Monday, July 20, 2009

Menyelamatkan Sungai, Bukan Cuma Pasar Terapung

Dengan sebatang paring (bambu) sepanjang enam meter, Imis (40), warga Kelayan, Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, berusaha mengeluarkan jukung klotok (perahu bermesin) dari Sungai Antasan Segera menuju Sungai Pekapuran. Ia tidak bisa menghidupkan mesin jukung klotok miliknya karena kandas di sungai tersebut.

Hari Rabu di awal Juli lalu itu terpaksa dilaluinya dengan berpeluh. Sebab, untuk bisa keluar sungai itu hanya dengan mendorong perahu itu memakai tongkat bambu sebagai tuas. Lima tahun terakhir beberapa sungai di sini tak bisa dilewati klotok. "Yang bisa cuma jukung yang didayung," kata Imis, motoris klotok.

Sungai Kelayan, Antasan Segera, dan Pekapuran hanyalah sebagian dari puluhan sungai di Kota Banjarmasin. Sekadar gambaran, hingga tahun 2004, ada 71 sungai, yakni dua sungai besar, tujuh sungai sedang, 30 sungai kecil, dan 32 anak sungai. Total panjangnya 120.235 meter dengan lebar sungai berkisar enam hingga 1.200 meter. Namun, sebagian kondisinya rusak parah, bahkan nyaris mati.

Kepala Dinas Sungai dan Drainase Kota Banjarmasin Muryanta menyebutkan, tidak kurang 30 sungai kehilangan fungsi karena banyak yang tersumbat akibat rapatnya bangunan, pengurukan tanah, pendangkalan, menjadi buangan sampah, pencemaran limbah rumah tangga dan kegiatan berbagai usaha masyarakat.

Hal ini berbeda dengan cerita sekitar 80-an tahun lalu. Sebuah film dokumenter Belanda dibuat tahun 1925-1928 yang dihibahkan Sekolah Indonesia di Kedutaan Besar RI di Den Haag kepada Pemerintah Kota Banjarmasin, menggambarkan kehidupan masyarakat kota yang berjulukan Venesia di Hindia Belanda ini. Saat itu sungai menjadi jalan utama di Banjarmasin seperti di Venesia. Orang-orang bepergian menggunakan berbagai jenis jukung. Hingga akhir 70-an, denyut kehidupan sungai itu masih terasa.

Begitu wilayah darat Kota Banjarmasin terhubung dengan jalan mulai tahun 80-an, kehidupan masyarakatnya pun berubah. Sungai-sungai bukan lagi halaman depan rumah mereka. Rumah-rumah menghadap ke jalan. Pasar Terapung yang berada di sungai satu per satu lenyap. Yang tersisa kini hanya ada di muara Sungai Kuin. Sedangkan beberapa pasar tradisional di bantaran sungai kondisinya kumuh.

Sejumlah kawasan rawa juga menjadi permukiman dengan diuruk tanah terlebih dahulu. Ini karena Banjarmasin secara geografis berada 0,16 meter di bawah permukaan laut rata-rata. Kota seluas 72 kilometer persegi dengan jumlah penduduk tahun 2008 ada 627.245 jiwa ini sesak karena kepadatannya 8.712 jiwa per kilometer persegi.

Sungai Alalak misalnya menyempit karena limbah kayu dari industri penggergajian kayu dan penumpukan batu bara di penampungan terakhir sebelum dikapalkan di Sungai Barito. "Kalau terus dibiarkan, apa yang bisa dibanggakan Banjarmasin yang berjulukan kota seribu sungai," kata Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kota Banjarmasin Fajar Desira.

Karena itu, katanya, sungai-sungai itu ditata ulang dan dibangun sehingga Banjarmasin menjadi kota modern berbasis sungai. Fokus awal untuk itu penataan Sungai Martapura, yang membelah Banjarmasin sejauh 17.000 meter ini. "Bantaran sungai ini bakal menjadi ruang terbuka seluas-luasnya untuk kegiatan masyarakat," katanya.

