Sunday, October 11, 2009

Telkomsel Minimalkan "Blank Spot" di Jalur KA

Tahun ini Telkomsel berupaya melakukan terobosan dengan meningkatkan layanannya kepada para pemudik yang menggunakan jalur kereta api. Peningkatan kualitas jaringan di sepanjang jalur kereta api di Pulau Jawa diharapkan dapat meminimalkan blank spot(daerah yang tak terjangkau sinyal).

Demikian dikatakan Direktur Utama Telkomsel Sarwoto Atmosutarno di Surabaya, dalam drive test atau uji jaringan di sepanjang jalur kereta api dari Stasiun Gambir Jakarta hingga Pasar Turi Surabaya yang dilakukan 13-14 September 2009.

Menurut Sarwoto, jumlah pemudik yang menggunakan kereta api tidak bisa diabaikan. Ia mengatakan, dari jumlah pemudik tahun ini yang diperkirakan 16,2 juta orang, 3 juta orang di antaranya menggunakan kereta api. Inilah alasan Telkomsel menjadikan jalur kereta api juga sebagai sasaran layanan pemudik.

Menurutnya, kebanyakan operator tidak tertarik mengembangkan jaringannya di sepanjang jalur kereta api secara penuh karena memang banyak melalui daerah yang tidak ada penduduk, seperti hutan kosong atau persawahan.

Sementara jaringan di sepanjang jalan raya yang dilalui pemudik jalur darat antara 8-9 juta umumnya sudah terjangkau semua layanan termasuk Telkomsel. "Kita ingin membuktikan bahwa di tingkat weakness pun Telkomselready," ujar Sarwoto.

Menurutnya, apa yang dilakukan Telkomsel untuk melayani pelanggan ini luar biasa karena daerah kosong pun ada sinyal. Walaupun lemah, kata Sarwoto, setidaknya masih bisa buat mengirim SMS.

SENIN, 14 SEPTEMBER 2009 | 13:52 WIB
Laporan wartawan KOMPAS.com Tri Wahono

SURABAYA, KOMPAS.com — http://bisniskeuangan.kompas.com/read/xml/2009/09/14/13520896/telkomsel.minimalkan.blank.spot.di.jalur.ka

Telkomsel Operasikan BTS "Mobile" di Sumbar


Telkomsel mengoperasikan Compact Mobile Base Transceiver (COMBAT) atau mobile BTS untuk menambah kapasitas "handling" lalu lintas komunikasi di Sumatera Barat di tengah sudah berhasilnya perusahaan itu mengoperasikan kembali 709 menara komunikasi atau BTS.

"Dengan beroperasinya 709 BTS tersebut ’coverage’ layanan Telkomsel telah menjangkau 85 persen Kota Padang dan hampir 100 persen wilayah luar seperti Pariaman, Bukittinggi, Solok, Payakumbuh, Pasaman, Palangki dan Painan," kata Corporate Communications Telkomsel, Suryo Hadiyanto yang dihubungi dari Medan, Senin (5/10).

Suryo menjelaskan, selain mengoperasikan kembali 709 BTS, Telkomsel juga menyiapkan 20 pico BTS via satelit VSAT di daerah terpencil yang sulit dijangkau.

"COMBAT dioperasikan sebanyak lima unit yang ditempatkan di sekitar posko-posko dan pusat keramaian. Salah satu Combat dioperasikan di Jalan Jenderal Sudirman dilengkapi dengan WiFi connection untuk mendukung layanan data di Kantor Gubernur yang kini menjadi media center dan posko’rescue team’ dari luar negeri," katanya.

Mengutip pernyataan Direktur Utama Telkomsel, Sarwoto Atmosutarno, Suryo menyebutkan Telkomsel terus berupaya secepat mungkin memulihkan jaringan ditengah masih padatnya penggunaaan komunikasi dari dan ke daerah bencana. "Diharapkan dalam pekan ini seluruh layanan Telkomsel sudah normal kembali," katanya.

