Friday, December 4, 2009

Menata Lingkungan Hidup Harus Kembali Kepada Kearifan kepada Alam

Bencana gempa di berbagai daerah yang sudah dan masih mengintai, ancaman banjir, dan fenomena perubahan iklim global memberikan pemahaman bahwa alam tidak bisa dikuasai. Alam harus menjadi mitra dan sahabat dalam menjalankan perintah Tuhan di bumi ini.

Tentunya ini bertentangan dengan konsep kosmologi sains modern yang memahami alam hanya sebagai obyek. Obyek untuk diteliti, dieksploitasi, bahkan dihancurkan. Itulah paradigma Cartesianisme, yang menganut logika oposisi biner, subyek-obyek, hitam-putih.

Akibatnya, alam rusak oleh keserakahan manusia. Atas nama keuntungan ekonomi, sumber daya alam dieksploitasi. Iklim terus berubah, dan bencana alam terjadi di mana-mana. Bukan alamnya yang marah, melainkan manusia berada di posisi yang bertentangan dengan aturan alam yang sudah ada semenjak alam ini diciptakan (hukum alam). Jangan marah jika banjir karena hutan dirusak dan pembangunan perumahan tidak memerhatikan aspek keseimbangan lingkungan.

Lihatlah di Jawa Barat, betapa banyak hutan rusak. Bandung yang dulu dikenal sejuk kini mulai terasa panas. Padahal, dulu Bandung disebut Parijs van Java, kota tempat para inohong Belanda berwisata, menikmati keindahan alam Bandung yang sejuk, segar, sehat, dan tentunya membuat betah untuk tinggal.

Kini, kalau kita perhatikan wilayah utara Bandung, pembangunan perumahan yang serampangan membuat daerah resapan air itu pun rusak. Tangkubanparahu akan dimanfaatkan tanpa memerhatikan keseimbangan lingkungan. Lihat juga sungai yang mengalir di Jabar. Bisa dihitung dengan jari, sungai yang masih bersih. Limbah pabrik dan rumah tangga yang tidak dikelola telah merusak ekosistem alam. Maka, jangan marah jika bencana siap mengintai setiap saat.

Kearifan lokal

Manusia modern telah melupakan nilai hidup yang telah lama diajarkan nenek moyang. Nilai hidup itu bernama kearifan lokal. Pada level diskursus filsafat, kearifan lokal adalah salah satu model filsafat abadi (perenial). Disebut filsafat perenial karena konsep dasarnya sudah ada semenjak manusia berfilsafat.

Adapun saat ini karena dominasi filsafat modern yang melupakan nilai-nilai tradisional, keberadaannya menjadi kurang mendapatkan perhatian. Saatnya manusia menyadari bahwa paradigma sains modern yang materialistik sudah tidak bisa menjawab persoalan.

Dalam konsep filsafat perenial, alam dan manusia dipahami sebagai makro dan mikro kosmos. Keduanya memiliki akar sama, produk kreatif Tuhan. Karena berasal dari Tuhan, tak ada yang berhak merusak satu sama lain. Makro dan mikro hanya soal peran. Keduanya harus saling menjaga, melindungi, dan membangun harmonisasi. Merusaknya berarti mengingkari hakikat awal penciptaan. Makro dan mikro harus saling melengkapi. Namun, karena manusia diberi kewenangan untuk mengelola alam, yang dibolehkan adalah memanfaatkan dan tetap menjaga keberlangsungannya.

Wacana soal hubungan makro dan mikro kosmos menjadi perhatian para intelektual dunia dewasa ini. Agama dan nilai tradisional yang semula dipinggirkan oleh sains modern kini mulai mendapatkan tempat dan ikut mewarnai. Muncullah berbagai upaya mencari titik temu di antara sains, agama, dan nilai tradisional masyarakat.