Pekerjaan ini, ujarnya, berat dan tak bisa cepat. Karena itu, berbagai pihak bisa menyumbangkan pemikirannya membuat desain Banjarmasin sebagai kota sungai. "Caranya, dalam waktu dekat akan ada lomba berskala internasional untuk ini," katanya.

Penataan sungai itu sebenarnya sudah dimulai. Salah satunya adanya peraturan daerah tentang sungai di mana rumah atau bangunan dibuat harus bangunan panggung. Beberapa sungai yang mati juga dihidupkan kembali seperti di Jalan Veteran. Di Jalan Tendean, dilakukan pembebasan lahan dari permukiman. Jika ini berjalan baik, beberapa tahun mendatang, Banjarmasin bukan lagi seperti kampung besar yang semrawut, tetapi menjadi kota sungai yang paling menarik untuk dikunjungi.

KOMPAS.com — MINGGU, 19 JULI 2009 | 09:20 WIB
Laporan wartawan KOMPAS M Syaifullah
Source:http://sains.kompas.com/read/xml/2009/07/19/09205991/menyelamatkan.sungai.bukan.cuma.pasar.terapung

Sunday, July 19, 2009

Sumur Injeksi Kurangi Banjir Hindari Kekeringan


SUMBER DAYA AIR

Air bersih menjadi sumber daya yang mulai langka di banyak daerah di Indonesia akibat konversi hutan di hulu dan perubahan areal vegetasi menjadi hutan beton di hilir.

Berbagai cara ditempuh untuk menghadapi krisis air, di antaranya dengan menggali air tanah dalam, tetapi air itu harus ditampung kembali agar suplainya berkelanjutan.

Nyatanya eksploitasi air tanah dalam yang berlebih telah mengancam keberlanjutannya dan keselamatan warga di perkotaan. Di Jakarta, misalnya, penyedotan air tanah dalam tanpa upaya pengisian kembali telah menyebabkan intrusi air laut hingga beberapa kilometer dari garis pantai.

Dampak negatif yang terjadi adalah amblesnya permukaan tanah dan korosi pada fondasi atau tiang panjang gedung-gedung tinggi. Ini harus diatasi dengan menerapkan aturan pembatasan penyedotan air tanah dalam dan membuat resapan buatan atau artificial recharge.

Seperti dikemukakan Kepala Bidang Kebutuhan Masyarakat Kementerian Negara Riset dan Teknologi Teddy W Sudinda, resapan buatan dilakukan dengan membangun sumur injeksi. Upaya ini akan dirintis di kantor pemerintahan di perkotaan.

Sebagai proyek percontohan dipilih kawasan Gedung Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang berlokasi di Jalan Thamrin, yang tahun lalu mengalami penurunan permukaan tanah akibat pengambilan air tanah. Hal serupa juga terjadi di Gedung Sarinah Jaya.

Pada survei terdahulu menggunakan geolistrik, diketahui struktur tanah di kawasan Thamrin terdapat lapisan akuifer atau penampung air sedalam sekitar 100 meter.

Untuk itu akan dilakukan pengeboran tanah hingga mencapai lapisan akuifer tersebut. Setelah dipasang casing kemudian dimasukkan pipa setebal 8 inci. ”Pembangunan sumur injeksi ini akan dilaksanakan pada Agustus mendatang,” ujar Teddy, yang juga menjabat sebagai Koordinator Pelaksanaan Pengembangan Teknologi Resapan Buatan.

Air limpasan

Dengan terbangunnya sumur injeksi ini, kelebihan air limpasan selama musim hujan dapat ditanggulangi dengan menampungnya di dalam sumur setelah melalui pengolahan sehingga kualitas air dapat memenuhi baku mutu air. Di sekitar sumur dibangun bak penampung dan pengolah air.

Pembangunan sumur injeksi ini oleh BPPT akan memakan waktu satu bulan dan masih dalam skala riset. Jika uji coba ini berhasil, akan dilanjutkan oleh Departemen Pekerjaan Umum untuk penerapannya di gedung pemerintah lainnya.

Namun, diakui bahwa biaya sumur injeksi ke akuifer air tanah dalam tidaklah murah. Untuk setiap 1 meter kedalaman pengeboran harus dikeluarkan dana hingga Rp 1,5 juta.

