Beberapa ilmuwan dan pembuat film telah menemukan spesies baru tikus raksasa jauh di pedalaman hutan Papua Niugini, bersama dengan hewan lain yang selama ini tak pernah disaksikan.
Tikus berbulu tebal itu adalah pemakan sayuran. Tubuhnya sangat besar, dengan panjang 82 sentimeter dan berat 1,5 kilogram. Ukurannya membuat hewan tersebut termasuk spesies tikus yang paling besar dari yang pernah diketahui di seluruh dunia.
Hewan tersebut ditemukan tim ekspedisi yang membuat film untuk program BBC, Lost Land of the Volcano. Namun, tikus besar tersebut hanyalah satu dari puluhan hewan baru yang ditemukan di bawah gunung berapi Bosavi. Tim itu juga menemukan sejumlah laba-laba asing dan 20 spesies serangga.
"Yang menjadi pusat perhatian meliputi bunglon, satu katak bertaring, dan satu jenis ikan yang disebut ’Henamo Grunter’. Diberi nama demikian karena makhluk tersebut mengeluarkan suara mendengkur dari kantung udara saat berenang," kata Steve Greenwood, produser serial Lost Land of the Volcano. Adapun katak bertaring adalah satu-satunya dari 16 katak baru yang ditemukan.
Masuk ke pedalaman menuju tempat penemuan hewan-hewan tadi terbilang sulit. Tim tersebut menghabiskan waktu beberapa pekan untuk mendaki puncak setinggi 2.800 meter dengan bantuan pencari jejak lokal. Namun, begitu sampai di sana, sangat mudah untuk menemukan makhluk-makhluk tadi.
Selasa, 8 September 2009 | 13:31 WIB
BEIJING, KOMPAS.com — http://sains.kompas.com/read/xml/2009/09/08/1331047/spesies.baru.tikus.sepanjang.hampir.satu.meter
Membantu Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank Dalam Penerapan Sustainable Finance (Keuangan Berkelanjutan) - Environmental & Social Risk Analysis (ESRA) for Loan/Investment Approval - Training for Sustainability Reporting (SR) Based on OJK/GRI - Penguatan Manajemen Desa dan UMKM - Membantu Membuat Program dan Strategi CSR untuk Perusahaan. Hubungi Sdr. Leonard Tiopan Panjaitan, S.sos, MT, CSRA di: leonardpanjaitan@gmail.com atau Hp: 081286791540 (WA Only)
Tuesday, September 8, 2009
Anggrek Species Baru Bibirnya Lebih Pendek
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengumumkan penemuan spesies baru anggrek yang diberi nama Dipodium brevilabium D.Metusala & P.O'Byrne, yaitu bunga yang ditemukan di belantara Papua.
Menurut peneliti LIPI Destario Metusala, Selasa (8/9), spesies itu ditemukannya bersama dengan peneliti Singapura Peter O`Byrne dalam suatu penelitian sejak awal 2008.
Penemuan yang menjadi bukti bahwa Indonesia masih menyimpan keragaman hayati yang belum terungkap itu, menurut Desatrio, telah dipublikasikan di jurnal anggrek internasional (Internasional Orchid Review) di Inggris pada September.
Disebutkan, Genus Dipodium sp memiliki sekitar 25 spesies yang tersebar dari Indo-China hingga Australia dan kepulauan Pasifik Barat.
Genus itu dianggap sulit oleh para taksonom dunia karena memiliki bentuk bunga yang serupa dengan strukur bibir bunga (labellum) yang hampir konsisten.
Seperti kerabat Dipodium sp lainnya di Indonesia, anggrek Dipodium brevilabium juga berperawakan menyerupai tumbuhan pandan wangi (Pandanus amaryllifolius), karena itu seringkali masyarakat menyebutnya dengan nama anggrek pandan.
Perbungaan anggrek itu secara total dapat mencapai 35 kuntum, dengan masa mekar total sekitar 15-20 hari. Bunganya yang berdiameter 3,3-3,7 cm itu memiliki warna dasar kuning dengan corak totol berwarna merah kecoklatan.
Anggrek Dipodium brevilabium memiliki karakter morfologi unik yang membedakan dengan spesies Dipodium lainnya, yaitu bibir bunganya yang sangat pendek dengan lobus tengah berbentuk membulat.
