Kelestarian Taman Laut Nasional Bunaken, Sulawesi Utara, hendaknya tidak diusik dengan berbagai proyek rehabilitasi semu dari pemerintah maupun lembaga peneliti yang berakibat merusak rona asli taman laut tersebut.
Pakar terumbu karang Dr Yani Khusen dan pakar bioekologi kelautan Dr Winda Mingkid dari Universitas Sam Ratulangi di Manado, Sabtu (9/1), mengkhawatirkan intervensi berlebihan melalui berbagai proyek penelitian di Taman Laut Bunaken akan berakibat buruk sehingga mengganggu ekosistem yang sudah ada.
Menurut Winda, tindakan introduksi, yaitu memasukkan organisme baru ke dalam satu habitat, apabila tidak diawali dengan penelitian dengan baik bakal mengganggu ekosistem dari perairan tersebut. ”Bunaken harus dijaga dari intervensi seperti itu,” katanya.
Aktivitas gencar
Yani Khusen mensinyalir belakangan ini aktivitas rehabilitasi oleh sejumlah lembaga penelitian dan lembaga swadaya masyarakat di kawasan taman laut Bunaken cukup gencar.
Intervensi itu dimulai dengan melakukan restorasi karang dengan media keramik, kemudian diikuti dengan penanaman mangrove serta melepas penyu di sekitar Laut Bunaken.
Menurut Yani, masuknya unsur dari luar akan merusak rona asli alam dan taman laut Bunaken.
Beberapa waktu lalu dia pernah menegur sejumlah oknum LSM dari Jakarta yang melepas ikan kerapu bebek di sana. ”Itulah yang saya bilang rehabilitasi semu demi proyek,” katanya.
Ia mengatakan, restorasi karang dilakukan oleh sejumlah peneliti dari Tokyo University Marine Science and Technology sejak tahun 2006.
Ia menilai, cara restorasi karang itu kurang tepat. Semestinya karang-karang rusak di Bunaken direhabilitasi dengan program transplantasi.
Beberapa waktu lalu sejumlah ahli karang dari Jepang menemukan cara baru untuk menyelamatkan sekaligus melakukan restorasi populasi terumbu karang atau koral di sejumlah wilayah laut dunia, terutama laut Bunaken dan Manado Tua. Cara itu dengan membuat ecoreef berbentuk jari-jari dari bahan keramik.
Menurut Yani, pemerintah Provinsi Sulut mestinya mengeluarkan larangan untuk kegiatan rehabilitasi yang tidak diawali dengan penelitian terlebih dahulu. ”Jika tidak (ada larangan), Bunaken hanya menjadi obyek eksploitasi orang luar tanpa memerhatikan aspek ekosistem yang sudah ada,” katanya.(zal)
Senin, 11 Januari 2010 | 04:06 WIB
Manado, Kompas - http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/01/11/0406125/bunaken.jangan.diusik.rehabilitasi
Membantu Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank Dalam Penerapan Sustainable Finance (Keuangan Berkelanjutan) - Environmental & Social Risk Analysis (ESRA) for Loan/Investment Approval - Training for Sustainability Reporting (SR) Based on OJK/GRI - Penguatan Manajemen Desa dan UMKM - Membantu Membuat Program dan Strategi CSR untuk Perusahaan. Hubungi Sdr. Leonard Tiopan Panjaitan, S.sos, MT, CSRA di: leonardpanjaitan@gmail.com atau Hp: 081286791540 (WA Only)
Monday, January 11, 2010
Tuesday, January 5, 2010
PERUBAHAN IKLIM: Potensi Ikan Kita Bisa Turun
Hasil Konferensi Perubahan Iklim di Kopenhagen sangat mengecewakan karena melenceng jauh dari harapan masyarakat dunia. Hasil Kopenhagen mengandung ketidakpastian dalam pembatasan emisi CO ke atmosfer. Hal lain yang jadi pertanyaan, mengapa isu kelautan tidak masuk dalam teks ”Copenhagen Accord”.
Jadi, laut tidak diperhitungkan dalam mitigasi perubahan iklim. Keputusan ini sebenarnya adalah hal yang wajar. Chris Sabine, peneliti National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) dan kawan-kawan. (2004) melaporkan, pada era sebelum industri, laut global adalah pelepas karbon ke atmosfer. Kondisi pada waktu itu adalah seimbang.
Ketika revolusi industri terjadi di Eropa, maka emisi CO di atmosfer mulai bertambah dan seiring dengan itu laut berubah menjadi penyerap CO di atmosfer. Akan tetapi, dalam 20 tahun terakhir ini, ada indikasi penurunan tingkat efisiensi penyerapan laut sehingga besar kemungkinan laut akan berbalik menjadi pelepas karbon.
