Tuesday, November 17, 2009

Pemanasan Global: Ilmuwan Pun Masih Bingung


Negara-negara maju (baca: negara-negara industri) saat ini kebingungan. Mereka khawatir ditagih janjinya oleh negara-negara berkembang atas ”utang karbon dioksida” sejak abad ke-18. Hal itu karena salah satu mekanisme untuk menahan laju pemanasan global adalah mengerem emisi karbon dioksida. Ket.Foto: Foto di atas diambil pada 7 November lalu. Divisi Antartika Australia memublikasikannya pada Jumat (13/11). Foto ini menunjukkan potongan es yang meluncur di Teluk Bauer, pantai barat Australia di bagian sub-Antartika di Pulau Macquarie. Ahli es Divisi Antartika Australia, Neal Young, mengatakan, potongan es tersebut merupakan bagian besar yang terlepas dari Dasar Es Ross sekitar satu dekade lalu.

Karbon dioksida (CO) telah menjadi ”penjahat pemanasan global”. Pemanasan global adalah pemicu berbagai fenomena iklim ekstrem yang membuahkan berbagai bencana di berbagai belahan dunia.

Untuk mengerem emisi CO, negara-negara maju diwajibkan mengurangi emisi gas rumah kaca—diekuivalenkan dengan emisi CO atau emisi karbon—melalui kesepakatan Protokol Kyoto. Ternyata sulit. Mereka mengeluhkan turunnya laju pertumbuhan ekonomi akibat mengerem emisi karbon. Alhasil, janji itu tak terpenuhi.

Yang sekarang dihadapi dunia adalah pada Pertemuan Para Pihak Ke-15 (COP-15) dari Konferensi Perubahan Iklim PBB (UNCCC), 7-18 Desember 2009 di Kopenhagen, Denmark, (nyaris) bisa dipastikan tak akan ada kesepakatan baru. Padahal Protokol Kyoto akan berakhir masa berlakunya pada 2012.

Untuk memenuhi janji tersebut, mereka juga bisa ”membeli” pengurangan emisi karbon dari negara berkembang atau miskin. Dengan itu, dana akan mengalir ke negara berkembang.

Jelas bahwa negara-negara kaya tidak akan mau menyerahkan dana ratusan miliar dollar kepada negara miskin hanya atas dasar kepercayaan.

Di balik itu semua sebenarnya para ilmuwan pun masih kebingungan. Padahal, skema ”membayar utang karbon” tersebut membutuhkan bukti-bukti konkret pengurangan emisi.

Masalahnya, saat ini belum dimungkinkan memonitor emisi karbon dari pembakaran bahan bakar fosil atau deforestasi.

”Sistem kami saat ini tidak cukup bagus untuk bisa membandingkan (emisi karbon) satu negara dengan negara lain. Saya rasa densitas pengamatan itu membutuhkan dua tingkatan magnitude (ukuran),” ujar Pieter Tans dari badan kelautan dan atmosfer nasional Amerika Serikat (NOAA) di Boulder, Colorado, AS.

Butuh audit

Ketika kepercayaan belaka tak cukup untuk mengatasi persoalan pemanasan global dan emisi karbon dunia, yang dibutuhkan adalah sebuah proses audit, pelaporan, dan pengukuran emisi karbon di suatu negara.

Hal itulah yang kemudian menjadi fokus dari pembicaraan kesepakatan global yang dilakukan maraton dan tampaknya menemui jalan buntu.

Yang pasti, pihak PBB berharap konferensi di Kopenhagen bisa menghasilkan kesepakatan dengan kewajiban yang lebih berat bagi negara-negara maju.

Negara-negara berkembang sekarang menekan negara maju. Mereka menginginkan, dalam kesepakatan baru yang berlaku 2013 itu negara maju bersedia mengurangi emisi karbonnya pada tahun 2020 dengan 25-40 persen di bawah emisi karbon tahun 1990. Juga, negara maju dituntut mengucurkan dana miliaran dollar serta memberikan teknologi ramah lingkungan kepada negara-negara berkembang.

