Thursday, October 8, 2009

Kompas Gramedia Bangun "Green Building"


Kota Jakarta dalam waktu dekat ini memiliki green building atau gedung ramah lingkungan di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Pembangunan gedung ramah lingkungan ini merupakan upaya mengurangi pemanasan global dan mendukung penerapan peraturan daerah (Perda) DKI Jakarta tentang konsep green building bagi gedung pemerintah dan swasta. Ket.Foto:Presiden Direktur Kompas Gramedia Jakob Oetama saat ground breaking Allianz Tower di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Minggu (5/7) pagi. Gedung berlantai 28 di atas lahan 7.000 m2 ini merupakan green building di Jakarta.

Chairman Kelompok Kompas Gramedia Jakob Oetama dalam sambutannya saat acara ground breaking atau pembuatan tiang bor uji (test pile) di kawasan Kuningan, Jaksel, hari Minggu (5/7) siang, mengungkapkan, kepedulian terhadap isu pemanasan global (global warming) perlu diwujudkan dalam tindakan nyata, baik dalam skala kecil yaitu tindakan sehari-hari maupun dalam skala besar, seperti membangun gedung berkonsep hijau yang ramah lingkungan.

Hadir antara lain CEO Kompas Gramedia Agung Adiprasetyo, CEO Allianz Jens Reisch dan Volker Miss, Komisaris Utama PT Medialand International Harli Ojong, Direktur PT Medialand International Teddy Surianto, Direktur Procon Hendra Hartono, dan sejumlah undangan lainnya.

Gedung berkonsep hijau yang dinamakan Allianz Tower ini dibangun PT Medialand, perusahaan properti grup Kompas Gramedia, dijadwalkan beroperasi tahun 2010 dan diharapkan menjadi ikon baru bagi gedung perkantoran di Jakarta.

"Sejauh ini masyarakat mengenal Kompas sebagai perusahaan media massa dengan grup majalah Intisari, Bobo, serta toko buku Gramedia dan penerbit PT Gramedia. Tapi masyarakat belum mengenal usaha di bidang real estate yaitu Medialand. Gedung ini dibangun Medialand yang kini tidak setengah-setengah terjun dalam bidang properti. Grup Kompas Gramedia ingin menjadi pionir membangun gedung yang ramah lingkungan," kata Jakob Oetama.

Gedung berlantai 28 yang dibangun di atas lahan seluas 7.000 meter persegi ini mengacu pada kepedulian terhadap kondisi alam dan bumi tempat manusia hidup. Untuk itu, kata Jakob, perlu diciptakan bangunan yang hemat dalam penggunaan energi dan air sehingga gedung itu ramah lingkungan. "Arsitektur Allianz Tower ini memiliki nilai seni dan filosofi tinggi serta fungsional. Gedung ini memadukan nilai seni gedung dan fungsi, dan ramah terhadap alam," ungkap Jakob Oetama.

Perbandingan lahan dalam gedung ini, sebanyak 70 persen merupakan lahan hijau, dan 30 persen merupakan bangunan. Gedung ini betul-betul ramah lingkungan karena semua aspek bangunan dibuat dengan konsep green building, seperti desain, gedung yang langsing dan pipih, penggunaan teknologi kaca gedung, resapan air, pemanfaatan air hujan, proses daur ulang, penggunaan lampu hingga jenis tanaman yang menghiasi gedung dipilih yang ramah lingkungan.

Jakob Oetama mengatakan, Allianz Tower diibaratkan sebuah buku yang terbuka, yang terdiri dari dua bagian. Bangunan ini memiliki filosofi tentang sebuah sumber atau jendela pengetahuan dan pentingnya suatu informasi, terutama informasi yang prosesnya sangat dinamis, tetapi harus disajikan secara berimbang. Visualisasi lembaran surat kabar, baris, dan kolom yang akrab kita lihat di sebuah media, dituangkan dalam desain bangunan dalam bentuk horizontal dan vertikal sehingga karakter yang muncul dari gedung ini menggambarkan kedinamisan.