Untuk menjaga performa jaringan dan mempercepat pengoperasian kembali BTS-BTS yang kehilangan pasokan listrik, Telkomsel telah mendatangkan 74 mobile genset dari Jakarta, Palembang, Pekanbaru, Jambi dan Medan.

BTS juga dilengkapi dengan baterai "rechargeable" yang kuat mensuplai catudaya hingga enam jam. "Sebagai apresasi dan rasa turut prihatin, Telkomsel juga menambah masa pemberian gratis SMS kepada pelanggan di Sumbar dari tujuh hari menjadi 30 hari mulai H+1 gempa," katanya.

Telkomsel juga memperpanjang masa aktif dan masa isi ulang bagi seluruh pelanggan prabayar nomor Padang.

SENIN, 5 OKTOBER 2009 | 18:28 WIB

Penduduk Miskin Tersebar di Kawasan Pesisir



Lebih dari 60 persen penduduk miskin di Indonesia tercatat berada di wilayah pesisir dan pulau-pulau terkecil. Selama 5 tahun pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, penduduk miskin di wilayah pesisir Nusantara ini tidak berkurang. Ket.Foto: Toda, anak warga Kampung Nelayan, Muara Angke, Jakarta Utara, Selasa (14/10), bermain kapal-kapalan dari gabus di genangan air di sekitar tempat rumah orangtuanya. Gubuk-gubuk di tepi laut yang berdiri di atas tumpukan limbah cangkang kerang hijau itu merupakan salah satu potret kampung nelayan miskin di Jakarta.

Demikian disampaikan Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Riza Damanik, Sabtu (10/10). "Dalam 5 tahun terkahir, fakta kemiskinan tidak berkurang di daerah pesisir," ujar Riza, saat diskusi Lingkungan Hidup, di Jakarta.

Menurutnya, tingginya tingkat kemiskinan terjadi karena sekitar 90 persen kegiatan perikanan Indonesia merupakan perikanan tradisional. Di mana masih minimnya informasi dan pengetahuan, tidak adanya moda transportasi laut, dan buruknya pengelolaan kesejahteraan nelayan dan masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau terkecil di Indonesia.

"Mereka itu yang menangkap ikan di perairan kurang dari 3 mil dengan alat yang minim. Penghasilan juga hanya minim," ujarnya.

Kemudian, laut tempat nelayan ini mencari nafkah juga dicemari oleh kegiatan industri dan pertambangan. Hal ini mengakibatkan wilayah tersebut menjadi rentan terhadap bencana alam.

Tercatat, dari 84 persen kawasan yang rentan terhadap bencana alam di Indonesia, sekitar 80 persennya merupakan kawasan pesisir dan pulau terkecil. Dia mencontohkan, hampir sebagian besar korban bencana gempa dan tsunami di Aceh, gempa di Yogyakarta, serta gempa di Padang merupakan kawasan pesisir dan nelayan.

"Ini karena eksplorasi pertambangan kita tidak dihentikan. Kita harus menghentikannya," tandasnya.


SABTU, 10 OKTOBER 2009 | 13:10 WIB

CUACA: Dari El Nino 1997 ke El Nino 2009


Gejala penyimpangan iklim, yang dikenal dengan El Nino, dirasakan di Indonesia lewat musim kemarau yang lebih panjang. Selain itu, juga ditandai dengan kebakaran hutan, kabut asap, turunnya kualitas udara, rusaknya siklus hidrologi, berjangkitnya penyakit pernapasan, dan berbagai dampak lain. Ket.Foto:Anak-anak bermain di Waduk Lalung, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, yang sebagian dasarnya mulai mengering karena kemarau, Selasa (29/9). Musim kemarau saat ini berlangsung lama karena pengaruh El Nino.