Gambaran di atas menegaskan bahwa laut selalu mencari kesetimbangan baru, sebagai respons terhadap peningkatan emisi CO di atmosfer. Jadi, peranan laut untuk mitigasi tidak relevan dan tidak tepat masuk dalam mekanisme perdagangan karbon, seperti halnya hutan.
Secara sederhana, negara manakah yang berhak mendapatkan kompensasi untuk perairan samudra belahan bumi utara dan selatan yang tingkat penyerapannya sangat tinggi? Bagaimanakah kompensasi bagi negara-negara tropis yang sebagian besar wilayah lautnya berfungsi sebagai pelepas karbon?
Rekomendasi kebijakan
Saat ini, sudah saatnya kita melupakan perdagangan karbon laut apalagi memperdebatkannya. Hal yang lebih penting lagi adalah bagaimana merumuskan kebijakan kelautan dalam menyikapi pasca-Kopenhagen, terutama ancaman perubahan iklim yang nyata.
Laporan terbaru dari Cheung, dkk (2009) di jurnal Global Change Biology menyebutkan, dari skenario peningkatan CO di atmosfer sampai 720 ppm (parts per million) pada tahun 2100, maka Indonesia berpotensi kehilangan 25 persen hasil tangkapan ikan. Dengan skenario yang tetap menjaga tingkat emisi pada level sekarang, Indonesia masih berpeluang kehilangan 10 persen tangkapan ikan.
Dalam hal ini, pemanasan global mendorong migrasi ikan- ikan dari perairan tropis ke subtropis sehingga negara-negara lain akan mengalami surplus tangkapan ikan. Selain itu, migrasi ikan yang semakin jauh juga akan berimplikasi kepada biaya penangkapan ikan yang semakin mahal.
Di sisi lain, kita menghadapi banyak permasalahan kerusakan ekosistem pesisir seperti mangrove, padang lamun, dan terumbu karang. Padahal, wilayah pesisir ini adalah daerah pemijahan dan pembesaran ikan, perlindungan pantai, sumber keanekaragaman hayati, dan banyak lagi fungsi ekologis lainnya. Hal ini semakin diperparah dengan aktivitas di daratan yang memperlakukan laut sebagai tempat sampah.
Beberapa catatan sebagai usulan dalam kebijakan adalah sebagai berikut:
1. Penyehatan ekosistem pesisir. Ini berkaitan dengan usaha untuk mengembalikan dan menjaga vegetasi mangrove, padang lamun, dan terumbu karang demi keberlangsungan fungsi ekologis dan jaminan ketahanan pangan.
2. Prioritas perikanan budidaya dan teknologi pascapanen. Dengan adanya jaminan ”kesehatan” ekosistem pesisir, maka pengembangan perikanan budidaya menjadi solusi yang menarik dalam menghadapi persoalan perubahan migrasi ikan. Nelayan-nelayan yang tadinya berorientasi perikanan tangkap, perlu memikirkan dan mempersiapkan diri untuk perikanan budidaya. Jepang adalah contoh negara yang berhasil dalam pengembangan budidaya perikanan laut, termasuk ikan-ikan pelagis besar (tuna). Budidaya juga meliputi penyebaran benih-benih ikan tertentu ke ekosistem pesisir secara bebas. Ini dikenal dengan konsep restocking. Prioritas ekspor ikan segar juga perlu dievaluasi kembali.
3. Adaptasi kenaikan permukaan laut bagi pemukiman, infrastruktur lainnya, dan dampak intrusi air laut.
4. Peninjauan konsep pengelolaan wilayah pesisir terpadu. Pendekatan yang selama ini berorientasi skala-skala kecil untuk lokasi tertentu perlu beralih pada pendekatan kepulauan Indonesia yang komprehensif.
5. Variabilitas iklim dan perubahan iklim. Hal ini membutuhkan perhatian serius pada masa mendatang dan membutuhkan data dasar yang panjang untuk melihat dampaknya terhadap perikanan. Sebagai contoh, Jonson L Gaol, dosen Institut Pertanian Bogor (IPB), dan beberapa rekannya (2004) melaporkan di suatu jurnal internasional bahwa saat terjadi El Nino tahun 1997 ada peningkatan klorofil yang ekstrem di Selat Bali sampai awal 1998. Hal ini kemudian diikuti oleh produksi ikan lemuru yang ekstrem pada 1998 itu. Tetapi, produksi ikan yang melimpah mengakibatkan anjloknya harga di pasar akibat ketidaksiapan dalam menghadapi dampak variabilitas iklim ini.
