Tuesday, December 15, 2009

PERUBAHAN IKLIM: Perdagangan Karbon Tak Adil

Melalui kegiatan Global Day of Action-International Demonstrations on Climate Change, yakni sebuah aksi demonstrasi perubahan iklim secara global, Sabtu (12/12) di berbagai negara di dunia, ditekankan agar reduksi emisi tidak dialihkan menjadi mekanisme perdagangan karbon. Perdagangan karbon dengan ”pembeli” negara maju dan ”penjual” negara berkembang itu merupakan mekanisme tidak adil.

”Perdagangan karbon dari negara-negara berkembang yang diklaim menjadi sebuah upaya penurunan emisi oleh negara maju itu berarti tetap membiarkan emisi terus berlangsung dari kegiatan industri di negara-negara maju. Ini suatu bentuk pengalihan reduksi emisi yang harus ditentang,” kata Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Berry Nahdian Forqan di Jakarta.

Bersama aktivis lingkungan lainnya, Walhi mengarahkan tuntutan melalui Global Day of Action ke Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta. AS, dengan total emisi 36,1 persen di dunia, hingga saat ini enggan menyepakati target penurunan emisi sesuai dengan Protokol Kyoto. Ini menjadi preseden buruk bagi negara lain.

Kesepakatan global yang dituangkan dalam Protokol Kyoto, menurut Berry, mencapai target menurunkan emisi 24-25 persen dari level tahun 1990 untuk pencapaian tahun 2020, khusus bagi negara-negara industri atau Annex-1. Berdasarkan pertimbangan dan analisis ilmiah, jika target penurunan emisi tersebut tidak ditempuh, diperkirakan kenaikan suhu global mencapai 2 derajat celsius dalam 100 tahun terakhir.

”Kenaikan suhu 2 derajat celsius berdampak pada perubahan iklim dan bencana yang lebih parah akan dihadapi negara-negara berkembang, bukan negara- negara maju. Negara maju sekarang lebih siap menghadapi bencana atas perubahan iklim,” kata Berry.

Lahan gambut

Melalui surat elektronik pada Sabtu pekan lalu, Ketua Kelompok Kerja Alih Guna Lahan dan Kehutanan pada Dewan Nasional Perubahan Iklim Doddy Sukadri dari Konferensi PBB mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC) di Kopenhagen, Denmark, menyatakan, Indonesia menekankan pentingnya mengurangi emisi melalui upaya mempertahankan lahan gambut.

Mantan Direktur Eksekutif Walhi Chalid Muhammad mengatakan, dari sisi mempertahankan kehutanan maupun lahan gambut, Indonesia dihadapkan pada ironi perluasan lahan perkebunan sawit di sejumlah daerah yang disetujui pemerintah. ”Perluasan sawit kian mendesak keberadaan hutan-hutan heterogen yang menyimpan keanekaragaman hayati,” kata Chalid. (NAW)

Senin, 14 Desember 2009 | 02:52 WIB

Jakarta, Kompas -  http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/14/02521361/perdagangan.karbon.tak.adil

KONFERENSI PERUBAHAN IKLIM: Negosiasi Kurang Cerminkan Kepentingan

Delegasi RI boleh bangga dengan pencapaian target Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan dalam Konferensi Perubahan Iklim 2009. Namun, pencapaian itu menyisakan persoalan besar. Setidaknya, ini menurut pendapat Forum Masyarakat Sipil (CSF) untuk Keadilan Iklim.

Skema Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) yang menjadikan hutan sebagai ”alat tukar” penurunan emisi dengan sejumlah uang dan teknologi dinilai CSF (gabungan sejumlah LSM dari Indonesia yang memantau negosiasi iklim) terlalu murah. Murah tidak hanya dalam artian nilai uang, tetapi juga risiko jangka panjang yang menyangkut hak hidup dan budaya masyarakat lokal dan masyarakat adat.

Pendanaan konservasi hutan dalam arti tertentu, dalam skema REDD, diyakini akan meminggirkan kontrol masyarakat terhadap hutan yang secara turun-temurun mereka hidupi. Sebaliknya, memberikan keleluasaan bagi industri, seperti industri bubur kertas dan kertas untuk menambah konversi hutan alam bila definisi hutan memasukkan tegakan hijau perkebunan monokultur.

