Manajemen Surabaya Plaza Hotel terus mengembangkan konsep "Green Hotel" sebagai wujud kepedulian mendukung gerakan pelestarian dan perbaikan lingkungan yang saat ini kondisinya semakin menurun. Ket.Foto:Surabaya Plaza Hotel mengembangkan konsep green hotel untuk mendukung gerakan pelestarian lingkungan
General Manager Surabaya Plaza Hotel (SPH) Yusak Anshori kepada wartawan di Surabaya, Jumat, mengatakan konsep berwawasan lingkungan yang akan dijalankan itu, meliputi penghematan air, energi listrik dan pengelolaan sampah atau limbah.
"Arah dari kebijakan ini adalah perbaikan lingkungan dan kami menjadi satu-satunya hotel di Surabaya serta Jawa Timur yang mengembangkan konsep berwawasan lingkungan," katanya di sela-sela ulang tahun ke-17 SPH.
Untuk mendukung kebijakan tersebut, lanjut Yusak, pihaknya meminta bantuan konsultan dari Australia untuk pembenahan manajemen pengelolaan sampah atau limbah.
Ia mengatakan penerapan konsep "Green Hotel" akan berdampak positif terhadap penghematan biaya, tanpa mengurangi pelayanan kepada pelanggan.
"Dari program dan konsep ini, kami juga ingin memberikan edukasi kepada para tamu hotel untuk ikut peduli terhadap masalah lingkungan. Beberapa hotel di Indonesia juga sudah mulai menerapkan konsep serupa," tambah Yusak.
Sebelumnya pada awal Agustus 2010, SPH telah meraih penghargaan nasional "Best Indonesia Green Hotel 2010" atas kebijakan hijau berwawasan lingkungan sehat, yakni bebas asap rokok di hotel atau yang dikenal 100 persen bebas rokok sejak 2009.
Selain SPH, penghargaan dari Majalah Bisnis & CSR dengan dukungan DPD RI dan "The La Tofi School of Corporate Social Responsibility" tersebut, juga diberikan kepada 54 entitas lain di seluruh Indonesia.
"Penghargaan itu membuat motivasi kami untuk mengembangkan hotel berwawasan lingkungan makin tinggi. Kami juga berharap bisa mendapatkan sertifikat ramah lingkungan dari konsep yang baru nanti," ujar Yusak Anshori.
15 Okt 2010
Source:http://properti.kompas.com/read/2010/10/15/18101095/Surabaya.Plaza.Hotel.Kembangkan.Konsep.Green.Hotel
Membantu Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank Dalam Penerapan Sustainable Finance (Keuangan Berkelanjutan) - Environmental & Social Risk Analysis (ESRA) for Loan/Investment Approval - Training for Sustainability Reporting (SR) Based on OJK/GRI - Penguatan Manajemen Desa dan UMKM - Membantu Membuat Program dan Strategi CSR untuk Perusahaan. Hubungi Sdr. Leonard Tiopan Panjaitan, S.sos, MT, CSRA di: leonardpanjaitan@gmail.com atau Hp: 081286791540 (WA Only)
Tuesday, November 16, 2010
Sari Pan Pacific Raih 'ASEAN Green Hotel Award'
Penghargaan bertaraf internasional ini tak hanya sekedar memberikan gengsi, tetapi juga bukti keikutsertaan industri perhotelan dalam menyelamatkan lingkungan. Sebagai salah satu peraih 'ASEAN Green Hotel Award' apa saja yang telah dilakukan Sari Pan Pacific?
Ket.foto:
Tepatnya Rabu, 10 Februari 2010, Sari Pan Pacific Jakarta menerima sebuah penghargaan bergengsi bertaraf Internasional. Penghargaan 'ASEAN Green Hotel Award' tersebut berhasil diraih oleh salah satu hotel berbintang yang berlokasi di pusat kota Jakarta tersebut sebagai bukti peran sertanya dalam upaya menyelamatkan lingkungan.
