Gejala penyimpangan iklim, yang dikenal dengan El Nino, dirasakan di Indonesia lewat musim kemarau yang lebih panjang. Selain itu, juga ditandai dengan kebakaran hutan, kabut asap, turunnya kualitas udara, rusaknya siklus hidrologi, berjangkitnya penyakit pernapasan, dan berbagai dampak lain. Ket.Foto:Anak-anak bermain di Waduk Lalung, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, yang sebagian dasarnya mulai mengering karena kemarau, Selasa (29/9). Musim kemarau saat ini berlangsung lama karena pengaruh El Nino.
Bencana El Nino kuat pernah terjadi di Indonesia pada 1971-1972, yang, kala itu, mengakibatkan langkanya pangan dan rakyat harus mengantre untuk mendapatkan bahan kebutuhan pokok. El Nino 1982-1983 mengakibatkan kebakaran hutan hebat di Kalimantan dan menelan kerugian sampai 9 miliar dollar AS.
El Nino terbesar sepanjang sejarah berlangsung pada September 1997-Februari 1998. Kala itu hampir 264.000 hektar hutan terbakar, kabut asap menerjang Sumatera, Kalimantan, Malaysia, dan Singapura. El Nino juga menyebabkan gagal panen di mana-mana, ada sekitar 1,5 juta orang terserang penyakit infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) dan merenggut 527 nyawa. Kerugian saat itu mencapai Rp 5,96 triliun.
Tidak heran apabila El Nino 1997-1998 dikategorikan sebagai bencana nasional. Bahkan Presiden Soeharto saat itu harus meminta maaf kepada Pemerintah Malaysia dan Singapura, yang menerima kiriman asap dari kebakaran hutan di Indonesia.
El Nino, bersama beragam krisis multidimensional lainnya, akhirnya mengantarkan Indonesia pada era reformasi, Mei 1998.
Belajar dari pengalaman El Nino 1997-1998, tentunya antisipasi Indonesia menghadapi El Nino 2009-2010 haruslah jauh lebih baik lagi.
”Kolam panas”
El Nino akan terjadi apabila ”kolam panas” (warm pool) di wilayah Samudra Pasifik-Ekuator bergerak ke arah timur. Artinya, temperatur muka laut di Samudra Pasifik Timur naik rata-rata 0,5 derajat sampai 2,0 derajat celsius. Di situ banyak turun hujan dan, sebaliknya, wilayah Indonesia dilanda kekeringan.
Pada puncak El Nino 1997-1998 kenaikan rata-rata temperatur muka laut di Samudra Pasifik Timur mencapai 2,5 derajat celsius. Adapun pada El Nino 1982-1983 kenaikan rata-rata temperatur muka laut adalah 2,3 derajat celsius dan pada El Nino 1971-1972 kenaikan rata-rata temperatur muka laut di Samudra Pasifik timur adalah 2,1 derajat celsius.
Sampai pertengahan Juli 2009 temperatur muka laut Lautan Pasifik rata-rata telah naik mencapai 1 derajat celsius dan kecenderungannya akan naik terus.
Kemarau panjang memang sudah terjadi. Bandara Pekanbaru dan Pontianak sudah diselimuti asap kebakaran hutan dan lahan.
Sejumlah lembaga riset iklim internasional membuat prakiraan bahwa El Nino hadir di Indonesia dengan kenaikan rata-rata temperatur Laut Pasifik bisa mencapai 2,3 derajat celsius. Berarti, yang akan hadir adalah El Nino kuat. Lembaga itu antara lain NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) Amerika Serikat, Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (National Aeronautics and Space Administration/NASA), NCEP, SCRIPPS-San Diego, Lamont Doherty Earth Observatory-USA, badan meteorologi Inggris (UKMO), dan badan meteorologi Perancis (Meteo FRANCE).
Melihat kondisi ini, sudah sepantasnya Indonesia lebih antisipatif menyambut datangnya bencana penyimpangan iklim tahun ini. Data awal meteorologi dan cuaca harus lebih disebarluaskan secara cepat melalui media internet, televisi, dan layanan pesan singkat (SMS). Begitu juga data arah dan kecepatan angin, harus segera dikirimkan sampai ke kecamatan-kecamatan dengan berbagai media informasi.
Peta Bahaya Kebakaran Hutan dan Peta Risiko Kebakaran Hutan, yang sudah kita miliki, agar segera diperbanyak dan disebarluaskan. Di samping itu, stasiun-stasiun Bumi satelit
NOAA yang dimiliki berbagai instansi harus dioperasikan maksimal guna memantau hot spot, lokasi-lokasi hutan yang terbakar.
Satuan-satuan pemadam kebakaran hutan, Manggala Agni, berikut perlengkapannya, disiagakan dan mulai mengadakan latihan-latihan. Yang lebih penting lagi, stok pangan harus tersedia. Jangan sampai, bencana El Nino akan menggairahkan para spekulan pangan dunia untuk mengeruk keuntungan akibat kegagalan panen yang bakal dialami Indonesia.
”Janganlah kita seperti keledai, masuk lubang yang sama.”
Penulis: Indroyono Susilo, Mantan Komandan Satgas Operasi Pemadaman Kebakaran Hutan dari Udara, 1997
No comments:
Post a Comment