Nama "brevilabium" pada spesies ini pun diambil berdasarkan bentuk bibirnya yang pendek.
Dari sisi budidaya, anggrek ini cukup adaptif pada ketinggian 200-700 m dpl, dengan intensitas cahaya 50-70 %.
Yang paling penting diperhatikan adalah pengaturan kelembaban pada media tumbuh serta sirkulasi udaranya, karena anggrek ini sangat rentan oleh serangan jamur yang dapat menyebabkan bercak pada daun hingga busuk pucuk. Anggrek Dipodium brevilabium diperkirakan memiliki area distribusi yang terbatas hanya di Indonesia.
Menurut peneliti LIPI Destario Metusala, Selasa (8/9), spesies itu ditemukannya bersama dengan peneliti Singapura Peter O`Byrne dalam suatu penelitian sejak awal 2008.
Penemuan yang menjadi bukti bahwa Indonesia masih menyimpan keragaman hayati yang belum terungkap itu, menurut Desatrio, telah dipublikasikan di jurnal anggrek internasional (Internasional Orchid Review) di Inggris pada September.
Disebutkan, Genus Dipodium sp memiliki sekitar 25 spesies yang tersebar dari Indo-China hingga Australia dan kepulauan Pasifik Barat.
Genus itu dianggap sulit oleh para taksonom dunia karena memiliki bentuk bunga yang serupa dengan strukur bibir bunga (labellum) yang hampir konsisten.
Seperti kerabat Dipodium sp lainnya di Indonesia, anggrek Dipodium brevilabium juga berperawakan menyerupai tumbuhan pandan wangi (Pandanus amaryllifolius), karena itu seringkali masyarakat menyebutnya dengan nama anggrek pandan.
Perbungaan anggrek itu secara total dapat mencapai 35 kuntum, dengan masa mekar total sekitar 15-20 hari. Bunganya yang berdiameter 3,3-3,7 cm itu memiliki warna dasar kuning dengan corak totol berwarna merah kecoklatan.
Anggrek Dipodium brevilabium memiliki karakter morfologi unik yang membedakan dengan spesies Dipodium lainnya, yaitu bibir bunganya yang sangat pendek dengan lobus tengah berbentuk membulat.
Nama "brevilabium" pada spesies ini pun diambil berdasarkan bentuk bibirnya yang pendek.
Dari sisi budidaya, anggrek ini cukup adaptif pada ketinggian 200-700 m dpl, dengan intensitas cahaya 50-70 %.
Yang paling penting diperhatikan adalah pengaturan kelembaban pada media tumbuh serta sirkulasi udaranya, karena anggrek ini sangat rentan oleh serangan jamur yang dapat menyebabkan bercak pada daun hingga busuk pucuk. Anggrek Dipodium brevilabium diperkirakan memiliki area distribusi yang terbatas hanya di Indonesia.
Selasa, 8 September 2009 | 09:21 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com -http://sains.kompas.com/read/xml/2009/09/08/09211986/anggrek.species.baru.bibirnya.lebih.pendek
Kasihan, Penyu Sumbar Terancam Punah
Populasi penyu Sumatra Barat (Sumbar) makin terancam akibat makin maraknya aktivitas perdagangan telur penyu di Kota Padang.
"Dari data kami beberapa tahun terakhir, terjadi peningkatan kenaikan perdagangan telur penyu dari 28 butir per hari pada 2004, menjadi 77 butir per hari," kata Ketua Pusat Data dan Informasi Penyu Sumbar, Harfiandri Damanhuri, di Padang, Selasa (8/9).
Seharusnya ada sosialisasi dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP), Provinsi Sumbar, kepada para pedagang telur penyu, terutama yang berada di kawasan pantai Padang.
Sumbar merupakan satu dari 15 provinsi di Indonesia yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi penyu. Penyu termasuk salah satu hewan terancam punah, yang dilindungi dari perdagangan sesuai Konvensi Perdagangan Internasional Satwa dan Flora Liar (CITES).
Konvensi itu telah diratifikasi Indonesia pada 1978 dan memasukkan penyu dalam Apendix I, yaitu kategori harus dilindungi dan tidak bisa diperdagangkan. Menurut Harfiandri, harus ada upaya untuk memutus mata rantai perdagangan telur penyu di Sumbar.