Atas nama komitmen mitigasi perubahan iklim di negara berkembang, masyarakat dalam posisi rentan dijadikan ”kambing hitam” perusakan hutan. ”Indonesia terjebak dalam negosiasi pola negara maju dan tidak mementingkan kepentingan nasionalnya sendiri,” kata Teguh Surya dari Walhi yang hadir di Kopenhagen.

Hal yang sama diungkapkan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara yang menilai penerapan di lapangan justru akan memicu konflik kepentingan antara masyarakat dan pemerintah.

Dari data CSF, sepanjang tahun 2008 setidaknya tercatat 500 konflik terkait pengelolaan perkebunan sawit. Konflik itu akan terus bertambah selama pengakuan hak-hak masyarakat adat tidak dipandang sebagai sebuah hal yang penting.

Tekan negara maju


Koordinator CSF Giorgio Budi Indarto menilai, Indonesia seharusnya menekan negara-negara maju dalam negosiasi iklim. Khusus terkait hutan, tekanan diarahkan kepada tanggung jawab negara maju agar mengurangi permintaan produk hasil sumber daya alam.

”Tingginya permintaan negara maju itulah akar masalah kerusakan hutan dan degradasi lahan akibat pertambangan. Sayangnya, itu tidak menjadi titik pijak posisi Indonesia,” katanya.

Ketidakjelasan sikap delegasi RI juga disorot pada awal negosiasi, khususnya ketika Denmark mengeluarkan Danish Accord yang mengancam kepentingan nasional. Pasalnya, di dalamnya ada klausul mewajibkan negara berkembang menurunkan emisi gas rumah kaca yang jelas-jelas tidak diwajibkan sesuai dengan keputusan di Bali 2007.

Tidak seperti beberapa negara berkembang lain yang tegas menolak tawaran itu, Indonesia cenderung diam. Menurut delegasi RI, sikapnya sudah terwakili pendapat negara lain.

Ketidaksiapan lain adalah soal data jumlah dana bantuan asing yang dibutuhkan Indonesia untuk menurunkan emisi sebesar 41 persen pada 2020. Begitupun penerapan di lapangan yang hingga kini belum jelas.

Berdasarkan data resmi di sekretariat konferensi, jumlah anggota delegasi RI 188 orang, termasuk beberapa pejabat dalam rombongan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dari jumlah itu, negosiator inti yang memantau 16 sesi persidangan kurang dari 30 orang.

Secara perseorangan, beberapa anggota delegasi menduduki posisi penting sidang, seperti mengetuai atau co-chair grup kontak pembahasan sebuah isu. Mengikuti sidang dengan keseriusan tinggi bukanlah hal mudah. Mengenai jumlah delegasi, total jumlah Indonesia di bawah Brasil dan China. ”Tidak semuanya datang karena persoalan visa,” kata anggota delegasi, Ghafur Dharmaputra.

Sepekan tersisa, kemampuan bernegosiasi tim delegasi RI dipertaruhkan. Mengutip kata Ketua Negosiator RI Rachmat Witoelar, Indonesia fokus pada kepentingan nasional. (GESIT ARIYANTO dari Kopenhagen, Denmark)
Senin, 14 Desember 2009 | 03:35 WIB 
Source:http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/14/03355796/negosiasi..kurang.cerminkan.kepentingan

Skema Kehutanan Disepakati, REDD Dituntut Tidak Tinggalkan Masyarakat Adat

Setelah melewati pembahasan alot selama lima hari, panduan metodologi Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan atau REDD disepakati di tingkat Badan Pembantu untuk Advis Teknologi dan Sains Pertemuan Para Pihak Ke-15, Sabtu (12/12) malam.

Pembahasan menyisakan aspek pendanaan dan pendekatan ke kelompok lain. Pencapaian itu dinilai sebagai kemajuan berarti delegasi meski belum selesai.

”Tanpa pencapaian di tahap metodologi, REDD plus tidak dapat diterapkan,” kata negosiator delegasi RI untuk REDD, Wandojo Siswanto, di Kopenhagen, Denmark, Minggu. Indonesia menargetkan, panduan metodologi, pendanaan, dan kebijakan bersama REDD plus yang dapat masuk dalam Kesepakatan Pasca-2012 bersifat jangka panjang.

