Bank Indonesia (BI) mengklaim bahwa margin perbankan Indonesia adalah yang paling tinggi di dunia. Hal ini disebabkan tidak adanya aturan yang secara jelas mengatur margin wajar perbankan.
"Margin perbankan kita paling tinggi di dunia," ujar Peneliti Utama Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan Bank Indonesia Suhaedi dalam acara workshop Wartawan Ekonomi di Hotel Mansion Pine di Padalarang, Bandung, Sabtu (19/2/2011).
Lebih lanjut dia menjelaskan kalau perolehan laba yang diperoleh secara wajar atau berlebihan itu memang tidak ada aturan nya di Bank Indonesia. Hal itu menyebabkan perbankan dapat dengan bebas menentukan besaran margin yang diinginkan.
"Laba yang diperoleh wajar atau berlebihan, maksimalnya seperti apa itu tidak atur" tambahnya.
Lebih lanjut dia menambahkan bahwa nanti BI akan meluncurkan prime landing rate atau suku bunga dasar yang akan memberikan sosial responsibility (tanggung jawab sosial) serta menuntut transparansi perbankan. "Prime landing rate nanti akan akan memunculkan transparansi dan juga akan menimbulkan sosial responsibility (perbankan)," tandasnya.
Sekedar informasi, Bank Indonesia (BI) menyatakan kesiapan penuh untuk menerapkan peraturan base landing rate atau tingkat suku bunga dasar. Adapun peraturan base landing rate akan diterapkan hanya pada tingkat suku bunga dasar perbankan dan bukan pada tingkat suku bunga kredit.
"Saya menegaskan base landing rate itu bukan tingkat suku bunga kredit, tapi tingkat suku bunga dasar," ungkap Deputi Bank Indonesia Muliaman Hadad saat konferensi pers dengan wartawan di Gedung BI, Jakarta, Jumat (18/2/2010).
Lebih lanjut dia berharap semoga peraturan ini tidak menjadi momok yang menakutkan untuk perbankan tetapi memotivasi perbankan tersebut dan meningkatkan efisiensi perbankan
"Mudah-mudahan ini tidak menjadi suatu yang menakutkan, tapi menjadi motivasi buat bank-bank dan juga dengan maksud kebijakan ini mendorong efisiensi perbankan, dan sistem pengawasan oleh Bank Indonesia," tambahnya.(adn)(rhs)
19 Feb 2011
Source:http://economy.okezone.com/index.php/ReadStory/2011/02/19/20/426517/margin-perbankan-ri-nomor-1-di-dunia
Membantu Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank Dalam Penerapan Sustainable Finance (Keuangan Berkelanjutan) - Environmental & Social Risk Analysis (ESRA) for Loan/Investment Approval - Training for Sustainability Reporting (SR) Based on OJK/GRI - Penguatan Manajemen Desa dan UMKM - Membantu Membuat Program dan Strategi CSR untuk Perusahaan. Hubungi Sdr. Leonard Tiopan Panjaitan, S.sos, MT, CSRA di: leonardpanjaitan@gmail.com atau Hp: 081286791540 (WA Only)
Monday, February 28, 2011
"Bunuh Diri" dengan Moratorium Hutan
Terbitnya Letter of Intent RI-Norwegia yang menjanjikan dana hibah 1 miliar dollar AS tahun 2010 membuat masalah moratorium hutan (dan gambut) menjadi topik perdebatan berkepanjangan.
Bukan karena obyek moratorium yang hanya hutan alam primer, atau lahan gambut yang akan ditutup total tanpa pertimbangan teknologi sekalipun, perdebatan kini juga menyangkut efektif tidaknya moratorium. Pengusul moratorium seakan ditempatkan sebagai pihak konservasif, yang jadi pahlawan lingkungan. Pihak lainnya dianggap anti-kelestarian lingkungan kalau ngotot memanfaatkan lahan hutan alam rusak sekalipun.
Moratorium pun diyakini sebagai obat mujarab menjaga hutan dan kelestarian ekosistem. Pemahaman yang tak sepenuhnya benar, bahkan dalam kondisi sosial-ekonomi saat ini bisa jadi sangat keliru dan akan merusak hutan dan ekosistem. Sebuah kontroversi kebijakan yang harus ditetapkan sangat hati-hati.
