Tuesday, August 25, 2009

Soal Tari Pendet Diselesaikan di EPG

Wakil Duta Besar Malaysia Dipanggil

Berkaitan dengan tari pendet, hasil budaya Indonesia yang dijadikan iklan pariwisata Malaysia, Pemerintah Indonesia akan melakukan protes. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berharap masalah itu bisa diselesaikan melalui eminent person group Indonesia-Malaysia.

”Yang jelas sudah ada eminent person group (EPG). Jadi Malaysia dan Indonesia mestinya, jika ada hal-hal semacam ini, bisa menyelesaikannya melalui EPG,” ujar Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng di Istana Negara, Jakarta, Senin (24/8).

EPG Indonesia terdiri atas Jenderal (Purn) Try Sutrisno (Ketua), Quraish Shihab, Musni Umar, dan Des Alwi Abubakar. Tujuan dari pembentukan EPG Indonesia dan Malaysia, menurut Juru Bicara Kepresidenan Dino Patti Djalal, untuk mengkaji hubungan kedua negara secara keseluruhan dan mempelajari masalah-masalah yang kerap timbul di antara kedua negara.

Presiden Yudhoyono hari Selasa ini dijadwalkan akan menerima laporan resmi dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik.

”Kalau tari pendet, semua orang sudah tahu itu berasal dari Bali. Mana mungkin itu dari tempat lain. Kalau tari Melayu, mungkin ada share culture. Namun, kalau tari pendet, ya enggak ada ceritanya bukan dari Bali,” ujar Andi.

Diantar langsung

Secara terpisah, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik mengatakan, surat protes kepada Pemerintah Malaysia diantarkan langsung ke Kuala Lumpur, Senin siang. Wakil Duta Besar Malaysia di Indonesia Amran Mohamed Zain pun sudah dipanggil dan ditegur.

”Surat protes akan diantar langsung dengan didampingi Duta Besar RI di Malaysia ke Kementerian Kebudayaan, Kesenian, dan Warisan Budaya Malaysia,” kata Jero Wacik.

Seperti diberitakan, penayangan tari pendet dalam iklan ”Enigmatic Malaysia” di saluran televisi Discovery Channel untuk pariwisata Malaysia telah menimbulkan reaksi dari berbagai kalangan di Tanah Air. Bahkan, di Bali, puluhan seniman, Sabtu (22/8), melakukan protes. Protes dipimpin guru besar Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Wayan Dibia. Protes ini disampaikan kepada Ida Ayu Agung Mas, anggota Dewan Perwakilan Daerah, di Taman Budaya Denpasar.

Menurut Dibia kepada pers, tari pendet merupakan warisan budaya Bali secara turun-temurun. Berdasarkan pengamatan Dibia, penari pendet dalam iklan tersebut merupakan alumnus ISI Denpasar yang bernama Lusia dan Wiwik. Pengambilan gambar dilakukan dua tahun lalu.

Menurut Wacik, Pemerintah Indonesia dan Malaysia sebenarnya telah mempunyai perjanjian bilateral untuk menangani setiap sengketa yang timbul antara kedua belah pihak. Perjanjian ini dibuat tahun 2007.

Ini terjadi setelah tahun 2007 lagu ”Indang Sungai Garinggiang” ciptaan Tiar Ramon dari Minangkabau digunakan oleh delegasi kesenian Malaysia pada Asia Festival 2007 di Osaka, Jepang. Kemudian ”Rasa Sayange” asal Maluku digunakan untuk jingle Visit Malaysia 2007. Kemudian, klaim Reog Ponorogo di situs web pariwisata Malaysia.

”Untuk mata budaya yang grey area, kedua pihak sepakat saling memberi tahu dan meminta izin apabila digunakan dalam iklan komersial di setiap negara,” kata Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik.(INU/NAL/BEN)

Selasa, 25 Agustus 2009 | 04:54 WIB
Jakarta, Kompas -http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/25/04541080/soal.tari.pendet.diselesaikan.di.epg

Clayton, Penjaga Hutan Nantu dari Inggris

 Tahun 1869, sang naturalis legendaris Alfred Russel Wallace (1823-1913) dari Desa Hurstpierpoint, wilayah Sussex, Inggris, menyelesaikan buku catatan perjalanannya. Buku itu diberi judul The Malay Archipelago dan di dalamnya membahas Garis Wallace.

Wallace menemukan ada dua kelompok fauna yang berbeda antara wilayah timur dan barat. Garis pembatas itu disebut Garis Wallace. Garis pembatas itu ada di antara Pulau Bali dan Lombok serta antara Kalimantan dan Sulawesi.

Wallace mengungkap, fauna Sulawesi aneh dan ganjil. Kemungkinan sebagian Sulawesi ada yang masuk Asia dan sebagian masuk Australia. Sejak itulah, Sulawesi atau Celebes dikenal misterius dengan fauna uniknya.
Pada era berbeda dan generasi yang berbeda pula, tepatnya tahun 1986, dari desa yang sama dengan Wallace, mahasiswi Universitas Oxford, Inggris, Lynn Clayton, menyusuri belantara Sulawesi. Saat itu, Clayton membantu Dr Anthony J Whitten membuat buku The Ecology of Sulawesi.