Dalam level praktis, mengakar dari semenjak nenek moyang, kearifan lokal jangan dipandang sebelah mata. Dalam konteks keseimbangan alam, kearifan lokal yang berkembang mengajarkan arti penting menjaga alam. Konsep hutan larangan dan berbagai adat istiadat di masyarakat banyak memberikan informasi kepada kita bahwa alam itu diyakini harus dijaga sepenuhnya.

Konsep huluwotan (sumber mata air), tempatnya jin atau makhluk gaib lainnya, adalah strategi pencegahan cerdas yang dilakukan nenek moyang kita. Namun, kini manusia lebih jahat daripada jin sehingga tidak takut dengan berbagai pemali (larangan dalam masyarakat Sunda). Akibatnya, alam pun dirusak.

Dalam tradisi Sunda, misalnya, ada pepatah yang menyatakan mipit kudu amit, ngala kudu bebeja (memetik yang seharusnya perlu dipetik saja, mengambil harus memberitahu). Pepatah ini bukan hanya soal jangan mencuri, melainkan juga harus memerhatikan alam, bukan hanya kepada pemiliknya, manusia, melainkan juga kepada pencipta awalnya, yaitu Tuhan. Jadi, ketika memanfaatkan alam, tanaman ataupun sumber daya alam harus diperhatikan keseimbangan ekologis, kelanjutannya (jangan mengambil yang masih kecil atau yang baru tumbuh), dan kelestariannya.

Secara global, soal ini menjadi isu perubahan iklim global (climate change), yaitu ketika dunia ini sudah mulai rusak akibat rusaknya lingkungan. Hutan rusak oleh industri kertas yang serakah, laut rusak oleh sampah dan limbah nuklir, sungai dan air semakin rusak karena dimanfaatkan tanpa memerhatikan keseimbangannya.

Pendosa besar

Sudah saatnya kembali memerhatikan nilai agama dan kearifan lokal sebagai prinsip kearifan kepada alam. Ada beberapa prinsip kearifan kepada alam yang bisa dirumuskan.

Pertama, dalam konsep pembangunan, bukan alam yang menyesuaikan dengan kehendak manusia, melainkan manusialah yang harus menyesuaikan diri dengan alam. Alam diciptakan Tuhan dengan prinsip kausalitas, kada, dan kadar. Alam diciptakan Tuhan berikut potensinya.

Pembangunan tak boleh merusak alam. Jika memerhatikan prinsip awal kearifan kepada alam, tidak ada istilah pembangunan permukiman dan kota di wilayah rawan gempa. Demikian juga, desain bangunan yang dibuat tentunya akan menyesuaikan dengan potensi gempa. Bangsa Jepang terbukti mampu membuat model bangunan yang tahan gempa. Masyarakat Kampung Naga di Tasikmalaya terbukti memiliki kecerdasan lokal dalam memahami bencana gempa.

Prinsip berikutnya adalah alam tidak pernah menghancurkan manusia, tetapi manusialah yang merusak alam. Karena itu, sebaiknya dikembangkan sikap peduli terhadap alam di seluruh lapisan masyarakat. Perusak alam, dalam perspektif teologi kearifan kosmologis, adalah pendosa besar. Salah satu pembuktian iman kepada kada dan kadar adalah dengan tidak merusak alam.

Prinsip ketiga dalam konsep kearifan alam adalah bahwa makro dan mikro kosmos, yaitu lingkungan, tumbuhan, hewan, dan manusia, harus harmonis dalam satu kesatuan. Sebagai sebuah siklus kehidupan, semuanya, pada hakikatnya, tetap. Menggunakan teori efek kupu-kupu, alam ini adalah satu kesatuan tak terpisahkan. Membunuh seekor ulat di belah bumi barat akan merusak ekosistem belahan bumi lain.

Alam kita telah rusak, jangan terus menambah kerusakan. Kini, bukan hanya soal kita, melainkan generasi anak cucu ke depan. Haruskah kita mewariskan kerusakan?