Ini, dapat dilakukan dengan membuat peraturan yang melarang penjualan telur penyu, membatasi jumlah telur yang diperdagangkan, dan mencarikan alternatif usaha masyarakat, yang selama ini bergerak di bidang perdagangan telur penyu. "Tindakan ini harus dilakukan DKP," kata Harfiandri.
Di Sumbar terdapat sebanyak 31 pulau kecil sebagai tempat pendaratan penyu. Pulau-pulau itu di antaranya, Kerabak Gadang, dan Pulau Gosong di Pesisir Selatan, Pulau Pieh di Pariaman, dan Pulau telur di Pasaman.
Sementara Pemprov Sumbar melalui DKP telah menetapkan dua pulau kecil sebagai konservasi penyu yakni Pulau Garabak Ketek dan Pulau Penyu di Pesisir Selatan.
Di pulau-pulau itu, penangkaran penyu dilakukan. Hanya saja, aktivitas perdagangan juga terus meningkat. "Kalau terus dibiarkan, populasi penyu di Sumbar bisa punah," katanya.
Di Sumbar terdapat tiga jenis penyu, yakni penyu hijau (Chelonia mydas), belimbing, dan sisik.
Selasa, 8 September 2009 | 15:48 WIB
PADANG, KOMPAS.com - http://sains.kompas.com/read/xml/2009/09/08/15484437/kasihan.penyu.sumbar.terancam.punah
"Dari data kami beberapa tahun terakhir, terjadi peningkatan kenaikan perdagangan telur penyu dari 28 butir per hari pada 2004, menjadi 77 butir per hari," kata Ketua Pusat Data dan Informasi Penyu Sumbar, Harfiandri Damanhuri, di Padang, Selasa (8/9).
Seharusnya ada sosialisasi dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP), Provinsi Sumbar, kepada para pedagang telur penyu, terutama yang berada di kawasan pantai Padang.
Sumbar merupakan satu dari 15 provinsi di Indonesia yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi penyu. Penyu termasuk salah satu hewan terancam punah, yang dilindungi dari perdagangan sesuai Konvensi Perdagangan Internasional Satwa dan Flora Liar (CITES).
Konvensi itu telah diratifikasi Indonesia pada 1978 dan memasukkan penyu dalam Apendix I, yaitu kategori harus dilindungi dan tidak bisa diperdagangkan. Menurut Harfiandri, harus ada upaya untuk memutus mata rantai perdagangan telur penyu di Sumbar.
Ini, dapat dilakukan dengan membuat peraturan yang melarang penjualan telur penyu, membatasi jumlah telur yang diperdagangkan, dan mencarikan alternatif usaha masyarakat, yang selama ini bergerak di bidang perdagangan telur penyu. "Tindakan ini harus dilakukan DKP," kata Harfiandri.
Di Sumbar terdapat sebanyak 31 pulau kecil sebagai tempat pendaratan penyu. Pulau-pulau itu di antaranya, Kerabak Gadang, dan Pulau Gosong di Pesisir Selatan, Pulau Pieh di Pariaman, dan Pulau telur di Pasaman.
Sementara Pemprov Sumbar melalui DKP telah menetapkan dua pulau kecil sebagai konservasi penyu yakni Pulau Garabak Ketek dan Pulau Penyu di Pesisir Selatan.
Di pulau-pulau itu, penangkaran penyu dilakukan. Hanya saja, aktivitas perdagangan juga terus meningkat. "Kalau terus dibiarkan, populasi penyu di Sumbar bisa punah," katanya.
Di Sumbar terdapat tiga jenis penyu, yakni penyu hijau (Chelonia mydas), belimbing, dan sisik.
Selasa, 8 September 2009 | 15:48 WIB
PADANG, KOMPAS.com - http://sains.kompas.com/read/xml/2009/09/08/15484437/kasihan.penyu.sumbar.terancam.punah
Jepang Luncurkan Satelit Pemantau Global Warming
Sebuah satelit meluncur, Jumat (23/1), dari Pulau Tangeashima, Jepang, yang ditujukan untuk memantau pemanasan global. Bersama satelit tersebut turut diluncurkan tujuh satelit berukuran kecil yang mendukung program antariksa Jepang. Ket.foto: Sebuah roket H-2A F15 yang membawa satelit GOSAT (Greenhouse Gases Observing Satellite) atau 'Ibuki' meluncur dari Pulau Tanegashima, Jumat (23/1).
