Saturday, September 19, 2009

Pembajakan Gerakan Organik?


Mereka yang dulu merusak unsur hara tanah dengan pupuk kimia kini berlomba memproduksi pupuk organik. Sebuah pertobatan atau bentuk lain dari strategi pemasaran belaka yang ujungnya hanya akan membuat petani bergantung pada input pertanian dari luar? Ket.Foto: Petani memupuk tanaman bawang di areal pertanian yang curam di Desa Gondosuli, Kecamatan Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah, Kamis (3/9). Meski jumlahnya belum banyak, petani di wilayah ini mulai menggunakan pupuk organik untuk menyuburkan tanaman yang sebagian besar berupa sayuran.

elihat peluang pasar organik yang terbuka lebar, perusahaan-perusahaan besar yang dulu bermain di sektor pupuk kimia kini masuk ke pasar yang baru terbuka ini. Misalnya, PT Pupuk Kalimantan Timur telah membangun pabrik pupuk organik berkapasitas 3.600 ton per tahun di Banyuwangi, Jawa Timur. Pupuk mereka diberi merek Zeorganik. Ke depan, mereka menargetkan bisa memproduksi pupuk organik hingga 10.000 ton per tahun.

PT Pupuk Sriwijaya (Pusri) juga mengembangkan pupuk organik yang diberi nama Pusri Plus. Mereka mengklaim produknya berfungsi untuk memperbaiki tekstur dan struktur tanah karena mengandung bahan tambahan berupa strain mikroba, hayati yang berfungsi sebagai fiksasi nitrogen serta pelarut fosfor dan kalium.

Setelah membangun pabrik pupuk organik di Palembang tahun 2005, Pusri baru-baru ini juga membangun pabrik di Cianjur, Jawa Barat, di Lumajang, Jawa Timur, dan di Sragen, Jawa Tengah. Masing-masing pabrik mampu memproduksi hingga 3.000 ton per tahun.

Adapun Petrokimia Gresik telah memiliki 40 pabrik pupuk organik bermerek Petroganik dengan total kapasitas 400.000 ton per tahun, yang sebagian besar berlokasi di Jawa. Petrogres juga sedang membangun 33 pabrik di beberapa daerah, antara lain di Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Lampung, Bali, dan Nusa Tenggara Barat.

Tak hanya pemain besar, bisnis pupuk organik juga dilakukan pemain-pemain kecil dan menengah. Bahkan, sejumlah pemain menggunakan sistem multilevel marketing untuk menembus rumah tangga petani, misalnya NASA dari Yogyakarta.

Pupuk adalah bisnis yang menjanjikan. Berdasarkan data Asosiasi Produsen Pupuk Indonesia, konsumsi urea nasional pada 2008 mencapai 5.699.951 ton, TSP sebesar 585.883 ton, ZA sebanyak 775.983 ton, dan NPK sebesar 1.175.027 ton.

Belum ada data pasti kebutuhan pupuk organik secara nasional. Namun, seiring dengan semakin meningkatnya kesadaran petani menuju organik dan gerakan Go Organik 2010 dari pemerintah, prospek ke depan tentunya sangat menjanjikan.

Apalagi awal bulan ini Komisi IV DPR telah menyetujui alokasi anggaran Rp 6,2 triliun untuk pengembangan pupuk organik yang diusulkan Departemen Pertanian. Alokasi anggaran ini digunakan untuk menutup kebutuhan pupuk anorganik tahun 2010 yang akan dikurangi subsidinya.

Benarkah ini menjadi angin segar bagi gerakan pertanian organik di Indonesia?

”Narkoba” jenis baru

”Kalau saya tidak akan mau membeli pupuk organik dari pabrik. Kalau bisa membuat sendiri dengan gampang dan gratis, kenapa harus beli?” kata W Riyanto, petani organik di Klaten.

Menurut Riyanto, pupuk organik pabrikan hanya akan membuat petani bergantung pada pihak luar. ”Itu seperti narkoba jenis baru. Seolah-olah baik, tapi tetap saja akan membuat kecanduan,” katanya. ”Petani memiliki semua bahan untuk dijadikan pupuk sendiri. Kemandirianlah yang dibutuhkan petani,” lanjutnya.