Penerapan teknologi ini juga perlu dukungan peraturan daerah dan petunjuk teknis pembangunan dan pengelolaannya.

Jumat, 17 Juli 2009 | 05:25 WIB

Penulis:Yuni Ikawati

Source:http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/17/05253214/sumur.injeksi.kurangi.banjir.hindari.kekeringan

KEKERINGAN Jangan Memaksa Menanam Padi

Direktur Jenderal Sumber Daya Air Departemen Pekerjaan Umum Iwan Nursyirwan menegaskan, karena musim kemarau sudah datang, sebaiknya petani mematuhi pola tanam supaya nantinya tidak terjadi kegagalan panen.

”Jangan dipaksakan untuk menanam padi, jangan ada lagi gadu nekat. Lebih baik petani menanam palawija,” kata Iwan, Kamis (16/7), dalam Jumpa Pers Antisipasi Kekeringan Tahun 2009.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono seusai memimpin rapat koordinasi terkait dampak El Nino di Kantor Presiden, Kamis, menegaskan, pemerintah menyiapkan langkah untuk mengantisipasi dampak kekeringan akibat fenomena iklim El Nino. Fenomena ini diperkirakan menguat menjelang akhir tahun, tetapi dampaknya belum dipastikan mengganggu pola tanam. Pemerintah juga optimistis produksi padi tetap dapat ditingkatkan meski kemarau panjang terjadi.

Selain itu, pemerintah juga mengupayakan penanaman padi di lahan basah atau rawa yang airnya susut ketika musim kering. ”Persawahan lahan basah ini dikembangkan, antara lain, di Lampung, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Tengah,” kata Presiden.

Presiden juga meminta Departemen Pertanian menyiapkan pendampingan teknis kepada petani jika fenomena El Nino mendatangkan kondisi abnormal. Sementara Departemen Pekerjaan Umum diminta memastikan semua waduk, penampungan air, dan sistem irigasi berfungsi baik menjelang musim kemarau.

Menurut Presiden, waduk-waduk di Pulau Jawa saat ini sudah dipastikan berfungsi baik dengan tampungan air lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2008. Namun, di luar Jawa, antara lain Lampung dan Sulawesi Selatan, masih terjadi penyusutan air.

Taat pola tanam

Menurut Iwan, di setiap wilayah sungai sebenarnya sudah ada komisi irigasi, yang menentukan pola tanam para petani saat musim kemarau. ”Bila petani taat dengan pola tanam itu, seharusnya tak ada berita gagal panen dari sejumlah daerah,” katanya.

”Mekanismenya ada. Ada Panitia Tata Pengaturan Air di tingkat daerah, ada pula Perkumpulan Petani Pengguna Air. Jadi tinggal dibicarakan pola tanamnya,” kata Direktur Irigasi Departemen Pekerjaan Umum Imam Agus. Ia menekankan, dalam masa tanam, petani sebaiknya jangan salah pilih varietas tanaman. ”Bila kering, tanam palawija,” ujar Imam.

Berdasarkan pantauan hingga 30 Juni 2009, sebagian besar bendungan dalam kondisi normal, di antaranya Bendungan Juanda, Wadaslintang, Cirata, Saguling, dan Selorejo. ”Hanya dua bendungan yang volume airnya terhitung kering, yakni di Batutegi, Lampung, dan Bili-bili, Sulawesi Selatan,” ujarnya.

Secara umum, Iwan menegaskan, kemarau tahun ini dapat dikatakan kemarau basah. Namun, ada anomali cuaca yang dipengaruhi oleh perubahan iklim. ”Di Jawa misalnya, Mei lalu masih turun hujan lebat, tetapi sekarang di mana-mana mulai kekeringan,” kata Iwan.

Untuk menghadapi kurangnya air baku untuk air minum, Departemen Pekerjaan Umum menyiapkan distribusi pompa air berkapasitas 25 liter per detik. Di Indonesia barat disiapkan 150 unit pompa dan di wilayah timur disiapkan 36 unit pompa.