Dirut PT Medialand International Teddy Surianto menjelaskan, Allianz Tower sudah memiliki penyewa utama yaitu Allianz, perusahaan asuransi dan jasa finansial terkemuka asal Jerman yang memiliki 77 kantor perwakilan di seluruh dunia.

Desain ramah lingkungan

Sebagai ikon baru bagi kawasan segi tiga emas Jakarta, Allianz Tower berpegang teguh pada pandangan-pandangan desain mengenai environmental sustainable design (ESD). Gedung ini didesain langsing dan pipih di bagian timur dan barat sehingga mengurangi terik cahaya dan panas matahari yang langsung menimpa bagian-bagian ini.

Allianz Tower hanya sedikit membangun basement sehingga 70 persen dari seluruh luas tanah digunakan sebagai kawasan resapan air hujan. Hal ini sangat penting sebagai usaha penanggulangan banjir di Kota Jakarta. Cara ini dibarengi dengan penerapan daur ulang air hujan dan air kotor sehingga mengurangi jumlah air yang dibuang melalui saluran kota ke sungai-sungai. Tanah di gedung ini akan dimaksimalkan sebagai resapan alami. Pemprov DKI Jakarta menganjurkan daerah resapan sekitar 30 persen.

Allianz Tower menggunakan sistem double glazing untuk kulit luar gedung, yaitu kombinasi antara 8 mm reflective glass dan 6 mm clear glass, yang dipasang dengan 12 mm ruang hampa udara di antaranya. Kulit luar double glazing ini akan mengurangi masuknya panas ke dalam gedung secara drastis dan menghilangkan polusi suara dari luar gedung.

Teddy juga mengungkapkan, konsep daur ulang dipakai untuk menghargai lingkungan. Rain water harvesting atau penampungan air hujan pada atap gedung disimpan di tangki-tangki air di basement untuk dipakai bersama air yang sudah didaur ulang dari sewage treatment plant.

Sebanyak 80 persen air kotor akan didaur ulang menjadi air bersih untuk menyirami tanaman, flushing water untuk toilet dan pemakaian air di cooling tower untuk mendinginkan ruang-ruang kerja melalui sistem water cooled air conditioning. Sebanyak 20 persen air kotor harus dibuang ke waduk limbah DKI Jakarta yang sudah ada di utara gedung ini.

Teddy menambahkan, gedung ini menggunakan lampu-lampu LED dan TS fluorescence yang hemat energi, terutama di sebagian besar ruang perkantoran.

Untuk memudahkan resapan di bawah jalan mobil, di sekeliling gedung disediakan cobble stone untuk paving. Secara energi, parkiran semacam ini tidak membutuhkan ventilasi secara mekanikal dan lampu di siang hari. Ini lebih hemat dibandingkan parkiran basement.

Upaya menjadikan gedung ini ramah lingkungan, diwujudkan pula dengan penanaman pohon-pohon besar yang rindang di taman-taman sekeliling gedung. Ini tentu saja akan mengurangi panas matahari dan temperatur di area sekeliling gedung. "Ini menjadi teras teduh bagi karyawan untuk makan dan beristirahat di bawah pepohonan di luar gedung," katanya.

Minggu, 5 Juli 2009 | 16:46 WIB Laporan wartawan KOMPAS R Adhi Kusumaputra

JAKARTA, KOMPAS.com —  http://properti.kompas.com/read/xml/2009/07/05/16462780/kompas.gramedia.bangun.green.building

Perubahan Iklim Membuat Gempa Menjadi Lebih Dahsyat

Jauh dari gambaran lembut seperti dilukiskan mitologi-mitologi kuno, Dewi Pertiwi sesungguhnya gampang senewen dan meledak-ledak.

Dia begitu peka sehingga sedikit saja cuaca dan iklim berubah, maka tercabiklah kerak bumi, dan keluarlah letusan vulkanik, gempa bumi dan longsor yang semuanya dahsyat.

Pernyataan itu bukan dari pendongeng, melainkan kesimpulan sejumlah ilmuwan yang pertengahan September 2009 berkumpul di London, Inggris, pada satu konferensi bertajuk "Climate Forcing of Geological and Geomorphological Hazards".

Para ilmuwan itu menilai perubahan iklim bisa merusak keseimbangan planet Bumi, kemudian menghadiahi manusia dengan rangkaian bencana geologis.

