Monday, March 1, 2010

Perkebunan Sawit Tanpa Izin Marak

Pelanggaran di Kalimantan Tengah Paling Luas

Perkebunan kelapa sawit yang terindikasi melanggar peraturan, yaitu beroperasi tanpa memiliki surat izin pelepasan kawasan dari Menteri Kehutanan, marak dan meliputi luas sekitar 2.000.000 hektar di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.

Karena itu, Kementerian Kehutanan akan membawa kasus tersebut ke jalur hukum.

Kepala Bidang Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kalimantan Barat (Kalbar) Soenarno, Sabtu (20/1), menegaskan, Kementerian Kehutanan memastikan akan membawa kasus pelanggaran tersebut ke jalur hukum.

Sementara Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, Sabtu di Pontianak, mengakui, di Indonesia jutaan hektar perkebunan dan pertambangan beroperasi tanpa izin pelepasan kawasan atau izin pinjam pakai.

”Dari laporan yang sudah masuk, perkebunan yang beroperasi tanpa izin lahannya memang mencapai jutaan hektar. Saya tidak ingat persis angkanya,” tutur Zulkifli Hasan kepada wartawan di ruang VIP Bandara
Supadio.

Menurut Menhut, laporan mengenai banyaknya lahan perkebunan yang beroperasi tanpa izin itu masuk ke Tim Terpadu Penanganan Pelanggaran Kehutanan yang dibentuk pada Januari 2010. Tim terpadu tersebut, antara lain, terdiri atas Kementerian Kehutanan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).

Kalteng paling luas

Soenarno menjelaskan, sekitar 1,5 juta hektar berada di Kalimantan Tengah (Kalteng) dan 332.000 hektar berada di Kalbar. Sekitar 300.000 hektar dari 332.000 hektar yang ada di Kabupaten Ketapang, Kalbar, dipastikan tidak berizin.

”Di Kabupaten Bengkayang dan Sanggau (keduanya di Kalbar) yang melanggar 28.000 hektar dan sekitar 4.000 hektar,” ujar Soenarno.

Menyangkut pelanggaran di Kalteng, Direktur Eksekutif Save Our Borneo Nordin membenarkan bahwa pelanggaran atas lahan 1,5 juta hektar tersebut dilakukan oleh sedikitnya 77 perusahaan dari 144 perusahaan perkebunan di Kalteng.

Dari Medan, Sumatera Utara, diperoleh informasi bahwa harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) cenderung naik, baik di dalam maupun di luar negeri. Hal ini dipengaruhi oleh jumlah panen CPO yang menurun serta musim dingin di Eropa yang datang lebih awal daripada tahun sebelumnya sehingga panen kedelai dan biji matahari berkurang.

Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Cabang Sumatera Utara Balaman Tarigan mengatakan, pada akhir tahun 2009 harga CPO Rp 6,2 juta per ton dan pada akhir Februari 2010 melonjak menjadi Rp 7,6 juta per ton.

”Kami optimistis harga CPO akan terus naik dan tembus Rp 10 juta per ton,” kata Tarigan seusai acara Musyawarah Cabang II Gapki Cabang Sumut di Medan, Sabtu. (AHA/FUL/MHF)

Dengan AC, Selamatkan Bumi

PEMANASAN GLOBAL
Pengatur suhu ruangan merupakan peranti yang paling dibutuhkan di perumahan, perkantoran, dan bangunan publik lainnya. Namun, mesin ini paling besar menyedot listrik dibandingkan peranti elektronik lainnya. Maka, berbagai upaya dilakukan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan listrik, mulai dari penggunaan mesin inverter hingga sensor pengatur operasi.

Pengatur suhu ruangan yang disebut AC atau air conditioner menjadi produk elektronik yang paling seksi karena keberadaannya memberikan kenyamanan nyata bagi penghuni ruangan.

Selama ini, untuk menambah daya tarik mesin ini, beberapa aplikasi teknologi disisipkan. Antara lain, dipasang teknologi plasma untuk mengurai molekul partikel menjadi ion, yang ukurannya jauh lebih kecil.