Direktur Cindelaras Fransiscus Wahono menyebutkan, gejala masuknya pemain-pemain besar dalam bisnis pupuk organik adalah upaya pembajakan terhadap gerakan organik. ”Ini adalah penyelewengan konsep dasar pertanian organik,” katanya.

Menurut Wahono, pertanian organik tidak hanya untuk memperbaiki struktur tanah dan menjaga keseimbangan alam, tetapi juga gerakan untuk membuat petani merdeka dari ketergantungan input pertanian.

Pertanian organik atau konvensional adalah pilihan teknologi, tetapi struktur pertanian organik jauh lebih besar dari itu. ”Organik adalah bagian dari gerakan kedaulatan pangan yang komponen dasarnya adalah reformasi agraria karena tanpa ada lahan yang memadai, petani organik tak akan mampu menguasai pasar,” ujarnya.

Selain itu, aspek lain yang harus dipersiapkan adalah memberikan akses modal kepada petani, kemandirian benih, teknik tanam dan pemeliharaan alami, pemrosesan hasil, hingga tata niaga yang adil.

Kesatuan konsep ini, menurut Wahono, yang tidak dipahami oleh pemerintah sehingga ketika kemudian pemerintah meluncurkan Go Organik 2010, yang mereka lakukan adalah banyak membuat proyek pelatihan kepada petani sambil mempromosikan pupuk organik bersubsidi buatan pabrik.

Enday, petani organik dari Garut, Jawa Barat, mengatakan, pelatihan organik kepada petani biasanya disisipi dengan promosi pupuk organik tertentu yang siap pakai. ”Kalau memang mau mendidik petani, kenapa tidak mengajari mereka membuat pupuk dan memberi modalnya juga?” kata Enday yang pernah menjadi pendamping proyek pemerintah untuk organik di wilayah Garut.

”Daripada menyubsidi pabrik untuk memproduksi pupuk organik, kenapa tidak pabriknya saja yang diberikan kepada petani? Sapi itu, lho, pabrik pupuk organik,” kata TO Suprapto, praktisi organik dari Godean, Yogyakarta.

Sikap pemerintah untuk beralih ke pupuk organik sepertinya juga masih setengah hati. Dengan melonjaknya harga minyak dunia, biaya untuk menyubsidi pupuk kimia akan semakin tinggi. Menteri Pertanian Anton Apriyantono, dalam rapat kerja dengan Komisi IV DPR, Rabu (2/9), mengatakan, jika semua kebutuhan pupuk kimia dipenuhi, dibutuhkan anggaran subsidi sebesar Rp 24 triliun.

Oleh karena itu, pemerintah bermaksud mengembangkan pupuk organik sebagai substitusi pupuk anorganik. Seiring dengan itu, subsidi untuk pupuk anorganik 2010 diturunkan menjadi Rp 11,3 triliun dari tahun sebelumnya Rp 17,5 triliun. Selisih subsidi sebanyak Rp 6,2 triliun akan dialihkan ke pupuk organik.

Wahono menambahkan, produsen besar tersebut boleh-boleh saja memproduksi pupuk organik. Tetapi sebaiknya mereka mengorientasikan produknya untuk perusahaan-perusahaan perkebunan besar, bukan untuk petani skala kecil, yang membutuhkan gerakan kembali ke organik sebagai gerakan ekonomi untuk mengurangi ketergantungan input pertanian dari luar.

Jika petani tetap dipaksa untuk menggunakan input pertanian dari luar, ini merupakan bentuk lain dari upaya memangkas kedaulatan petani. Dan, gerakan pertanian organik hanya akan menguntungkan para pebisnis, tetapi tak mengubah nasib petani menjadi lebih baik dan merdeka.

Jakarta, 18 September 2009
Penulis: Ahmad Arif

Narasi tentang "Bio" dari Brodowin


Teknik pertanian organik telah membawa sukses kelompok petani di Oekodorf Brodowin, Jerman. Dipadu dengan sistem penjualan langsung ke konsumen dan dikemas dalam jalinan narasi besar bahwa produk organik itu sehat dan perlu, mereka menerobos pasar. Ket.Foto: Susanne Ponke, pekerja di desa pertanian Brodowin, Jerman, mengelus anakan sapi dengan lembut. Dia seolah mendemonstrasikan bagaimana Brodowin memperlakukan sapi-sapinya, tak hanya sebagai perahan, tetapi juga kawan. Sebab, narasi tentang organik mengharuskan hal itu.

