Sunday, September 6, 2009

Gila, Tahura Jadi Jarahan Pejabat dan Aparat

Proyek reboisasi Taman Hutan Rakyat Batanghari, Provinsi Jambi, selama dua tahun terakhir ini tak bisa dilaksanakan. Penyebabnya, perambah tahura mengancam petugas yang akan melaksanakan proyek itu.

Akibatnya, dana reboisasi Rp 16 miliar yang sudah dianggarkan dua tahun lalu saat ini terparkir begitu saja di kas daerah.

"Ketika panitia proyek mengecek ke lapangan untuk memulai program ini, para perambah dalam tahura mengancam mereka, sehingga mereka akhirnya tidak berani melaksanakan," kata Kepala Subdinas Rehabilitasi Dinas Kehutanan Kabupaten Batanghari, Hamidi, Rabu (25/2).

Menurut Hamidi, perambahan berlangsung secara gila-gilaan dan didukung oknum aparat dan pejabat daerah. Dari seluruh area perambahan yang ada, sebagian di antaranya bahkan adalah okupansi oleh para pejabat maupun tokoh masyarakat.

Ia mencontohkan, ada hakim dan jaksa di Pengadilan Negeri Agama Muara Bulian yang memiliki lahan dalam kawasan tahura untuk ditanami sawit. Ada juga aparat di Kepolisian Daerah Jambi dan Kepolisian Resor Batanghari, calon Wali Kota Jambi, anggota legislatif, dan bahkan mantan pejabat di lingkup Dinas Kehutanan sendiri dan sejumlah dinas lainnya.

Perambahan telah berlangsung lebih dari 10 tahun terakhir pada hutan konservasi seluas 15.830 hektar ini. Perambahan bertambah sekitar 1.000 hektar setiap tahunnya. Kini, diperkirakan 8.000 hektar area tahura yang telah dirambah untuk kebun sawit dan karet, oleh sekitar 1.000 perambah.

Dilanjutkan Erwandi, Kepala Seksi Rehabilitasi Lahan Dinas Kehutanan Batanghari, reboisasi sulit dilakukan, mengingat sangat besarnya tekanan dari para perambah hutan. Bahkan, reboisasi yang sempat dilaksanakan tahun 2004 hingga 2006 dinyatakan tidak berhasil karena hampir seluruh bibit yang telah ditanami langsung dicabuti oleh para perambah.

"Seluruh tanaman pada reboisasi tahun 2004 hingga 2006 seluas 400 hektar dan 275 hektar habis dicabuti oleh para perambah. Mereka ganti dengan menanam sawit," tuturnya.

Tidak hanya proyek reboisasi, gerakan nasional rehabilitasi hutan dan lahan juga tidak dilaksanakan sejak 2007. Anggaran untuk GNRHL pada 2008 akhirnya tidak dianggarkan lagi oleh pemerintah pusat.

Direktur Aliansi Masyarakat Peduli Hutan dan Lahan Aditya mengatakan, dalam kondisi tahura telah hancur, cara yang masih dapat dilaksanakan adalah mendorong penguatan ekonomi bagi masyarakat di sekitar hutan. Perlu juga digerakkan komunitas-komunitas penjaga hutan yang melibatkan masyarakat setempat. Mereka dapat memanfaatkan hasil hutan nonkayu, sekaligus menjaga keamanan dalam hutan.

Saturday, September 5, 2009

Top Ten Aplikasi Facebook: Puluhan Juta Warga Facebook Adalah 'Petani'

Dari ratusan juta pengguna Facebook, lebih dari 72 juta di antaranya adalah 'petani'. Namun, petani di sini bukanlah petani dalam arti sebenarnya.

'Petani-petani' di Facebook di sini maksudnya adalah mereka yang menggilai aplikasi di Facebook yang menawarkan permainan bertani.

Ya, aplikasi bertani di Facebook memang sangat populer di kalangan para pemakai Facebook. Sampai-sampai, dari urutan 10 besar aplikasi Facebook terpopuler, 2 posisi teratas didiami oleh game bertani.