6. Basis data dan peralatan standar untuk studi karbon laut. Pada kenyataannya, tidak ada peralatan standar (sesuai protokol JGOFS-Joint Global Ocean Flux Study) yang menunjang studi karbon laut di Indonesia. Peralatan yang dimaksud adalah untuk pengukuran tekanan parsial CO, total karbon dan buoy-buoy untuk pengamatan real-time fluks karbon udara-laut. Salah satu kegunaan peralatan tersebut adalah pengembangan algoritma khusus laut Indonesia untuk data satelit. Hal ini penting untuk pemantauan berkala saat audit emisi CO karena Indonesia telah berjanji untuk menurunkannya sebesar 26 persen (walaupun sebenarnya tidak diwajibkan). Jika kita tidak memiliki algoritma sendiri, penggunaan algoritma global dari data satelit mungkin saja merugikan kita dalam perhitungan capaian 26 persen. Apalagi, laut kita yang tropis cenderung melepaskan karbon sehingga algoritma dalam data satelit harus mengeluarkan faktor pelepasan laut. Hal ini perlu diantisipasi karena pelepasan laut bukan hasil antropogenik.
Senin, 4 Januari 2010 | 03:07 WIB
Penulis: Alan F Koropitan Dosen pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan FPIK-IPB
Jadi, laut tidak diperhitungkan dalam mitigasi perubahan iklim. Keputusan ini sebenarnya adalah hal yang wajar. Chris Sabine, peneliti National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) dan kawan-kawan. (2004) melaporkan, pada era sebelum industri, laut global adalah pelepas karbon ke atmosfer. Kondisi pada waktu itu adalah seimbang.
Ketika revolusi industri terjadi di Eropa, maka emisi CO di atmosfer mulai bertambah dan seiring dengan itu laut berubah menjadi penyerap CO di atmosfer. Akan tetapi, dalam 20 tahun terakhir ini, ada indikasi penurunan tingkat efisiensi penyerapan laut sehingga besar kemungkinan laut akan berbalik menjadi pelepas karbon.
Gambaran di atas menegaskan bahwa laut selalu mencari kesetimbangan baru, sebagai respons terhadap peningkatan emisi CO di atmosfer. Jadi, peranan laut untuk mitigasi tidak relevan dan tidak tepat masuk dalam mekanisme perdagangan karbon, seperti halnya hutan.
Secara sederhana, negara manakah yang berhak mendapatkan kompensasi untuk perairan samudra belahan bumi utara dan selatan yang tingkat penyerapannya sangat tinggi? Bagaimanakah kompensasi bagi negara-negara tropis yang sebagian besar wilayah lautnya berfungsi sebagai pelepas karbon?
Rekomendasi kebijakan
Saat ini, sudah saatnya kita melupakan perdagangan karbon laut apalagi memperdebatkannya. Hal yang lebih penting lagi adalah bagaimana merumuskan kebijakan kelautan dalam menyikapi pasca-Kopenhagen, terutama ancaman perubahan iklim yang nyata.
Laporan terbaru dari Cheung, dkk (2009) di jurnal Global Change Biology menyebutkan, dari skenario peningkatan CO di atmosfer sampai 720 ppm (parts per million) pada tahun 2100, maka Indonesia berpotensi kehilangan 25 persen hasil tangkapan ikan. Dengan skenario yang tetap menjaga tingkat emisi pada level sekarang, Indonesia masih berpeluang kehilangan 10 persen tangkapan ikan.
Dalam hal ini, pemanasan global mendorong migrasi ikan- ikan dari perairan tropis ke subtropis sehingga negara-negara lain akan mengalami surplus tangkapan ikan. Selain itu, migrasi ikan yang semakin jauh juga akan berimplikasi kepada biaya penangkapan ikan yang semakin mahal.
Di sisi lain, kita menghadapi banyak permasalahan kerusakan ekosistem pesisir seperti mangrove, padang lamun, dan terumbu karang. Padahal, wilayah pesisir ini adalah daerah pemijahan dan pembesaran ikan, perlindungan pantai, sumber keanekaragaman hayati, dan banyak lagi fungsi ekologis lainnya. Hal ini semakin diperparah dengan aktivitas di daratan yang memperlakukan laut sebagai tempat sampah.
Beberapa catatan sebagai usulan dalam kebijakan adalah sebagai berikut:
1. Penyehatan ekosistem pesisir. Ini berkaitan dengan usaha untuk mengembalikan dan menjaga vegetasi mangrove, padang lamun, dan terumbu karang demi keberlangsungan fungsi ekologis dan jaminan ketahanan pangan.