Sebenarnya apakah yang dimaksud dengan 'ASEAN Green Hotel Award'? 'Asian Green Hotel' merupakan penghargaan yang diberikan kepada hotel-hotel yang ramah lingkungan dan melakukan penghematan energi dengan 11 kriteria utama. Diantaranya adalah efisiensi energi dan air, kebijakan lingkungan, tindakan dan operasi hotel, penggunaan produk ramah lingkungan, kerjasama dengan masyarakat dan organisasi lokal dan praktik eco-tourism yang berkelanjutan menjadi bahan pertimbangan para juri.
Penghargaan yang diraih oleh Sari Pan Pacific ini diberikan saat 'Tourism Forum 2010' yang berlangsung di Brunei, 25 Januari 2010 dengan diwakili Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Sedangkan yang dimaksud 'Tourism Forum 2010' merupakan ajang pameran dagang yang berputar setiap tahun di antara negara-negara anggota ASEAN. Termasuk acara pertemuan kelompok kerja pariwisata dengan para pakar dan pejabat senior badan-badan pariwisata negara-negara ASEAN.
Hal ini menunjukkan perhatian ASEAN terhadap masalah lingkungan termasuk dengan meningkatkan standar industri hotel melalui ASEAN Green Hotel Awards. Penghargaan diberikan setiap tahun kepada para pemilik hotel dan industri oleh Menteri Pariwisata masing-masing negara ASEAN, dalam hubungannya dengan ASEAN Tourism Forum dan berlaku selama dua tahun.
Lalu pada tanggal 10 Febaruari 2010 lalu, penghargaan tersebut diberikan secara langsung oleh Menbudpar, Ir.Jero Wacik, SE kepada Luc Bollen selaku General Manager Sari Pan Pacific. Sari Pan Pacific Jakarta dinilai telah berhasil mengambil bagian dalam upaya menyelamatkan lingkungan dan telah lulus dalam seleksi dengan kriteria standar yang tinggi.
Seperti dikutip oleh "Green" Hotel Association, The Green Hotel Standar ini tidak hanya bermanfaat secara ekonomis tetapi juga menguntungkan bagi para pelakunya. Selamat untuk Sari Pan Pacific Jakarta semoga keberhasilan ini dipertahankan dan bahkan ditiru oleh para pelaku industri hotel lainnya di Indonesia!
( dev / Odi )
15 Feb 2010
Source:http://www.detikfood.com/read/2010/02/15/151757/1299878/294/sari-pan-pacific-raih-asean-green-hotel-award
Ket.foto:
Tepatnya Rabu, 10 Februari 2010, Sari Pan Pacific Jakarta menerima sebuah penghargaan bergengsi bertaraf Internasional. Penghargaan 'ASEAN Green Hotel Award' tersebut berhasil diraih oleh salah satu hotel berbintang yang berlokasi di pusat kota Jakarta tersebut sebagai bukti peran sertanya dalam upaya menyelamatkan lingkungan.
Sebenarnya apakah yang dimaksud dengan 'ASEAN Green Hotel Award'? 'Asian Green Hotel' merupakan penghargaan yang diberikan kepada hotel-hotel yang ramah lingkungan dan melakukan penghematan energi dengan 11 kriteria utama. Diantaranya adalah efisiensi energi dan air, kebijakan lingkungan, tindakan dan operasi hotel, penggunaan produk ramah lingkungan, kerjasama dengan masyarakat dan organisasi lokal dan praktik eco-tourism yang berkelanjutan menjadi bahan pertimbangan para juri.
Penghargaan yang diraih oleh Sari Pan Pacific ini diberikan saat 'Tourism Forum 2010' yang berlangsung di Brunei, 25 Januari 2010 dengan diwakili Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Sedangkan yang dimaksud 'Tourism Forum 2010' merupakan ajang pameran dagang yang berputar setiap tahun di antara negara-negara anggota ASEAN. Termasuk acara pertemuan kelompok kerja pariwisata dengan para pakar dan pejabat senior badan-badan pariwisata negara-negara ASEAN.