Negara-negara berkembang yang maju ekonominya dituntut menekan emisinya. Negara-negara itu adalah China, India, Indonesia, dan Brasil. Emisi karbon dari negara-negara tersebut masuk dalam 10 besar emiter terbesar dunia. ”Jika tak ada sistem obyektif untuk menakar kesuksesan (suatu negara), bisa-bisa orang menuntut hal-hal di luar kemampuan negara tersebut,” ujar Tans dari Laboratorium Riset Sistem Bumi, NOAA.

Sangat bervariasi

Kemampuan dari setiap negara untuk mengukur emisinya jelas berbeda-beda tergantung dari kemajuan iptek tiap negara.

Negara-negara kaya, seperti Australia dan Amerika Serikat, telah mengembangkan metode pelaporan yang bisa diandalkan. Laporan itu mengenai penggunaan energi dan emisi bahan bakar fosil.

Menurut Pep Canadell dari Global Carbon Project, ”Sangat bervariasi. Di negara berkembang laporannya tidak terlalu akurat.” Menurut dia, sampai sekarang emisi China dari batu bara, minyak, dan gas dilaporkan 20 persen lebih rendah.

Pihak NOAA membangun jaringan pengujian udara global untuk menunjukkan betapa konsentrasi gas rumah kaca terus berubah seiring waktu. Saat ini konsentrasi karbon mendekati 390 bagian per juta (ppm)—bandingkan dengan 280 ppm pada awal era revolusi industri pada abad ke-18. Jika konsentrasi mencapai 450 ppm, temperatur Bumi akan meningkat 2 derajat celsius.

Berbagai negara telah melaporkan emisi gas rumah kaca ke Pusat Data Global Badan Meteorologi Dunia. Tujuannya, untuk mendapatkan peta emisi karbon musiman dan tahunan.

Namun para ilmuwan mengakui, butuh sekurangnya satu dekade atau dua dekade untuk menemukan sistem pengawasan yang akurat agar mampu menghitung emisi dari bahan bakar fosil, deforestasi, dan perubahan tata guna lahan. Persoalan lain adalah bagaimana menghitung besar penyerapan karbon oleh pohon dan lautan—keduanya sekaligus berfungsi sebagai emiter karbon.

Kesulitan lain, gas karbon selalu bergerak ke mana-mana akibat embusan angin. Bagaimana prosesnya, para ilmuwan belum menemukan jawabannya. Yang sudah dilakukan adalah melakukan simulasi ”sederhana” dengan model komputer.

Akibat dari segala kebingungan ilmiah tersebut adalah, ”Bagi saya tak ada hubungan antara perdagangan emisi dan verifikasi yang dibutuhkan untuk itu, dengan apa yang sebenarnya kita ukur,” ujar Britton Stephens dari NCAR di Boulder.

Para ilmuwan saat ini memang masih kalah dalam bernegosiasi dengan para politikus dunia. Buktinya, perdagangan karbon terus saja mendapat dukungan. Padahal...??? (ISW)

Editor: wsn

Monday, November 2, 2009

BCA Targetkan 2 Juta Pengguna Flazz

Sukabumi - PT Bank Central Asia Tbk (BCA) menargetkan 2 juta pengguna kartu Flazz sampai akhir tahun, sampai Oktober 2009 pengguna kartu Flazz sudah mencapai sekitar 1,4-1,5 juta orang

Hal ini disampaikan Manager Consumer Bankin Division BCA Sinta Handajani dalam Diskusi Forum Diskusi Wartawan Ekonomi dan Moneter (FORKEM) di Lido, Sukabumi siang ini, Sabtu (31/10/2009).

"Sekarang sudah 1,4-1,5 juta pengguna, target akhir tahun sampai 2 juta," ujar Sinta.