Sudah lama diketahui bahwa antara iklim dan pergerakan kerak bumi saling berkaitan, namun baru kini ditegaskan bahwa betapa pekanya lapisan bumi terhadap udara, es dan air di atasnya.

"Anda tak perlu perubahan besar-besaran untuk memancing respons kerak bumi," kata Bill McGuire dari University College London (UCL), ketua konferensi ilmuwan itu.

Simon Dya dari Universitas Oxford, serta McGuire dan Serge Guillas dari UCL, memaparkan bukti, bagaimana perubahan halus pada tingkat permukaan laut mempengaruhi kegempaan di Patahan Pasifik Timur, salah satu batas lempeng benua yang menjadi mekar paling cepat.

Para ilmuwan memokuskan perhatian pada lempeng mini Easter - lempeng tektonik yang menghampar di bawah samudera di lepas pantai Pulau Easter - karena lempeng ini relatif terisolir dari sesar-sesar lain.

Fokus ini mempermudah upaya membedakan perubahan-perubahan dalam lempeng tektonik yang terjadi karena sistem iklim, dari yang tercipta akibat tumbukan.

Sejak 1973, datangnya gelombang El Nino setiap sekian tahun berkorelasi dengan frekuensi gempa bawah laut berkekuatan magnituda 4 dan 6.

Ilmuwan yakin, kemunculan El Nino dan terjadinya gempa bawah laut itu berkaitan. El Nino menaikkan permukaan air laut sampai puluhan centimeter. Ilmuwan juga yakin berat air ekstra bisa meningkatkan tekanan aliran fluida dalam pori-pori batuan dasar laut.

Tekanan ini cukup menetralisir energi geseran yang menyangga batuan agar tetap di tempatnya, sehingga sesar-sesar menjadi mudah bergeser. "Perubahan pada tingkat permukaan laut terjadi pelan dan usikan kecil saja bisa berdampak luar biasa besar," kata Day.

Letusan Vulkanik

Perubahan kecil di samudera itu juga dapat mempengaruhi letusan vulkanik, sambung David Pyle dari Universitas Oxford.

Setelah meneliti letusan-letusan vulkanik dalam 300 tahun terakhir, Pyle menilai karakter vulkanisme (aktivitas vulkanik) berbeda-beda, tergantung musim.

Katanya, letusan vulkanik di seluruh dunia 20 persen lebih sering terjadi di musim dingin (belahan bumi utara) ketimbang di musim panas.

Itu karena tingkat permukaan air laut global turun perlahan selama musim dingin, dan berhubung daratan lebih banyak di belahan utara, maka air menjadi lebih banyak membeku menjadi es dan salju selama musim dingin (belahan selatan).

Sementara itu, kebanyakan gunung api teraktif di dunia hanya puluhan kilometer dari pantai. Ini menunjukkan, penyusutan bobot samudera di tepi benua yang terjadi secara musiman akibat menurunnya permukaan air laut, bisa memicu letusan vulkanik di seluruh dunia, ulas Pyle.

Pandangan tentang beberapa gunung api meletus saat permukaan air laut turun, tak berarti naiknya permukaan laut akibat perubahan iklim, akan menekan aktivitas vulkanik.

Di Alaska, Gunung Pavlof lebih sering meletus pada bulan-bulan di musim dingin, sementara penelitian awal Steve McNutt dari Observatorium Gunung Api menyimpulkan, naiknya permukaan laut 30 cm setiap musim dingin, terjadi karena rendahnya tekanan udara dan kuatnya gelombang badai.

Lokasi Gunung Api Pavlof berada menunjukkan, bobot tambahan di samudera terdekat bisa menekan magma ke permukaan.

Di wilayah lain, berat estra samudera saat tingkat permukaan laut naik, bisa melengkungkan kerak bumi dan mengurangi pemampatan sehingga magma menjadi lebih mudah mencapai permukaan di gunung-gunung api terdekat, kata McGuire.

Semua contoh itu agaknya saling bertentangan, namun intinya setiap perubahan permukaan laut bisa mengubah tekanan di tepi benua yang cukup untuk memicu letusan gunung berapi yang sudah siap meletus, kata McGuire.