Mengapa kesulitan air untuk pertanian terus terjadi? Iwan Nursyirwan menjelaskan, saat ini dari 6,72 juta hektar daerah irigasi di Indonesia, baru 0,79 juta hektar atau 12 persen yang pengairannya dijamin bendungan.

”Kami akan meningkatkan kapasitas bendungan supaya sawah dapat ditanami tiga kali dalam setahun,” kata Iwan.

Pada periode 2005-2009, menurut Iwan, selesai dibangun 10 bendungan, yakni Bendungan Keuliling (Aceh), Lodan (Jateng), Kedungbrubus (Jatim), Benel (Bali), Pernek dan Tibu Kuning (NTB), Lokojange, Danau Tua, Haekrit (NTT), dan Ponre-Ponre (Sulsel). (DAY/RYO)

Jakarta, Kompas - Jumat, 17 Juli 2009 | 04:08 WIB

Source:http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/17/0408055/jangan.memaksa.menanam.padi

Potensi Besar Kebakaran Lahan

Pemantauan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional menggunakan Satelit Terra/Aqua menunjukkan jumlah titik panas saat ini cenderung terus bertambah. Sementara itu, saat ini merupakan masa dampak El Nino biasa terjadi.

Data dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) menunjukkan potensi kebakaran hutan yang membesar yang ditunjukkan oleh luas lahan yang terus membesar.

”Di kawasan Asia Tenggara jumlah titik panas di Indonesia sejak akhir April 2009 lalu hingga sekarang adalah yang terbanyak. Titik panas mengindikasikan potensi kebakaran lahan atau kebakaran hutan yang kini terus membesar,” kata Kepala Bidang Pengembangan Pemanfaatan Penginderaan Jauh Lapan Orbita Roswintiarti, Kamis (17/7).

Pada data terakhir per 15 Juli 2009 disebutkan terdapat 65 titik panas yang terpusat di wilayah Sumatera dan sebagian lainnya di Kalimantan.

Pada Juli 2009 tercatat titik panas terbanyak terjadi pada 4 Juli 2009, yaitu 128 titik panas. Paling sedikit, 11 titik panas, terjadi pada 2 Juli 2009.

Lapan saat ini telah menerapkan Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran. Peringkat tersebut diterapkan di empat provinsi di Sumatera, yaitu Jambi, Riau, Sumatera Selatan, dan Lampung, serta seluruh provinsi di Kalimantan sebagai wilayah yang paling berpotensi terjadi kebakaran.

Lokasi di lahan gambut

Menurut Orbita, informasi yang paling penting diwaspadai untuk sistem peringatan dini supaya kebakaran tidak meluas dan berkepanjangan adalah lokasi titik panas di lahan gambut.

Selain itu, patut diwaspadai pula pengaruh gejala El Nino yang akan menimbulkan kemarau berkepanjangan.

”Saat ini El Nino masih lemah. Peluang akan terjadi El Nino masih fifty-fifty (50 persen), tetapi anehnya jumlah titik panas cukup banyak,” kata Orbita.

El Nino merupakan gejala penurunan suhu permukaan Samudra Pasifik bagian barat. Akibatnya, Samudra Pasifik tidak bisa menyuplai uap air menjadi awan hujan di wilayah Indonesia. Akhirnya, wilayah Indonesia terancam mengalami kemarau lebih panjang.

Awalnya, kejadian El Nino berlangsung tujuh tahunan. Namun, sekarang intensitasnya makin meningkat antara tiga sampai empat tahun sekali. Hal ini oleh sejumlah pakar lingkungan dan meteorologi disebutkan sebagai indikasi terjadinya anomali iklim atau bahkan perubahan iklim.

Gejala muncul lagi

Periode gejala El Nino yang terjadi di Indonesia antara lain tahun 1982, 1987, 1991, 1994, 1997, 2002, dan 2006. Pada tahun 2009 ini diprediksikan akan terjadi gejala El Nino lagi.

Menurut Orbita, informasi dini mengenai titik panas dari citra satelit membutuhkan tambahan data dengan melakukan observasi ke lapangan.

