Tuesday, October 6, 2009

Masalah Bencana Masih di Urutan Nomor Sekian

Peta zonasi gempa dibutuhkan? Ketika pertanyaan tersebut dilontarkan kepada sejumlah ahli kebumian yang terkait kegempaan, semua mengatakan: Iya. Jelas amat penting dan dibutuhkan.

Negeri ini merupakan negeri bencana (gempa) karena terletak di kawasan ring of fire. Wilayah Indonesia merupakan pertemuan tiga lempeng tektonik utama dunia, lempeng Pasifik, lempeng Indoaustralia, dan lempeng Eurasia.

”Peta seperti itu penting sekali,” ujar seismolog Sri Widiyantoro, pekan lalu. Dia mengungkapkan, pada awal 2009 ini, dia bersama sejumlah ahli dari berbagai keilmuan telah melakukan penelitian secara menyeluruh meliputi berbagai aspek kegempaan.

”Ini melibatkan banyak ahli, mulai dari ahli seismik, ahli teknik sipil, geolog—untuk meneliti jenis-jenis endapan setempat, dan banyak lagi,” tuturnya.

Menurut dia, peta tersebut akan sangat bermanfaat untuk upaya mitigasi.

”Laporan ini akan kami serahkan ke pemerintah pusat untuk direkomendasikan ke pemerintah daerah untuk dijadikan sebuah peraturan daerah sebagai arah pembangunan. Dari hasil ini masih dibutuhkan zonasi mikro di setiap daerah,” ujar Asisten Deputi Analisis Kebutuhan Iptek Kementerian Riset dan Teknologi Edie Prihantoro yang dihubungi kemarin. Pemetaan zonasi gempa tersebut didanai oleh Kementerian Riset dan Teknologi.

Sri Widiyantoro mengungkapkan, para ahli teknik sipil nantinya harus menyesuaikan konstruksi bangunan dengan kondisi geologis dan struktur tanah setempat.

Disiapkan lama

Menurut Edie, peta zonasi gempa berdasarkan probabilistic seismic hazard analysis tersebut sebenarnya sudah dipersiapkan sejak lama.

”Sungguh sayang ketika kami baru saja selesai dan baru akan menyampaikan laporan akhir tahun ini, sudah duluan terjadi gempa di Padang,” ujar Edie. Laporan peta zonasi tersebut akan disampaikan pihak Kementerian Riset dan Teknologi kepada pemerintah pusat pada akhir tahun ini.

”Saat ini sedang dilakukan pewarnaan. Dari peta ini akan diketahui daerah mana yang paling rawan, tetapi masih membutuhkan zonasi mikro,” kata Edie.

Menurut Edie, pemetaan serupa akan segera dilakukan tahun depan begitu anggaran telah disetujui. ”Kami akan lanjutkan di bagian timur Indonesia,” katanya.

Dia berharap, segala jerih payah para ilmuwan tersebut ditanggapi sepadan oleh pemerintah daerah.

”Ini jelas amat dibutuhkan untuk mengarahkan pembangunan. Kalau tidak dianggap, karena pemerintah daerah sibuk mengejar pembangunan ekonomi. Padahal, ketika terjadi bencana, ekonomi akan ambruk juga,” ujarnya.

Dia menegaskan, ”Ini saatnya untuk mengingatkan bahwa negara ini bukan hanya gemah ripah loh jinawi (makmur sentosa) seperti selama ini kita
diajari di bangku sekolah. Itu merupakan periode yang hilang karena negara kita ini negara yang sangat rawan bencana.”(ISW)

Selasa, 6 Oktober 2009 | 03:29 WIB

Kepunahan Masal Makin Dekat


Para ahli biologi memperkirakan dunia tengah menghadapi ancaman kepunahan keanekaragaman hayati secara masal. Dugaan ini muncul dari krisis keanekaragaman hayati yang semakin parah. Diperkirakan, saat ini sebanyak 50-150 spesies bumi punah setiap harinya.