Produk Flazz yang diluncurkan sejak Juni 2008 baru beroperasi di Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi, Bandung, dan Surabaya. Belum semua daerah bisa mengakses produk ini, karena BCA masih memerlukan waktu untuk mempersiapkan sarananya dengan sistem bank di daerah-daerah lain.

"Untuk menjalankan produk ini, kita memerlukan waktu men-set up sistemnya," jelas Sinta.

Untuk tahun depan, Sinta menambahkan targetnya bisa mancapai 2 kali lipat, yaitu sekitar 4 juta pengguna kartu Flazz. Rencananya, produk ini bisa diakses di seluruh kota di Jawa dan kota-kota besar di Indonesia. BCA juga sedang mempersiapkan sistem SMS banking untuk mempermudah pengguna kartu dalam melakukan top up saldo ke dalam kartu Flazz.

"Kita secara teknologi sudah punya, kami sedang mengusahakan top up dengan SMS banking, tetapi saat ini belum karena sistem kami harus mempertimbangkan agar bisa digunakan di daerah lain," jelas Sinta.

Gencarnya BCA memasarkan Flazz ini adalah karena saat ini BCA meraup Rp 750 juta per hari dari penggunaan BCA Flazz. Para pengguna BCA Flazz melakukan transaksi rata-rata sebesar Rp 30 ribu. Sedangkan, rata-rata penggunaan sekitar 25 ribu-35 ribu kali per hari.

"Transaksi itu per hari sekitar 25 ribu-35 ribu dengan nilai penggunaan setiap kali rata-ratanya Rp 30 ribu," jelas Sinta. (nia/dnl)
Source: http://www.detikfinance.com/read/2009/10/31/141511/1232374/5/bca-targetkan-2-juta-pengguna-flazz

 

Ekspor Indonesia Januari-September 2009 Turun 25,57%

Jakarta - Ekspor Indonesia periode Januari-September 2009 mencapai US$ 80,13 miliar atau turun 25,57% dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2008. Sementara ekspor nonmigas mencapai US$ 68,11 miliar atau menurun 18,21 persen.

Demikian disampaikan oleh Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Rusman Heriawan dalam jumpa pers di kantornya, Jalan DR Sutomo, Jakarta, Senin (2/11/2009).

Nilai ekspor Indonesia selama September 2009 saja tercatat US$9,83 miliar atau mengalami penurunan sebesar 6,75 persen dibanding ekspor Agustus 2009. Sementara bila dibanding September 2008 mengalami penurunan sebesar 19,92 persen.

"Penurunan kegiatan ekspor pada September karena Lebaran dan puasa. mungkin karena banyak hari liburnya sehingga kegiatan ekspor impor turun," ujar Rusman.

Ekspor nonmigas ke Jepang September 2009 mencapai angka terbesar yaitu US$1,09 miliar, disusul Amerika Serikat US$850,4 juta dan Cina US$704,3 juta, dengan kontribusi ketiganya mencapai 32,51 persen. Sementara ekspor ke Uni Eropa ( 27 negara ) sebesar US$1,11 miliar.

Sementara itu, selama Januari-September 2009 nilai impor mencapai US$68,33 miliar atau menurun 32,80 persen dibanding periode yang sama tahun 2008.

Nilai impor September 2009 mencapai US$8,56 miliar atau menurun 11,79 persen dibanding Agustus 2009 yang besarnya US$9,71 miliar.

Impor nonmigas September 2009 mencapai US$6,19 miliar atau menurun 24,37 persen dibanding impor Agustus 2009, sedangkan selama Januari-September 2009 mencapai US$55,19 miliar atau menurun 26,88 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.

Impor migas September 2009 mencapai US$2,37 miliar atau meningkat 56,02 persen dibanding impor Agustus 2009, sedangkan selama Januari-September 2009 mencapai US$13,14 miliar atau menurun 49,86 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.

