Thursday, October 8, 2009

"Green Building", Mengejar Piala atau Untung?


Isyu green building terus bergulir kencang seiring dengan menghebatnya akibat-akibat dari pemanasan global. Kesadaran umat manusia untuk jauh lebih bersahabat dengan alam juga menjadi faktor menentukan. Ket.Foto: ilustrasi hutan atap.

Besarnya kesadaran merawat lingkungan di antaranya tampak dari gegap gempitanya upaya melahirkan gedung-gedung atau rumah ramah lingkungan. Dari sini lalu muncul industri yang berlomba menghasilkan material rumah atau gedung yang sangat ramah lingkungan, dengan harga "lebih baik".

Riuhnya pengembang berkomitmen tinggi pada lingkungan terutama tampak pada negara-negara yang secara ekonomi lebih maju. Di Amerika Serikat, sejumlah kota bahkan sudah memberi imbuhan wajib bagi pengembang untuk mengkonstruksikan bangunannya berdasarkan pendekatan ramah lingkungan. Datanglah ke beberapa kota, di antaranya di Washington, Chicago, dan Boston, kemudian lihatlah bagaimana gedung-gedung peraih langit bersahabat dengan lingkungan.

Di sejumlah teras bangunan tampak menyembul tanaman aneka jenis. Lalu di lantai tertentu dibuat lantai dengan konstruksi lebih kokoh agar di situ dapat dijadikan areal tanaman dengan pohon lima meter. Datanglah pula ke beberapa kota lain seperti Wellington, Melbourne, Tokyo, Yokohama, Kyoto, Kopenhagen, Wina, Singapura dan sebagainya.

Menariknya, ramah lingkungan tidak lagi diidentikkan dengan menanam sebanyak mungkin pohon dan rumput termasuk di atap dan teras-teras gedung. Tidak pula selalu dicirikan dengan membuat sumur resapan, dan kolam penampung air hujan.

Ramah lingkungan ditunjukkan dengan mereduksi penggunaan listrik hingga 40 persen. Caranya menggunakan bohlam yang lebih mahal tetapi tahan lama dan wattnya amat kecil. Atau mesin pendingin AC yang akan menurunkan kerakusan AC menyedot energi.

Handy, seorang konsultan green building menuturkan, lampu hemat energi, satu buah per satu titik rata-rata hanya 0.02 watt LED. Kalau satu rangkaian lampu mempunyai 48 buah titik, maka seluruhnya hanya terdiri atas 0,96 watt. Kalau dihitung dengan sederhana, maka satu rangkaian lampu senilai Rp 1,8 juta. Ini jelas sangat mahal, dibanding bohlam dengan pancaran sinar yang sama (50 watt), yang hanya senilai Rp 150.000.

Anda hendak memilih yang mana, lampu 0,96 watt tetapi harga per buahnya Rp 1,8 juta, atau 50 watt dengan harga Rp 150.000. Para pencinta lingkungan tentu akan memilih yang Rp 1,8 juta, sebab memang awalnya mahal, tetapi pada ujungnya menjadi hemat sebab energi listrik yang terpakai hanya 0,96 watt. Ini tidak genap satu watt, bandingkan dengan bohlam 50 watt. Aspek lain, tutur Handy, bohlam dengan total 0,96 watt itu biasanya tahan lama, bisa sampai tiga tahan. Nah, lebih suka yang mana?

Hemat energi, yang berarti ramah lingkungan, diwujudkan pula dengan menggunakan jenis kaca yang benar-benar low energy (LE). Sinar matahari yang masuk melalui kaca itu dihambat ruang yang ditutup kaca tidak terlampau panas. Jika pakai AC, cukup dengan watt kecil. Tetapi, nah ini logikanya, makin canggih kaca LE itu menolak panas, makin besar rupiah yang perlu dikeluarkan.

Selain kaca low energy, ada juga kaca jenis lain, yakni kaca dengan teknologi double glass. Tapi, itu tadi, harganya dua setengah kali harga kaca biasa. Kalau beli hanya selembar atau dua lembar kaca sih masih bisa ditoleransi. Tetapi kalau dalam satu gedung dibutuhkan 2.000 lembar kaca sejenis, lumayan juga anggaran yang mesti dikeluarkan. Inilah yang membuat para pengembang berpikir keras merealisasikannya.

Bersamaan dengan munculnya gerakan tersebut, muncul sejumlah lembaga yang mengamati siapa saja yang memberi perhatian pada masalah ramah lingkungan, siapa saja yang membangun gedung yang memberi award platinum, gold plus, gold dan sertifikat hijau.

Lembaga-lembaga nirlaba tersebut menariknya sangat berwibawa, dan karena itu suaranya sangat didengar. Di Indonesia, lembaga-lembaga seperti itu mulai muncul dan pada saatnya akan memberi sertifikasi dan penghargaan platinum, emas plus dan emas kepada pengembang, arsitek, konsultan dan media massa yang mengembangkan konsep green building.

Gede Widiade, eksekutif properti di Indonesia menyatakan, suka tidak suka, pada saatnya Indonesia harus masuk ke panggung hemat energi. Para pengembang diajak mengembangkan green building sebagai wujud tanggung jawab terhadap lingkungan.

Gede menjelaskan, memang ada, pertanyaan klasik seperti ini, pengembang berbisnis untuk meraih untung sebesar-besarnya, bukan mencari piala atau medali platinum. Kalau membangun gedung yang benar-benar ramah lingkungan, ongkos bangunnya bisa lebih mahal 20 persen - 30 persen dari gedung biasa. Persentase 20 - 30 persen itu tentu sangat signifikan. Pengembang bukannya untung, tetapi malah rugi.

"Repotnya begitu gedung selesai, clan dijual ke konsumen, yang akhirnya menikmati gedung serba ramah lingkungan itu adalah pembeli, bukan pengembang. Pikiran seperti inilah yang kerap hidup di kalangan pengembang Indonesia. Kita tidak bisa menyalahkan mereka," ujar Gede.

Ada baiknya, tutur Gede, pemerintah mencari solusi bijak untuk memberi insentif dan bonus kepada para pengembang agar mereka bersemangat membangun green building. Jika itu bisa dilakukan, pertanyaan apakah membangun untuk meraih laba atau dapat piala akan lenyap disapu angin. (Abun Sanda)

Kamis, 8 Oktober 2009 | 09:09 WIB

JAKARTA, KOMPAS.COM -  http://properti.kompas.com/read/xml/2009/10/08/09090482/quotgreen.buildingquot.mengejar.piala.atau.untung

No comments:

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...