"Perkiraan ini berdasar atas proyeksi laju kepunahan yang terjadi saat ini. Proyeksi tersebut menyebutkan Sekitar 50 persen dari sekitar 10 juta spesies yang ada saat ini diprediksi akan punah dalam kurun waktu 100 tahun ke depan. Laju kepunahan beragam spesies saat ini mencapai 40-400 kali lipat dari laju kepunahan 500 tahun yang lalu," kata Ign Pramana Yuda, Peneliti Teknobiologi dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) dalam pidato ilmiah dies natalies ke-44 universitas tersebut di Yogyakarta, Jumat (2/10).

Laju kepunahan burung dan binatang menyusui antara tahun 1600-1975, misalnya, telah diperkirakan mencapai 5-50 kali lipat dari laju kepunahan sebelumnya. Tidak hanya spesies, kepunahan juga mengancam gen dan ekosistem di mana spesies tersebut tinggal.

Menurut Pramana, Indonesia adalah salah satu kawasan yang memiliki ancaman kepunahan terbesar. Ekosistem hutan tropis berkurang 10-20 juta hektar setiap tahunnya. Sebanyak 70 persen terumbu karang di Indonesia juga mengalami kerusakan sedang hingga berat. Kerusakan juga terjadi di sejumlah ekosistem khas di Indonesia lainnya seperti hutan bakau, sungai, danau, dan kawasan pertanian.

Pramana mengatakan, kepunahan massal kali ini terjadi dalam skala yang jauh lebih luas dan laju l ebih cepat dari lima kepunahan massal yang pernah terjadi di Bumi sebelumnya. Kepunahan massal yang terbaru terjadi sekitar 65 juta tahun lalu. Luasnya skala kepunahan massal kali ini bisa dilihat dari banyaknya spesies yang punah dan makin pendeknya usia kelestarian satu spesies. Saat ini usia spesies kurang dari 35 ribu tahun, padahal jutaan tahun yang lalu satu spesies bisa berusia 10 juta tahun.



JUMAT, 2 OKTOBER 2009 | 19:37 WIB
Laporan wartawan KOMPAS Irene Sarwindaningrum



Rata-rata 10 Persen Spesies Terancam



Dampak perubahan iklim dan faktor lain diperkirakan saat ini mengancam rata-rata populasi 10 persen spesies yang ada di dunia. Pemerintah Australia melaporkan hal ini, Selasa (29/9), dari hasil studi melalui sensus. Ket.Foto:Spesies katak Phyllomedusa azurea yang ditemukan di Cerrado, Brazil sudah sangat langka. Kulitnya mengandung zat yang berkhasiat.

Secara rinci diperkirakan, spesies yang terancam punah tersebut meliputi 29,2 persen jenis amfibi, 20,8 persen jenis mamalia, 12,2 persen jenis burung, 4,8 persen jenis reptil, dan 4,1 persen jenis ikan.

Menteri Lingkungan Hidup Australia Peter Garrett menjelaskan, sebanyak 87 persen mamalia dan 93 persen reptil yang terdapat di Australia saat ini tidak terdapat di belahan dunia lain. Data itu menunjukkan bahwa keunikan tersendiri untuk dijaga dan diselamatkan dari ancaman kepunahan. (AFP/NAW)


RABU, 30 SEPTEMBER 2009 | 11:45 WIB


Monday, October 5, 2009

Laut RI Serap 3.000 Juta Ton CO2

Laut Indonesia diperkirakan mampu menyerap sekitar 3.000 juta ton CO2 per tahun. Dari jumlah itu, sekitar tiga juta ton di antaranya diendapkan di dasar laut. ”Indonesia memiliki peranan yang vital untuk mengubah paradigma dunia bahwa peran laut sangat penting di dalam upaya mengurangi emisi karbon dunia. Di IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change), Desember 2007 di Bali, bicara tentang perubahan iklim, sebelumnya orang tidak pernah menyinggung soal laut,” kata Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi di Bandung, Jawa Barat, akhir pekan lalu. 