Nilai impor nonmigas terbesar September 2009 masih sama seperti Agustus 2009 yaitu golongan barang mesin/pesawat mekanik dengan nilai US$1,15 miliar, yang menurun sebesar 13,63 persen dibanding bulan sebelumnya.

Negara pemasok barang impor nonmigas terbesar selama Januari-September 2009 masih ditempati oleh Cina dengan nilai US$9,48 miliar dengan pangsa 17,18 persen, diikuti Jepang US$6,89 miliar (12,48 persen) dan Singapura US$6,85 miliar (12,40 persen). Sementara impor nonmigas dari ASEAN mencapai 23,58 persen dan Uni Eropa sebesar 11,37 persen.

Impor menurut golongan penggunaan barang selama Januari-September 2009 dibanding periode yang sama tahun sebelumnya mengalami penurunan untuk semua golongan, yaitu impor barang konsumsi sebesar 28,17 persen, bahan baku/penolong sebesar 38,73 persen, dan barang modal sebesar 4,08 persen.

Dengan demikian, selama Januari-September 2009, Indonesia mengumpulkan surplus perdagangan sebesar US$ 11,8 miliar.
(dnl/qom)
Source:http://www.detikfinance.com/read/2009/11/02/150152/1233399/4/ekspor-indonesia-januari-september-2009-turun-2557 

20 Kebangkrutan Terbesar AS

Washington - Bank UKM terbesar di AS, CIT Group akhirnya mendaftarkan perlindungan kebangkrutan pada Minggu (1/11/2009). Kebangkrutan bank yang sudah menerima dana bailout pemerintah AS sebesar US$ 2,33 miliar itu kini menjadi salah satu yang terbesar di AS.

CIT didirikan pada tahun 1908 dan mencatat sejarah sebagai salah satu bank untuk segmen UKM yang terbesar di AS. Seiring terjadinya krisis, CIT Group pun tak luput dari goncangan.

CIT berharap statusnya sebagai kreditor sektor UKM bisa memenangkan dukungan politik setelah berjuang keras sejak awal tahun ini. Namun pada Juli, Federal Deposit Insurance Corp menolak untuk menjadi penjamin dalam penerbitan surat utang CIT. Perseroan pun harus berjuang keras untuk mencari pendanaan sendiri.

Sebuah kelompok pemegang obligasi CIT akhirnya memberikan pinjaman sebesar US$ 3 miliar pada Juli. Para pemegang saham juga bersedia menukar surat utang lama sebesar US$ 1 miliar dengan surat utang baru.

Langkah tersebut memang memberikan waktu bagi CIT untuk bernafas, meski masih memiliki utang yang tidak dijamin dan jatuh tempo pada November sebesar US$ 800 juta. Dan lebih dari US$ 3 miliar utang yang tidak dijamin jatuh tempo pada akhir Maret.

Pekan lalu, CIT berhasil mengamankan tambahan pendanaan sebesar US$ 4,5 miliar dari investor yang akan membantu mereka melewati proses kebangkrutan. Icahn pada Jumat lalu juga telah sepakat untuk memberikan fasilitas kredit sebesar US$ 1 miliar.

CIT akhirnya mendaftarkan perlindungan Chapter 11 di pengadilan Manhattan demi memperlancar proses restrukturisasi utangnya. Bank yang sudah berusia 101 tahun itu melaporkan total aset sebesar US$ 71 miliar dengan liabilities US$ 65 miliar, sehingga tercatat sebagai salah satu rekor kebangkrutan terbesar.

Berikut daftar 20 kebangkrutan terbesar di AS berikut nilai asetnya sejak tahun 1980, yang dikutip dari AFP, Senin (2/11/2009).