Pagi itu rinai hujan membasahi hamparan rumput menghijau. Angin dingin menusuk. Desa Brodowin tetap bernapas dengan gairah. Suara lenguh sapi berbaur dengan deru traktor. Di sudut lain suara bising berasal dari mesin pengolahan susu dan keju.

Di kafe kecil nan asri, terlindung dari kandang sapi dan pabrik, dua perempuan muda dengan senyum ramah menyiapkan segelas susu ”bio” hangat—di Jerman istilah ”bio” untuk menunjukkan produk organik—irisan keju yang juga bio, atau kalau mau bisa ditambah madu yang juga bio. ”Genießen sie ihre mahlzeit, Herr,” kata sang pelayan mempersilakan mencicipi segelas susu itu.

”Semua produk di sini bio. Sebagian besar ditanam dan diolah sendiri, yang lain dari rekanan yang dibeli dengan sistem perdagangan yang adil (fair trade),” kata Susanne Ponke, karyawan bagian pemasaran.

Brodowin, yang terletak sekitar 70 kilometer dari Berlin, Jerman, tak hanya ladang pertanian dan peternakan seluas 1.200 hektar, tetapi juga pabrik pengolah hasil pertanian, toko yang menjual produk organik, desa wisata, kawasan konservasi, hingga tempat penelitian kalangan akademis tentang keanekaragaman hayati. Dan, lebih dari itu, petani telah menjadi tuan di atas tanahnya sendiri.

Brodowin dirintis pada tahun 1990 oleh para petani yang memperoleh kembali hak atas lahannya setelah penyatuan Jerman Barat-Jerman Timur. Sebelumnya, lahan itu dikuasai oleh Pemerintah Jerman Timur yang menerapkan sistem sosialis. ”Begitu dikembalikan kepada petani, mereka sepakat untuk membentuk kelompok tani dan memulai sistem pertanian organik,” kata Susanne.

Mengapa memilih organik?

Susanne mengatakan, ”Daerah ini hanya menerima sedikit hujan. Saat dikembalikan kepada petani, tanahnya juga berpasir dan tidak subur karena penggunaan pupuk kimia berlebihan. Karena itu, para petani terdorong untuk memperbaiki kualitas tanah dengan metode organik.”

Tak hanya teknik bertanam alami yang berarti tanpa pupuk kimia dan pestisida, bio adalah juga sebuah narasi, bahkan sebuah ”konsep ideologi” tentang produk-produk pertanian yang lebih sehat, enak, perlu, dan karena itu (boleh) lebih mahal.

”Semua orang di Jerman tergila-gila dengan produk berlabel ’bio’. Mereka rela membeli mahal. Bahkan, gula merah kelapa dari Indonesia dijual di sini dengan label ’bio’. Apakah ada gula kelapa yang tidak organik?” kata Miranti Hirschmann, perempuan asal Indonesia yang kini menetap di Jerman. Sebab, organik adalah juga permainan citra.

Brodowin juga melengkapi narasinya dengan rangkaian riset dan pengembangan, kegiatan pascapanen, pemrosesan, pemberian label, sampai strategi pemasaran langsung kepada konsumen, serta sistem perdagangan yang adil (fair trade) dengan rekanan.

”Brodowin adalah salah satu contoh lahan pertanian yang mampu bersanding dengan lingkungan. Masing-masing akhirnya mendapat keuntungan. Keanekaragaman hayati terpelihara, produk pertanian juga lebih baik,” kata Gert Berger, ilmuwan dari Leibniz Centre for Agricultural Landscape Research, yang banyak meneliti perlindungan keanekaragaman hayati di Jerman. Legitimasi dari akademisi menambah validitas Brodowin sebagai produsen ramah lingkungan.

Sapi bahagia, susu sehat

Susanne, perempuan tinggi berambut pirang itu, mengelus anakan sapi dengan lembut. Dia seolah mendemonstrasikan bagaimana Brodowin memperlakukan sapi-sapinya: tak hanya sebagai perahan, tetapi juga kawan. Sebab, narasi tentang organik mengharuskan hal itu. ”Kami harus menciptakan suasana agar sapi menjadi bahagia,” ujarnya.