Penulis: IU RUSLIANA Dosen Teologi dan Filsafat, Fakultas Ushuluddin, UIN SGD Bandung

Jumat, 4 Desember 2009 | 16:41 WIB

Source:http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/04/1641459/.kearifan.kepada.alam

Penegakan Hukum Lingkungan di Jateng Lemah

Kerusakan lingkungan hidup yang terjadi karena ulah industri menunjukkan kelemahan penegakan hukum. Aspek lingkungan sering terabaikan demi peningkatan pendapatan asli daerah berorientasi mekanisme pasar.

"Sejauh ini, penegakan hukum masih tataran konsep, belum riil," ujar pengajar Hukum Lingkungan Universitas Diponegoro FX Adji Samekto dalam Seminar Dampak Industri Unggulan terhadap Kerusakan dan Perubahan Lingkungan di Unika Soegijapranata, Kota Semarang, Kamis (3/12).

Menurut Adji, industri yang sudah terbukti merusak lingkungan seharusnya diperlakukan represif secara hukum. Adapun perusahaan yang sudah memiliki kesadaran untuk memperbaiki lingkungannya cukup mendapat perlakuan responsif. Kelemahan penegakan hukum membuat kerusakan oleh kalangan industri tidak teratasi. Dalam konsep pembangunan berkelanjutan, kepentingan ekonomi seharusnya berjalan tanpa harus merusak lingkungan.

Mengutip data Badan Lingkungan Hidup Jateng tahun 2008, peneliti pengembangan industri dari Fakultas Ekonomi Unika Soegijapranata Vincent Didiek AW menuturkan, terdapat 644.955 industri di Jateng yang terdiri atas 1.062 industri besar, 2.773 industri menengah, dan 641.120 industri kecil. Padahal, instalasi pengolahan air limbah (IPAL) tercatat baru 296 unit.

Vincent menambahkan, hal ini menunjukkan sebagian besar industri belum mempunyai IPAL sehingga limbah akan dibuang melalui sungai, udara, dan tempat sampah. Kondisi ini akan menimbulkan biaya sosial berupa kerusakan lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat. Tak heran, jika terdapat 3.029.991 meter kubik limbah cair yang dibuang di sungai pada tahun yang sama. (ilo)

Jumat, 4 Desember 2009 | 17:51 WIB

SEMARANG, KOMPAS -  http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/04/17512133/penegakan.hukum.lingkungan.lemah

Pasar CPO pada 2010 Prospektif

Pasar minyak kelapa sawit mentah internasional tahun 2010 diprediksi lebih prospektif daripada tahun ini. Pemulihan perekonomian dunia pascakrisis yang dipandu India dan China membuat permintaan minyak sawit mentah naik tajam.

Persaingan sengit antara konsumsi makanan dan energi pun bakal terulang seperti tahun 2008 seiring kebijakan sejumlah negara mewajibkan biodiesel mulai tahun 2010. Para produsen minyak sawit mentah (CPO) di Indonesia dan Malaysia harus memanfaatkan momentum ini untuk menggenjot produksi demi merespons kenaikan permintaan.

Hal ini mencuat dalam Konferensi Minyak Sawit Indonesia (Indonesia Palm Oil Conference) 2009 di Nusa Dua, Bali, Kamis (3/12).

Prediksi tersebut merupakan analisis Thomas Mielke dari Oil World (lembaga kajian minyak nabati yang berbasis di Hamburg, Jerman), Derom Bangun dari Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Ambono Janurianto dari Bakrie Sumatera Plantation, dan John Baker dari Rabobank International.

Mielke menuturkan, pasokan minyak nabati sejak September 2009 sampai Februari 2010 terbatas sehingga harga masih berpotensi naik dalam lima pekan mendatang. Produksi minyak bunga matahari dan kanola yang melemah juga membuat ketergantungan pada CPO dan kedelai meningkat.

CPO kini mencapai 56 persen ekspor dunia dan mencatat pertumbuhan pangsa pasar tertinggi dari minyak nabati lain. Pangsa pasar CPO dunia tumbuh dari 11,4 juta ton tahun 1990 menjadi 46,6 juta ton tahun 2009.