Dengan jumlah pengguna bulanan lebih dari 35 juta orang, Farmville sebuah game gratisan dari pengembang San Fransisco bernama Zynga menduduki rangking pertama dalam daftar itu.

Farmville berhasil menumbangkan rekor yang dimiliki oleh aplikasi yang mungkin saja pernah Anda pakai, yakni How Well Do You Know Me?

Permainan Farmville menawarkan kepada para pengguna untuk menjadi petani di dunia maya. Mereka dihadapkan pada sebuah kehidupan pedalaman dan harus mengurus pertaniannya seperti melakukan panen sayur, memerah susu sapi dll.

Dilansir detikINET dari Telegraph, Sabtu (5/9/2009), pemain rata-rata menghabiskan waktu 20 menit tiap harinya untuk 'bertani'.

Di bawah Farmville, terdapat permainan bertani lainnya yakni Farm Town yang dimainkan oleh 6 juta pengguna tiap harinya. Kedua permainan ini mengalahkan game Mafia Wars yang ada di rangking ke-3.

Berikut daftar lengkap top ten aplikasi Facebook terpopuler berdasarkan pemakaian hariannya:

1. Famville
2. Farm Town
3. Mafia Wars
4. Facebook for iPhone
5. Facebook for BlackBerry
6. Pet Society
7. Texas HoldEm Poker
8. Restaurant City
9. Facebook Mobile
10. YoVille.
( sha / ash )

Jakarta -05 September 2009
Source:http://www.detikinet.com/read/2009/09/05/104831/1197206/398/puluhan-juta-warga-facebook-adalah-petani

Daya Dukung dan Daya Tampung Jadi Harapan

Kajian daya dukung dan daya tampung lingkungan yang diatur dalam Rancangan Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menjadi salah satu harapan bagi masa depan lingkungan.

Kalau tidak ada tentangan keras, RUU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) yang disetujui Badan Musyawarah DPR pada Kamis (3/9) itu akan disahkan dalam rapat paripurna, Selasa, 8 September 2009.

Pasal daya dukung dan daya tampung lingkungan tidak termuat dalam undang-undang sebelumnya, UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. ”Perhatian terhadap daya dukung lingkungan selama ini simbolis saja. Faktanya tidak dikerjakan,” kata pengajar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), sekaligus peneliti daya dukung lingkungan Pulau Jawa, Hariadi Kartodihardjo, ketika dihubungi di Bogor, Jawa Barat, kemarin.

Akibatnya, bencana ekologis terjadi beruntun dan menyebar di seluruh pulau besar di Indonesia. Dampaknya pun kian dahsyat.

Kajian daya dukung dan daya tampung lingkungan pada RUU PPLH diamanatkan untuk dikerjakan pemerintah daerah demi masa depan masyarakat. Eksploitasi sumber daya alam tidak lagi dilihat sebagai faktor utama pengambilan keputusan.

Sebelumnya Wakil Ketua Komisi VII DPR (salah satunya membidangi lingkungan) Sonny Keraf menyatakan, keberpihakan terhadap masa depan lingkungan menjadi perhatian penting tim pembahas. Daya dukung dan daya tampung hanya sedikit dari faktor perlindungan lingkungan.

Masih ada faktor pencadangan sumber daya alam, pemberlakuan instrumen ekonomi, dan kajian lingkungan hidup strategis yang wajib dilakukan untuk kelengkapan izin lingkungan sebagai syarat keluarnya izin usaha.

Mengutip hasil penelitian Kajian Daya Dukung dan Kebijakan Pembangunan Pulau Jawa tahun 2007, yang di antaranya dikerjakan Hariadi, disebutkan, daya dukung Pulau Jawa sudah terlampaui. Ketersediaan sumber air di sebagian besar kota di Jawa tidak mencukupi lagi.