"Satelit pemantau gas rumah kaca telah memisahkan diri dari roket pendorongnya dan berfungsi normal," ujar juru bicara Badan Eksplorasi Ruang Angkasa Jepang (JAXA) seperti dilansir Reuters. Meskipun demikian, nasib tujuh satelit lainnya belum diketahui.
Dengan satelit utama tersebut, para ilmuwan Jepang dapat menghitung kadar karbondioksida dan methana dari 56.000 titik di Bumi. Pemerintah Jepang berharap dapat berperan serta dalam mengatasi perubahan iklim melalui penelitian berbasis satelit itu.
Selain itu, peluncuran ini juga menjadi bagian dari uji coba Jepang untuk menapaki bisnis peluncuran satelit. Selama ini, bisnis tersebut dilayani Eropa, AS, dan Rusia. China dan India juga telah memulainya dalam beberapa tahun terakhir.
China telah berhasil meluncurkan satelit komunikasi milik Nigeria pada tahun 2007 dan satelit pertama Venezuela tahun lalu. India juga bethasil meluncurkan sejumlah satelit termasuk LAPAN TUBSAT milik Indonesia.
Jepang telah menerima order pertama peluncuran satelit dari negara lain pada awal bulan ini. Badan ruang angkasa Korea Selatan telah meminta Jepang untuk meluncurkan satelit KOMPSAT-3 yang didesain untuk memotret permukaan bumi. Peluncurannya direncanakan antara tahun 2011 dan 2012.
Peluncuran satelit dilakukan menggunakan roket buatan Jepang H-2A dari pusat peluncuran di sebuah pulau kecil yang berjarak 1.000 kilometer selatan Tokyo. Untuk meluncurkan satelit dibutuhkan 96 juta dollar AS.
Program peluncuran satelit Jepang telah menunjukkan keahliannya dengan berhasil mengirim satelit ke orbit Bulan tahun lalu. Jepang bahkan berambisi mengirimkan astronot ke Bulan pada 2025.
Jumat, 23 Januari 2009 | 14:57 WIB
TOKYO, JUMAT — http://sains.kompas.com/read/xml/2009/01/23/14575576/jepang.luncurkan.satelit.pemantau.global.warming.
"Satelit pemantau gas rumah kaca telah memisahkan diri dari roket pendorongnya dan berfungsi normal," ujar juru bicara Badan Eksplorasi Ruang Angkasa Jepang (JAXA) seperti dilansir Reuters. Meskipun demikian, nasib tujuh satelit lainnya belum diketahui.
Dengan satelit utama tersebut, para ilmuwan Jepang dapat menghitung kadar karbondioksida dan methana dari 56.000 titik di Bumi. Pemerintah Jepang berharap dapat berperan serta dalam mengatasi perubahan iklim melalui penelitian berbasis satelit itu.
Selain itu, peluncuran ini juga menjadi bagian dari uji coba Jepang untuk menapaki bisnis peluncuran satelit. Selama ini, bisnis tersebut dilayani Eropa, AS, dan Rusia. China dan India juga telah memulainya dalam beberapa tahun terakhir.
China telah berhasil meluncurkan satelit komunikasi milik Nigeria pada tahun 2007 dan satelit pertama Venezuela tahun lalu. India juga bethasil meluncurkan sejumlah satelit termasuk LAPAN TUBSAT milik Indonesia.
Jepang telah menerima order pertama peluncuran satelit dari negara lain pada awal bulan ini. Badan ruang angkasa Korea Selatan telah meminta Jepang untuk meluncurkan satelit KOMPSAT-3 yang didesain untuk memotret permukaan bumi. Peluncurannya direncanakan antara tahun 2011 dan 2012.
Peluncuran satelit dilakukan menggunakan roket buatan Jepang H-2A dari pusat peluncuran di sebuah pulau kecil yang berjarak 1.000 kilometer selatan Tokyo. Untuk meluncurkan satelit dibutuhkan 96 juta dollar AS.
Program peluncuran satelit Jepang telah menunjukkan keahliannya dengan berhasil mengirim satelit ke orbit Bulan tahun lalu. Jepang bahkan berambisi mengirimkan astronot ke Bulan pada 2025.