Moratorium secara permanen, aman gangguan, dan jangka lama memberikan kesempatan kepada hutan bernapas. Plasma nutfah terjaga. Kehidupan satwa dan tumbuhan langka terjamin pengembangannya. Namun, langkah moratorium tak boleh latah. Lapar lahan di lapangan, kebutuhan bahan baku industri perkayuan yang kelebihan kapasitas, lemahnya penegakan hukum, dan anarkisme sosial cenderung berakibat fatal bagi hutan dan keselamatan lingkungan justru jika moratorium diberlakukan.
Wacana moratorium seluruh hutan Jawa yang disuarakan Menneg LH tahun 2004 jelas dianggap mengada-ada tanpa solusi terhadap kemungkinan munculnya problematik yang berat. Apalagi penyebab bencana lingkungan Jawa 75 persen ada di lahan milik di luar kawasan hutan. Sebelumnya, Pemprov Jatim juga membuat rancangan perda moratorium hutan setelah terjadi banjir di Jombang, tetapi dicabut kembali (2003).
Megawati juga menjanjikan kebijakan moratorium jika terpilih saat mencalonkan diri jadi presiden dalam kampanye di Kalteng (Kompas, 16/6/2009). Usulan Walhi memberlakukan moratorium tebangan hutan setelah kecewa dengan terbitnya SP3 Kepolisian RI terhadap kasus pembalakan liar di Riau 2009 hanya dianggap usulan emosional yang tak dipenuhi pemerintah.
Pengalaman moratorium hutan yang telah dilakukan selama hampir tiga tahun terakhir di Provinsi NAD justru terbukti mengakibatkan hutan Aceh rusak berat akibat penebangan liar. Kayu ilegal mengalir ke wilayah Sumatera Utara. Konon, ratusan kilang kayu ilegal di daerah Pidie tetap beroperasi tanpa diusik aparat. Pengalaman moratorium hutan Jawa di awal abad ke-20 oleh pemerintah kolonial Belanda juga menuai keributan para perajin kayu yang tak memperoleh bahan baku, serta protes dari para bupati dan wedana. Hutan jati justru mengalami penjarahan berat, dan Belanda akhirnya mencabut kebijakan itu.
Adakah praktik moratorium hutan yang efektif menjaga kelestarian sumber daya hutan? Vietnam telah melakukan moratorium tebangan hutan alamnya 1997 dengan sukses. Namun, tentu dengan kondisi sosial dan kebutuhan kayu bulat yang sangat berbeda. Pasokan bahan baku kayu bulatnya dipenuhi dari Kamboja, Laos yang kayunya melimpah dan belum diatur dengan baik. Hutan Vietnam terbukti aman, tetapi dengan merusak hutan negara tetangganya itu.
Hutan punya aneka fungsi. Konteks silvikultur hutan menempatkan tebangan kayu sebagai rantai penting yang akan membuat hutan berfungsi maksimum. Tak terkecuali bagi hutan alam produksi. Struktur un-even forest harus diubah jadi even forest. Saat suksesi hutan mencapai klimaks, penyerapan karbon relatif terhenti. Peremajaan hutan jadi solusi agar hutan berperan kembali jadi absorber karbon lima kali lipat dari hutan alam dan efektif mengendalikan pemanasan global. Hutan alam sekunder yang telah rusak dan terbuka tentu tak haram diremajakan.
Moratorium tebangan hutan harus dilakukan secara hati-hati melalui kajian komprehensif yang faktual. Salah satu bahan pertimbangan paling penting adalah adanya peta lahan penyebab bencana (land position map/LPM). Kawasan hutan yang paling layak tak dijamah umumnya merupakan lahan penyebab bencana sesuai LPM wilayah terkait, bukan hutan produksi di dataran rendah. Di samping juga hutan lain untuk kepentingan tertentu, secara selektif.
Moratorium hutan yang tak tepat dan menjauhkannya dari sistem pengorganisasian pemangkuan hutan jelas tak menjamin pemulihan ekosistem dan menyelesaikan masalah lingkungan, bahkan lebih sering berpotensi membangkitkan masalah sosial dan ekonomi serius akibat kondisi hutan yang jadi ”tak bertuan”. Ini juga akan terjadi pada lahan gambut yang tak boleh disentuh di luar kawasan hutan, yang kian berpotensi menimbulkan perambahan hebat dan pembakaran lahan yang menghasilkan bahaya asap. Moratorium hutan dan lahan gambut berpotensi jadi kebijakan ”bunuh diri”.