Salah satu penyebabnya adalah tutupan lahan di Jawa tidak memenuhi syarat bagi ketersediaan air. Alih fungsi lahan terus meningkat untuk permukiman, tambak, dan kegiatan usaha lainnya. Ada persoalan tata ruang terkait pemenuhan kebutuhan ledakan populasi.

Pasal pencemaran

Selain pasal-pasal di atas, RUU PPLH juga mengatur pidana. Sanksi pidana pencemaran ditetapkan dengan ancaman hukuman minimal tiga tahun dan denda Rp 3 miliar.

”Diterapkan sanksi minimal agar tidak ada lagi vonis bebas dan ringan bagi pencemar,” kata Deputi V Menteri Negara Lingkungan Hidup Bidang Penataan Ilyas Asaad.

Sementara itu, ancaman pidana bagi pelanggar lingkungan di atas baku mutu lingkungan ditetapkan di bawah pencemaran. Begitu pula soal kelalaian.

Soal analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), sanksi dapat diberikan kepada pejabat pemerintah yang mengeluarkan izin bermasalah, tidak hanya kepada penyusun dan pemrakarsa amdal. (GSA)

Jumat, 04 September 2009
Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/04/02590066/daya.dukung.dan.daya.tampung.jadi.harapan

Emily, Meretas Ekspor Beras Organik

Tak ada yang mengira kalau dara ini salah satu sosok penting di balik suksesnya Indonesia mengekspor beras organik untuk pertama kali. Dia akrab dengan petani. Ia bersentuhan langsung dengan mereka. Dia juga bukan tipikal pengusaha yang gemar menekan petani kecil.

"Aku mau petaniku menjadi yang paling maju, paling sejahtera hidupnya, dengan menjadikan mereka sebagai pengusaha kecil,” kata Emily Sutanto, pendiri sekaligus Direktur Utama PT Bloom Agro, di Tasikmalaya, Jawa Barat.

Dengan bendera PT Bloom Agro yang ia dirikan setahun lalu, Emily mengekspor beras organik bersertifikat ke Amerika Serikat. Tahap awal pengiriman sebanyak 18 ton. Pengapalan ekspor beras organik perdana ini dilakukan pada Minggu (30/8) melalui Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.

Beras organik yang diekspor tak sembarang organik, tapi organik bersertifikat. Kata ”bersertifikat” sekadar membedakan produk beras organik ini dengan beras ”organik” yang ada di pasaran, tetapi sesungguhnya tak mengikuti standar produksi beras organik.

Sertifikat beras organik dikeluarkan Institute for Marketecology, lembaga sertifikasi organik internasional, berbasis di Swiss, yang terakreditasi mendunia.

Logo sertifikat yang dikeluarkan pun tak tanggung-tanggung, langsung untuk tiga negara, yakni AS dengan US Department of Agricultural National Organic Program, Uni Eropa, dan Jepang dengan Japanese Agricultural Standard.

Dengan kata lain, beras organik itu sudah mendapatkan ”paspor” untuk masuk ke negara-negara yang paling ketat memberlakukan sistem keamanan pangannya di dunia.

Beras organik ini diproduksi oleh para petani kecil di tujuh kecamatan di Tasikmalaya, Jabar. Mata rantai dalam sistem perdagangan pun mengadopsi prinsip fair trade, yang oleh Menteri Pertanian Anton Apriyantono disebut-sebut sebagai yang pertama dilakukan oleh pengusaha beras ekspor Indonesia.

Dengan mengadopsi prinsip fair trade atau sistem perdagangan berkeadilan, tujuan menyejahterakan petani bukan lagi omong kosong. Bila suatu kali kedapatan petani organik mengalami tekanan harga, pemutusan kontrak kerja sama ekspor terjadi.

Oleh karena alasan fair trade dan kemanusiaan itulah, Emily tak akan mau menekan harga beli beras. Usaha penggilingan padi yang dapat memberikan nilai tambah bagi petani yang dikelola Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Simpatik bantuan Departemen Pertanian ini dibiarkan tumbuh bersama.