Pemerintah daerah bersangkutan diharapkan berlaku aktif dengan memantau titik panas atau hot spot dan segera memadamkannya ketika telah berubah menjadi titik api.

Secara terpisah, pakar perubahan iklim Institut Pertanian Bogor (IPB), Hidayat Pawitan, mengatakan, makin bertambahnya titik panas juga mengindikasikan makin rusaknya kawasan vegetasi hutan.

Menurut Hidayat, kapasitas penginderaan jarak jauh dengan satelit itu menyebutkan adanya titik panas yang tidak selalu sama dengan titik api.

”Titik panas suatu wilayah akan terpantau satelit jika kawasan di daratan itu suhunya mencapai lebih dari 50 derajat celsius,” kata Hidayat.

Menurut dia, lahan atau hutan yang rusak dan terpapar sinar matahari secara terus-menerus dapat menahan panas hingga 50 derajat celsius atau lebih. Jadi kawasan itu akan terpantau satelit sebagai titik panas.

Orbita mengatakan, data per 15 Juli 2009 ada beberapa titik panas di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Di wilayah tersebut diperkirakan titik panas muncul bukan akibat kebakaran, melainkan suhu di daratan yang terpantau mencapai lebih dari 50 derajat celsius akibat paparan sinar matahari terus-menerus.

”Ranting dan daun-daun kering mampu menyerap suhu sampai 50 derajat celsius. Ketika itu berada di lokasi yang terbuka atau di lahan gambut yang telah mengering, akan menjadi mudah terbakar,” lanjut Orbita. (NAW)

Jakarta, Kompas - Jumat, 17 Juli 2009 | 04:53 WIB

Source:http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/17/04531076/potensi.besar.kebakaran.lahan

Saturday, July 18, 2009

Total Emisi Karbon Indonesia 640 Giga Ton

Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH) menyebutkan selama kurun waktu lima tahun (2003 - 2008) total sumber emisi karbondioksida (CO2) di Indonesia setara dengan 638,975 giga ton CO2.

Hal tersebut diungkapkan Deputi III Menteri Negara Lingkungan Hidup (MenLH) Bidang Peningkatan Konservasi Sumber Daya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan, Masnellyarti Hilman, dalam pemaparannya pada acara pembahasan menuju Ekonomi Hijau (Green Economic) di Jakarta, Jumat (26/6).

Masnellyarti atau lebih akrab dipanggil Nelly menjelaskan total sumber emisi Indonesia tersebut terdiri atas konversi hutan dan lahan sebesar 36 persen, emisi penggunaan energi sebesar 36 persen, emisi limbah 16 persen, emisi pertanian 8 persen dan emisi dari proses industri 4 persen.

Sedangkan sumber utama emisi Gas Rumah Kaca (GRK) tersebut antara lain berasal dari kegiatan hutan dan konversi lahan; perubahan dalam hutan dan persediaan biomass lainnya, industri manufaktur dan konstruksi, transportasi, sumber aktifitas dan panas, pembuangan terbuka limbah padat, air limbah, pengerjaan lahan padi, dan rumah tangga.

Untuk mengurangi emisi GRK dan menghadapi perubahan iklim, lanjut Nelly, Indonesia telah membuat Rencana Aksi Nasional dalam menghadapi Perubahan Iklim (RAN PI) dengan strategi pembangunan pro-poor,pro-job, pro-growth, dan pro-environment.

Sedangkan target RAN PI dalam hal mitigasi memfokuskan pada dua hal yaitu pada sektor energi dan sektor konversi hutan dan lahan. Untuk sektor energi dengan kebijakan penggunaan energi bauran (mix energy) mempunyai target penggunaan energi terbarukan 15 persen, penggunaan energi panas bumi sebesar 20 persen, penggunaan Carbon Capture Storage (CCS) sebesar 37 persen dan penurunan emisi GRK pada 2025 sebesar 17 persen,

Untuk sektor konversi hutan dan lahan menargetkan dapat merehabilitasi 36, 31 juta hektare dari 53,8 juta hektare hutan terdegradasi pada 2025. (Ant/OL-03)

JAKARTA--MI:Jumat, 26 Juni 2009 22:08 WIB

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...