Ion ini akan mengikat molekul air. Karena virus bersifat higroskopis, ion ini sekaligus akan menangkap virus. Virus yang tertangkap lalu dikumpulkan dalam filter atau penyaring. Pada sistem plasma, pembangkitan ion tercapai dengan daya hingga 5 elektron volt.

Selain itu, perhatian diarahkan pada upaya meningkatkan efisiensi mesin pendingin ruangan. Untuk itu, diperkenalkan sistem inverter yang merupakan komponen pengatur kecepatan kompresor. Dengan sistem ini, kecepatan AC bisa diatur sesuai kebutuhan. Proses mendinginkan udara pun lebih cepat sehingga konsumsi listrik lebih sedikit.

Menurut Heribertus Ronny, Manajer Produk AC Panasonic Gobel Indonesia, ketika mesin pendingin ini dinyalakan, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suhu yang diinginkan 1,5 kali lebih cepat dibanding AC biasa,

Kelebihan lain inverter yang dikembangkan sejak tahun 2007 ini adalah dapat menyesuaikan daya yang dikeluarkan untuk mencapai suhu yang ditetapkan. Pada AC non-inverter pengendalian suhu dilakukan dengan menekan tombol ”ON” dan ”OFF”. Akibatnya, suhu menjadi tidak merata. Sistem inverter berlaku sebaliknya.

Teknologi inverter dikembangkan untuk menghemat listrik dan menekan emisi gas buang karbon dioksida (CO) sehingga AC ini menjadi produk ramah lingkungan. Menurut laporan survei produk berwawasan lingkungan, Peace 2007, setiap penghematan daya listrik 4,7 kilowatt per hari akan mengurangi emisi CO sebanyak 3,7 kg per hari.

Uji coba yang dilakukan perusahaan elektronik Jepang ini menunjukkan, ada penghematan listrik hingga 50 persen dibandingkan dengan AC non-inverter. Pada pengujian, pendinginan dilakukan pada ruangan seluas 16 meter persegi selama 8 jam per hari. Suhu ruangan disetel 25 derajat celsius, suhu di luar ruangan 35 derajat celsius.

Untuk mesin AC berkapasitas 1,5 PK pada sistem konvensional, dibutuhkan daya 6,4 kWh per hari. Adapun yang dilengkapi inverter hanya menggunakan 4,2 kWh per hari.

Dengan memasang sirkit integrasi (IC) sebagai pengendali, inverter akan bekerja dengan daya minimum setelah suhu udara mencapai tingkat yang diinginkan. Penggunaan inverter ini dapat menghemat listrik hingga 50 persen.

Sensor suhu dan gerak

Efisiensi penggunaan listrik masih dapat ditingkatkan dengan menerapkan sensor pada unit pendingin ruangan ini.

Ada dua sensor yang terpasang di ujung kanan bawah kotak pendingin itu, yaitu sensor penangkap keberadaan obyek bergerak dan suhu obyek itu.

Ketika aktivitas obyek itu rendah, misalnya penghuni ruangan tengah membaca buku atau tidur, suhu ruang akan sesuai dengan pengaturan awal, yaitu 25 derajat celsius.

Namun, bila aktivitas tinggi dan jumlah orang bertambah, suhu akan turun 2 derajat celsius secara otomatis. Ketika ruangan kosong, suhu akan naik 2 derajat celsius dari suhu standar pada awalnya.

Dengan menerapkan sensor yang disebut eco-patrol, beban AC dapat diminimalkan sehingga listrik bisa dihemat 20 persen. Bersama penggunaan inverter, total penghematan mencapai 60 persen.

Sensor juga digunakan untuk memonitor udara, yang menunjukkan tingkat kualitas udara ruangan melalui indikator warna lampu kecil di bagian kiri. Udara berkualitas buruk ditunjukkan dengan lampu berwarna merah.

Segera setelah itu sistem pembersih udara, dalam hal ini sistem plasma, akan beroperasi. Sebanyak tiga triliun ion akan dilepaskan untuk menangkap partikel berbahaya di udara, seperti virus, bakteri, dan jamur.