Hal ini menunjukkan perhatian ASEAN terhadap masalah lingkungan termasuk dengan meningkatkan standar industri hotel melalui ASEAN Green Hotel Awards. Penghargaan diberikan setiap tahun kepada para pemilik hotel dan industri oleh Menteri Pariwisata masing-masing negara ASEAN, dalam hubungannya dengan ASEAN Tourism Forum dan berlaku selama dua tahun.
Lalu pada tanggal 10 Febaruari 2010 lalu, penghargaan tersebut diberikan secara langsung oleh Menbudpar, Ir.Jero Wacik, SE kepada Luc Bollen selaku General Manager Sari Pan Pacific. Sari Pan Pacific Jakarta dinilai telah berhasil mengambil bagian dalam upaya menyelamatkan lingkungan dan telah lulus dalam seleksi dengan kriteria standar yang tinggi.
Seperti dikutip oleh "Green" Hotel Association, The Green Hotel Standar ini tidak hanya bermanfaat secara ekonomis tetapi juga menguntungkan bagi para pelakunya. Selamat untuk Sari Pan Pacific Jakarta semoga keberhasilan ini dipertahankan dan bahkan ditiru oleh para pelaku industri hotel lainnya di Indonesia!
( dev / Odi )
15 Feb 2010
Source:http://www.detikfood.com/read/2010/02/15/151757/1299878/294/sari-pan-pacific-raih-asean-green-hotel-award
Monday, November 15, 2010
Google: Alamat Internet di Inggris Habis 2012
Vint Cerf, Vice President Google, menyebutkan bahwa Inggris akan kehabisan alamat internet di tahun 2012 mendatang.
Cerf, yang membantu mendesain internet seperti yang kita kenal saat ini ketika menjadi peneliti di Stanford University, AS, menyatakan, sebagian alamat IP (internet protocol) yang tersisa akan dialokasikan dalam waktu dekat. Artinya, alamat-alamat tersebut akan habis digunakan di sekitar tahun 2012.
Prediksi akan habisnya alamat IPv4 yang saat ini masih digunakan diutarakan Cerf saat ia menjadi pembicara di peluncuran 6UK di Inggris. Sebagai informasi, 6UK merupakan kelompok yang mempromosikan penggunaan sistem pengalamatan internet baru yang dikenal dengan IPv6.
Menurut Cerf, IPv6 mampu menampung 340 triliun triliun triliun alamat internet dibandingkan dengan maksimal 4,3 miliar alamat internet yang dimungkinkan saat menggunakan teknologi IPv4.
“Secara teori, menggunakan IPv6, kita tidak akan kehabisan alamat internet,” kata Cerf, seperti dikutip dari Guardian, 15 November 2010.
Cerf menyebutkan, hal tersebut perlu dibicarakan dengan pengguna internet di seluruh dunia. “Jika Inggris tidak mengimplementasikan IPv6, maka kita tidak bisa berhubungan dengan kawasan dunia lain yang menggunakan IPv6,” ucapnya.
Bila itu terjadi, kata Cerf, ini merupakan hal yang sangat memalukan karena Inggris memegang peranan penting dalam perkembangan internet.
Ironisnya, menurut Nigel Titley, Ketua organisasi 6UK, saat ini belum satupun situs pemerintahan di Inggris mendukung teknologi IPv6.
Di saat yang sama, pemerintah negara-negara lain seperti Australia, Kanada, China, Jerman, Finlandia, Perancis, India, Jepang, Belanda, Luxemburg, Polandia, Swedia, dan Amerika Serikat sudah bergerak lebih cepat dalam mengimplementasikan IPv6.
15 Nov 2010
Source:http://teknologi.vivanews.com/news/read/188720-2012--alamat-internet-habis
Cerf, yang membantu mendesain internet seperti yang kita kenal saat ini ketika menjadi peneliti di Stanford University, AS, menyatakan, sebagian alamat IP (internet protocol) yang tersisa akan dialokasikan dalam waktu dekat. Artinya, alamat-alamat tersebut akan habis digunakan di sekitar tahun 2012.
Prediksi akan habisnya alamat IPv4 yang saat ini masih digunakan diutarakan Cerf saat ia menjadi pembicara di peluncuran 6UK di Inggris. Sebagai informasi, 6UK merupakan kelompok yang mempromosikan penggunaan sistem pengalamatan internet baru yang dikenal dengan IPv6.