Bencana El Nino kuat pernah terjadi di Indonesia pada 1971-1972, yang, kala itu, mengakibatkan langkanya pangan dan rakyat harus mengantre untuk mendapatkan bahan kebutuhan pokok. El Nino 1982-1983 mengakibatkan kebakaran hutan hebat di Kalimantan dan menelan kerugian sampai 9 miliar dollar AS.

El Nino terbesar sepanjang sejarah berlangsung pada September 1997-Februari 1998. Kala itu hampir 264.000 hektar hutan terbakar, kabut asap menerjang Sumatera, Kalimantan, Malaysia, dan Singapura. El Nino juga menyebabkan gagal panen di mana-mana, ada sekitar 1,5 juta orang terserang penyakit infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) dan merenggut 527 nyawa. Kerugian saat itu mencapai Rp 5,96 triliun.

Tidak heran apabila El Nino 1997-1998 dikategorikan sebagai bencana nasional. Bahkan Presiden Soeharto saat itu harus meminta maaf kepada Pemerintah Malaysia dan Singapura, yang menerima kiriman asap dari kebakaran hutan di Indonesia.

El Nino, bersama beragam krisis multidimensional lainnya, akhirnya mengantarkan Indonesia pada era reformasi, Mei 1998.

Belajar dari pengalaman El Nino 1997-1998, tentunya antisipasi Indonesia menghadapi El Nino 2009-2010 haruslah jauh lebih baik lagi.

”Kolam panas”

El Nino akan terjadi apabila ”kolam panas” (warm pool) di wilayah Samudra Pasifik-Ekuator bergerak ke arah timur. Artinya, temperatur muka laut di Samudra Pasifik Timur naik rata-rata 0,5 derajat sampai 2,0 derajat celsius. Di situ banyak turun hujan dan, sebaliknya, wilayah Indonesia dilanda kekeringan.

Pada puncak El Nino 1997-1998 kenaikan rata-rata temperatur muka laut di Samudra Pasifik Timur mencapai 2,5 derajat celsius. Adapun pada El Nino 1982-1983 kenaikan rata-rata temperatur muka laut adalah 2,3 derajat celsius dan pada El Nino 1971-1972 kenaikan rata-rata temperatur muka laut di Samudra Pasifik timur adalah 2,1 derajat celsius.

Sampai pertengahan Juli 2009 temperatur muka laut Lautan Pasifik rata-rata telah naik mencapai 1 derajat celsius dan kecenderungannya akan naik terus.

Kemarau panjang memang sudah terjadi. Bandara Pekanbaru dan Pontianak sudah diselimuti asap kebakaran hutan dan lahan.

Sejumlah lembaga riset iklim internasional membuat prakiraan bahwa El Nino hadir di Indonesia dengan kenaikan rata-rata temperatur Laut Pasifik bisa mencapai 2,3 derajat celsius. Berarti, yang akan hadir adalah El Nino kuat. Lembaga itu antara lain NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) Amerika Serikat, Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (National Aeronautics and Space Administration/NASA), NCEP, SCRIPPS-San Diego, Lamont Doherty Earth Observatory-USA, badan meteorologi Inggris (UKMO), dan badan meteorologi Perancis (Meteo FRANCE).

Melihat kondisi ini, sudah sepantasnya Indonesia lebih antisipatif menyambut datangnya bencana penyimpangan iklim tahun ini. Data awal meteorologi dan cuaca harus lebih disebarluaskan secara cepat melalui media internet, televisi, dan layanan pesan singkat (SMS). Begitu juga data arah dan kecepatan angin, harus segera dikirimkan sampai ke kecamatan-kecamatan dengan berbagai media informasi.

Peta Bahaya Kebakaran Hutan dan Peta Risiko Kebakaran Hutan, yang sudah kita miliki, agar segera diperbanyak dan disebarluaskan. Di samping itu, stasiun-stasiun Bumi satelit
NOAA yang dimiliki berbagai instansi harus dioperasikan maksimal guna memantau hot spot, lokasi-lokasi hutan yang terbakar.

