Monday, March 1, 2010

Baru 0,025 Persen Hutan yang Tersertifikasi

Baru 1,5 juta (0,025 persen) dari total 60 juta hektar hutan di Indonesia yang mendapat sertifikat hutan lestari versi Lembaga Ekolabel Indonesia. Tahun 2001, hutan yang mendapat sertifikat 90.000 hektar, yang mencakup hutan konsesi hak pengusahaan hutan, hutan tanaman industri, dan hutan rakyat.

Sementara yang memperoleh sertifikat internasional dari Forest Stewardship Council (FSC) baru empat dari total 200 pemegang HPH di Indonesia—untuk kawasan hutan di Sumatera dan Kalimantan.

Hal ini terungkap dalam konsultasi publik kawasan gambut di Semenanjung Kampar yang digelar Tropenbos International Indonesia Programme (TBI). ”Masih sedikit sekali hutan yang mendapatkan sertifikasi untuk kelestarian lingkungan. Selain hutan alam, kami juga mendorong hutan tanaman, hutan rakyat, dan perkebunan untuk juga memerhatikan wilayah mana yang memiliki nilai konservasi tinggi,” kata Direktur Program TBI Petrus Gunarso, Rabu (24/2) di Semenanjung Kampar.

FSC mencakup beberapa kriteria. Salah satunya adalah high conservation value forest (HCVF) atau hutan bernilai konservasi tinggi yang meliputi nilai ekologi dan sosial.

Salah satu pemetaan HCVF yang akan dimulai di Semenanjung Kampar, menurut Petrus, adalah untuk kawasan hutan gambut. Kawasan yang luasnya sekitar 700.000 hektar itu pernah dieksplorasi dalam bentuk konsesi HPH tahun 1970-1980-an. ”Kini banyak pemegang hak yang sudah tidak aktif karena pohon yang berdiameter di atas 50 sentimeter yang layak tebang telah habis,” katanya.

Pemetaan akan dilakukan secara independen, antara lain oleh TBI, tim independen dari Badan Litbang Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Universitas Gadjah Mada, Universitas Lampung, serta Universitas Mulawarman, dan didanai PT Riau Andalan Pulp and Paper. (eki)

Ancol Bangun "Ecopark"

Lapangan golf seluas 33,6 hektar di kawasan wisata Ancol, Jakarta Utara, Rabu (24/2) pagi, berubah total. Ratusan murid kelas IV dan V dari 10 sekolah dasar di sekitar Ancol sibuk menggali lapangan berumput itu. Di setiap lubang ditanam bibit pohon.

Targetnya, akan ada 10.000 pohon bakal mengisi lapangan golf itu. Tindakan para murid SD itu bukan aksi anarki, melainkan mendapatkan restu penuh dari manajemen Ancol Taman Impian.

”Di bekas lapangan golf ini, segera dibangun wahana baru, ecopark yang berbasis edutainment. Ecopark akan dilengkapi berbagai sarana yang bisa dimanfaatkan bagi pendidikan lingkungan hidup, seperti taman flora, fauna, dan fasilitas multifungsi untuk permainan petualangan di lahan terbuka,” kata Direktur Utama PT Pembangunan Jaya Ancol Budikarya Sumadi.

Devan Ramadhan (10), murid kelas V SD Raudhatul Janatin Na’im di Pademangan, Jakarta Utara, menjadi salah satu peserta penanaman pohon di lahan yang dirintis menjadi ecopark Ancol. Bagi Devan, berada di lapangan golf, menggali, dan menanam pohon menjadi pengalaman istimewa. ”Masuk lapangan golf saja belum pernah. Waktu masuk, boleh gali-gali, asyik. Bisa nanam pohon lagi,” kata Devan.

Dadang Zarkoni, Kepala Sekolah SD Raudhatul Janatin Na’im, menambahkan, selama ini golf terkesan eksklusif hanya terbuka untuk kalangan berpunya. Kini, setelah disulap menjadi ecopark, ia dan para muridnya berpeluang beraktivitas di sana.

”Saya rasa ecopark ini akan lebih bermanfaat bagi warga sekitar, juga Jakarta secara umum, dan tentu saja anak-anak. Mudah-mudahan program ini berhasil. Saya berencana sering mengajak anak murid beraktivitas di sini. Mereka bisa belajar langsung di lapangan soal lingkungan,” kata Dadang.