Kebijakan moratorium hutan (dan lahan gambut) dapat dilakukan jika batasan sosial-ekonomi kebutuhan pengamanan ekosistem lingkungan dan syarat pengamanan hutan dipenuhi. Moratorium seharusnya bukan momok bagi industri pengusahaan kehutanan, tetapi juga bukan sesuatu yang secara latah harus dilakukan pemerintah tanpa kajian mendalam, apalagi hanya untuk jangka pendek yang tidak efektif seperti syarat LoI RI-Norwegia di atas. Moratorium hutan selektif paling mudah diterima semua pihak.
Internet Crime Trends 2011
Non-delivery of payment or merchandise. Scams impersonating the FBI. Identity theft.
These were the top three most common complaints made to the joint FBI/National White Collar Crime Center’s Internet Crime Complaint Center (IC3) last year, according to its just-released 2010 Internet Crime Report. The report also includes a state-by-state breakdown of complaints.
In May 2010, the IC3 marked its 10th anniversary, and by November, it had received its two millionth complaint since opening for business.
Last year, the IC3 received more than 300,000 complaints, averaging just over 25,000 a month. About 170,000 complaints that met specific investigative criteria—such as certain financial thresholds—were referred to the appropriate local, state, or federal law enforcement agencies. But even the complaints not referred to law enforcement, including those where no financial losses had occurred, were valuable pieces of information analyzed and used for intelligence reports and to help identify emerging fraud trends.
So even if you think an Internet scammer was targeting you and you didn’t fall for it, file a complaint with the IC3. Whether or not it’s referred to law enforcement, your information is vital in helping the IC3 paint a fuller picture of Internet crime.
Additional highlights from the report:
- Most victims filing complaints were from the U.S., male, between 40 and 59 years old, and residents of California, Florida, Texas, or New York. Most international complainants were from Canada, the United Kingdom, Australia, or India.
- In cases where perpetrator information was available, nearly 75 percent were men and more than half resided in California, Florida, New York, Texas, the District of Columbia, or Washington state. The highest numbers of perpetrators outside this country were from the United Kingdom, Nigeria, and Canada.
- After non-delivery of payment/merchandise, scams impersonating the FBI, and identity theft, rounding out the top 10 crime types were: computer crimes, miscellaneous fraud, advance fee fraud, spam, auction fraud, credit card fraud, and overpayment fraud.
The report also contained information on some of the alerts sent out by the IC3 during 2010 in response to new scams or to an increase in established scams, including those involving:
- Telephone calls claiming victims are delinquent on payday loans. More
- Online apartment and house rental and real estate scams used to swindle consumers out of thousands of dollars. More
- Denial-of-service attacks on cell phones and landlines used as a ruse to access victims’ bank accounts. More
- Fake e-mails seeking donations to disaster relief efforts after last year’s earthquake in Haiti. More
Over the past few years, the IC3 has enhanced the way it processes, analyzes, and refers victim complaints to law enforcement. Technology has automated the search process, so IC3 analysts as well as local, state, and federal analysts and investigators can look for similar complaints to build cases. Technology also allows law enforcement users who may be working on the same or similar cases to communicate and share information.
Because there are so many variations of Internet scams out there, we can’t possibly warn against every single one. But we do recommend this: practice good security—make sure your computer is outfitted with the latest security software, protect your personal identification information, and be highly suspicious if someone offers you an online deal that’s too good to be true.
Resources:
- IC3 website
- IC3 website
24 Februari 2011
Friday, February 25, 2011
Energi Panas Bumi Dilirik Jerman
Potensi panas bumi Indonesia yang mencapai 40 persen dari potensi panas bumi dunia dilirik investor Jerman. Selama ini, Indonesia belum maksimal menggunakan potensi energi panas bumi, yakni baru sekitar 1.189 megawatt atau 4,2 persen dari potensi yang ada.
Duta Besar Indonesia untuk Jerman Eddy Pratomo mengatakan, riset panas bumi atau geotermal Jerman sangat maju. Namun, negara tersebut terbatas potensinya. Oleh karena itu, berlimpahnya potensi panas bumi Indonesia mempunyai daya tarik tersendiri bagi Jerman.
”Sejak tahun 2010 sudah ada rencana-rencana untuk bekerja sama dan berinvestasi dalam bidang tersebut. Lokasi yang dilirik antara lain Papua dan Aceh,” kata Eddy seperti dilaporkan wartawan Kompas, Indira Permanasari, dari Berlin, Jerman, Sabtu (19/2).
Indonesia menargetkan pada tahun 2005 sekitar 5 persen dari total kebutuhan energi nasional akan dipenuhi dari energi panas bumi.