Kelompok Indigenous Environmental Network menolak REDD dan menyebutnya ”COlonialism of forests”. Skema itu hanya akan merampas kontrol hutan adat dari masyarakat adat kepada pemilik modal dan pengemisi CO melalui negara.

Melalui mekanisme carbon offset, emisi industri di negara- negara makmur dapat berlanjut dengan membeli sertifikat reduksi emisi melalui konservasi hutan di negara berkembang.

Fitrian Ardiansyah dari WWF Indonesia menyebutkan, keputusan itu merupakan awal yang baik. Dengan kerja sama solid di antara negara berkembang, pendanaan REDD yang terpisah dari dana adaptasi lebih mudah dicapai.

REDD plus adalah skema mitigasi yang memungkinkan negara berkembang pemilik hutan, seperti Indonesia, Brasil, Kongo, dan Tanzania, mendapat pendanaan dari negara maju dengan mengurangi pembukaan hutan dan degradasi lahan.

Beberapa kewajiban yang disepakati termasuk pengakuan keterlibatan masyarakat adat dan komunitas lokal dalam pengawasan dan pelaporan. Di antaranya, identifikasi penyebab perusakan dan degradasi lahan, berbagai aktivitas penstabil stok CO dalam hutan, dan menggunakan pedoman Panel Ahli Antarnegara untuk Perubahan Iklim (IPCC).

”Kami sedang mengembangkan penerapan metodologi bekerja sama dengan Jerman dan Australia di Kalimantan, Sumatera, dan Jawa Timur,” kata negosiator RI, Koordinator Substansi REDD Nur Masripatin.

Menurut IPCC, ada beberapa kewajiban teknis yang harus diikuti terkait transparansi sistem pemantauan nasional, yakni perpaduan data penginderaan jauh dan pengecekan di lapangan. Kalkulasi harus transparan, konsisten, akurat, dan mengurangi ketidakpastian.

Kalimat ”pelibatan penuh dan efektif” dikhawatirkan melemahkan posisi tawar masyarakat adat. Pada draf awal, masyarakat adat mengusulkan pengakuan hak-hak kemerdekaan masyarakat adat sesuai dengan asas free, prior, and informed consent (bebas, diinformasikan dulu, dan disetujui) yang dilindungi Deklarasi PBB tentang Hak Masyarakat Adat.

Di Yogyakarta, Sabtu, belasan orang asal Jepara dan Madura berunjuk rasa di depan Kantor Badan Tenaga Nuklir Nasional, Sleman. Pengunjuk rasa yang tergabung dalam Majelis Pertimbangan Tenaga Nuklir itu menolak usulan penggunaan tenaga nuklir sebagai solusi bidang energi pada konferensi di Kopenhagen. (GESIT ARIYANTO dari Kopenhagen, Denmark/IRE)

Senin, 14 Desember 2009 | 03:47 WIB

Kopenhagen, Kompas -  http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/14/03473882/skema.kehutanan..disepakati

COP-15 Copenhagen: Negara Afrika Desak Hasil Mengikat

Negara-negara Eropa mendesak negara berkembang berjanji menurunkan emisi, sementara Indonesia menginginkan pendanaan dari luar ditambah.

Indonesia yang masih disebut sebagai pengemisi gas rumah kaca terbesar di dunia, setelah China dan Amerika Serikat, 80 persen emisinya adalah dari kerusakan hutan dan lahan.

Pemimpin Komisi Eropa Jose Manuel Barroso mendesak Indonesia memperkuat kampanye dua jalur untuk merangkul negara maju dan negara berkembang berbuat lebih untuk menyelamatkan kesepakatan.

Demikian ujar Barroso dalam konferensi pers bersama seusai bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Brussels, Belgia, Senin (14/12).

”Indonesia bisa memberi tahu negara berkembang lain, termasuk negara berkembang yang pesat ekonominya, bahwa mereka harus berbuat lebih,” ujar Barroso tanpa menyebut India dan China. ”Kami juga akan mengatakan hal sama kepada negara-negara maju,” ujarnya. Dengan kekisruhan negosiasi saat ini, dia mengingatkan kemungkinan gagal ada kesepakatan berarti. Untuk menembus kebuntuan, solusinya adalah ”bertanya kepada setiap orang sebagai upaya mencari kemungkinan lain”.