Perubahan kecil dalam curah hujan bisa juga memicu letusan vulkanik. Pada 2001, letusan besar di gunung api Soufriere Hills di Pulau Montserrat di Karibia terjadi karena tingginya curah hujan.

Curah hujan yang tinggi ini menggoyahkan kubah gunung api hingga cukup untuk memuntahkan magma dalam perut gunung api.

Kini, hujan tropis tampaknya sudah umum dianggap bisa memicu letusan gunung api, sedangkan menurut model ilmiah iklim, banyak kawasan, termasuk daerah tropis, bertambah panas akibat perubahan iklim.

Adrian Matthews dari Universitas East Anglia dan para koleganya, meneliti respons menit ke menit gunung berapi Montserrat setelah dikenai lebih dari 200 rangsangan selama tiga tahun. Tim peneliti menemukan, respons itu terlihat dari meningkatnya aktivitas vulkanik selama dua hari.

Hujan harian meningkatkan kemungkinan keroposnya kubah gunung api dari 1,5 sampai 16 persen sehingga tak perlu menunggu hujan besar. "Anda juga tak perlu badai (untuk menggerogoti kubah gunung)," kata Matthews.

Lapisan Es

Mungkin hambatan geologis terbesar selama perubahan iklim adalah dampak mencairnya lapisan es. Di samping risiko bahwa sedimen-sedimen goyah yang muncul karena es mencair bisa menyelinap masuk laut sebagai longsor pemicu tsunami, tanggalnya lapisan es juga bisa memicu letusan gunung api.

"Bahkan penciutan (lapisan es) puluhan sentimeter saja sudah cukup menciptakan perubahan," kata Andrew Russell dari Universitas Newcastle.

Contohnya glasier Vatnajokull di Islandia yang berdiri di atas batas lempeng dan sejumlah gunung api yang kemungkinan sirna dua abad nanti. "Jika itu sirna, Anda mesti berjuang membunuh kengerian dari membesarnya beban (samudera) yang akan meningkatkan aktivitas vulkanik," kata Russell.

Di awal zaman es terakhir, aktivitas vulkanik di Islandia utara meningkat hingga 30 kali lebih besar dibandingkan sekarang. Dan jika nanti gunung-gunung api di belahan utara yang tertutup es itu meletus, maka hamburan letusan akan menebari dunia.

Ilustrasinya terjadi pada 1783 saat Gunung Berapi Laki di Islandia memuntahkan debu belerang ke seluruh Eropa sehingga benua ini mengalami satu musim dingin maut yang membunuh ribuan orang.

Saat ini memang belum jelas berapa besar perubahan iklim akan memengaruhi frekuensi dan intensitas gempa bumi serta letusan gunung api mengingat kepekaan Planet Bumi terhadap iklim baru teramati intens belakangan ini.

Selain itu, belum cukup data untuk menciptakan model pemrakira cuaca yang mengaitkan kedua sistem. "Tapi yang pasti, aksi manusia semakin mudah memprovokasi Planet Bumi," kata McGuire.

Kamis, 8 Oktober 2009 | 09:51 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com —http://sains.kompas.com/read/xml/2009/10/08/09513570/perubahan.iklim.membuat.gempa.menjadi.lebih.dahsyat

Rame-Rame Bangun Mal Berwawasan Lingkungan


TAK cuma pemukiman yang mengusung konsep kawasan berwawasan lingkungan hijau alias green property. Mal atau pusat perbelanjaan pun mulai menerapkan konsep serupa. Sebab, mereka yakin, cara ini merupakan salah satu strategi pemasaran untuk memikat calon konsumen.

Manajer Divisi Pelayanan Riset Colliers International Indonesia Ferry Salanto mengatakan, pengembang memang harus bisa menawarkan konsep mal yang berbeda. Misalnya, dengan mengusung konsep hijau. “Green mall bisa juga menarik perhatian pasar,” katanya.

Contoh pusat perbelanjaan yang menerapkan konsep tersebut adalah Orchard Walk Mall yang berada di Bogor Nirwana Residence. Kenapa? “Sebab, letak mal di bawah kaki Gunung Salak yang memang daerahnya masih hijau,” ujar Manajer Pemasaran Bogor Nirwana Residence, Atang Wiharna.