Kesehatan sapi, menurut Susanne, adalah segalanya. Misalnya, anakan sapi baru dipisah dari induknya setelah 29 bulan. Untuk menyembuhkan sapi yang sakit, mereka juga menggunakan obat-obatan herbal. ”Kuncinya adalah memberikan perhatian lebih kepada sapi sehingga penyakit bisa dideteksi di awal,” katanya.

Makanan dan minuman untuk sapi dikontrol ketat agar bebas dari bahan kimia. ”Semua perlakuan itulah yang menyebabkan susu di sini lebih berkualitas, lebih sehat,” kata Susanne.

Dengan promosi kualitas lebih sehat itu, Brodowin sukses menikmati harga produk susu mereka yang lebih mahal, yaitu 40 sen euro per liter dibandingkan dengan produk konvensional yang hanya 16 sen euro.

Brodowin memproses sendiri susu mentah melalui pasteurisasi, yaitu menggunakan pemanasan dengan suhu 63°C (145°F) selama 30 menit, dilanjutkan dengan dikocok cepat (quick cooling) sampai sekitar 4°C (39°F).

”Pasteurisasi lebih baik karena tidak membunuh semua bakteri di susu dibandingkan dengan UHT (ultra-high temperature) yang mematikan semua bakteri, termasuk bakteri yang baik,” kata Susanne. Jika sudah dikemas dan diberi label, harga jual susu Brodowin pun mencapai 1,1 euro, tiga kali lipat lebih mahal dibandingkan dengan susu biasa.

Peternakan sapi perah merupakan jantung Brodowin. Seluas 500 hektar lahan digunakan untuk menanam pakan ternak sapi. Sekitar 500 hektar digunakan untuk menanam tanaman pangan, sayur, dan obat-obatan. Sisanya untuk pabrik, toko, serta kandang.

Dengan menerapkan metode keanekaragaman fungsi lahan, hampir tak ada yang dibuang di Brodowin. Kotoran sapi untuk pupuk, tanaman herbal untuk obat-obatan, dan sisa panen untuk kompos serta pakan sapi.

Tak hanya sapi yang mendapat perhatian lebih, pekerjanya juga. Susanne, yang sudah 10 tahun bekerja di Brodowin, mengatakan, ”Saya dibayar 900 euro tiap bulan. Lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan lain sejenis yang rata-rata 750 euro. Yang lebih penting lagi, saya suka dengan pertanian organik. Organik telah memberikan pertanian jiwa baru, kamu bisa melihat di sekitar sini. Semuanya hidup dan bernapas dengan sehat.”

Teknik pertanian organik, yang membutuhkan lebih banyak pekerja dibandingkan dengan pertanian konvensional, ternyata membawa jiwa baru bagi warga desa itu. Menurut Susanne, setelah penyatuan Jerman, banyak pemuda lari ke kota karena tak ada pekerjaan di desa, tetapi, ”Sekarang mereka kembali karena Brodowin menawarkan pekerjaan dengan pendapatan yang baik,” katanya.

Brodowin kini dimiliki 80 keluarga petani dibantu oleh 70 karyawan, sebagian bekerja di ladang, pabrik, dan pemasaran. Bisnis mereka terus tumbuh dengan pesat.

Penjualan langsung

Sebanyak 2,5 juta liter susu diproses tiap tahun di pertanian ini. Produknya meliputi susu cair, keju, dan mentega. Mereka menjajakan sendiri produknya melalui penjualan langsung. Sebanyak 1.500 keluarga di Berlin menjadi pelanggan mereka. Pemesanan bisa dilakukan lewat internet.

”Pasar barang organik tumbuh cepat di Jerman sekarang,” kata Susanne. Pertumbuhan ini berasal dari meningkatnya kesadaran konsumen. Brodowin sukses memanfaatkan ceruk pasar dan menjual produk mereka dengan harga dua hingga empat kali lipat dibandingkan dengan produk konvensional karena label ”organic” atau ”bio” telah menjadi merek dagang kuat untuk hidup lebih sehat di Jerman.

Penelitian dari Agromilagro Reserach Institute Universitas Kassel, Jerman, menunjukkan, permintaan produk organik di negeri ini tumbuh lebih dari dua kali lipat selama tujuh tahun, yaitu 2 triliun euro pada 2002 menjadi lebih dari 5 triliun euro pada 2007.