Menurut Cerf, IPv6 mampu menampung 340 triliun triliun triliun alamat internet dibandingkan dengan maksimal 4,3 miliar alamat internet yang dimungkinkan saat menggunakan teknologi IPv4.
“Secara teori, menggunakan IPv6, kita tidak akan kehabisan alamat internet,” kata Cerf, seperti dikutip dari Guardian, 15 November 2010.
Cerf menyebutkan, hal tersebut perlu dibicarakan dengan pengguna internet di seluruh dunia. “Jika Inggris tidak mengimplementasikan IPv6, maka kita tidak bisa berhubungan dengan kawasan dunia lain yang menggunakan IPv6,” ucapnya.
Bila itu terjadi, kata Cerf, ini merupakan hal yang sangat memalukan karena Inggris memegang peranan penting dalam perkembangan internet.
Ironisnya, menurut Nigel Titley, Ketua organisasi 6UK, saat ini belum satupun situs pemerintahan di Inggris mendukung teknologi IPv6.
Di saat yang sama, pemerintah negara-negara lain seperti Australia, Kanada, China, Jerman, Finlandia, Perancis, India, Jepang, Belanda, Luxemburg, Polandia, Swedia, dan Amerika Serikat sudah bergerak lebih cepat dalam mengimplementasikan IPv6.
15 Nov 2010
Source:http://teknologi.vivanews.com/news/read/188720-2012--alamat-internet-habis
Tarif Interkoneksi Didesak Turun
Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia didesak menurunkan tarif interkoneksi serendah-rendahnya sehingga tarif komunikasi makin murah.
Bila regulator ingin mendorong meluasnya kesempatan berkomunikasi bagi rakyat, diturunkannya tarif interkoneksi dengan persentase signifikan merupakan kebijakan pertama yang harus ditempuh.
”Penurunan tarif interkoneksi juga tentu akan menurunkan tarif komunikasi. Ini positif sekali. Industri juga terpaksa berkompetisi sehingga meningkatkan pelayanan kepada pelanggan,” kata pengamat telekomunikasi Moch Hendrowijono, Kamis (11/11), saat dihubungi di Mekkah.
Tarif interkoneksi adalah biaya yang disetorkan satu operator ke operator lain ketika pelanggan dari suatu operator memanggil nomor dari operator lain. Persoalannya, biaya itu dibebankan kepada pelanggan.
”Ketika tarif interkoneksi tidak turun, tidak terjadi efisiensi nasional dalam bidang telekomunikasi. Bagaimana dapat efisien bila tarif interkoneksi sekitar Rp 200 per menit, sedangkan tarif percakapan dalam operator dapat kurang dari Rp 50 per menit,” kata Head of Legal and Regulatory PT XL Axiata Tbk Sutrisman.
Ia mengatakan, tarif interkoneksi juga merangsang konsumen membeli lebih banyak telepon seluler dengan nomor dari beberapa operator.
Terkait kekhawatiran beberapa pihak tentang ancaman penurunan kualitas layanan, Sutrisman menegaskan, hal itu tak beralasan. (RYO)
12 Nov 2010
Source:http://koran.kompas.com/read/2010/11/12/03403535/tarif.interkoneksi.didesak.turun
Bila regulator ingin mendorong meluasnya kesempatan berkomunikasi bagi rakyat, diturunkannya tarif interkoneksi dengan persentase signifikan merupakan kebijakan pertama yang harus ditempuh.
”Penurunan tarif interkoneksi juga tentu akan menurunkan tarif komunikasi. Ini positif sekali. Industri juga terpaksa berkompetisi sehingga meningkatkan pelayanan kepada pelanggan,” kata pengamat telekomunikasi Moch Hendrowijono, Kamis (11/11), saat dihubungi di Mekkah.
Tarif interkoneksi adalah biaya yang disetorkan satu operator ke operator lain ketika pelanggan dari suatu operator memanggil nomor dari operator lain. Persoalannya, biaya itu dibebankan kepada pelanggan.