2. Prioritas perikanan budidaya dan teknologi pascapanen. Dengan adanya jaminan ”kesehatan” ekosistem pesisir, maka pengembangan perikanan budidaya menjadi solusi yang menarik dalam menghadapi persoalan perubahan migrasi ikan. Nelayan-nelayan yang tadinya berorientasi perikanan tangkap, perlu memikirkan dan mempersiapkan diri untuk perikanan budidaya. Jepang adalah contoh negara yang berhasil dalam pengembangan budidaya perikanan laut, termasuk ikan-ikan pelagis besar (tuna). Budidaya juga meliputi penyebaran benih-benih ikan tertentu ke ekosistem pesisir secara bebas. Ini dikenal dengan konsep restocking. Prioritas ekspor ikan segar juga perlu dievaluasi kembali.
3. Adaptasi kenaikan permukaan laut bagi pemukiman, infrastruktur lainnya, dan dampak intrusi air laut.
4. Peninjauan konsep pengelolaan wilayah pesisir terpadu. Pendekatan yang selama ini berorientasi skala-skala kecil untuk lokasi tertentu perlu beralih pada pendekatan kepulauan Indonesia yang komprehensif.
5. Variabilitas iklim dan perubahan iklim. Hal ini membutuhkan perhatian serius pada masa mendatang dan membutuhkan data dasar yang panjang untuk melihat dampaknya terhadap perikanan. Sebagai contoh, Jonson L Gaol, dosen Institut Pertanian Bogor (IPB), dan beberapa rekannya (2004) melaporkan di suatu jurnal internasional bahwa saat terjadi El Nino tahun 1997 ada peningkatan klorofil yang ekstrem di Selat Bali sampai awal 1998. Hal ini kemudian diikuti oleh produksi ikan lemuru yang ekstrem pada 1998 itu. Tetapi, produksi ikan yang melimpah mengakibatkan anjloknya harga di pasar akibat ketidaksiapan dalam menghadapi dampak variabilitas iklim ini.
6. Basis data dan peralatan standar untuk studi karbon laut. Pada kenyataannya, tidak ada peralatan standar (sesuai protokol JGOFS-Joint Global Ocean Flux Study) yang menunjang studi karbon laut di Indonesia. Peralatan yang dimaksud adalah untuk pengukuran tekanan parsial CO, total karbon dan buoy-buoy untuk pengamatan real-time fluks karbon udara-laut. Salah satu kegunaan peralatan tersebut adalah pengembangan algoritma khusus laut Indonesia untuk data satelit. Hal ini penting untuk pemantauan berkala saat audit emisi CO karena Indonesia telah berjanji untuk menurunkannya sebesar 26 persen (walaupun sebenarnya tidak diwajibkan). Jika kita tidak memiliki algoritma sendiri, penggunaan algoritma global dari data satelit mungkin saja merugikan kita dalam perhitungan capaian 26 persen. Apalagi, laut kita yang tropis cenderung melepaskan karbon sehingga algoritma dalam data satelit harus mengeluarkan faktor pelepasan laut. Hal ini perlu diantisipasi karena pelepasan laut bukan hasil antropogenik.
Senin, 4 Januari 2010 | 03:07 WIB
Penulis: Alan F Koropitan Dosen pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan FPIK-IPB
China Menuju Tiga Besar Pembangkit Tenaga Angin
China lagi-lagi menarik perhatian dunia. Setelah membukukan pertumbuhan ekonomi yang mencengangkan dan menjadi salah satu negara berkembang pesat yang ”ditakuti” negara maju, China menuju negara terbesar ketiga penghasil listrik tenaga angin pada tahun 2010. Klaim itu disampaikan kantor berita pemerintah Xinhua seperti dikabarkan AFP. Pemasangan sejumlah pembangkit listrik tenaga angin dalam waktu dekat, menurut otoritas energi nasional (National Energy Administration’s New Energy Department) akan meningkatkan daya listrik tenaga angin mereka menjadi 20 gigawatt. Hal itu akan menggusur Spanyol, yang saat ini berada pada urutan ketiga di bawah Amerika Serikat dan Jerman. Menurut data Dewan Energi Angin Global (GWEC), AS menduduki posisi pertama dengan potensi produksi 25,2 gigawatt pada 2008 atau 20,8 persen total global. China pada tahun 2008 masih 12,2 gigawatt.