Presiden COP-15 Connie Hedegaard minta bantuan Rachmat Witoelar dan Menteri Jerman memfasilitasi pertemuan agar terus berjalan. Pasalnya, sidang pleno terancam buntu karena negara berkembang terus menekan negara maju berkomitmen dengan angka penurunan emisi.

Penundaan pleno

Pada Senin sore di Kopenhagen terjadi penundaan sidang pleno. Delegasi Afrika menolak melanjutkan persidangan bila Presiden Pertemuan Para Pihak Ke-15 tidak mendahulukan pembahasan keberlanjutan Protokol Kyoto-sudah krusial sejak awal.

Protokol itu merupakan satu-satunya kesepakatan berkekuatan hukum yang mewajibkan negara maju menurunkan emisi gas rumah kaca, penyebab pemanasan global, dalam jumlah besar. ”Kami datang dengan posisi jelas, yakni ada kesepakatan mengikat dan melanjutkan Protokol Kyoto seperti kesepakatan di Bali,” kata salah satu wakil kelompok Afrika, Victor, kepada wartawan. Periode pertama Protokol Kyoto berakhir pada 2012.

Ada upaya negara maju ”membunuh” protokol Kyoto karena sejumlah negara maju mendorong negosiasi ke satu hasil keputusan yang menggabungkan dua jalur pembahasan, berarti menggantikan Protokol Kyoto.

Dalam persidangan, menurut wakil delegasi RI, Presiden COP-15 mendahulukan pembahasan draf teks soal Aksi Kerja Sama Jangka Panjang (LCA), yang banyak membahas kepentingan negara-negara maju. Adapun pembahasan Protokol Kyoto memberi peluang bagi negara berkembang menekan negara maju dengan komitmennya.

”Sikap Indonesia sama, kedua jalur harus berjalan bersamaan dengan dua hasil. Bukan penggabungan atau menggantikan Protokol Kyoto,” kata juru bicara delegasi RI, Tri Tharyat. Posisi Indonesia sama dengan Afrika dan kelompok G-77 plus China.

Dukungan kepada Afrika bermunculan. ”Ini bukan soal menghalangi persidangan. Ini soal kesiapan negara maju menjamin akan berbuat sesuatu untuk membantu keberlanjutan Afrika dan seluruh dunia,” kata Direktur Eksekutif Oxfam International Jeremy Hobbs. (GSA/DAY/AFP/ISW)

Selasa, 15 Desember 2009 | 10:44 WIB

BRUSSEL, KOMPAS -  http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/15/10444938/negara.afrika.desak.hasil.mengikat

Matahari dan Pemanasan Bumi Saling Menguatkan

Terjangan radiasi Matahari lebih dari 60 tahun lalu telah menyebabkan lapisan es di puncak gunung di Swiss meleleh lebih cepat daripada saat ini walaupun sekarang pun terekam ada kenaikan temperatur. Demikian hasil penelitian sejumlah ilmuwan yang dipaparkan pada Senin (14/12).

Penelitian mereka tentang dampak radiasi Matahari pada gletser Alpen membawa pada ”penemuan mengejutkan”. Penemuan tersebut adalah pada tahun 1940-an, terutama pada musim panas 1947, volume es yang meleleh adalah terbanyak sejak diukur dari 95 tahun lalu.

Penelitian yang dilakukan Zurich’s Federal Institute of Technology (ETHZ) ini juga mencatat kenaikan temperatur yang mempercepat proses melelehnya es pada tingkat yang tak terduga sebagai akibat pemanasan global. ”Yang baru adalah paradoks tersebut dapat dijelaskan dengan adanya radiasi,” ujar Matthias Huss, salah seorang peneliti.

Penelitian tersebut dipublikasikan dalam Geophysical Research Letters sebagai laporan dari penelitian besar yang dilakukan terkait dampak perubahan iklim dan peran radiasi Matahari dalam model iklim.

Dari penelitian ditemukan bahwa level radiasi Matahari pada tahun 1940-an adalah 8 persen lebih tinggi daripada radiasi rata-rata. Hal itu mengakibatkan salju meleleh sekitar 4 persen. (AFP/ISW)

Selasa, 15 Desember 2009 | 10:44 WIB

Geneva, Senin -  http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/15/10441561/matahari.dan.pemanasan.bumi.saling.menguatkan

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...