”Ketika tarif interkoneksi tidak turun, tidak terjadi efisiensi nasional dalam bidang telekomunikasi. Bagaimana dapat efisien bila tarif interkoneksi sekitar Rp 200 per menit, sedangkan tarif percakapan dalam operator dapat kurang dari Rp 50 per menit,” kata Head of Legal and Regulatory PT XL Axiata Tbk Sutrisman.
Ia mengatakan, tarif interkoneksi juga merangsang konsumen membeli lebih banyak telepon seluler dengan nomor dari beberapa operator.
Terkait kekhawatiran beberapa pihak tentang ancaman penurunan kualitas layanan, Sutrisman menegaskan, hal itu tak beralasan. (RYO)
12 Nov 2010
Source:http://koran.kompas.com/read/2010/11/12/03403535/tarif.interkoneksi.didesak.turun
Saturday, November 13, 2010
Turunkan Tarif Interkoneksi Demi Konsumen
Telekomunikasi saat ini sudah bukan lagi barang mewah bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Dengan harga sekitar Rp 200 ribu, Burhan di Kecamatan Beringin, Deli Serdang sudah bisa memperoleh telepon genggam baru yang dijual jadi satu dengan nomor telepon (bundling) dan siap pakai. Belum lagi di kalangan masyarakat kelas menengah atas, kebutuhan komunikasinya tidak saja hanya berupa voice tetapi sudah merambah pada kebutuhan komunikasi data dan video.
Sebenarnya pertumbuhan industri seluler di Indonesia sudah mulai melambat dari sekitar 40% pada tahun 2005-2009 menjadi hanya sekitar 9% pada tahun 2010-2014. Dengan jumlah pemegang nomor atau pemilik telepon seluler (baik aktif maupun tidak) saat sebesar lebih dari 210 juta (baik paska atau pra bayar dan aktif atau tidak), ternyata masih menguntungkan bagi penyelenggara jasa telepon seluler. Buktinya iklan pulsa murah dari 11 operator yang ada, masih terus menghiasi berbagai media di Indonesia.
Dari 11 operator seluler yang ada, pasar GSM mayoritas dikuasai oleh 3 operator besar yaitu Telkomsel, Indosat dan XL. Sedangkan pasar CDMA dikuasai oleh 2 operator yaitu Bakrie Telecom (BTel/Esia) dan Telkom Indonesia (Flexi). Dengan menguasai lebih dari 90 juta pelanggan pada tahun 2010 ini, Telkomsel menjadi operator dominan di bisnis seluler yang diikuti oleh Indosat (40 juta pelanggan) dan XL (36 juta pelanggan). Sisanya diperebutkan oleh Flexi (16 juta pelanggan), Esia (11,5 juta pelanggan) serta sisa 6 operator lainnya.
Bagi operator bisnis seluler masih menguntungkan. Lalu bagaimana dengan konsumen? Berbagai upaya tengah dilakukan oleh operator dan regulator, termasuk merevisi biaya
interkoneksi agar biaya berkomunikasi lebih murah. Apakah pengaturan biaya interkoneksi juga akan menguntungkan konsumen dan operator dalam berkompetisi? Intinya tarif atau biaya interkoneksi harus diatur agar industri sehat dan konsumen tidak minggat.
Kompetisi Di Industri Seluler
Paska berlakunya Peraturan Menteri (Permen) Komunikasi dan Informatika No. 08/Per/M.KOMINF/02/2006 tentang Interkoneksi dan hilangnya biaya roaming membuat tarif telekomunikasi memang terjun bebas mendekati 30% - 40%. Tentunya ini menguntungkan konsumen. Biaya interkoneksi merupakan biaya yang dibebankan akibat adanya saling keterhubungan antar jaringan telekomunikasi yang berbeda. Siapa yang membayar? Tentu konsumen.