Akhir tahun 2008, kemampuan energi angin di Spanyol mencapai 16,8 gigawatt. Langkah China tersebut sekaligus diharapkan mengurangi ketergantungan sumber-sumber pembangkit listrik mereka dari batu bara (saat ini diperkirakan 70 persen). Ketergantungan akan batu bara itu menjadikan China sebagai negara berkembang pesat dengan emisi gas rumah kaca penyebab pemanasan global, di bawah AS. Tahun 2020, China menargetkan 20 persen sumber pembangkit listriknya dari energi terbarukan, utamanya dari angin dan air. Niat China mengubah sebagian energi mereka menjadi ramah lingkungan didukung keputusan pemerintahnya mengadopsi ketentuan hukum baru, yang mewajibkan kebutuhan listrik industri-industri diperoleh dari sumber energi terbarukan. (AFP/GSA)
Senin, 04 Januari 2010
Thursday, December 24, 2009
Kita Perlu "Koin" untuk Perubahan Iklim
SNegosiasi bermotif menang-kalah vulgar dipraktikkan selama berlangsungnya KTT Perubahan Iklim PBB di Kopenhagen, Denmark. Bahkan, persoalan iklim ditarik jauh dari lanskap kemanusiaan. Hasilnya, Indonesia kalah 0-2.
Kekalahan pertama akibat tak terpenuhinya kesepakatan iklim yang mengikat secara hukum (legally binding) merujuk pada capaian Bali Action Plan yang dihasilkan pada KTT Ke-13 di Bali, Desember 2007 silam. Seperti disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat menghadiri pertemuan puncak ke-17 Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Singapura ”Kalau Kopenhagen gagal (tidak mengikat secara hukum), kita punya banyak pekerjaan rumah” (Antara, 17/11).
Berikutnya, Indonesia gagal mengawal dan memasukkan aspek penting kelautan ke dalam visi bersama naskah teks Kelompok Kerja Adhoc Kerja Sama Jangka Panjang (AWG-LCA). Padahal pada Mei 2009 Indonesia telah mengeluarkan berbagai sumber daya untuk menghasilkan Manado Ocean Declaration (MOD) sebagai kertas mandat untuk membawa Coral Triangle Initiative (Inisiatif Segitiga Terumbu Karang) ke dalam kesepakatan Kopenhagen. Dari Bali dan Manado, kualitas diplomasi Indonesia dipertanyakan.
Koreksi
”Pembangunan Indonesia harus berorientasi pada aspek kelautan dengan memerhatikan kehidupan rakyat yang tersebar di pelbagai pulau”.
Demikian pesan diplomasi ala Perdana Menteri Djuanda saat pertama kali menggagas Indonesia sebagai negara kepulauan, 52 tahun silam (13 Desember 1957-13 Desember 2009). Pesan tersebut memberikan penekanan pada dua hal: (1) karakter kewilayahan Indonesia sebagai negara kelautan serta (2) karakter kebudayaan Indonesia sebagai masyarakat kepulauan.
Pada keduanya pula seluruh elemen bangsa dapat memahami kepentingan Indonesia atas laut.
Adapun di luar, disegani oleh bangsa-bangsa lain karena keteladanannya menegakkan keadilan dan kepentingan Indonesia atas laut sebagai ruang hidup dan ruang juang bangsa.
Berbeda halnya pilihan diplomasi ala Susilo Bambang Yudhoyono dalam menghadapi krisis iklim. Aspek fundrising membebani strategi diplomasi Indonesia, dengan menegosiasikan target pemotongan emisi, yakni 26 persen pada tahun 2020 secara sukarela dan 41 persen dengan bantuan asing (Kompas, 19/12).
Rasionalisasi target 26 persen seolah tidak relevan karena pertanggungjawaban sukarelanya ada pada tahun 2020, pada saat Susilo Bambang Yudhoyono tidak lagi menjadi presiden.
Adapun mendapatkan bantuan asing dengan target pemotongan 41 persen didesak untuk terealisasi sesegera mungkin.
Sebagai konsekuensi, Indonesia siap diaudit oleh asing—termasuk negara-negara boros emisi—melalui prinsip pemantauan, pelaporan, dan verifikasi (MRV).
Pada porsi itu tidak berlebihan kiranya jika kegagalan Indonesia di Kopenhagen lebih disebabkan oleh dominasi diplomasi ”recehan”.
Reposisi
Persetujuan Kopenhagen atau Copenhagen Accord diyakini tidak membawa manfaat bagi Indonesia. Target diplomasi iklim berbasis kompensasi—bukan berbasis hak dan keadilan—terbukti melemahkan posisi tawar Indonesia sebagai negara kepulauan.
Untuk itu, diperlukan reposisi Indonesia, dengan melakukan koreksi menyeluruh atas proses perdagangan barang mentah (row materials), baik hasil tambang, pertanian, perikanan, maupun perkebunan, yang selama ini dipergunakan untuk menghidupi mesin-mesin negara industri yang boros emisi.
Sejalan dengan itu, peran lumbung pangan, semisal perikanan dan pertanian harus dioptimalkan untuk memperkuat kemandirian bangsa, sekaligus mengamankan kebutuhan pangan nasional.
