggunakan hasil penelitian Nigel Philyps dari SOAS Inggris,” katanya.

Edy menjelaskan, kita nyaris tak bisa menemukan karya-karya yang dipublikasikan yang ditulis secara mendalam tentang seni budaya kita oleh orang Indonesia sendiri. Jika mau mempelajari budaya masyarakat Mentawai, hampir 100 persen buku rujukannya karya orang asing.

Dihubungi secara terpisah, sastrawan asal Bali, Tan Lioe Ie, mengatakan, pemerintah harus memberi apresiasi lebih terhadap seni budaya, dengan mendorong kalangan akademisi atau peminat kebudayaan untuk meneliti dan menulis buku seni budaya.

”Upaya pendokumentasian berbagai seni budaya yang kita miliki perlu digalakkan, termasuk di dalamnya penerbitan buku seni budaya, penerjemahan ke dalam berbagai bahasa, dan pendistribusiannya ke berbagai negara,” katanya. ”Jika seni budaya kita dikenal luas di dalam dan luar negeri, besar kemungkinan rakyat akan bangga dan mencintainya,” ujar Lioe Ie.

Minim dana dan apresiasi

Menurut Edy Utama, kurangnya publikasi atau penerbitan buku-buku tentang seni budaya di Indonesia, umumnya, dan Sumatera Barat, khususnya, selain dana sangat kurang, juga disebabkan belum ada orang yang sungguh-sungguh mau mengabdikan hidupnya untuk mengamati, meneliti, dan menulis seni budaya itu sendiri.

Kalau orangnya pun ada, ia juga akan terbentur dengan minimnya dana dan apresiasi dari pemerintah serta masyarakat sehingga hasil karyanya tidak cukup mendalam dan kurang komprehensif. Sebetulnya, berbagai bentuk penelitian awal tentang seni budaya di Sumatera Barat telah banyak dilakukan, terutama untuk keperluan akademis.

Banyak dosen yang telah membuat tesis dan bahkan juga disertasi tentang seni budaya, tetapi belum banyak yang dipublikasikan, dengan alasan tidak adanya dana penerbitan.

”Memang tidak semua hasil penelitian akademis punya kualitas, tetapi sebagai bahan awal untuk menelusuri kekayaan khazanah seni budaya di daerah, dapat dikatakan sudah cukup memadai. Tinggal lagi melakukan penelitian lanjutan sehingga dapat dijadikan bahan publikasi dalam bentuk buku yang dapat dikonsumsi oleh umum,” tutur Edy Utama.

Sementara itu, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat masih menginventarisasi seni budaya yang ada di setiap kabupaten dan kota. Diharapkan pada tahun 2010 seluruh seni tradisi yang ada bisa didaftarkan ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia.

”Tahun ini tidak bisa karena tidak ada anggarannya,” kata Kepala Bidang Kesenian dan Perfilman Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat Oden Effendi. Berdasarkan pendataan tahun 2004, ada 398 kesenian tradisi yang ada di Jawa Barat, mencakup seni tari, pertunjukan, hingga alat musik.

Ketergantungan

Dia berpendapat, minimnya publikasi tentang seni budaya kita, apalagi yang berkualitas, telah menyebabkan kita terjebak ketergantungan terus-menerus terhadap hasil pengetahuan orang asing (Barat).

Padahal, kalau mau memahami budayanya secara mendalam sebagai hasil pergulatan kreatif anak bangsa, mau tidak mau, kita harus mendorong penelitian, kajian, dan publikasi oleh bangsa sendiri.

Perspektif orang dalam di sisi lain akan bisa mengungkap banyak hal dari karakteristik budaya kita yang unik, plural—yang orang luar belum tentu dapat menangkap ruhnya sepenuhnya.

”Saya percaya, jika para sarjana, seniman, dan wartawan kita diberi peluang dan dukungan pendanaan yang cukup, akan dapat menghasilkan karya-karya penulisan tentang seni budaya kita, yang siap dipublikasikan ke dunia. Dengan cara itu, kita telah menyatakan kepada dunia bahwa berbagai seni budaya yang sangat kaya ini adalah milik kita meskipun belum dipatenkan atau didaftarkan,” katanya.

Selain untuk mempertahankan dari klaim bangsa lain, penelitian, kajian, dan publikasi tersebut juga berguna bagi pewarisan budaya—salah satu masalah paling krusial dalam kehidupan bangsa kita dewasa ini.

Lembaga kebudayaan

Tan Lioe Ie mengatakan, perlu peran media yang punya akses luas ke masyarakat dalam memublikasikan berbagai hal menyangkut seni budaya. Pemerintah juga perlu memberi apresiasi lebih kepada seni budaya kita, termasuk senimannya, begitu pula dunia usaha, seperti sektor pariwisata yang ”diuntungkan” oleh seni budaya kita.

”Perlu lembaga kebudayaan Indonesia di berbagai negara untuk mempromosikan seni budaya kita, semacam Goethe Institute dan Erasmus Huis, mendukung penerbitan karya seni, pengiriman seniman ke luar negeri, tradisional ataupun modern, untuk ditampilkan kepada warga negara setempat, selain ditampilkan di berbagai ajang festival seni budaya di dalam negeri sendiri serta ditayangkan/dipublikasikan secara luas agar masyarakat kenal dan cinta seni budayanya, baik yang tradisional maupun modern,” katanya.

Untuk teknis pelaksanaan, pemerintah bisa bermitra dengan swasta dan memiliki kurator yang bagus sehingga festival itu bermutu dan layak berita, baik bagi media dari Indonesia sendiri maupun media asing. Tentu upaya ini perlu dilakukan terus-menerus karena sulit berharap hasilnya secara instan. (NAL/JON)

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...