Untuk itu harus dihindari operator dominan menjadi penghambat kompetisi dengan
mendorong Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), sebagai regulator bersama
Kementerian Negara Kominfo, menetapkan biaya interkoneksi setinggi mungkin. Alasan lain yang dipakai operator dominan biasanya karena mereka sudah malakukan investasi jaringan yang mahal, maka biaya investasi tersebut harus diperhitungkan dalam penentuan tarif interkoneksi.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa interkoneksi antar penyelenggara jaringan merupakan salah satu syarat terjadinya end to end connectivity seperti yang tertuang
dalam WTO Refference Paper. Untuk itu seharusnya interkoneksi merupakan hak dan kewajiban penyelenggara jaringan, bukan merupakan salah satu cara untuk memperoleh pendapatan maupun untuk melakukan kompetisi. Biaya interkoneksi merupakan patokan tarif yang digunakan supaya kompetisi sesama operator sehat, mengingat tarif interkoneksi merupakan unsur penting pembentukan harga tarif off net.
Semakin rendah biaya interkoneksi, maka operator telekomunikasi non dominan akan semakin mudah berkompetisi dengan operator dominan dengan cara memainkan tarif on net nya (sesama pelanggan di 1 operator). Sulit bagi operator non dominan untuk bersaing dengan operator dominan, jika biaya interkoneksinya masih tetap tinggi. Tarif interkoneksi merupakan salah satu unsur terpenting dalam penetapan tarif retail dan sama sekali di luar kontrol operator. Apapun usaha operator untuk melakukan efisiensi operasinya, tidak akan dapat mempengaruhi tarif interkoneksi yang harus dibayarkan operator tersebut kepada operator lainnya. Dengan kata lain operator tujuan panggilan memegang monopoli atas akses dan harga interkoneksinya. Semakin dia dominan maka akan semakin banyak pelanggan operator non dominan yang menelpon ke pelanggan dominan. Sehingga penerimaan biaya interkoneksi operator dominan akan semakin besar dan operator dominan bisa menjual pulsa lebih murah secara on net pada pelanggannya karena ada kompensasi pendapatan dari biaya interkoneksi (off net) yang lebih besar dari yang diterima oleh operator non dominan.
Sebaliknya karena jumlah pelanggannya lebih kecil, maka operator non dominan akan menerima lebih sedikit pendapatan dari interkoneksi. Akibatnya biaya on net operator
non dominan harus diatas harga on net operator dominan agar tetap untung. Sebagai dampak murahnya tarif on net operator dominan, maka pelanggan dari operator non dominan pasti akan pindah ke operator dominan yang menawarkan tarif on net lebih murah. Jadi yang menjadi alat kompetisi di industri telekomunikasi sebenarnya adalah tarif on net bukan off net atau tarif interkoneksi.
Dengan kondisi industri telekomunikasi seperti di atas, maka operator dominan akan memegang kendali atau monopoli atas akses dan harga interkoneksinya. Kenyataan ini patut diduga menyebabkan operator dominan akan mempertahankan tarif interkoneksi setinggi mungkin agar non dominan mati pelan-pelan. Meskipun saat ini BRTI sedang menggodok perubahan biaya interkoneksi, namun penurunan yang direncanakan hanya sekitar 4% - 6% belum dapat membuat konsumen lebih tersenyum dan kompetisi di industri telekomunikasi adil.
Apa yang Harus Dilakukan Regulator?
Dalam menetapkan tarif interkoneksi, BRTI seharusnya menggunakan azas bahwa interkoneksi merupakan syarat terjadinya end to end connectivity, bukan sarana untuk melakukan kompetisi. Jadi BRTI harus memastikan bahwa penurunan tarif interkoneksi, yang saat ini sedang dibahas, harus seefisien mungkin. Jangan hanya turun 4% - 6%. Minimal harus turun sebesar 10% agar konsumen diuntungkan dan muncul persaingan yang sehat antar operator. Secara global memang telah terjadi trend penurunan tarif interkoneksi.
Dalam menghitung tarif interkoneksi, patut diduga BRTI hanya menggunakan data dari operator dominan. Seharusnya BRTI juga menggunakan data dari beberapa operator non dominan yang ada supaya adil. Sehingga nantinya kebijakan yang dikeluarkan oleh BRTI berguna buat semua operator dan konsumen.