Belajar dari Brodowin, pengorganisasian petani menjadi perkumpulan yang kuat adalah kunci menjadikan mereka menembus pasar. Dibutuhkan juga modal yang kuat dari dunia perbankan yang percaya kepada petani dan pemerintah yang memberikan ruang bagi kedaulatan petani.(Ahmad Arif )

Jakarta, 18 September 2009

Berdaulat dengan Pertanian Organik

Kini kita dihadapkan pada dua jalan bercabang. Jalan yang satu, yang telah kita tempuh selama ini, adalah jalan tol yang mulus yang memungkinkan kita memacu kecepatan, tapi pada akhirnya menuju bencana. Jalan lainnya untuk ditempuh—sangat sepi—tapi hanya itulah yang akan membawa kita ke tujuan akhir pelestarian bumi ini. (Rachel Carson dalam Silent Spring, 1962)

Jalan pertama yang dimaksud Rachel Carson adalah metode bertani yang mengandalkan pupuk kimia dan pestisida. Sebaliknya jalan kedua adalah metode bertani selaras alam atau yang kemudian dikenal dengan pertanian organik.

Hampir 50 tahun sejak Rachel mengingatkan bahaya pupuk kimia dengan kalimatnya yang terkenal, ”perang dengan kimia tak akan kita menangkan”, tetapi kita tetap memilih jalan menuju bencana itu. Dan, tepat seperti diramalkan Rachel, berpuluh tahun sejak perangkat kimia berbasis bahan bakar fosil—yang awalnya diciptakan untuk tujuan peperangan—digunakan di pertanian, hama tanaman tak berkurang. Bahkan, muncul banyak spesies baru yang semakin merusak.

Racun kimia itu justru membunuh spesies yang berguna bagi manusia, seperti lebah dan burung pemakan serangga. ”Kini dunia di ambang kepunahan lebah madu,” tulis Allison Benjamin dan Brian McCallum dalam A World without Bees, The Guardian Book, 2009. ”Dan ini berarti bencana besar bagi manusia,” tambah mereka. Pada gilirannya, racun kimia dari lahan pertanian juga menggerogoti kesehatan manusia.

Walaupun sangat terlambat, kini sebagian petani beralih ke jalan, yang disebut Rachel, sangat sepi itu. Pemerintah yang sebelumnya menjadi agen racun kimia dengan Revolusi Hijau-nya, telah pula mencanangkan proyek Go Organik 2010.

Namun, kembali ke pertanian organik bukan hanya berarti kembali pada teknik bertani tanpa pupuk kimia dan pestisida. Gerakan organik adalah juga sebuah kedaulatan bertani. Sudahkah kita menuju jalan yang itu?

Kedaulatan petani

Kedaulatan itu diperjuangkan Kelompok Tani Balak Gumregah di Desa Balak, Cawas, Klaten, Jateng. Sepetak tanaman padi tumbuh di halaman rumah. ”Ini padi merah putih turunan ketiga. Minggu lalu saya panen, tapi sekarang saya tumbuhkan kembali,” kata W Riyanto (46), anggota kelompok tani itu.

Mereka juga berkreasi mencipta pupuk kompos—salah satunya memakai limbah tetes tebu—dan pestisida organik, mengolah produk, mengemas, dan memasarkannya. Salah satu produk mereka adalah minuman instan bekatul—ekstrak beras—dan jahe. Mereka memberi label produk itu ”JAKAT”, singkatan dari jahe-katul, lengkap dengan narasi ”minuman sehat dan bergizi untuk seluruh keluarga”.

Sejauh ini, produk ini masih dipasarkan dari tangan ke tangan. ”Tujuan utama produk organik kami untuk dimakan sendiri, kalau sisa baru dijual,” kata Riyanto. Dia tak setuju cara pikir petani yang menjual beras organiknya dengan alasan harga jual lebih tinggi, tetapi membeli beras kualitas buruk untuk dimakan sendiri.

Sedangkan untuk kemandirian energi, didampingi Cindelaras, Lembaga Pemberdayaan Pedesaan dan Kajian Global, kelompok tani ini membangun kompor biogas dari kotoran sapi. Limbahnya kemudian dipakai untuk pupuk.

”Dengan biaya bertani lebih murah, kami bisa menjual beras organik lebih rendah dibandingkan beras biasa,” kata Riyanto. Tiga tahun pertama setelah beralih ke teknik organik, hasil panen belum memuaskan karena tanah yang kecanduan kimia tiba-tiba tak diberi obat. ”Persis orang kecanduan narkoba,” kata Riyanto, tetapi ”Sekarang, setelah lima tahun, hasilnya setara, bahkan lebih tinggi dibandingkan yang pakai kimia,” katanya.

