”Negara berkembang menilai hak kekayaan intelektual (HKI) menghambat implementasi alih teknologi,” kata anggota delegasi Indonesia, yang juga anggota Kelompok Produksi Bersih Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Widiatmini Sih Winanti, di Bangkok, Sabtu (3/10). Konsekuensi HKI, di antaranya, membuat alih teknologi ke negara berkembang menjadi mahal yang berujung pada beban finansial.
Sementara itu, negara maju tetap bersikukuh bahwa penerapan HKI pada proses alih teknologi mengatasi perubahan iklim. Alasannya, HKI mendorong inovasi teknologi.
Serangkaian negosiasi iklim di bawah Protokol Kyoto menegaskan bahwa mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, khususnya bagi negara miskin dan berkembang, mutlak membutuhkan bantuan pendanaan dan alih teknologi dari negara maju. Tanpa itu, perubahan iklim akan berdampak sangat buruk bagi negara-negara miskin dan berkembang.
Perdebatan HKI dalam isu alih teknologi sudah bergulir sejak dua tahun lalu. Belum adanya kesepakatan membuat pembicaraan mengenai alih teknologi tidak dapat terfokus.
Oleh karena itu, Indonesia juga mengusulkan agar persoalan HKI dibahas terpisah secara paralel. ”Kami juga menginginkan adanya mekanisme bantuan alih teknologi yang jelas disesuaikan kebutuhan serta prioritas negara berkembang,” kata anggota delegasi RI yang lain, Sidik Boedoyo.
Tersisa 10 hari
Secara terbuka, Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon menyatakan, terhitung sejak Sabtu itu negosiasi iklim menyisakan sepuluh hari negosiasi, yakni enam hari pada pertemuan Bangkok, yang akan berakhir 9 Oktober 2009, dan pertemuan terakhir di Barcelona, Spanyol, 2-6 November 2009.
Selanjutnya adalah Pertemuan Para Pihak (COP) Ke-15 di Kopenhagen, Denmark, Desember 2009 mendatang. Di sana secara khusus akan dibahas masa depan penanganan perubahan iklim di bawah protokol baru, setelah masa berlaku Protokol Kyoto habis pada tahun 2012.
”Dalam 10 hari itu, apa yang harus dikerjakan demi masa depan harus sudah diputuskan,” kata Ki-moon dalam pidatonya di Universitas Kopenhagen, Minggu. Secara khusus, ia meminta agar semua negara tidak hanya memandang kepentingan negara masing-masing, tetapi kepentingan global yang terancam.
Berkaca pada alotnya negosiasi di Bangkok, ia memperkirakan pembahasan proposal terkait pembiayaan dan persetujuan penanganan iklim lainnya akan sangat berat di Barcelona. ”Namun, semua harus menunggu dulu apa yang dapat dicapai di Bangkok.”
Sebelumnya, Menteri Negara Lingkungan Hidup Indonesia, yang juga Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), Rachmat Witoelar mengatakan, mengingat negosiasi iklim yang alot, Major Economic Forum (MEF) yang terdiri atas belasan negara maju dan berkembang menjadwalkan pertemuan baru pada 17-18 September 2009 di London, Inggris.
Rencana pertemuan tersebut digagas mendadak sebagai forum tambahan demi persiapan pembahasan pasca-Protokol Kyoto yang lebih baik.(*/Antara/Reuters/GSA)
Senin, 5 Oktober 2009 | 03:19 WIB
Bangkok, Sabtu -http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/05/03191733/indonesia.harap.alih.teknologi.konkret
Bangkok, Sabtu -http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/05/03191733/indonesia.harap.alih.teknologi.konkret
No comments:
Post a Comment