Selain persoalan biaya interkoneksi, persaingan di industri telekomunikasi akan semakin sehat jika jumlah operator hanya sekitar 3-4 saja tidak 11 seperti saat ini. Konsumen juga berharap selain ada penurunan biaya interkoneksi, kualitas sambungan juga harus meningkat. Salam.
*) Agus Pambagio adalah Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen. (vit/vit)
18 Okt 2010
Source:http://www.detiknews.com/read/2010/10/18/084700/1467432/103/turunkan-tarif-interkoneksi-demi-konsumen?991102605
Sebenarnya pertumbuhan industri seluler di Indonesia sudah mulai melambat dari sekitar 40% pada tahun 2005-2009 menjadi hanya sekitar 9% pada tahun 2010-2014. Dengan jumlah pemegang nomor atau pemilik telepon seluler (baik aktif maupun tidak) saat sebesar lebih dari 210 juta (baik paska atau pra bayar dan aktif atau tidak), ternyata masih menguntungkan bagi penyelenggara jasa telepon seluler. Buktinya iklan pulsa murah dari 11 operator yang ada, masih terus menghiasi berbagai media di Indonesia.
Dari 11 operator seluler yang ada, pasar GSM mayoritas dikuasai oleh 3 operator besar yaitu Telkomsel, Indosat dan XL. Sedangkan pasar CDMA dikuasai oleh 2 operator yaitu Bakrie Telecom (BTel/Esia) dan Telkom Indonesia (Flexi). Dengan menguasai lebih dari 90 juta pelanggan pada tahun 2010 ini, Telkomsel menjadi operator dominan di bisnis seluler yang diikuti oleh Indosat (40 juta pelanggan) dan XL (36 juta pelanggan). Sisanya diperebutkan oleh Flexi (16 juta pelanggan), Esia (11,5 juta pelanggan) serta sisa 6 operator lainnya.
Bagi operator bisnis seluler masih menguntungkan. Lalu bagaimana dengan konsumen? Berbagai upaya tengah dilakukan oleh operator dan regulator, termasuk merevisi biaya
interkoneksi agar biaya berkomunikasi lebih murah. Apakah pengaturan biaya interkoneksi juga akan menguntungkan konsumen dan operator dalam berkompetisi? Intinya tarif atau biaya interkoneksi harus diatur agar industri sehat dan konsumen tidak minggat.
Kompetisi Di Industri Seluler
Paska berlakunya Peraturan Menteri (Permen) Komunikasi dan Informatika No. 08/Per/M.KOMINF/02/2006 tentang Interkoneksi dan hilangnya biaya roaming membuat tarif telekomunikasi memang terjun bebas mendekati 30% - 40%. Tentunya ini menguntungkan konsumen. Biaya interkoneksi merupakan biaya yang dibebankan akibat adanya saling keterhubungan antar jaringan telekomunikasi yang berbeda. Siapa yang membayar? Tentu konsumen.
Untuk itu harus dihindari operator dominan menjadi penghambat kompetisi dengan
mendorong Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), sebagai regulator bersama
Kementerian Negara Kominfo, menetapkan biaya interkoneksi setinggi mungkin. Alasan lain yang dipakai operator dominan biasanya karena mereka sudah malakukan investasi jaringan yang mahal, maka biaya investasi tersebut harus diperhitungkan dalam penentuan tarif interkoneksi.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa interkoneksi antar penyelenggara jaringan merupakan salah satu syarat terjadinya end to end connectivity seperti yang tertuang
dalam WTO Refference Paper. Untuk itu seharusnya interkoneksi merupakan hak dan kewajiban penyelenggara jaringan, bukan merupakan salah satu cara untuk memperoleh pendapatan maupun untuk melakukan kompetisi. Biaya interkoneksi merupakan patokan tarif yang digunakan supaya kompetisi sesama operator sehat, mengingat tarif interkoneksi merupakan unsur penting pembentukan harga tarif off net.