Hal ini mendesak dilakukan setelah krisis iklim dan krisis pangan seolah menjadi krisis kembar (twin crisis) dewasa ini. Ingat pesan the founding father Soekarno: ”Pangan merupakan soal mati-hidupnya suatu bangsa, apabila kebutuhan pangan rakyat tidak dipenuhi, malapetaka (akan terjadi).”
Setelah dua kebijakan dalam negeri tersebut diselenggarakan, model diplomasi luar negeri Indonesia harus dikoreksi total, dengan mengedepankan prinsip-prinsip negara yang berdaulat dan mandiri.
Kita patut belajar dari kasus Prita Mulyasari. Rakyat Indonesia, mulai dari tukang becak, artis, pedagang, ibu-ibu rumah tangga, pejabat, dan mantan pejabat negara, bahkan anak TK (taman kanak-kanak), turut berpartisipasi membangun solidaritas dan soliditasnya untuk menegakkan keadilan bagi Prita. Hasilnya, kurang dari dua minggu, sebanyak Rp 825 juta uang koin dapat dikumpulkan.
Sangat mungkin hal serupa dijalankan untuk memperbesar kapasitas negara menghadapi dampak perubahan iklim secara mandiri. Jika demikian, Indonesia dapat meneguhkan kembali peran pentingnya di fora internasional, sekaligus menjadi teladan bagi bangsa-bangsa lain dalam menghadapi krisis iklim.
Kamis, 24 Desember 2009 | 03:35 WIB
Penulis: M Riza Damanik -Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) -Anggota Kelompok Kerja Perikanan pada Aliansi Desa Sejahtera (ADS)
Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/24/03355266/kita.perlu.koin.untuk.perubahan.iklim
Kekalahan pertama akibat tak terpenuhinya kesepakatan iklim yang mengikat secara hukum (legally binding) merujuk pada capaian Bali Action Plan yang dihasilkan pada KTT Ke-13 di Bali, Desember 2007 silam. Seperti disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat menghadiri pertemuan puncak ke-17 Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Singapura ”Kalau Kopenhagen gagal (tidak mengikat secara hukum), kita punya banyak pekerjaan rumah” (Antara, 17/11).
Berikutnya, Indonesia gagal mengawal dan memasukkan aspek penting kelautan ke dalam visi bersama naskah teks Kelompok Kerja Adhoc Kerja Sama Jangka Panjang (AWG-LCA). Padahal pada Mei 2009 Indonesia telah mengeluarkan berbagai sumber daya untuk menghasilkan Manado Ocean Declaration (MOD) sebagai kertas mandat untuk membawa Coral Triangle Initiative (Inisiatif Segitiga Terumbu Karang) ke dalam kesepakatan Kopenhagen. Dari Bali dan Manado, kualitas diplomasi Indonesia dipertanyakan.
Koreksi
”Pembangunan Indonesia harus berorientasi pada aspek kelautan dengan memerhatikan kehidupan rakyat yang tersebar di pelbagai pulau”.
Demikian pesan diplomasi ala Perdana Menteri Djuanda saat pertama kali menggagas Indonesia sebagai negara kepulauan, 52 tahun silam (13 Desember 1957-13 Desember 2009). Pesan tersebut memberikan penekanan pada dua hal: (1) karakter kewilayahan Indonesia sebagai negara kelautan serta (2) karakter kebudayaan Indonesia sebagai masyarakat kepulauan.
Pada keduanya pula seluruh elemen bangsa dapat memahami kepentingan Indonesia atas laut.
Adapun di luar, disegani oleh bangsa-bangsa lain karena keteladanannya menegakkan keadilan dan kepentingan Indonesia atas laut sebagai ruang hidup dan ruang juang bangsa.
Berbeda halnya pilihan diplomasi ala Susilo Bambang Yudhoyono dalam menghadapi krisis iklim. Aspek fundrising membebani strategi diplomasi Indonesia, dengan menegosiasikan target pemotongan emisi, yakni 26 persen pada tahun 2020 secara sukarela dan 41 persen dengan bantuan asing (Kompas, 19/12).
Rasionalisasi target 26 persen seolah tidak relevan karena pertanggungjawaban sukarelanya ada pada tahun 2020, pada saat Susilo Bambang Yudhoyono tidak lagi menjadi presiden.
Adapun mendapatkan bantuan asing dengan target pemotongan 41 persen didesak untuk terealisasi sesegera mungkin.
Sebagai konsekuensi, Indonesia siap diaudit oleh asing—termasuk negara-negara boros emisi—melalui prinsip pemantauan, pelaporan, dan verifikasi (MRV).