Menurut Derom, Januari-Februari 2010 merupakan masa permintaan CPO melonjak, terutama dari India dan China. Derom memperkirakan, harga CPO di Rotterdam bisa berkisar 800-825 dollar AS per ton dan 2.700 dollar AS per ton di Malaysia pada kuartal I-2010. (Ham)

Jumat, 4 Desember 2009 | 03:12 WIB

Nusa Dua, Kompas -  http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/04/03125767/pasar.cpo.pada.2010.prospektif

Thursday, December 3, 2009

Kebutuhan Listrik: Dilematis Kawasan Industri

Kondisi kelistrikan yang masih tak menentu membuat kawasan industri menghadapi dilema. Pemerintah mendorong pengelola kawasan industri agar mendorong investasi, namun penyediaan listrik belum juga bisa dipenuhi. Kawasan industri tidak bisa apa-apa.

Wakil Ketua Umum Himpunan Kawasan Industri (HKI) Sanny Iskandar mengungkapkan hal itu dalam seminar nasional HKI bertajuk ”Meningkatkan Daya Saing Investasi dan Industri Melalui Pengembangan Kawasan Industri Pascaperaturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2009” di Jakarta, Rabu (2/12).

Sanny mengatakan, sesuai PP No 24/2009, HKI sangat menyambut baik karena industri didorong oleh pemerintah untuk masuk ke kawasan industri. Namun, di sisi lain, kawasan industri juga diwajibkan menyediakan fasilitas penunjang berupa pembangkit dan distribusi energi listrik.

”Di sinilah situasi dilematisnya. HKI masih menghadapi hambatan besar dalam memperoleh perizinan usaha kelistrikan,” kata Sanny.

Ketua Dewan Penasihat Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI) Indradjid Kartowiyono mengakui, ”Pasokan listrik untuk industri saat ini menghadapi problematika besar. Sudah pasokan listrik tidak stabil, pasokan yang ada pun tidak andal atau reliable sehingga menyebabkan byarpet.”

Akibatnya, produksi terganggu, banyak produksi rusak, pembeli produk mengenakan penalti keterlambatan, biaya meningkat, dan investor enggan datang untuk berinvestasi. Pada beberapa jenis industri, mesin produksi menjadi rusak.

Tak heran, menurut Indradjid, timbul persepsi risiko pada pengembang kawasan industri dan penyewa kawasan industrinya. Karena upaya yang dilakukan PLN terlambat dan tidak mendapat respons positif dari pemerintah, pengembang kawasan industri dan penyewa kawasan industri mempunyai gagasan untuk menyediakan sendiri pembangkit listrik untuk kawasannya.

”Untuk mengejar listrik murah, dipakailah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara dan pembangkit listrik tenaga gas (PLTG),” tutur Indradjid.

Listrik lambat

Deputi Direktur Distribusi Jawa-Bali PT PLN Ngurah Adnyana mengatakan, pertumbuhan penyediaan energi listrik tidak sebanding dengan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB). Idealnya, pertumbuhan PDB sebesar 6 persen, butuh pertumbuhan listrik 9 persen untuk memasok kebutuhan industri.

Menurut Ngurah, sejak tahun 2000-2008, pertumbuhan listrik hanya 2,4 persen. Sebelumnya masih bisa 10 persen. Awal tahun 2000 memang belum dirasakan krisis listrik, tetapi ternyata tahun 2009 menjadi puncak krisis listrik.

Ngurah mengatakan, krisis listrik disebabkan oleh neraca daya pembangkit negatif karena investasi tidak ada. Banyak penandatanganan kontrak pembangunan pembangkit tidak terealisasi sesuai rencana. Selain itu, banyak terdapat bottleneck di dalam sistem penyaluran karena kendala transmisi dan trafo.

Dia mengakui, kondisi itu terjadi karena investasi yang dibutuhkan tidak memadai. Dalam memproduksi, PLN tidak diperkenankan mengambil margin keuntungan. Menurut Ngurah, sampai tahun 2015 butuh investasi Rp 704 triliun untuk penyediaan generator, transmisi, dan distribusi.