Mengaku bulan lantaran latah memakai konsep green mall, Atang bilang, pihaknya menggunakan konsep hijau pada Orchard Walk Mall yang berdiri di atas lahan seluas 2,3 hektare untuk menyesuaikan dengan lokasi sekitar.

Karena itu, Orchard Walk Mall merupakan pusat perbelanjaan yang punya bangunan terbuka atau beken dengan sebutan eco mall. Sebab, tidak menggunakan penyejuk udara atau air conditioner (AC) seperti mal pada umumnya. “Kami menyediakan banyak ruang terbuka untuk sirkulasi udara,” kata Atang.

Di timur Jakarta, siap berdiri Indonesia Green Mall yang juga mengusung konsep berwawasan lingkungan. Pusat perbelanjaan ini akan hadir di Sentra Niaga TMII. Rencananya, mal tersebut akan dibangun di atas lahan dengan luas 6,7 hektare.

Hanya 20% dari area itu yang akan berupa bangunan, sisanya merupakan kawasan hijau yang ditumbuhi aneka pohon dan tumbuhan. Indonesia Green Mall bakal memakai konsep terbuka. Tak semua fasilitas ada di dalam gedung.

PT Alam Sutera Realty Tbk juga berencana membangun pusat belanja dengan konsep green mall bernama Alam Sutera Mall. Lokasinya, di tengah-tengah perumahan Alam Sutera yang berada di Serpong, Tangerang. “Mal maupun perumahan kami punya konsep green property,” ujar Hendra Kurniawan, Sekretaris Perusahaan Alam Sutera.

Alam Sutera Mall terintegrasi dengan taman bertema (theme park). Mal tersebut digadang bakal menjadi mal pertama di daerah Tangerang yang memadukan kawasan perbelanjaan dengan hiburan sekaligus, dalam maupun luar ruangan. Luas bangunan mal dirancang sekitar 7 hektare. Sedangkan tamannya seluas 15,75 hektare. Pembangunannya bakal melahap biaya sebanyak Rp 450 miliar. (KONTAN/Hans Henricus Benedictus/Lamgiat Siringoringo)

Senin, 5 Oktober 2009 | 07:35 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com -  http://properti.kompas.com/read/xml/2009/10/05/07352269/rame-rame.bangun.mal.berwawasan.lingkungan

"Green Building", Mengejar Piala atau Untung?


Isyu green building terus bergulir kencang seiring dengan menghebatnya akibat-akibat dari pemanasan global. Kesadaran umat manusia untuk jauh lebih bersahabat dengan alam juga menjadi faktor menentukan. Ket.Foto: ilustrasi hutan atap.

Besarnya kesadaran merawat lingkungan di antaranya tampak dari gegap gempitanya upaya melahirkan gedung-gedung atau rumah ramah lingkungan. Dari sini lalu muncul industri yang berlomba menghasilkan material rumah atau gedung yang sangat ramah lingkungan, dengan harga "lebih baik".

Riuhnya pengembang berkomitmen tinggi pada lingkungan terutama tampak pada negara-negara yang secara ekonomi lebih maju. Di Amerika Serikat, sejumlah kota bahkan sudah memberi imbuhan wajib bagi pengembang untuk mengkonstruksikan bangunannya berdasarkan pendekatan ramah lingkungan. Datanglah ke beberapa kota, di antaranya di Washington, Chicago, dan Boston, kemudian lihatlah bagaimana gedung-gedung peraih langit bersahabat dengan lingkungan.

Di sejumlah teras bangunan tampak menyembul tanaman aneka jenis. Lalu di lantai tertentu dibuat lantai dengan konstruksi lebih kokoh agar di situ dapat dijadikan areal tanaman dengan pohon lima meter. Datanglah pula ke beberapa kota lain seperti Wellington, Melbourne, Tokyo, Yokohama, Kyoto, Kopenhagen, Wina, Singapura dan sebagainya.