Indonesia, menurutnya, memiliki peran yang strategis di dalam upaya global mengurangi emisi karbon. Luas areal terumbu karang di Indonesia mencakup 18 persen dari total koral dunia. Atau, mencakup 54 persen di wilayah Asia Tenggara. Sebagian ahli, termasuk dirinya, meyakini bahwa laut yang berisi karang mampu menyerap karbon dalam jumlah besar. Kemampuan laut Indonesia menyerap CO2 ini diperkirakan mencapai 3.000 juta ton per tahun. Secara terpisah, Koordinator Program Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim dari Bangkok mengkritik materi proposal yang diajukan Pemerintah RI dalam pertemuan internasional ini. Ia melihat, pemerintah tidak ubahnya ”mengiklankan” laut Indonesia untuk mencari ladang keuangan baru melalui skema iklim. (BEN)

Senin, 5 Oktober 2009 | 04:18 WIB

PERUBAHAN IKLIM: Indonesia Harap Alih Teknologi Konkret

Delegasi Indonesia dalam negosiasi iklim di Bangkok, Thailand, mendesak negara-negara maju mengonkretkan komitmen bantuan pengembangan kapasitas, termasuk alih teknologi. Nyatanya, pembahasan alih teknologi diliputi perdebatan panjang di ruang negosiasi.

”Negara berkembang menilai hak kekayaan intelektual (HKI) menghambat implementasi alih teknologi,” kata anggota delegasi Indonesia, yang juga anggota Kelompok Produksi Bersih Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Widiatmini Sih Winanti, di Bangkok, Sabtu (3/10). Konsekuensi HKI, di antaranya, membuat alih teknologi ke negara berkembang menjadi mahal yang berujung pada beban finansial.

Sementara itu, negara maju tetap bersikukuh bahwa penerapan HKI pada proses alih teknologi mengatasi perubahan iklim. Alasannya, HKI mendorong inovasi teknologi.

Serangkaian negosiasi iklim di bawah Protokol Kyoto menegaskan bahwa mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, khususnya bagi negara miskin dan berkembang, mutlak membutuhkan bantuan pendanaan dan alih teknologi dari negara maju. Tanpa itu, perubahan iklim akan berdampak sangat buruk bagi negara-negara miskin dan berkembang.

Perdebatan HKI dalam isu alih teknologi sudah bergulir sejak dua tahun lalu. Belum adanya kesepakatan membuat pembicaraan mengenai alih teknologi tidak dapat terfokus.

Oleh karena itu, Indonesia juga mengusulkan agar persoalan HKI dibahas terpisah secara paralel. ”Kami juga menginginkan adanya mekanisme bantuan alih teknologi yang jelas disesuaikan kebutuhan serta prioritas negara berkembang,” kata anggota delegasi RI yang lain, Sidik Boedoyo.

Tersisa 10 hari

Secara terbuka, Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon menyatakan, terhitung sejak Sabtu itu negosiasi iklim menyisakan sepuluh hari negosiasi, yakni enam hari pada pertemuan Bangkok, yang akan berakhir 9 Oktober 2009, dan pertemuan terakhir di Barcelona, Spanyol, 2-6 November 2009.

Selanjutnya adalah Pertemuan Para Pihak (COP) Ke-15 di Kopenhagen, Denmark, Desember 2009 mendatang. Di sana secara khusus akan dibahas masa depan penanganan perubahan iklim di bawah protokol baru, setelah masa berlaku Protokol Kyoto habis pada tahun 2012.

”Dalam 10 hari itu, apa yang harus dikerjakan demi masa depan harus sudah diputuskan,” kata Ki-moon dalam pidatonya di Universitas Kopenhagen, Minggu. Secara khusus, ia meminta agar semua negara tidak hanya memandang kepentingan negara masing-masing, tetapi kepentingan global yang terancam.

Berkaca pada alotnya negosiasi di Bangkok, ia memperkirakan pembahasan proposal terkait pembiayaan dan persetujuan penanganan iklim lainnya akan sangat berat di Barcelona. ”Namun, semua harus menunggu dulu apa yang dapat dicapai di Bangkok.”

Sebelumnya, Menteri Negara Lingkungan Hidup Indonesia, yang juga Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), Rachmat Witoelar mengatakan, mengingat negosiasi iklim yang alot, Major Economic Forum (MEF) yang terdiri atas belasan negara maju dan berkembang menjadwalkan pertemuan baru pada 17-18 September 2009 di London, Inggris.

Rencana pertemuan tersebut digagas mendadak sebagai forum tambahan demi persiapan pembahasan pasca-Protokol Kyoto yang lebih baik.(*/Antara/Reuters/GSA)

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...