”Itu artinya setiap tahun mulai saat ini kita butuh minimal Rp 100 triliun untuk investasi. Sementara, PLN hanya memperoleh Rp 80 triliun dari hasil pengumpulan tarif listrik,” jelas
Ngurah.

Energi terbarukan

Sementara itu, Ketua Asosiasi Perusahaan Nasional Energi Terbarukan Indonesia (Asperneti) Djamillius, Rabu (2/12) di Jakarta, mengatakan, perlu regulasi yang mendorong investasi untuk pembangunan pembangkit listrik tenaga surya. Sejauh ini, pemanfaatan tenaga surya sebagai pembangkit listrik belum dikembangkan di Indonesia. Padahal hal itu bisa meningkatkan rasio elektrifikasi nasional.

”Pengembangan pembangkit listrik tenaga surya bisa jadi salah satu jalan mengatasi krisis penyediaan energi listrik,” kata Djamillius.

Dalam roadmap nasional, pemerintah menargetkan kapasitas terpasang dari pembangkit listrik berbasis tenaga surya mencapai 1.500 megawatt (MW) atau 5 persen dari total permintaan energi listrik nasional tahun 2025. Ini berarti target pertumbuhan listrik yang dihasilkan energi surya 50 MW per tahun.

”Untuk memenuhi kebutuhan itu, kita sebaiknya tidak jadi importir, tetapi harus bisa memproduksi sendiri untuk mencapai kemandirian energi,” kata Presiden Direktur AZET, perusahaan energi surya, Abdul Kholik, yang juga pengurus Asperneti.

Namun, hingga kini hal ini belum diimplementasikan secara luas di Indonesia karena kendala pendanaan dan rendahnya minat para pelaku usaha untuk mengembangkan energi terbarukan itu. Oleh karena harga listrik dari energi surya Rp 1.150 per kWh dinilai terlalu rendah dan butuh waktu terlalu lama untuk menutup biaya investasi.

”Biaya investasi awal pembangkit listrik tenaga surya jauh lebih tinggi dibanding pembangkit berbasis energi fosil,” kata dia. Sebagai perbandingan, biaya investasi pembangkit berbasis batu bara 1,2 dollar AS per watt, sedangkan energi surya 9 dollar AS per watt.

Atas dasar itu, pihaknya mengusulkan agar ada regulasi yang mendorong investasi untuk membangun pembangkit listrik berbasis tenaga surya. Jika dinilai menguntungkan, maka penyedia listrik swasta akan tertarik untuk membangunnya. (OSA/evy)

Kamis, 3 Desember 2009 | 03:14 WIB

Laut Makin Pelan Menyerap Karbon Dioksida


Direktur Lembaga Kajian Biosfer Universitas Yale, Amerika Serikat, Jefrey Park, dalam laporan ilmiah yang dituangkan di Geophysical Research Letters baru-baru ini mengemukakan, kondisi lautan mampu menyerap sekitar 40 persen karbon dioksida dari aktivitas manusia. Profesor geologi dan geofisika ini menyimpulkan hasil penelitiannya setelah melakukan kajian mendalam dengan memanfaatkan data-data dari stasiun pengamatan di Hawaii, Alaska, dan Antartika. Tidak tanggung-tanggung, data itu dikumpulkan dari stasiun pengamatan selama 50 tahun terakhir. Dari hasil pengamatan juga terungkap, temperatur laut secara perlahan terus naik. Naiknya temperatur laut secara global juga ternyata menyebabkan makin berkurangnya kemampuan laut dalam menyerap karbon dioksida yang dihasilkan dari aktivitas manusia. ”Peningkatan temperatur laut itu juga dipengaruhi oleh makin banyaknya kandungan karbon dioksida. Bayangkan, jika laut tidak mampu lagi menyerap karbon dioksida, lautan akan menjadi seperti soda,” kata Jeffrey Park. (Sciencedaily.com/NAW)



Senin, 30 November 2009 | 08:34 WIB

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...