Sekitar 60 kilometer ke selatan, di perbukitan kapur Gunung Kidul yang kering dan gersang, lumbung petani dipenuhi padi. ”Walaupun desa-desa lain sering kelaparan, dusun kami tak pernah kelaparan lagi karena ada lumbung yang selalu terisi sepanjang tahun,” kata Marsudi (32), Ketua Kelompok Tani Cipto Makaryo, Dusun Jetis, Desa Pampang, Kecamatan Paliyan, Gunung Kidul, yang mengelola lumbung itu.

Unsur hara yang tipis di atas batu kapur membuat petani hanya bisa mengandalkan teknik organik. ”Dulu kami memakai pupuk kimia, awalnya bagus, tetapi kemudian merosot. Tanah jadi rusak, kami kembali ke pupuk kandang,” kata Marsudi.

Dengan pupuk organik, mereka menjawab masalah penggurunan (desertification), yang oleh badan dunia United Nations Convention to Combat Desertification (UNCCD) disebut sebagai ancaman terhadap ketahanan pangan dunia ke depan.

Pembajakan

Melihat tren pasar produk organik yang makin terbuka, para produsen pupuk kimia kini berlomba membuat pupuk organik. Mereka menawarkan obat untuk menyembuhkan tanah petani yang sebelumnya dihancurkan pupuk kimia. Beberapa pemodal juga menanam padi dan sayur organik. Sebagian sukses menguasai pasar dalam negeri, bahkan mengekspornya, sementara itu petani kecil tetap kesulitan.

”Kami harus memakai perantara untuk masuk ke supermarket karena mereka hanya mau berurusan dengan penyalur besar yang sanggup dibayar di akhir. Sertifikasi produk organik juga mempersulit kami,” kata Johan Arifin, petani padi organik dari Kelompok Joglo Tani Godean, Yogyakarta.

Beras organik dari petani Rp 5.500-Rp 6.500 per kg menjadi Rp 10.000-Rp 20.000 per kg di supermarket. Fransiscus Wahono, Direktur Cindelaras, mengatakan, telah terjadi pembajakan gerakan organik oleh pemodal. Jika saja Rachel Carson melihat perkembangan saat ini, dia pasti akan melengkapi tulisannya tentang jalan kedua itu tak hanya sepi, tetapi juga banyak pembajaknya.

Jakarta, 18 September 2009
Penulis: Ahmad Arif

Thursday, September 17, 2009

Ilmuwan Temukan Listrik dari Pohon

Para peneliti telah menemukan satu cara untuk memperoleh listrik yang dihasilkan oleh pohon, demikian laporan media pekan ini.

Anak-anak di seluruh dunia yang pernah melakukan percobaan baterei lemon atau kentang mengetahu bahwa arus listrik dapat dihasilkan dengan menciptakan reaksi antara makanan itu dan dua logam yang berbeda.

Namun, para peneliti di Massachusetts Institute of Technology telah menemukan satu cara lain untuk menuai listrik dari pohon. Mereka menggunakan logam yang sama untuk kedua elektroda yang secara khusus disusun agar tidak membuat rancu dampaknya dengan dampak kentang.

Meskipun terbukti pohon dapat menjadi sumber listrik adalah langkah penting, satu pertanyaan tetap ada: Dapatkah voltase yang kecil dan dihasilkan oleh satu pohon digunakan buat sesuatu yang bermanfaat?

Setelah menghabiskan musim panas untuk memeriksa pepohonan, para peneliti itu menemukan bahwa pohon kayu berdaun lebar menghasilkan voltase yang tetap sampai beberapa ratus milivolt. Dengan menambahkan satu alat yang disebut pengubah pendorong voltase, tim penelitian tersebut dengan susah-payah berhasil memperoleh voltase yang dapat digunakan sebesar 1,1 voltase, cukup untuk menjalankan sensor bertenaga rendah.

Seorang anggota tim mengakui bahwa "tenaga listrik pohon" tidak sepraktis energi matahari, tapi dia percaya sistem tersebut dapat dipertimbangkan sebagai pilihan murah untuk menghasilkan tenaga listrik buat sensor pohon yang membantu mendeteksi kondisi lingkungan hidup atau kebakaran hutan.