Saat ini Eslandia adalah negara percontohan pengembangan energi panas bumi di dunia. Pemanfaatan energi panas bumi Indonesia yang baru 1.189 MW menempatkan Indonesia di bawah Filipina (2.000 MW) dan Amerika Serikat (2.700 MW). Padahal, potensi panas bumi Indonesia mencapai sekitar 28.000 MW.
Makky Sandra Jaya, ilmuwan Indonesia yang bekerja sebagai Project Coordinator di International Center for Geothermal Research di GeoForschungs Zentrum (GFZ/German Research Center for Geoscience), mengatakan, panas bumi yang dimanfaatkan Indonesia sangat kecil jika dibandingkan dengan potensi yang ada karena beragam faktor. Salah satu faktornya adalah investasi di sektor panas bumi sangat besar.
Di sisi lain, Jerman sedang berusaha menukar sumber energi mereka ke arah energi yang terbarukan dan ramah lingkungan agar komposisinya lebih dari 30 persen dari total energi guna mengurangi emisi. Panas bumi yang ramah lingkungan menjadi salah satu perhatian.
Jerman aktif meneliti dan mengembangkan sumber panas bumi karena sumber energinya terbatas dan kondisinya lebih sulit dimanfaatkan, Jerman mengembangkan teknologi stimulasi panas bumi (enhanced geothermal). Teknologi itu membuat panas bumi dapat distimulasi sehingga jauh lebih besar hasilnya dan pemanfaatannya lebih efisien.
Kendala
Namun, menurut Eddy, masih terdapat keluhan untuk pemanfaatan panas bumi, antara lain iklim investasi, stabilitas ekonomi, dan politik. Selain itu juga penyelarasan pengembangan energi panas bumi dengan upaya konservasi hutan mengingat panas bumi sebagian besar kemungkinannya berada pada lokasi yang sama dengan hutan konservasi.
”Karena pertimbangan ini, Jerman menjadi sangat hati-hati,” kata Eddy.
Makky mengatakan, investasi energi panas bumi berteknologi tinggi tersebut sangat mahal sehingga mereka juga menginginkan adanya jaminan, seperti adanya harga tetap dan energi yang dihasilkan nantinya dibeli Pemerintah Indonesia. Selain itu, biaya eksplorasi ditanggung bersama.
”Di Jerman yang ingin menukar sumber energi mereka ke arah energi terbarukan dan ramah lihgkungan, pemerintah federal dan negara bagian ikut menanggung risiko investasi eksplorasi yang dilakukan sektor privat. Itu semacam insentif untuk mendorong pengembangan ke arah sumber energi ramah lingkungan,” ujarnya.
Secara umum, kerja sama Indonesia dan Jerman yang tahun depan memasuki tahun ke-60 memiliki tiga fokus kerja sama, yakni perubahan iklim, pengembangan sektor privat, dan pemerintahan yang baik.
Duta Besar Indonesia untuk Jerman Eddy Pratomo mengatakan, riset panas bumi atau geotermal Jerman sangat maju. Namun, negara tersebut terbatas potensinya. Oleh karena itu, berlimpahnya potensi panas bumi Indonesia mempunyai daya tarik tersendiri bagi Jerman.
”Sejak tahun 2010 sudah ada rencana-rencana untuk bekerja sama dan berinvestasi dalam bidang tersebut. Lokasi yang dilirik antara lain Papua dan Aceh,” kata Eddy seperti dilaporkan wartawan Kompas, Indira Permanasari, dari Berlin, Jerman, Sabtu (19/2).
Indonesia menargetkan pada tahun 2005 sekitar 5 persen dari total kebutuhan energi nasional akan dipenuhi dari energi panas bumi.
Saat ini Eslandia adalah negara percontohan pengembangan energi panas bumi di dunia. Pemanfaatan energi panas bumi Indonesia yang baru 1.189 MW menempatkan Indonesia di bawah Filipina (2.000 MW) dan Amerika Serikat (2.700 MW). Padahal, potensi panas bumi Indonesia mencapai sekitar 28.000 MW.
Makky Sandra Jaya, ilmuwan Indonesia yang bekerja sebagai Project Coordinator di International Center for Geothermal Research di GeoForschungs Zentrum (GFZ/German Research Center for Geoscience), mengatakan, panas bumi yang dimanfaatkan Indonesia sangat kecil jika dibandingkan dengan potensi yang ada karena beragam faktor. Salah satu faktornya adalah investasi di sektor panas bumi sangat besar.