Pada porsi itu tidak berlebihan kiranya jika kegagalan Indonesia di Kopenhagen lebih disebabkan oleh dominasi diplomasi ”recehan”.
Reposisi
Persetujuan Kopenhagen atau Copenhagen Accord diyakini tidak membawa manfaat bagi Indonesia. Target diplomasi iklim berbasis kompensasi—bukan berbasis hak dan keadilan—terbukti melemahkan posisi tawar Indonesia sebagai negara kepulauan.
Untuk itu, diperlukan reposisi Indonesia, dengan melakukan koreksi menyeluruh atas proses perdagangan barang mentah (row materials), baik hasil tambang, pertanian, perikanan, maupun perkebunan, yang selama ini dipergunakan untuk menghidupi mesin-mesin negara industri yang boros emisi.
Sejalan dengan itu, peran lumbung pangan, semisal perikanan dan pertanian harus dioptimalkan untuk memperkuat kemandirian bangsa, sekaligus mengamankan kebutuhan pangan nasional.
Hal ini mendesak dilakukan setelah krisis iklim dan krisis pangan seolah menjadi krisis kembar (twin crisis) dewasa ini. Ingat pesan the founding father Soekarno: ”Pangan merupakan soal mati-hidupnya suatu bangsa, apabila kebutuhan pangan rakyat tidak dipenuhi, malapetaka (akan terjadi).”
Setelah dua kebijakan dalam negeri tersebut diselenggarakan, model diplomasi luar negeri Indonesia harus dikoreksi total, dengan mengedepankan prinsip-prinsip negara yang berdaulat dan mandiri.
Kita patut belajar dari kasus Prita Mulyasari. Rakyat Indonesia, mulai dari tukang becak, artis, pedagang, ibu-ibu rumah tangga, pejabat, dan mantan pejabat negara, bahkan anak TK (taman kanak-kanak), turut berpartisipasi membangun solidaritas dan soliditasnya untuk menegakkan keadilan bagi Prita. Hasilnya, kurang dari dua minggu, sebanyak Rp 825 juta uang koin dapat dikumpulkan.
Sangat mungkin hal serupa dijalankan untuk memperbesar kapasitas negara menghadapi dampak perubahan iklim secara mandiri. Jika demikian, Indonesia dapat meneguhkan kembali peran pentingnya di fora internasional, sekaligus menjadi teladan bagi bangsa-bangsa lain dalam menghadapi krisis iklim.
Kamis, 24 Desember 2009 | 03:35 WIB
Penulis: M Riza Damanik -Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) -Anggota Kelompok Kerja Perikanan pada Aliansi Desa Sejahtera (ADS)
Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/24/03355266/kita.perlu.koin.untuk.perubahan.iklim
Perubahan Iklim: Beberapa Negara Janjikan Dana
Selama dua pekan Konferensi Perubahan Iklim 2009, Indonesia membuat sejumlah perjanjian bilateral dan multilateral terkait pendanaan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Pendanaan kehutanan mendominasi rencana pemberian bantuan tersebut.
”Sektor kehutanan dan alih fungsi lahan memang menjadi fokus perhatian terbesar dalam perjanjian kerja sama itu,” kata Ketua Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), sekaligus Kepala Negosiator RI di Konferensi Perubahan Iklim 2009, Rachmat Witoelar kepada wartawan di Jakarta, Rabu (23/12). Pihak DNPI memaparkan pencapaian RI dalam negosiasi iklim.
Perjanjian bilateral, di antaranya dilakukan dengan Jerman, Norwegia, Inggris, Selandia Baru, Amerika Serikat, Swiss, dan Australia. Perjanjian juga dilakukan dengan Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) dan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO).
Menurut Rachmat, Pemerintah Inggris menyiapkan dana 5 miliar poundsterling untuk mencegah penggundulan hutan dan alih fungsi lahan di Indonesia. Pembalakan liar juga disorot.
Sementara itu, Pemerintah Norwegia menyiapkan pendanaan sementara (interim) bagi pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD).
Amerika Serikat juga siapkan dana 3,5 miliar dollar AS bagi program pengurangan emisi dari kehutanan. Dana itu akan dikucurkan kepada tiga negara mewakili tiga benua selama dua tahun (2010-2011).
Keberadaan dana secara cepat memang menjadi fokus delegasi Indonesia dalam konferensi perubahan iklim. Dana cepat dibutuhkan bagi upaya-upaya yang sudah siap di lapangan.
Pemerintah Jerman, lanjut Rachmat, juga berjanji memberi bantuan teknis di sektor kehutanan. Namun, jumlah bantuan hibah masih dalam pembahasan.