Menariknya, ramah lingkungan tidak lagi diidentikkan dengan menanam sebanyak mungkin pohon dan rumput termasuk di atap dan teras-teras gedung. Tidak pula selalu dicirikan dengan membuat sumur resapan, dan kolam penampung air hujan.

Ramah lingkungan ditunjukkan dengan mereduksi penggunaan listrik hingga 40 persen. Caranya menggunakan bohlam yang lebih mahal tetapi tahan lama dan wattnya amat kecil. Atau mesin pendingin AC yang akan menurunkan kerakusan AC menyedot energi.

Handy, seorang konsultan green building menuturkan, lampu hemat energi, satu buah per satu titik rata-rata hanya 0.02 watt LED. Kalau satu rangkaian lampu mempunyai 48 buah titik, maka seluruhnya hanya terdiri atas 0,96 watt. Kalau dihitung dengan sederhana, maka satu rangkaian lampu senilai Rp 1,8 juta. Ini jelas sangat mahal, dibanding bohlam dengan pancaran sinar yang sama (50 watt), yang hanya senilai Rp 150.000.

Anda hendak memilih yang mana, lampu 0,96 watt tetapi harga per buahnya Rp 1,8 juta, atau 50 watt dengan harga Rp 150.000. Para pencinta lingkungan tentu akan memilih yang Rp 1,8 juta, sebab memang awalnya mahal, tetapi pada ujungnya menjadi hemat sebab energi listrik yang terpakai hanya 0,96 watt. Ini tidak genap satu watt, bandingkan dengan bohlam 50 watt. Aspek lain, tutur Handy, bohlam dengan total 0,96 watt itu biasanya tahan lama, bisa sampai tiga tahan. Nah, lebih suka yang mana?

Hemat energi, yang berarti ramah lingkungan, diwujudkan pula dengan menggunakan jenis kaca yang benar-benar low energy (LE). Sinar matahari yang masuk melalui kaca itu dihambat ruang yang ditutup kaca tidak terlampau panas. Jika pakai AC, cukup dengan watt kecil. Tetapi, nah ini logikanya, makin canggih kaca LE itu menolak panas, makin besar rupiah yang perlu dikeluarkan.

Selain kaca low energy, ada juga kaca jenis lain, yakni kaca dengan teknologi double glass. Tapi, itu tadi, harganya dua setengah kali harga kaca biasa. Kalau beli hanya selembar atau dua lembar kaca sih masih bisa ditoleransi. Tetapi kalau dalam satu gedung dibutuhkan 2.000 lembar kaca sejenis, lumayan juga anggaran yang mesti dikeluarkan. Inilah yang membuat para pengembang berpikir keras merealisasikannya.

Bersamaan dengan munculnya gerakan tersebut, muncul sejumlah lembaga yang mengamati siapa saja yang memberi perhatian pada masalah ramah lingkungan, siapa saja yang membangun gedung yang memberi award platinum, gold plus, gold dan sertifikat hijau.

Lembaga-lembaga nirlaba tersebut menariknya sangat berwibawa, dan karena itu suaranya sangat didengar. Di Indonesia, lembaga-lembaga seperti itu mulai muncul dan pada saatnya akan memberi sertifikasi dan penghargaan platinum, emas plus dan emas kepada pengembang, arsitek, konsultan dan media massa yang mengembangkan konsep green building.

Gede Widiade, eksekutif properti di Indonesia menyatakan, suka tidak suka, pada saatnya Indonesia harus masuk ke panggung hemat energi. Para pengembang diajak mengembangkan green building sebagai wujud tanggung jawab terhadap lingkungan.

Gede menjelaskan, memang ada, pertanyaan klasik seperti ini, pengembang berbisnis untuk meraih untung sebesar-besarnya, bukan mencari piala atau medali platinum. Kalau membangun gedung yang benar-benar ramah lingkungan, ongkos bangunnya bisa lebih mahal 20 persen - 30 persen dari gedung biasa. Persentase 20 - 30 persen itu tentu sangat signifikan. Pengembang bukannya untung, tetapi malah rugi.

"Repotnya begitu gedung selesai, clan dijual ke konsumen, yang akhirnya menikmati gedung serba ramah lingkungan itu adalah pembeli, bukan pengembang. Pikiran seperti inilah yang kerap hidup di kalangan pengembang Indonesia. Kita tidak bisa menyalahkan mereka," ujar Gede.