Di sisi lain, Jerman sedang berusaha menukar sumber energi mereka ke arah energi yang terbarukan dan ramah lingkungan agar komposisinya lebih dari 30 persen dari total energi guna mengurangi emisi. Panas bumi yang ramah lingkungan menjadi salah satu perhatian.
Jerman aktif meneliti dan mengembangkan sumber panas bumi karena sumber energinya terbatas dan kondisinya lebih sulit dimanfaatkan, Jerman mengembangkan teknologi stimulasi panas bumi (enhanced geothermal). Teknologi itu membuat panas bumi dapat distimulasi sehingga jauh lebih besar hasilnya dan pemanfaatannya lebih efisien.
Kendala
Namun, menurut Eddy, masih terdapat keluhan untuk pemanfaatan panas bumi, antara lain iklim investasi, stabilitas ekonomi, dan politik. Selain itu juga penyelarasan pengembangan energi panas bumi dengan upaya konservasi hutan mengingat panas bumi sebagian besar kemungkinannya berada pada lokasi yang sama dengan hutan konservasi.
”Karena pertimbangan ini, Jerman menjadi sangat hati-hati,” kata Eddy.
Makky mengatakan, investasi energi panas bumi berteknologi tinggi tersebut sangat mahal sehingga mereka juga menginginkan adanya jaminan, seperti adanya harga tetap dan energi yang dihasilkan nantinya dibeli Pemerintah Indonesia. Selain itu, biaya eksplorasi ditanggung bersama.
”Di Jerman yang ingin menukar sumber energi mereka ke arah energi terbarukan dan ramah lihgkungan, pemerintah federal dan negara bagian ikut menanggung risiko investasi eksplorasi yang dilakukan sektor privat. Itu semacam insentif untuk mendorong pengembangan ke arah sumber energi ramah lingkungan,” ujarnya.
Secara umum, kerja sama Indonesia dan Jerman yang tahun depan memasuki tahun ke-60 memiliki tiga fokus kerja sama, yakni perubahan iklim, pengembangan sektor privat, dan pemerintahan yang baik.
21 Feb 2011
Tuesday, February 15, 2011
"Green Finance" Solusi Perubahan Iklim
Konsep green finance atau pengucuran modal dengan menggunakan prinsip ramah lingkungan bisa menjadi solusi dari sektor finansial untuk mengatasi dampak perubahan iklim global.
"Ada dua ancaman serius, yaitu masalah penggunaan energi dan lingkungan hidup yang bisa diatasi dengan green finance," kata Special Advisor Head Environment Finance Japan Bank for International Cooperation (JBIC) Takashi Hongo dalam diskusi yang digelar Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN) di Jakarta, Kamis (28/1/2011).
Namun, menurut Hongo, untuk menerapkan konsep green finance secara nyata dibutuhkan tekad dari badan finansial, baik swasta maupun pemerintah, untuk mengeluarkan investasi dalam jumlah yang besar. Selain itu, penerapan green finance membutuhkan kemajuan teknologi yang dapat mengurangi dampak perubahan iklim.
Ia mencontohkan, sejumlah nelayan di Jepang beberapa tahun lalu memutuskan untuk menggunakan teknologi LED (light emitting diode) akibat mahalnya harga bahan bakar yang biasa dipakai untuk melaut.
Hongo memaparkan, pada awalnya memang dibutuhkan biaya yang besar untuk membeli dan melengkapi kapal penangkap ikan dengan LED, tetapi setelah digunakan mereka dapat menghemat biaya operasional. "Mereka (para nelayan) meminjam uang dari bank," katanya.
Untuk itu, menurut dia, pembiayaan dan dorongan untuk menggunakan teknologi ramah lingkungan merupakan kunci yang dibutuhkan dalam penerapan green finance.
Sementara itu, pembicara lainnya, Staf Ahli Menteri Kelautan dan Perikanan Bidang Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Suseno Sukoyono mengatakan, sebenarnya terdapat banyak peluang bisnis atau finansial yang dapat dikembangkan akibat perubahan iklim, termasuk salah satunya green finance.
Apalagi, ujar dia, Indonesia sebenarnya bukanlah merupakan penyumbang emisi terbesar tetapi perubahan iklim telah mengakibatkan sejumlah masalah seperti kenaikan suhu dan naiknya permukaan air laut yang tampak seperti fenomena rob yang akhir-akhir ini kerap terjadi di kawasan Muara Baru, Jakarta Utara.
"Indonesia menghasilkan 1,7 emisi per kapita, sedangkan Amerika Serikat 20,6 dan Australia 16,2," katanya.