  1. Lehman Brother (bank), 15 September 2008, US$ 691 miliar
  2. Washington Mutual (bank), 26 September 2008, US$ 327,9 miliar.
  3. WorldCom (telekomunikasi), 21 Juli 2008, US$ 103,9 miliar.
  4. General Motors (otomotif), 1 Juni 2009, US$ 91 miliar.
  5. CIT (bank pinjaman), 1 November 2009, US$ 71 miliar.
  6. Enron (perdagangan energi), 2 Desember 2001, US$ 65,5 miliar.
  7. Conseco (asuransi), 17 Desember 2002, US$ 61,4 miliar.
  8. Chrysler (otomotif), 30 April 2009, US$ 39,3 miliar.
  9. Pacific Gas and Elctric (utilitas), 6 April 2001, US$ 36,1 miliar
  10. Texaco (minyak), 21 April 1987, US$ 34,9 miliar.
  11. Financial Corporation of America (bank), 9 Seotember 1988, US$ 33,8 miliar.
  12. Refco (perdagangan), 17 Oktober 2005, US$ 33,3 miliar.
  13. Indymac (bank), 31 Juli 2008, US$ 32,7 miliar.
  14. Global Crossing (telekomunikasi), 28 Januari 2002, US$ 30,1 miliar.
  15. Bank of New England (bank), 7 Januari 1991, US$ 29,7 miliar.
  16. Lyondell (kimia), 6 Januari 2009, US$ 27,4 miliar.
  17. Calpone (perusahaan listrik), 20 Desember 2005, US$ 27,2 miliar.
  18. New Century Financial Corporatuon (perdagangan), 2 April 2007, US$ 26,1 miliar.
  19. United Airlines (maskapai), 9 Desember 2002, US$ 25,2 miliar.
  20. Colonial Bank (bank), 14 Agustus 2009, US$ 25 miliar.
(qom/dro)
Source: http://www.detikfinance.com/read/2009/11/02/095414/1233010/5/20-kebangkrutan-terbesar-as?topnews 

Telkom Prediksi Penurunan Fix Lines di 2010

Jakarta - PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) memperkirakan penurunan sektor telepon tetap (fix lines) akan terus berlanjut di 2010. Untuk itu, perseroan mempersiapkan strategi khusus.

"Kami perkirakan EBITDA untuk sektor ini di tahun depan akan tetap menurun. Namun kami akan mengusahakan agar penurunannya tidak tajam," kata Direktur Utama TELKOM Rinaldi Firmansyah di kantornya Jalan Gatot Subroto Jakarta Senin (2/10/2009).

Meski ia tidak menyebutkan angka penurunan yang diprediksi, namun ia mengatakan kalau penurunan sektor fix lines sangat terkait dengan peralihan tren gaya hidup yang lebih memilih telepon berbasis selular.

Ia menjelaskan, tren penurunan pemakaian fixed lines memang terus menurun dari tahun ke tahun. Untuk itu, TLKM siap mengantisipasi dengan program yang menarik. Contohnya adalah paket bundling antara layanan fixed lines dengan layanan lain yang menjadi unggulan baru perseroan.

"Kami telah bersiap dengan paket pembayaran telepon tetap, dan terbukti ini menarik minat pelanggan," papar Rinaldi.

Selain itu, agar EBITDA layanan fixed lines tidak turun terlalu jauh, maka perseroan menghadirkan paket bundling antara flexi dengan telepon tetap. Layanan paket gabungan dengan Speedy juga jadi senjata TELKOM  agar pelanggan fixed lines tidak turun.

Strategi ini terbukti ampuh dalam menekan penurunan jumlah pelanggan dan EBITDA  di layanan Fixed lines.

Dalam laporan kinerja kuartal III ini tercatat total EBITDA naik dari Rp 25,98 triliun menjadi Rp 28,13 triliun. Secara margin terjadi kenaikan tipis 1,5%, dari 58,2% menjadi 59,7% pada akhir September 2009.

"EBITDA ini akan tetap turun di tahun depan, namun strategi ini akan kami terus lakukan untuk mencegah penurunan yang lebih tajam," imbuhnya.

(dro/dro)
Source:http://www.detikfinance.com/read/2009/11/02/175954/1233588/6/telkom-prediksi-penurunan-fix-lines-di-2010 

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...