Ada baiknya, tutur Gede, pemerintah mencari solusi bijak untuk memberi insentif dan bonus kepada para pengembang agar mereka bersemangat membangun green building. Jika itu bisa dilakukan, pertanyaan apakah membangun untuk meraih laba atau dapat piala akan lenyap disapu angin. (Abun Sanda)

Kamis, 8 Oktober 2009 | 09:09 WIB

JAKARTA, KOMPAS.COM -  http://properti.kompas.com/read/xml/2009/10/08/09090482/quotgreen.buildingquot.mengejar.piala.atau.untung

Nobel Fisika (Teknologi) 2009 Diraih 3 Ilmuwan AS


Seperti halnya Nobel Kedokteran 2009, penerima Nobel Fisika tahun ini juga dibagi tiga ilmuwan AS. Masing-masing Charles K Kao, Williard S Boyle, dan George E Smith (dari kiri ke kanan).

Charles K Kao dihargai atas terobosannya menemukan teknologi transmisi cahaya melalui serat optik. Ilmuwan kelahiran Shanghai yang juga memiliki kewarganegaraan Inggris tersebut mempublikasikan penemuan tersebut tahun 1966. Ketika itu Kao bekerja pada serat optik dan membentuk dasar untuk produksi pertama serat "ultrapure", empat tahun kemudian diperkenalkan untuk komunikasi antar masyarakat hingga dewasa ini. "Ini adalah serat kaca broadband yang memfasilitasi komunikasi global seperti Internet," kata komite Nobel. "Teks, musik, gambar dan video dapat ditransfer di seluruh di dunia dalam hitungan detik."

Lalu lintas informasi yang terdiri dari gambar digital, di mana Boyle dan Smith mangelutinya pada tahun 1969 dengan menemukan teknologi pencitraan pertama yang berhasil menggunakan sensor digital. Penemuan Kao inilah yang menjadi pondasi jaringan telekomunikasi modern saat ini dari telepon hingga internet kecepatan tinggi. Prestasi mereka telah memberikan sejumlah perubahan besar di bidang pengiriman informasi di seluruh dunia dalam waktu hampir seketika, triliunan sinyal dalam terkirim melalui serat optik dan sekarang mengelilingi bumi lebih dari 25.000 kali.

"Dengan serat kaca murni, cahaya dapat ditransmisikan hingga 100 kilometer, bandingkan dengan 20 meter di serat yang tersedia tahun 1960-an saat itu," demikian pernyataan panel juri dari The Royal Swedish Academy of Science, Selasa (6/10).

Sementara dua ilmuwan lainnya diganjar hadiah bergengsi tersebut karena sebagai penemu CCD (charged-couple device). Teknologi yang ditemukan Boyle dan Smith itu merupakan bagian penting kamera digital yang telah digunakan di berbagai lini produk dari yang mainstream hingga kamera canggih.

"Itu telah merevolusi fotografi, karena cahaya sekarang bisa ditangkap secara elektronik daripada di permukaan film," demikian penilaian panel juri Nobel. Dengan CCD, kamera digital dengan lensa raksasa seperti yang dibawa teleskop ruang angkasa Hubble bisa memotret objek antariksa yang sangat jauh dan indah.

Atas penemuan-penemuan tersebut, ketiga peraih Nobel Fisika 2009 berhak atas hadiah uang tunai senilai 10 juta kronor atau sekitar Rp 14 miliar. Kao akan mendapat bagian setengahnya sementara Boyle dan Smith masing-masing mendapat bagian seperempat. Hadiah tersebut akan diberikan dalam acara resmi yang akan digelar 10 Desember 2009 di Stockholm, Swedia.

Selasa, 6 Oktober 2009 | 19:20 WIB
STOCKHOLM, KOMPAS.com -http://sains.kompas.com/read/xml/2009/10/06/19201049/Nobel.Fisika.Diraih.3.Ilmuwan.AS dan http://www.kesimpulan.com/2009/10/charles-kao-willard-boyle-dan-george.html

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...