Penggunaan sistem pengendali untuk AC sudah selangkah lebih maju di Korea Selatan. Di Negara Ginseng ini, untuk menyalakan dan mematikan peralatan pendingin ini, dapat dilakukan dengan telepon genggam dari jarak jauh. Dengan demikian, ketika sampai di rumah, penghuninya mendapatkan ruangan telah bersuhu sejuk.

Konsep go green pada AC juga diterapkan dengan menggunakan bahan ramah lingkungan pada komponen-komponennya, menggantikan logam berbahaya, seperti timbel (Pb) dan kadmium (Cd).

Penggunaan teknologi yang efisien dan ramah lingkungan juga akan diterapkan pada perabot elektronik lainnya, seperti kulkas, mesin cuci, dan microwave.


Sabtu, 20 Februari 2010 | 04:26 WIB

PENULIS: YUNI IKAWATI

Thursday, February 18, 2010

Hutan Adat Dayak Dibabat

Diduga Tak Ada Izin Pelepasan Kawasan

Sedikitnya 1.420 hektar hutan adat Dayak Iban atau Ibanik di Desa Semunying Jaya, Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, dibabat untuk lahan perkebunan kelapa sawit. Kayu tebangan itu kemudian diselundupkan ke Malaysia.

Demikian pernyataan bersama Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Kalimantan Barat Sujarni Alloy; juru kampanye hutan Perkumpulan Telapak, Muhammad Yayat Afianto; dan Ketua Badan Perwakilan Desa Semunying Jaya Jamaludin dalam konferensi pers di Pontianak, Kalbar, Selasa (16/2).

”Tindakan perusahaan perkebunan itu seolah-olah kebal hukum mengingat bupati setempat tidak mengeluarkan izin lokasi perkebunan sawit di hutan tersebut. Perusahaan itu juga belum mengantongi izin pemanfaatan kayu (IPK) dinas kehutanan, tetapi sampai sekarang aktivitas mereka tetap berlangsung,” ujar Yayat.

Jamaludin menambahkan, pembabatan hutan adat Dayak Iban itu sudah berlangsung sejak tahun 2005. ”Sejak hutan adat dibabat, masyarakat adat makin kesulitan memenuhi kebutuhan hidup karena hasil hutan yang biasanya bisa dimanfaatkan tak ada lagi,” katanya.

Masyarakat adat Dayak Iban dulu menggantungkan hidup dari hasil hutan, seperti rotan, damar, kulit kayu pudo, dan tanaman-tanaman untuk obat tradisional. Setelah hutan habis, masyarakat yang tidak terbiasa dengan pertanian budidaya menjadi amat kesulitan.

Alloy mengatakan, kayu-kayu hasil tebangan dari hutan adat Dayak Iban itu diangkut ke Malaysia melalui jalan setapak yang biasanya digunakan untuk mengangkut keperluan logistik masyarakat. ”Konflik dengan masyarakat adat Dayak Ibanik terus terjadi. Masyarakat adat hanya ingin menuntut hak mereka yang dirampas,” kata Alloy.

Tumpang tindih

Hasil pemantauan kalangan aktivis lingkungan pada lembaga Save Our Borneo (SOB), pembabatan hutan untuk perkebunan sawit di Kalimantan Tengah juga parah, seperti perampokan kekayaan alam secara sistematis dan terorganisasi.

Faktanya, kata Direktur Eksekutif SOB Nordin di Palangkaraya, pembabatan hutan di
Kecamatan Kapuas Tengah,
Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, yang berlangsung sejak tahun 2008 luasnya sudah 10.000 hektar.

Ironisnya, lanjut Nordin, kawasan hutan yang dibuka untuk perkebunan kelapa sawit oleh tiga perusahaan tumpang tindih dengan kawasan eks hutan milik dua perusahaan pemegang izin hak pengusahaan hutan. Selain itu, pembukaan perkebunan


juga ada yang berlangsung di wilayah tanah dan kebun warga, seperti di Jangkang dan Balai Banjang.

