”Sejak 1985, Pemprov DKI Jakarta cenderung memutihkan pelanggaran tata ruang melalui penyusunan RUTR (rencana umum tata ruang) yang baru. Pemutihan selalu terlihat dari mengecilnya luas untuk ruang terbuka hijau dan berganti dengan lahan terbangun,” kata Selamet.
Pada Rencana Induk Djakarta 1965-1985, alokasi lahan kota untuk ruang terbuka hijau (RTH) mencapai 37,2 persen. Luas RTH berkurang menjadi 26,1 persen pada RUTR 1985-2005 dan berkurang lagi menjadi 13,94 persen pada Rencana Tata Ruang Wilayah 2000-2010.
Selamet mengatakan, tekanan pengusaha untuk memanfaatkan setiap jengkal lahan Jakarta menjadi area bisnis membuat para pejabat pemprov sering mengesahkan perubahan tata guna lahan, terutama dari RTH. Perubahan peruntukan lahan kemudian sering dilegalkan atau diputihkan dalam rencana tata ruang yang baru.
Selamet mencontohkan, lahan ruang terbuka hijau di Senayan dijadikan hotel. Lahan hutan bakau di Jakarta Utara juga diubah menjadi permukiman besar.
Menurut Ketua Program Studi Kajian Pengembangan Perkotaan Universitas Indonesia Rudy P Tambunan, RUTR 2010-2030 harus berkonsentrasi pada transportasi, banjir dan sanitasi, sampah, dan permukiman. Pemprov harus memerhatikan dampak lingkungan yang mungkin timbul dari perencanaan tata ruang yang disusun.
Kawasan Jakarta Utara merupakan dataran rendah yang tidak mungkin mengalirkan air banjir secara gravitasi dan harus didominasi oleh tanaman bakau. Namun, kawasan tersebut justru dipenuhi oleh lahan terbangun.
”Untuk mengatasi dampak banjir yang timbul karena kesalahan perencanaan kota itu, Pemprov DKI harus menyediakan banyak polder untuk menyedot dan membuang air banjir,” kata Rudy.
Banjir
Selamet mengatakan, menyusutnya ruang terbuka hijau karena berubah menjadi lahan terbangun menyebabkan daya serap tanah terhadap air menurun. Daya serap tanah hanya 26,6 persen sehingga 73,4 persen air hujan mengalir ke laut.
Masalahnya, saluran drainase di Jakarta dalam kondisi buruk karena tidak terawat dengan baik. Bahkan, jumlah situ di Jakarta yang berada dalam kondisi baik untuk menampung air hanya 16 situ dari 45 situ yang ada.
Sebanyak 23 situ dalam kondisi rusak, satu situ sedang direhabilitasi, sedangkan lima situ sudah hilang. Situ yang hilang sudah diuruk dan dijadikan permukiman. (ECA)
Selasa, 1 September 2009 | 04:37 WIB
No comments:
Post a Comment