Dia tak harus membeli beras dari petani, tetapi cukup melalui Gapoktan Simpatik agar petani mendapat nilai tambah. Gabah organik setelah diproses di penggilingan milik petani menjadi beras dibeli Emily dengan harga Rp 8.000 per kilogram.

Dengan harga beli yang tinggi, Gapoktan membeli gabah kering pungut dari petani anggotanya dengan harga Rp 3.500 per kilogram atau lebih tinggi Rp 1.500 dibandingkan gabah nonorganik. Pada tahap ini jalur perdagangan semakin pendek dan tidak ada celah bagi tengkulak.

Semakin mantap lagi posisi petani ketika model penanaman padi dengan sistem intensif membuat ada petani yang mampu meningkatkan produktivitas padinya hingga menghasilkan 10 ton gabah kering panen.

Dengan produktivitas setinggi itu, pendapatan kotor petani dalam satu musim tanam (empat bulan) bisa sekitar Rp 35 juta. Apabila dalam setahun padi bisa ditanam tiga kali, pendapatan kotor petani dengan lahan 1 hektar dapat menembus Rp 105 juta.

Mulai dari nol

Kisah perjumpaan Emily dengan beras organik terjadi secara tidak sengaja. Peraih gelar master bidang Manajemen Internasional dan Mass Communication dari Pepperdine University, Los Angeles, California, dan Bond University, Australia, ini pada awal 2008 ditawari Solihin GP, yang dia sebut sahabat keluarganya.

”Bapak Solihin GP waktu itu mengatakan, ’Mau enggak kamu bantu petani? Mereka (petani) mau ekspor beras organik, tetapi pemerintah belum bisa berbuat apa-apa’,” kata Emily mengutip permintaan Gubernur Jabar waktu itu.

Kala itu Emily masih ragu. Dia sangsi, apa benar ada beras yang benar-benar organik di Indonesia. Karena gamang, ia lalu pergi ke Tasikmalaya, dan melihat langsung proses produksi beras organik.

Emily terpana. Mengapa selama ini konsumen beras organik dunia hanya tahu beras organik Thailand saja? Padahal, di Indonesia beras organiknya jauh lebih bagus. Produk beras organik yang dihasilkan begitu orisinal. Secara fisik, beras organik itu lebih empuk dan berat, pertanda banyak kandungan serat dan vitamin.

Proses produksinya juga penuh cinta karena dilakukan secara tradisional. Makin terpikat lagi Emily ketika tahu semangat petani yang berapi-api untuk mengekspor beras organik itu. Namun, mereka tak tahu bagaimana caranya.

”Kalau beras organik dari petani bisa diekspor, ini bisa memacu semangat petani untuk lebih maju,” katanya.

Langkah selanjutnya giliran sertifikasi. Emily menjalani proses ini sampai tiga bulan. Dia memerlukan sertifikasi itu, dengan pertimbangan agar ke depan produksi beras organik bisa berkelanjutan. Di sini perlu diterapkan sistem pengawasan yang dilakukan internal dalam kelompok antarpetani. Dalam hal ini kejujuran petani benar-benar diuji.

Setelah produknya beres, mulailah ia melirik pasar ekspor. Kebetulan dari Cornell University, AS, juga sedang menggarap produk pertanian organik. Jadilah dia dipertemukan dengan calon pembeli, Lotus Foods, yang sangat mendukung program pelestarian lingkungan.

Perbedaan

Bagi Emily, merintis jalan ekspor tidak mudah. Apalagi, sejak usia sembilan tahun ia tinggal di Singapura, AS, dan Australia untuk belajar. Baru sekitar dua tahun lalu dia kembali ke Indonesia. Untuk berkomunikasi dia tak hanya terkendala budaya, tetapi juga bahasa.

Sambil merintis jalan, Emily belajar bahasa Indonesia. Tak jarang, budaya lugas dan cara mengatasi masalah yang tidak bertele-tele seperti yang kerap dia lakukan selama tinggal di luar negeri terbentur budaya petani yang kerap bersikap pasrah.