”Ketiga perusahaan itu berani beroperasi karena memiliki izin lokasi dari bupati setempat. Tetapi, dalam pembabatan hutan itu diduga tidak punya izin pelepasan hutan dari Menteri Kehutanan sebab ketiga perusahaan tersebut belum memiliki IPK,” ujar Nordin.

Kayu-kayu yang dibabat dari hutan adat Dayak tersebut, kata Nordin, ada yang ditanam dalam tanah, dibakar, dibuang, ditumpuk, atau dipakai untuk perumahan, jembatan, dan keperluan lainnya oleh tiap-tiap perusahaan tersebut. ”Apabila dihitung potensi kayu yang hilang dengan luas konsesi tiap perusahaan perkebunan 20.000 hektar, negara mengalami kerugian Rp 141,5 miliar per perusahaan,” katanya.

Menurut Nordin, pihaknya bersama dengan sejumlah lembaga aktivis lingkungan dan antikorupsi akan melaporkan kejahatan kehutanan ini kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. ”Aparat instansi terkait tidak peduli lagi mau menegakkan hukum dan menyelamatkan hutan,” katanya. (AHA/FUL)

Rabu, 17 Februari 2010 | 03:43 WIB

Pontianak, Kompas - http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/17/03430475/hutan.adat.dayak.dibabat

Tata Ruang "Food Estate" di Merauke Belum Jelas

PERTANIAN

Masalah tata ruang pada lahan 1,5 juta hektar yang akan digunakan sebagai pusat pengembangan pertanian tanaman pangan (food estate) di Merauke, Papua, hingga kini belum jelas karena pemerintah pusat belum menerima usulan dari Pemerintah Provinsi Papua. Juga belum ada tim terpadu yang dibentuk di level pusat yang bisa memastikan proyek ini berhasil.

”Jika memang ada wilayah hutan yang berubah untuk food estate, sebelumnya harus ada tim terpadu yang di dalamnya ada menteri dalam negeri, menteri pekerjaan umum, menteri lingkungan hidup, menteri kehutanan, LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), hingga perguruan tinggi. Tim ini yang harus mengkaji seluruhnya,” ujar Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan di Jakarta, Selasa (16/2), seusai menghadiri Rapat Koordinasi Tata Ruang Nasional dan Food Estate Merauke.

Menurut dia, pada tahap awal harus ada usulan dari Papua terkait dengan kawasan yang akan digunakan sebagai food estate yang ditetapkan melalui sebuah peraturan daerah. Setelah itu, tim terpadu mengkaji usulan tersebut, kemudian dibuat analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).

”Jika amdal sudah ada, harus dibawa ke DPR untuk mendapatkan persetujuan mengenai perubahan status lahan hutan menjadi food estate. Jadi, masih lama sebelum bisa ditawarkan kepada investor. Tim terpadunya saja belum terbentuk,” ungkap Zulkifli.

Secara terpisah, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mengungkapkan, pemerintah masih harus memastikan agar proyek food estate ini tidak mengganggu lahan hutan lindung dan hutan konservasi. Pemerintah hanya ingin memanfaatkan lahan yang tidak terpakai untuk pengembangan pertanian tanaman pangan.

”Masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Amdal harus mantap, sesuai dengan target emisi karbon dioksida yang harus diturunkan 26 persen,” ujarnya.

Hatta menegaskan, pemerintah tidak ingin pengalaman di Kalimantan Tengah pada era Orde Baru terulang lagi. Pemerintah Orde Baru menetapkan lahan sejuta hektar di Kalimantan Tengah sebagai lahan sawah baru, tetapi gagal karena kondisi lahan yang terlalu asam.

Terdapat 1,5 juta hektar lahan di Merauke yang cocok dikembangkan sebagai kawasan ekonomi yang fokus pada lahan pertanian tanaman pangan.

Ketua Badan Pertimbangan Organisasi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia sekaligus anggota Komisi IV DPR, Siswono Yudo Husodo, di Jakarta, Selasa, mengingatkan, pengembangan food estate di Merauke dan wilayah lain melalui Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman jangan sampai memarjinalkan petani.