Mengucur tahun 2010
Semua komitmen yang ada, baik secara bilateral maupun multilateral tersebut, diharapkan mengucur tahun 2010. ”Mestinya tahun depan memang sudah bisa cair sehingga bisa langsung dimanfaatkan di lapangan,” kata Ismid Hadad dari Kelompok Kerja Pendanaan DNPI.
Triliunan rupiah dibutuhan Indonesia untuk tahap persiapan program REDD. Di lapangan sejumlah program sudah dijalankan bersama dengan Jepang, Australia, dan Jerman.
Di bidang kelautan, Pemerintah Indonesia menjalin kerja sama dengan UNEP. UNEP akan membantu Indonesia mengkaji kebutuhan teknologi untuk sektor kelautan.
Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad, dalam jumpa pers di sela-sela konferensi di Kopenhagen, menegaskan bahwa Indonesia dan negara-negara di kawasan segitiga terumbu karang membutuhkan peningkatan kemampuan penelitian laut.
Ratusan jiwa bergantung langsung pada kesehatan laut di kawasan segitiga terumbu karang tersebut. Adapun pada visi bersama naskah teks Kelompok Kerja Adhoc Kerja Sama Jangka Panjang (AWG-LCA), persoalan kelautan tidak ada. (GSA)
”Sektor kehutanan dan alih fungsi lahan memang menjadi fokus perhatian terbesar dalam perjanjian kerja sama itu,” kata Ketua Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), sekaligus Kepala Negosiator RI di Konferensi Perubahan Iklim 2009, Rachmat Witoelar kepada wartawan di Jakarta, Rabu (23/12). Pihak DNPI memaparkan pencapaian RI dalam negosiasi iklim.
Perjanjian bilateral, di antaranya dilakukan dengan Jerman, Norwegia, Inggris, Selandia Baru, Amerika Serikat, Swiss, dan Australia. Perjanjian juga dilakukan dengan Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) dan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO).
Menurut Rachmat, Pemerintah Inggris menyiapkan dana 5 miliar poundsterling untuk mencegah penggundulan hutan dan alih fungsi lahan di Indonesia. Pembalakan liar juga disorot.
Sementara itu, Pemerintah Norwegia menyiapkan pendanaan sementara (interim) bagi pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD).
Amerika Serikat juga siapkan dana 3,5 miliar dollar AS bagi program pengurangan emisi dari kehutanan. Dana itu akan dikucurkan kepada tiga negara mewakili tiga benua selama dua tahun (2010-2011).
Keberadaan dana secara cepat memang menjadi fokus delegasi Indonesia dalam konferensi perubahan iklim. Dana cepat dibutuhkan bagi upaya-upaya yang sudah siap di lapangan.
Pemerintah Jerman, lanjut Rachmat, juga berjanji memberi bantuan teknis di sektor kehutanan. Namun, jumlah bantuan hibah masih dalam pembahasan.
Mengucur tahun 2010
Semua komitmen yang ada, baik secara bilateral maupun multilateral tersebut, diharapkan mengucur tahun 2010. ”Mestinya tahun depan memang sudah bisa cair sehingga bisa langsung dimanfaatkan di lapangan,” kata Ismid Hadad dari Kelompok Kerja Pendanaan DNPI.
Triliunan rupiah dibutuhan Indonesia untuk tahap persiapan program REDD. Di lapangan sejumlah program sudah dijalankan bersama dengan Jepang, Australia, dan Jerman.
Di bidang kelautan, Pemerintah Indonesia menjalin kerja sama dengan UNEP. UNEP akan membantu Indonesia mengkaji kebutuhan teknologi untuk sektor kelautan.
Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad, dalam jumpa pers di sela-sela konferensi di Kopenhagen, menegaskan bahwa Indonesia dan negara-negara di kawasan segitiga terumbu karang membutuhkan peningkatan kemampuan penelitian laut.
Ratusan jiwa bergantung langsung pada kesehatan laut di kawasan segitiga terumbu karang tersebut. Adapun pada visi bersama naskah teks Kelompok Kerja Adhoc Kerja Sama Jangka Panjang (AWG-LCA), persoalan kelautan tidak ada. (GSA)
Kamis, 24 Desember 2009 | 03:55 WIB
Jakarta, Kompas - http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/24/03552585/beberapa.negara.janjikan.dana
Jakarta, Kompas - http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/24/03552585/beberapa.negara.janjikan.dana
Subscribe to:
Posts (Atom)
Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke
| Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...
-
Kementerian Kehutanan (Kemenhut) menerapkan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) untuk menghentikan masuknya produk kayu dari hasil p...
-
PT Konsorsium Televisi Digital Indonesia (KTDI) menggelar uji coba siaran televisi digital di wilayah Jabotabek. Siaran uji coba itu merupak...