Bagi Ancol sendiri, ambisi untuk mewujudkan ecopark adalah bagian dari impian menjadikan kawasan wisata terbesar di Asia Tenggara. Wahana itu tidak hanya menyajikan berbagai wahana menarik, tetapi juga turut mengajak pengunjung beraktivitas serta memahami arti pentingnya membangun lingkungan yang sehat. Ancol berhasrat menata kawasannya dengan memperkaya elemen natural pada daratan dan pantai yang disebut konsep ”Ancol Hijau (Green Ancol)” dan ”Ancol Biru (Blue Ancol)”.

Selain dihijaukan, taman ini juga akan dilengkapi kanal air. Fungsi kanal adalah menambah tempat tampungan air dan drainase. Kanal itu diharapkan bisa mengantisipasi air pasang, gelombang laut, dan curah hujan tinggi. Selain itu, kanal juga bisa sebagai saluran transportasi air yang bakal menghubungkan berbagai unit wahana di Ancol.

Dalam upaya mewujudkan impian Green Ancol dan Blue Ancol, Ancol didukung Yayasan Keanekaragaman Hayati (Kehati). Saat peresmian pembangunan ecopark kemarin, Direktur Kehati MS Sembiring menyumbangkan buku terbaru yang belum resmi diluncurkan untuk umum berjudul ”Keanekaragaman Hayati: Hutan Kota dan Jenis Pohon di Jabodetabek”. Buku itu ditulis Ismayadi Samsoedin, Tarsoen Waryono, dan Latipah Hendarti.(nel)

Kamis, 25 Februari 2010 | 03:21 WIB

Jakarta, Kompas - http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/25/03211897/ancol.bangun.ecopark

Hutan Rusak karena Sawit dan Tambang Ilegal

Posisi Indonesia Tak Menentu

Indonesia menjadi negara berkembang pertama yang mengumumkan target penurunan emisi sukarela 26 dan 41 persen jika ada bantuan asing pada 2020. Akan tetapi, komitmen ini tidak disertai langkah-langkah konkret dan strategis sehingga posisi Indonesia dalam percaturan politik internasional dalam isu perubahan iklim menjadi tak menentu.

”Akibat ketidakjelasan programnya, Indonesia bakal menjadi bulan-bulanan dunia internasional,” kata Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN) Abdon Nababan, Selasa (23/2) di Jakarta.

”Kepemimpinan itu akan makin hilang jika mekanisme reduksi emisi tidak dijalankan dengan baik,” kata Abdon.

Menurut Abdon, Indonesia sebelumnya berpotensi memimpin isu perubahan iklim global, di antaranya dengan gencar memperjuangkan mekanisme Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) ataupun kegiatan adaptasi dan mitigasi. Hal ini mengingat Indonesia merupakan negara tropis kepulauan terbesar memiliki megabiodiversitas tertinggi yang perlu diselamatkan dan menghadapi tingkat kerentanan paling tinggi.

Rencana mundurnya Sekretaris Jenderal Kerangka Kerja Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) Yvo de Boer per 1 Juli 2010, tambah Abdon, sebenarnya membuka peluang Indonesia tampil menyampaikan calon pengganti.

Konsolidasi ke dalam

Abdon menyebutkan, pemerintah Indonesia saat ini perlu konsolidasi ke dalam. Program reduksi emisi harus diperjelas dan bisa dilaksanakan agar bisa diketahui dunia internasional. ”Saat ini program di tingkat kementerian terkait perubahan iklim tidak jelas. Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) pun tidak jelas,” kata Abdon.

Sekretaris DNPI Agus Purnomo menyebutkan, Februari ini ditargetkan untuk memperjelas program penanaman satu miliar pohon yang dicanangkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Menteri Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta dalam konferensi pers, beberapa waktu lalu, menyebutkan, langkah yang perlu dibangun lainnya adalah mengembangkan sistem pemantauan dan evaluasi (measurable, reportable, and verifiable/MRV). Tetapi, langkah-langkah konkret untuk itu belum jelas mekanismenya.

Ketua Kelompok Kerja Perubahan Iklim Kementerian Kehutanan Wandojo Siswanto mengatakan, luas lahan 500.000 hektar hutan terdegradasi disediakan sebagai lokasi penanaman bagian dari program satu miliar pohon. ”Dari lahan seluas itu diharapkan ada penanaman sampai 500 juta pohon,” ujarnya.