Satuan-satuan pemadam kebakaran hutan, Manggala Agni, berikut perlengkapannya, disiagakan dan mulai mengadakan latihan-latihan. Yang lebih penting lagi, stok pangan harus tersedia. Jangan sampai, bencana El Nino akan menggairahkan para spekulan pangan dunia untuk mengeruk keuntungan akibat kegagalan panen yang bakal dialami Indonesia.

”Janganlah kita seperti keledai, masuk lubang yang sama.”

Penulis: Indroyono Susilo, Mantan Komandan Satgas Operasi Pemadaman Kebakaran Hutan dari Udara, 1997

PERUBAHAN IKLIM: Aksi Prioritas untuk Air dan Energi

Aksi berbagai pihak untuk menanggapi persoalan lingkungan terkait air dan energi menjadi prioritas utama. Air dan energi merupakan dua isu perubahan iklim yang perannya cukup vital dalam kehidupan manusia.

Demikian terungkap dalam forum bertajuk ”Berubahnya Iklim dan Agama-agama di Indonesia” yang berlangsung di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, hingga Kamis (8/10) malam. Hadir dalam forum tersebut, perwakilan dari sejumlah institusi perguruan tinggi, media, dan institusi agama, seperti Uskup Semarang Mgr I Suharyo, Rektor Universitas Sanata Dharma Wiryono Priyotamtama, Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga M Amin Abdullah, Lhatiful Kuluq, Pemimpin Redaksi Majalah Kebudayaan Basis GP Sindhunata, Pendeta F Borrong, dan sekitar 20 orang lain.

Dalam kesepakatan yang diambil melalui pleno setelah diskusi kelompok, semua peserta sepakat bahwa air dan energi harus diprioritaskan dan perlu ditanggapi oleh lembaga asal setiap peserta forum. Disepakati bahwa langkah jangka pendek pertama adalah melakukan penyadaran profetik tentang air dan energi.

Mantan Menteri Negara Lingkungan Hidup Sony Keraf dalam forum itu mengatakan, ”Apakah kita akan membiarkan orang-orang pada akhirnya harus mati karena krisis iklim? Kita harus menyadarkan masyarakat betapa kritisnya kondisi saat ini sehingga sudah mengancam keselamatan umat manusia.”

Penyadaran yang dilakukan perlu bersifat profetik karena krisis iklim akibat proses perubahan iklim yang sekarang berlangsung sudah menjadi ancaman terhadap kehidupan manusia, ”Menjadi persoalan hidup-mati,” lanjut Sony.

Air dalam arti luas

Persoalan air, menurut Rama Kirjito, salah seorang peserta yang dikenal luas akan perjuangannya menentang penambangan pasir di lereng Merapi, ”Air yang dimaksud di sini adalah air dalam arti luas, bukan hanya air bersih, melainkan juga udara yang sebenarnya juga mengandung uap air dan juga awan sebagai salah satu unsur cuaca yang akan menjadi hujan. Ini semuanya harus mendapat perhatian.” ujarnya.

Peserta forum datang dari lembaga-lembaga yang bidang aktivitasnya beragam. Misalnya, para peserta dari Pusat Studi Lingkungan Universitas Sanata Dharma memiliki kegiatan mengembangkan biogas di sebuah desa atau Prof Dr Ir Y Budi Widianarko dari Universitas Soegijapranata yang aktif dalam Yayasan Obor Tani yang mengembangkan perkebunan dengan membangun embung sendiri.

Dalam kata pengantarnya yang dibacakan Wakil Rektor I Universitas Sanata Dharma Dr Fr Ninik Yudianti, ditegaskan forum tersebut bukan semata-mata arena curah gagasan, tetapi bagaimana peserta forum dapat mengambil langkah konkret secara bersama.

”Melalui langkah konkret, suatu koalisi benar-benar akan terwujud. Komitmen bersama sangatlah diperlukan,” katanya.(ISW)

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...