Semakin rendah biaya interkoneksi, maka operator telekomunikasi non dominan akan semakin mudah berkompetisi dengan operator dominan dengan cara memainkan tarif on net nya (sesama pelanggan di 1 operator). Sulit bagi operator non dominan untuk bersaing dengan operator dominan, jika biaya interkoneksinya masih tetap tinggi. Tarif interkoneksi merupakan salah satu unsur terpenting dalam penetapan tarif retail dan sama sekali di luar kontrol operator. Apapun usaha operator untuk melakukan efisiensi operasinya, tidak akan dapat mempengaruhi tarif interkoneksi yang harus dibayarkan operator tersebut kepada operator lainnya. Dengan kata lain operator tujuan panggilan memegang monopoli atas akses dan harga interkoneksinya. Semakin dia dominan maka akan semakin banyak pelanggan operator non dominan yang menelpon ke pelanggan dominan. Sehingga penerimaan biaya interkoneksi operator dominan akan semakin besar dan operator dominan bisa menjual pulsa lebih murah secara on net pada pelanggannya karena ada kompensasi pendapatan dari biaya interkoneksi (off net) yang lebih besar dari yang diterima oleh operator non dominan.
Sebaliknya karena jumlah pelanggannya lebih kecil, maka operator non dominan akan menerima lebih sedikit pendapatan dari interkoneksi. Akibatnya biaya on net operator
non dominan harus diatas harga on net operator dominan agar tetap untung. Sebagai dampak murahnya tarif on net operator dominan, maka pelanggan dari operator non dominan pasti akan pindah ke operator dominan yang menawarkan tarif on net lebih murah. Jadi yang menjadi alat kompetisi di industri telekomunikasi sebenarnya adalah tarif on net bukan off net atau tarif interkoneksi.
Dengan kondisi industri telekomunikasi seperti di atas, maka operator dominan akan memegang kendali atau monopoli atas akses dan harga interkoneksinya. Kenyataan ini patut diduga menyebabkan operator dominan akan mempertahankan tarif interkoneksi setinggi mungkin agar non dominan mati pelan-pelan. Meskipun saat ini BRTI sedang menggodok perubahan biaya interkoneksi, namun penurunan yang direncanakan hanya sekitar 4% - 6% belum dapat membuat konsumen lebih tersenyum dan kompetisi di industri telekomunikasi adil.
Apa yang Harus Dilakukan Regulator?
Dalam menetapkan tarif interkoneksi, BRTI seharusnya menggunakan azas bahwa interkoneksi merupakan syarat terjadinya end to end connectivity, bukan sarana untuk melakukan kompetisi. Jadi BRTI harus memastikan bahwa penurunan tarif interkoneksi, yang saat ini sedang dibahas, harus seefisien mungkin. Jangan hanya turun 4% - 6%. Minimal harus turun sebesar 10% agar konsumen diuntungkan dan muncul persaingan yang sehat antar operator. Secara global memang telah terjadi trend penurunan tarif interkoneksi.
Dalam menghitung tarif interkoneksi, patut diduga BRTI hanya menggunakan data dari operator dominan. Seharusnya BRTI juga menggunakan data dari beberapa operator non dominan yang ada supaya adil. Sehingga nantinya kebijakan yang dikeluarkan oleh BRTI berguna buat semua operator dan konsumen.
Selain persoalan biaya interkoneksi, persaingan di industri telekomunikasi akan semakin sehat jika jumlah operator hanya sekitar 3-4 saja tidak 11 seperti saat ini. Konsumen juga berharap selain ada penurunan biaya interkoneksi, kualitas sambungan juga harus meningkat. Salam.
*) Agus Pambagio adalah Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen. (vit/vit)
18 Okt 2010
Source:http://www.detiknews.com/read/2010/10/18/084700/1467432/103/turunkan-tarif-interkoneksi-demi-konsumen?991102605
Subscribe to:
Posts (Atom)
Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke
| Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...
-
PT Konsorsium Televisi Digital Indonesia (KTDI) menggelar uji coba siaran televisi digital di wilayah Jabotabek. Siaran uji coba itu merupak...
-
JAKARTA - PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) sangat sepakat mengenai ketentuan Bank Indonesia (BI) untuk membuat standarisasi sistem pembayaran pada...