Ia juga mengingatkan, krisis energi seperti kenaikan harga minyak yang kini telah mencapai sekitar 100 dolar AS seharusnya juga bisa menjadikan salah satu aspek untuk mendorong penerapan green finance.
Ketua MPN Muhammad Taufiq mengharapkan terbangun jaringan baik di dalam maupun luar negeri atau organisasi internasional dalam menciptakan sumber peluang pembangunan berkelanjutan melaluigreen finance.
"Skema pendanaan green finance dengan dilandasi lingkungan investasi yang kondusif dengan memasukkan aspek perubahan iklim menjadi salah satu solusi penting dalam membangun Indonesia secara berkelanjutan," katanya.
Berdasarkan data MPN, terdapat potensi total ekonomi kelautan Indonesia yang mencapai 800 miliar dolar AS per tahun yang belum sepenuhnya bisa dimanfaatkan antara lain karena kendala biaya.
"Ada dua ancaman serius, yaitu masalah penggunaan energi dan lingkungan hidup yang bisa diatasi dengan green finance," kata Special Advisor Head Environment Finance Japan Bank for International Cooperation (JBIC) Takashi Hongo dalam diskusi yang digelar Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN) di Jakarta, Kamis (28/1/2011).
Namun, menurut Hongo, untuk menerapkan konsep green finance secara nyata dibutuhkan tekad dari badan finansial, baik swasta maupun pemerintah, untuk mengeluarkan investasi dalam jumlah yang besar. Selain itu, penerapan green finance membutuhkan kemajuan teknologi yang dapat mengurangi dampak perubahan iklim.
Ia mencontohkan, sejumlah nelayan di Jepang beberapa tahun lalu memutuskan untuk menggunakan teknologi LED (light emitting diode) akibat mahalnya harga bahan bakar yang biasa dipakai untuk melaut.
Hongo memaparkan, pada awalnya memang dibutuhkan biaya yang besar untuk membeli dan melengkapi kapal penangkap ikan dengan LED, tetapi setelah digunakan mereka dapat menghemat biaya operasional. "Mereka (para nelayan) meminjam uang dari bank," katanya.
Untuk itu, menurut dia, pembiayaan dan dorongan untuk menggunakan teknologi ramah lingkungan merupakan kunci yang dibutuhkan dalam penerapan green finance.
Sementara itu, pembicara lainnya, Staf Ahli Menteri Kelautan dan Perikanan Bidang Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Suseno Sukoyono mengatakan, sebenarnya terdapat banyak peluang bisnis atau finansial yang dapat dikembangkan akibat perubahan iklim, termasuk salah satunya green finance.
Apalagi, ujar dia, Indonesia sebenarnya bukanlah merupakan penyumbang emisi terbesar tetapi perubahan iklim telah mengakibatkan sejumlah masalah seperti kenaikan suhu dan naiknya permukaan air laut yang tampak seperti fenomena rob yang akhir-akhir ini kerap terjadi di kawasan Muara Baru, Jakarta Utara.
"Indonesia menghasilkan 1,7 emisi per kapita, sedangkan Amerika Serikat 20,6 dan Australia 16,2," katanya.
Ia juga mengingatkan, krisis energi seperti kenaikan harga minyak yang kini telah mencapai sekitar 100 dolar AS seharusnya juga bisa menjadikan salah satu aspek untuk mendorong penerapan green finance.
Ketua MPN Muhammad Taufiq mengharapkan terbangun jaringan baik di dalam maupun luar negeri atau organisasi internasional dalam menciptakan sumber peluang pembangunan berkelanjutan melaluigreen finance.
"Skema pendanaan green finance dengan dilandasi lingkungan investasi yang kondusif dengan memasukkan aspek perubahan iklim menjadi salah satu solusi penting dalam membangun Indonesia secara berkelanjutan," katanya.
Berdasarkan data MPN, terdapat potensi total ekonomi kelautan Indonesia yang mencapai 800 miliar dolar AS per tahun yang belum sepenuhnya bisa dimanfaatkan antara lain karena kendala biaya.
28 Januari 2011
Subscribe to:
Posts (Atom)
Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke
| Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...
-
JAKARTA - PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) sangat sepakat mengenai ketentuan Bank Indonesia (BI) untuk membuat standarisasi sistem pembayaran pada...
-
Kementerian Kehutanan (Kemenhut) menerapkan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) untuk menghentikan masuknya produk kayu dari hasil p...