”Konsep food estate harus mendorong petani memiliki lahan garapan yang lebih luas agar pendapatan mereka meningkat dan kehidupan lebih baik,” katanya. (MAS/OIN)

Tiras dan Royalti, Pokok Masalah Perbukuan

Menulis Buku untuk Personal Branding

Tiras buku yang kecil menjadi penyebab rendahnya royalti yang diterima para penulis buku. Hal ini berdampak pada kurangnya minat para intelektual Indonesia untuk menulis buku.

”Sejauh ini, tiras buku umumnya adalah 3.000 eksemplar. Untuk buku yang bagus, buku-buku itu baru habis setelah enam bulan. Dan, penerbit rata-rata memberikan royalti 10 persen brutto dikurangi pajak penghasilan 10 persen atau 15 persen neto,” ujar Firdaus Umar dari Penerbit Mutiara Sumber Widya Jakarta dan Angkasa, Bandung, kepada Kompas, Selasa (16/2) di Jakarta.

Dalam hal penerbitan buku, umumnya penerbit menangani semua seluk-beluk penerbitan sejak naskah disetujui, digarap tata letak dan sampul, pencetakan, hingga distribusi. Penerbit pula yang menentukan harga buku. ”Jika buku baru itu dijual Rp 50.000, misalnya, penulis akan mendapatkan royalti Rp 4.250 per buku, yaitu 10 persen dari harga buku dikurangi pajak penghasilan 10 persen,” kata Firdaus Umar.

Ia mengatakan, selama ini penerbit rata-rata menerbitkan 3.000 buku per judul. Jika buku tersebut habis terjual, misalnya, penulis akan mendapatkan royalti Rp 12.750.000. ”Jumlah itu baru bisa dicapai setelah sekian lama dan penulis akan mendapatkan laporan setiap enam bulan. Dari penerbit, toko buku mendapatkan potongan 30 persen. Dengan demikian, penerbit mengantongi 60 persen dari harga buku,” kata Firdaus Umar.

Kecilnya royalti dan tiras itulah yang sering kali menyurutkan niat para penulis untuk membuat buku. Dan, untuk sejumlah penerbit, kini lebih baik mengalihkan penerbitan pada buku agama atau buku terjemahan.

”Sulitnya mendapatkan naskah asli lokal ataupun nasional ini perlu diangkat dalam Konferensi Kerja Ikatan Penerbit Indonesia. Masalah ini harus dipecahkan,” ujar Firdaus.

Dampak

Sementara itu, Wandi S Brata, Direktur Penerbit Gramedia Pustaka Utama, mengemukakan, memang rupiah yang diperoleh dari buku itu kecil dan tidak menarik bagi orang-orang miopi.

”Tetapi, kita sering lupa, buku ini merupakan personal branding atau pembangun citra. Pendapatan memang tidak seberapa, tetapi dengan hadirnya buku itu, sang penulis akan dianggap sebagai ahlinya. Dampak lebih lanjut, sang penulis akan sering diundang untuk berbicara mengenai apa yang ditulis. Hasil sampingan ini bisa jauh lebih besar dari royalti buku,” ujarnya.

Secara terpisah, Heruprajogo Moektijono, ayah siswa SMA Tobi Moektijono, yang menulis buku Kumpulan Soal-soal Matematika Unik, di Jakarta, Senin (15/2), mengatakan, minat baca masyarakat yang masih rendah membuat buku-buku serius, seperti buku matematika, tidak terlalu diminati pasar. Jika berbicara soal pendapatan, buku dengan genre itu sebenarnya tidak terlalu menguntungkan. ”Saya sengaja memilih penerbit besar supaya lebih mudah pemasarannya dan percaya laporan penjualannya. Honor yang didapat hitungannya 10 persen dari harga jual setiap buku,” ujarnya

Menurut Heruprajogo, sebenarnya honor dari penerbitan buku anaknya tidak sebanding dengan biaya untuk menghasilkan soal-soal unik matematika ala Tobi. ”Tapi, yang penting ilmu yang dimiliki anak saya bisa disebarluaskan agar anak-anak lain menyukai matematika,” ujarnya.(TON/ELN)

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...