Untuk menggenapi satu miliar pohon, menurut Wandojo, juga diperhitungkan areal hutan tanaman industri. Berdasarkan Rencana Aksi Penurunan Emisi 26 persen, target penurunan emisi dari sektor kehutanan ditetapkan 392 juta ton dari jumlah total 767 juta ton ekuivalen karbon dioksida. (NAW)

Indonesia Sasaran Sampah Elektronik

Indonesia Tidak Memiliki Target yang Jelas

Indonesia sebagai negara berkembang menjadi salah satu sasaran pembuangan sampah elektronik dari industri di negara-negara maju. Masuknya 9 truk peti kemas berisi monitor komputer bekas dari Massachusetts, Amerika Serikat, pada 2009, salah satu buktinya.

Jim Puckett, Koordinator Jaringan Aksi Basel (Basel Action Network), mengingatkan itu dalam konferensi pers di sela-sela acara ”Simultanous Extraordinary Conference of the Parties Basel, Roterdam, and Stockholm Conventions” di BICC, Nusa Dua, Bali, Senin (22/2).

Acara itu dihadiri 1.200 delegasi dari 192 negara. Menteri Lingkungan Hidup Gusti Muhammad Hatta membuka acara itu disaksikan Gubernur Bali Made Mangku Pastika. Pertemuan akan dilanjutkan dengan Konferensi Menteri Lingkungan Hidup Dunia (Special Session of The United Nation Environment Programme Governing Council/GC-UNEP), 24-26 Februari.

Menurut Jim, ekspor sampah elektronik (e-waste) ke negara berkembang bermotif ekonomi. Namun, dalam jangka panjang dampaknya bisa mengganggu kesehatan, seperti merusak susunan saraf anak-anak. Soalnya, sampah elektronik mengandung zat-zat kimia berbahaya yang tidak bisa didaur ulang.

Tentang apakah AS sebagai pihak importir bisa dikenai sanksi atas pengiriman sampah elektronik ke negara-negara berkembang, Jim angkat bahu. ”Ada tiga negara yang tidak mau menandatangani Konvensi Basel, yaitu Afganistan, Haiti, dan Amerika. Jadi, sulit,” ujarnya.

Direktur Eksekutif UNEP Achim Steiner mengingatkan negara-negara berkembang agar bersiap menghadapi banjir sampah elektronik dari negara-negara, seperti China dan India.

Gusti, saat membuka konferensi, membenarkan bahwa Indonesia adalah wilayah sangat rawan untuk pembuangan sampah dan limbah berbahaya. ”Ada sekitar 2.000 titik berpotensi menjadi pintu masuk,” ujarnya.

Aktivitas industri pertanian dan industri lainnya di Indonesia juga menghasilkan bahan beracun dan berbahaya (persistent organic pollutants/POP).

Menurut Deputi Menteri Lingkungan Hidup Bidang Pengelolaan Bahan dan Limbah Berbahaya Beracun Imam Hendargo Abu Ismoyo, kasus pengiriman 9 kontainer komputer bekas dari AS sudah diproses secara hukum. ”Barangnya dipulangkan. Importirnya ditegur,” ujarnya.

Tidak jelas

Sementara itu, Minggu, sejumlah perwakilan organisasi nonpemerintah bertemu dengan Gusti. Hadir, antara lain, adalah Chalid Muhammad (Institut Hijau Indonesia), Riza Damanik (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan), dan Hendro Sangkoyo (Sekolah Ekonomika Demokratik), dan beberapa orang lainnya.

Menurut siaran pers dari Teguh Surya dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), pada pertemuan itu Gusti menjelaskan tentang pertemuan akbar tersebut.

Namun, menurut pihak lembaga swadaya masyarakat, penjelasan tersebut tidak menyentuh substansi soal penggabungan tiga konvensi (Basel, Rotterdam, Stockholm) karena tak ada analisis dampak pada sisi ekologi, ekonomi, dan politik.

Menteri menjelaskan, setidaknya ada dua keuntungan bagi Indonesia sebagai penyelenggara kegiatan itu, yaitu pertama, dunia akan menilai komitmen Indonesia terhadap lingkungan besar. Kedua, Indonesia dipercaya dapat menyukseskan acara.

”Bagaimana mungkin komitmen terhadap lingkungan hanya dinilai dari penyelenggaraan even global. Seharusnya, Indonesia mesti memiliki target yang lebih berguna bagi kepentingan nasional dan keselamatan warga bukan pencitraan semata, seperti biasa dipertontonkan SBY (Presiden Susilo Bambang Yudhoyono),” tulis Teguh dalam siaran persnya. (SUT/*/ISW)

Trembesi Masih Pro dan Kontra

Alasan penanaman massal pohon raksasa trembesi atau Albizia saman yang disarankan pemerintah untuk menunjang program penanaman satu miliar pohon pada 2010 masih pro dan kontra. Hal ini menunjukkan bahwa pemilihan trembesi itu masih membutuhkan dukungan riset yang lebih saksama.