Jumat, 23 Januari 2009 | 14:57 WIB
TOKYO, JUMAT — http://sains.kompas.com/read/xml/2009/01/23/14575576/jepang.luncurkan.satelit.pemantau.global.warming.
Website REDD-I Diluncurkan
Center for International Foresty Research (CIFOR) berkerja sama dengan Departemen Kehutanan, Pusat Informasi Lingkungan Indonesia (PILI), dan WWF Indonesia meluncurkan website www. redd-indonesia.org yang bertujuan untuk memantapkan implementasi program pengurangan emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia (REDD-I).
Program CIFOR yang terdiri dari tiga bagian, yaitu tanya jawab mengenai apa itu REDD, lokakarya tentang pengalaman mengembangkan proyek percontohan REDD generasi pertama, dan pembuatan website REDD-I di perkenalkan CIFOR, Selasa (25/8) pagi, di Hotel Intercontinental Midplaza Jakarta.
"Isi website ini sendiri kurang lebih adalah penejelasan mendalam mengenai apa itu REDD dan siapa itu CIFOR", kata Direktur eksekutif PILI, Pam E. Minnigh. "Diharapkan dapat menjadi media sharing yang efektif yang dapat diakses masyarakat" jelas ilmuan senior CIFOR, Dr Daniel Murdiyarso.
Program yang baru dilaksanakan CIFOR tahun 2009 ini sangat diharapkan bisa berhasil dilaksanakan di Indonesia. "Karena, kita adalah salah satu negara yang telah melaksanakan aktivitas nyata yang berkaitan dengan REDD," jelas Dr Nur Masripatin dari Departemen Kehutanan.
"Seperti yang dilakukan Persatuan Iklim Hutan Indonesia (IFCA) pada tahun 2007, mereka telah meneliti aspek-aspek metodologi, kebijakan, dan institusi, termasuk distribusi insentif," tambah wanita berkacamata ini.
Mengenai distribusi insentif, Executive Secretary National Council on Climate Change Dr Agus Purnomo mengatakan, negara yang paling banyak menghasilkan gas karbon di atmosfer yang akan paling banyak melakukan upaya.
Selasa, 25 Agustus 2009 | 17:49 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com- http://sains.kompas.com/read/xml/2009/08/25/17491830/website.redd-i.diluncurkan.
Program CIFOR yang terdiri dari tiga bagian, yaitu tanya jawab mengenai apa itu REDD, lokakarya tentang pengalaman mengembangkan proyek percontohan REDD generasi pertama, dan pembuatan website REDD-I di perkenalkan CIFOR, Selasa (25/8) pagi, di Hotel Intercontinental Midplaza Jakarta.
"Isi website ini sendiri kurang lebih adalah penejelasan mendalam mengenai apa itu REDD dan siapa itu CIFOR", kata Direktur eksekutif PILI, Pam E. Minnigh. "Diharapkan dapat menjadi media sharing yang efektif yang dapat diakses masyarakat" jelas ilmuan senior CIFOR, Dr Daniel Murdiyarso.
Program yang baru dilaksanakan CIFOR tahun 2009 ini sangat diharapkan bisa berhasil dilaksanakan di Indonesia. "Karena, kita adalah salah satu negara yang telah melaksanakan aktivitas nyata yang berkaitan dengan REDD," jelas Dr Nur Masripatin dari Departemen Kehutanan.
"Seperti yang dilakukan Persatuan Iklim Hutan Indonesia (IFCA) pada tahun 2007, mereka telah meneliti aspek-aspek metodologi, kebijakan, dan institusi, termasuk distribusi insentif," tambah wanita berkacamata ini.
Mengenai distribusi insentif, Executive Secretary National Council on Climate Change Dr Agus Purnomo mengatakan, negara yang paling banyak menghasilkan gas karbon di atmosfer yang akan paling banyak melakukan upaya.
Selasa, 25 Agustus 2009 | 17:49 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com- http://sains.kompas.com/read/xml/2009/08/25/17491830/website.redd-i.diluncurkan.
Subscribe to:
Posts (Atom)
Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke
| Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...
-
PT Konsorsium Televisi Digital Indonesia (KTDI) menggelar uji coba siaran televisi digital di wilayah Jabotabek. Siaran uji coba itu merupak...
-
JAKARTA - PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) sangat sepakat mengenai ketentuan Bank Indonesia (BI) untuk membuat standarisasi sistem pembayaran pada...