Ketika ada persoalan menyangkut hama penyakit, misalnya, Emily langsung bertanya mengapa bisa terjadi dan bagaimana solusinya. Pada awalnya petani takut-takut menjawabnya karena mengira Emily marah. Lama-kelamaan mereka bisa memahami cara kerja dia. Apalagi, ketika Emily kerap mengajak petani lesehan membicarakan masalah bersama-sama.

”Aku minta para petani memanggilku Emily saja, jangan panggil ibu karena kami mitra,” ungkap Emily yang tak suka disebut pengusaha.

Dia mengaku tidak akan meninggalkan pekerjaannya sebagai pengekspor beras organik. Dia optimistis beras organik dari Indonesia bisa bersaing di pasaran internasional. Buktinya, tambah Emily, dalam waktu dekat ini sudah ada permintaan untuk mengekspor 19 ton beras organik ke Malaysia.

Biodata

• Nama: Emily Sutanto
• Pendidikan: - Belajar di Singapura sejak berusia 9 tahun - Pepperdine University, Los Angeles, AS - Bond University, Australia

Jumat, 04 September 2009
Penulis: Hermas E Prabowo
Source:http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/04/04103897/emily.meretas.ekspor.beras.organik 

Masa Keemasan Majapahit Diungkap

Masa keemasan Majapahit yang tertuang dalam karya Mpu Prapanca, Nagara Krtagama, ditulis ulang dan diulas oleh Prof I Ketut Riana. Sejauh ini ada 15 versi naskah Nagara Krtagama yang beredar sejak tahun 1902.

Dalam peluncuran dan bedah buku berjudul Kakawin Desa Warnnnana uthawi Nagara Krtagama; Masa Keemasan Majapahit, Kamis (3/9), ahli linguistik, Prof I Ketut Riana mengatakan, buku itu diterbitkan guna melestarikan warisan leluhur yang tinggi dan mulia. ”Melalui karya ini, masyarakat dapat memahami lebih lanjut tentang karya sastra sejarah Nusantara yang mengagumkan,” katanya.

Buku yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas tersebut mengulas kejayaan Majapahit yang terkenal di Nusantara, bahkan di negara lain. Buku disajikan lengkap dengan huruf Bali dan salinannya dengan bahasa Jawa Kuna.

Dr HIR Hinzler, asisten guru besar bidang Arkeologi dan Sejarah Purba, Universitas Leiden, mengungkapkan, berdasarkan penelusurannya, terdapat setidaknya 15 versi Nagara Krtagama sejak tahun 1902 hingga kini. Karya tersebut disalin kembali ke daun lontar ataupun ke atas kertas. Tak mengherankan jika kerap timbul pertanyaan naskah mana yang asli dan paling tua. Karya asli diduga hancur bersama runtuhnya Kerajaan Majapahit pada abad ke-15.

Prof I Ketut Riana menggunakan naskah lontar koleksi Museum Mpu Tantular, Sidoarjo, Jawa Timur. Naskah itu relatif lebih lengkap karena merupakan hasil revisi dari beberapa naskah yang dianggap kurang lengkap oleh penyadur.

Pembahas yang lain, sejarawan Prof Djoko Suryo, mengatakan, teks itu menjadi menarik karena juga memiliki nilai sejarah. ”Prapanca menggubah karya tidak hanya menggunakan sumber karya-karya masa lampau, tetapi juga pengamatan sendiri, seperti soal tata kota dan pemerintahan. Ini dapat digunakan untuk merekonstruksi Kerajaan Majapahit,” ujarnya.

Prof Riana mengatakan, naskah dapat menjadi sumber informasi yang menghidupkan artefak-artefak yang ada. ”Di candi-candi banyak terdapat relief yang sebetulnya ceritanya dapat dicari di berbagai naskah sehingga relief itu ’berbicara’ dan masyarakat dapat memahaminya,” ujarnya. (INE)

Jumat, 04 September 2009
Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/04/04035377/masa.keemasan.majapahit.diungkap

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...