”Kebijakan penanaman pohon idealnya memerhatikan penggunaan dan kebutuhan masyarakat di tiap daerah. Trembesi termasuk jenis pohon dengan evaporasi atau penguapan tinggi sehingga berpotensi mengeringkan sumber air,” kata Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Mochammad Na’im, Senin (22/2) di Yogyakarta.

Hal berbeda diungkapkan dosen Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Endes N Dahlan, di Bogor, kemarin. Menurut dia, trembesi pada mulanya diketahui tumbuh di savana Peru, Brasil, dan Meksiko, yang minim air. ”Kemampuan tumbuh di savana menunjukkan, pohon ini tidak memiliki evaporasi tinggi,” ujarnya.

Endes adalah salah satu akademisi yang diundang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk memberikan pembekalan penanaman trembesi, 13 Januari 2010 di Istana Negara. Endes meneliti daya serap emisi karbon dioksida atas 43 jenis tanaman pada 2008.

Hasil penelitian pada trembesi dengan diameter tajuk 10-15 meter menunjukkan, trembesi menyerap karbon dioksida 28,5 ton per tahun. Ini angka terbesar di antara 43 jenis tanaman yang diteliti, bahkan ditambah 26 jenis tanaman lain, daya serap karbon dioksida trembesi tetap terbesar. Meskipun demikian, Endes belum bisa menjelaskan 68 jenis pohon lainnya yang diteliti.

Dia mengaku, belum meriset secara rinci kapasitas evaporasi trembesi. Diketahui pula, trembesi memiliki sistem perakaran yang mampu bersimbiosis dengan bakteri Rhizobium untuk mengikat nitrogen dari udara.

Kandungan 78 persen nitrogen di udara memungkinkan trembesi bisa hidup di lahan-lahan marjinal, juga lahan-lahan kritis, seperti bekas tambang, bahkan mampu bertahan pada keasaman tanah yang tinggi. ”Selain tahan kekeringan, juga tahan genangan,” kata Endes.

Menurut dia, pemerintah akan merealisasikan penanaman trembesi di sepanjang jalan Semarang-Kudus, Jawa Tengah. Sebanyak 2.767 pohon akan ditanam di sana hari Rabu besok.

Menurut Na’im, trembesi memiliki tajuk yang luas, sekaligus tebal. Kondisi ini membuat cahaya matahari sulit menembus. ”Tanaman di bawah naungan tajuknya tidak bisa tercukupi cahaya matahari sehingga tidak bisa tumbuh subur, bahkan mati. Jenis tanaman ini sebaiknya untuk perindang,” ujar Na’im.

Distribusi benih

Saat ini pemerintah telah mendistribusikan benih trembesi. Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta, Anik Indarwati, mengatakan, pihaknya sudah menerima 40 kg benih trembesi pada awal Februari 2010.

”Trembesi dikenal dengan nama munggur. Tanaman ini tidak diarahkan untuk perkebunan rakyat karena khawatir membunuh tanaman lain,” kata Anik.

Trembesi dikenalkan pemerintah kolonial Belanda. Biasa ditanam sebagai perindang, termasuk perindang pada penampungan kayu kehutanan.

Trembesi cepat tumbuh, dalam lima tahun diameter batang bisa mencapai 25 sentimeter-30 sentimeter. Tetapi, keunggulan yang sama juga dimiliki berbagai pohon spesies asli Indonesia, di antaranya keluarga meranti, jabon, ketapang, atau pulai.

Menurut peneliti senior Biotrop Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Supriyanto, jenis trembesi saat ini juga belum diteliti apakah termasuk jenis yang invasif atau bukan. Jenis invasif itu mampu mendesak atau mematikan jenis tanaman lain di sekitarnya.

Hal ini seperti terjadi pada jenis tanaman akasia yang ditanam di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur. Tanaman ini mengakibatkan rumput sebagai sumber pakan kerbau liar tidak tumbuh. (IRE/GSA/NAW)

Selasa, 23 Februari 2010 | 03:42 WIB

jakarta, Kompas - http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/23/03423295/trembesi.masih.pro.dan.kontra

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...