Wednesday, September 16, 2009

Rekonstruksi Pascagempa Ancam Kelestarian Hutan

BENCANA ALAM

Kerusakan akibat gempa di selatan Jawa Barat, 11 September lalu, menuntut pembangunan kembali. Namun, rekonstruksi pascagempa akan mendorong meningkatnya kerusakan hutan. Demikian menurut Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia Elfian Effendi, Selasa (15/9).

”Satu hal yang perlu mendapat perhatian adalah penggunaan kayu pascagempa,” ujarnya.

Kepala Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional RW Matindas suatu kali memaparkan, pada peta kepadatan penduduk di Jawa, daerah yang masih berupa hutan hanya di 30 persen kawasan pesisir selatan Jawa Barat dan 75 persen di selatan Jawa Timur.

Menurut Elfian, kasus rekonstruksi Aceh harus menjadi pelajaran. Proses rekonstruksi di Aceh memunculkan masalah kerusakan hutan dan pembalakan liar. ”Proses rekonstruksi pascabencana harus berwawasan lingkungan,” ujarnya.

Dari analisis citra satelit terhadap kondisi hutan Aceh oleh Greenomics Indonesia, Agustus lalu terungkap terjadi penurunan cepat kualitas hutan pada kurun 2006-2008. Tutupan hutan Aceh berkurang 200.329 hektar selama tiga tahun itu.

Hal tersebut menyebabkan kerugian material 551,3 juta dollar AS per tahun dari potensi bisnis perdagangan karbon akibat terlepasnya cadangan karbon hutan Aceh yang tak kurang dari 50,08 juta ton.

Belum termasuk saat tanggap darurat dan rehabilitasi tahun 2005 saat tutupan hutan hilang 52.424 hektar. ”Mayoritas tegakan hutan alam Aceh yang hilang itu dieksploitasi secara ilegal,” ungkap Elfian.

Ia menilai, saat ini tercetak tiga rekor dunia baru sekaligus, yakni kehilangan tutupan hutan alam tercepat di dunia, pengguna kayu ilegal terbesar di dunia, dan sebagai penyumbang emisi karbon terbesar di dunia.

Rumah tradisional

Menurut Kepala Pusat Data Statistik dan Informasi Departemen Kelautan dan Perikanan Soen’an Hadi Poernomo, pembangunan kembali rumah-rumah dan bangunan yang rusak hendaknya mengacu pada konstruksi tahan gempa dan rumah tradisional yang terbukti kokoh. Menurut pemantauan, rumah yang selamat adalah yang berbentuk panggung.

Hal tersebut karena kaki-kaki rumah tradisional diganjal batu kapur berbentuk kotak, setinggi 30 cm-50 cm dari muka tanah. Model ini secara teoretis serupa dengan rumah pesisir yang ada di AS atau Jepang; ditopang oleh tiang terputus, disambung dengan impitan pelat baja yang kuat di kiri dan kanannya. Bangunan demikian, apabila terjadi gempa, akan hanya terayun.

Soen’an mengungkapkan bahwa rumah tradisional Jawa Barat seperti itu di Garut Selatan hanya rusak ringan, pecah genteng, dan perabotan. Adapun rumah beton atau tembok, yang kaku terpaku di dalam tanah, saat terkena goyangan akan menderita kerusakan parah, pecah, roboh, dan hancur.

Pemberdayaan masyarakat pascagempa, menurut Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Surono, merupakan hal penting.

Ia menunjuk pembangunan kembali Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, pascagempa tektonik tahun 2006. Dalam dua tahun, Pemerintah Kabupaten Bantul dan masyarakatnya bersatu padu membangun kembali wilayah yang hancur akibat gempa. Menurut Surono, saat ini dampak bencana tersebut tidak tampak lagi. (YUN)

No comments:

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...