Dengan menggunakan keluaran elektronik untuk menjaga kesehatan pohon adalah kemungkinan lain. Studi itu direncakan disiarkan di dalam jurnal "Transactions on Nanotechnology, Institute of Electrical and Electronics Enggineers".

KAMIS, 17 SEPTEMBER 2009 | 12:43 WIB

BEIJING, KOMPAS.com - http://sains.kompas.com/read/xml/2009/09/17/12431599/ilmuwan.temukan.listrik.dari.pohon

Wednesday, September 16, 2009

Rekonstruksi Pascagempa Ancam Kelestarian Hutan

BENCANA ALAM

Kerusakan akibat gempa di selatan Jawa Barat, 11 September lalu, menuntut pembangunan kembali. Namun, rekonstruksi pascagempa akan mendorong meningkatnya kerusakan hutan. Demikian menurut Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia Elfian Effendi, Selasa (15/9).

”Satu hal yang perlu mendapat perhatian adalah penggunaan kayu pascagempa,” ujarnya.

Kepala Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional RW Matindas suatu kali memaparkan, pada peta kepadatan penduduk di Jawa, daerah yang masih berupa hutan hanya di 30 persen kawasan pesisir selatan Jawa Barat dan 75 persen di selatan Jawa Timur.

Menurut Elfian, kasus rekonstruksi Aceh harus menjadi pelajaran. Proses rekonstruksi di Aceh memunculkan masalah kerusakan hutan dan pembalakan liar. ”Proses rekonstruksi pascabencana harus berwawasan lingkungan,” ujarnya.

Dari analisis citra satelit terhadap kondisi hutan Aceh oleh Greenomics Indonesia, Agustus lalu terungkap terjadi penurunan cepat kualitas hutan pada kurun 2006-2008. Tutupan hutan Aceh berkurang 200.329 hektar selama tiga tahun itu.

Hal tersebut menyebabkan kerugian material 551,3 juta dollar AS per tahun dari potensi bisnis perdagangan karbon akibat terlepasnya cadangan karbon hutan Aceh yang tak kurang dari 50,08 juta ton.

Belum termasuk saat tanggap darurat dan rehabilitasi tahun 2005 saat tutupan hutan hilang 52.424 hektar. ”Mayoritas tegakan hutan alam Aceh yang hilang itu dieksploitasi secara ilegal,” ungkap Elfian.

Ia menilai, saat ini tercetak tiga rekor dunia baru sekaligus, yakni kehilangan tutupan hutan alam tercepat di dunia, pengguna kayu ilegal terbesar di dunia, dan sebagai penyumbang emisi karbon terbesar di dunia.

Rumah tradisional

Menurut Kepala Pusat Data Statistik dan Informasi Departemen Kelautan dan Perikanan Soen’an Hadi Poernomo, pembangunan kembali rumah-rumah dan bangunan yang rusak hendaknya mengacu pada konstruksi tahan gempa dan rumah tradisional yang terbukti kokoh. Menurut pemantauan, rumah yang selamat adalah yang berbentuk panggung.

Hal tersebut karena kaki-kaki rumah tradisional diganjal batu kapur berbentuk kotak, setinggi 30 cm-50 cm dari muka tanah. Model ini secara teoretis serupa dengan rumah pesisir yang ada di AS atau Jepang; ditopang oleh tiang terputus, disambung dengan impitan pelat baja yang kuat di kiri dan kanannya. Bangunan demikian, apabila terjadi gempa, akan hanya terayun.

Soen’an mengungkapkan bahwa rumah tradisional Jawa Barat seperti itu di Garut Selatan hanya rusak ringan, pecah genteng, dan perabotan. Adapun rumah beton atau tembok, yang kaku terpaku di dalam tanah, saat terkena goyangan akan menderita kerusakan parah, pecah, roboh, dan hancur.

Pemberdayaan masyarakat pascagempa, menurut Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Surono, merupakan hal penting.

Ia menunjuk pembangunan kembali Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, pascagempa tektonik tahun 2006. Dalam dua tahun, Pemerintah Kabupaten Bantul dan masyarakatnya bersatu padu membangun kembali wilayah yang hancur akibat gempa. Menurut Surono, saat ini dampak bencana tersebut tidak tampak lagi. (YUN)

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...