Clayton yang saat itu masih S-1 seolah menelusuri ”dongeng-dongeng” yang diceritakan Wallace. Takjub sekaligus bangga bisa merealisasikan mimpi masa kecilnya menjadi konservasionis. ”Saya tahu, kalau Wallace pernah tinggal di desa saya, baru tahun lalu,” katanya.

Ekspedisi pertama itu membuatnya jatuh cinta dengan hutan Sulawesi, yang selanjutnya membuat dia tetap di Sulawesi hingga kini. Mendedikasikan hidupnya untuk konservasi hutan primer di Hutan Nantu, Boliyohuto-Paguyaman, Gorontalo.

Ya, 23 tahun jika dihitung sejak ekspedisi pertamanya. Tampaknya Clayton ingin menerapkan betul teori yang dia dapatkan. Menjadi intelektual organik, bekerja di tengah problem riil masyarakat.

”Saya masih menjadi peneliti Universitas Oxford, tetapi saya suka kerja di lapangan. Saya tak bisa meninggalkan kerja lapangan,” kata ”doktor babi rusa” ini.

Awalnya babi rusa

Clayton meraih gelar S-3 tahun 1996 dari hasil penelitian di Hutan Nantu dengan judul ”Conservation Biology of the Babirusa in Sulawesi, Indonesia”. Babi rusa (Babyrousa babyrussa) sejak 1996 masuk kategori langka dan dilindungi IUCN dan CITES.

Babi rusa unik karena memiliki taring yang tumbuh dari hidung, bengkok ke belakang sampai di depan matanya. Clayton tak hanya menjadi peneliti, tetapi juga ikut memikirkan bagaimana konservasi satu satwa langka berbuah pada konservasi untuk kelestarian hutan dan kesejahteraan warga.

Jangan sepelekan satu binatang babi rusa. Selain hewan ini hanya ada di Sulawesi dan sekitarnya, spesies ini bisa menjadi ikon atau spesies kunci untuk konservasi.

Melindungi satu spesies kunci tak akan bisa berhasil jika tidak diikuti dengan konservasi habitatnya. Mengonservasi habitat spesies kunci berarti mengonservasi hutan secara umum beserta isinya. Itulah prinsip ekologi yang sedang diembannya.

Penelitian babi rusa merupakan jalan panjang yang harus dilalui Clayton. Dimulai tahun 1988, setelah menyelesaikan ekspedisi, dia kemudian mengajukan proposal penelitian soal babi rusa di Sulawesi untuk studi pascasarjana.

Tahun 1989, selama enam bulan dia mencoba mencari tempat untuk pengamatan, tetapi tak kunjung ketemu. Di tengah keputusasaan, sampailah dia ke Sungai Nantu. Di kawasan itulah dia menemukan daerah yang sering didatangi babi rusa.

”Ada lokasi terbuka berukuran 20 meter x 60 meter dikelilingi pepohonan dan di tengah lokasi terdapat sumber air panas. Lokasi itu merupakan tempat berkumpul hewan-hewan unik dan langka, ada babi rusa, anoa, dan masih banyak lagi, tetapi rata-rata didominasi babi rusa,” katanya.

Tempat itulah satu-satunya di dunia untuk melihat langsung babi rusa di alam terbuka. ”Orang menyebut lokasi itu adudu,” katanya.

Akhirnya, di tepi sungai di tengah hutan belantara, dia membuat gubuk tempat tinggal sekaligus pos penelitian selama berbulan-bulan.

Di kubangan itu dia pernah melihat rombongan babi rusa hingga 44 ekor, bercengkerama, minum, dan menjilati tanah di kubangan. Babi rusa menjilati tanah yang kaya mineral itu untuk menetralisasi racun buah pangi yang mereka makan.


Tahun 1994, para pembalak liar mulai merangsek ke wilayah Nantu. Melihat ancaman itu, Clayton dan kawan-kawan dari beberapa universitas dan pemerintahan lokal berinisiatif mengajukan daerah tersebut sebagai kawasan konservasi.

”Saya bersama teman-teman dari Institut Pertanian Bogor dan Kanwil Kehutanan Sulawesi Utara memulai upaya ke Departemen Kehutanan Jakarta untuk mengajukan hutan itu sebagai kawasan konservasi,” katanya.
Tahun 1994 perusakan hutan mulai terjadi. ”Siang malam saya diliputi kesedihan mendengar bunyi pohon roboh, gergaji mesin meraung-raung, memorak-porandakan hutan yang saya kagumi,” katanya.

Beberapa adudu hancur. Setiap hari hewan langka, seperti babi rusa, rusa dan anoa, dijumpai mati akibat jerat yang dipasang orang. Maka, tekad Clayton makin menyala untuk mendorong peningkatan keamanan hutan dengan bantuan kepolisian.

Upaya lain adalah memublikasikan keanekaragaman hayati Hutan Nantu dalam skala lokal, nasional, maupun internasional. Ya, keahlian Clayton dengan otoritas doktornya memang punya akses ke dunia internasional.

Tahun 1999 Hutan Nantu ditetapkan Menteri Kehutanan sebagai hutan konservasi dengan status Suaka Margasatwa seluas 31.215 hektar. ”Keputusan ini merupakan secercah harapan untuk menata kembali Hutan Nantu yang rusak,” katanya.

”Berkat patroli dari kepolisian, untuk sementara Hutan Nantu aman. Namun, illegal logging dan transmigrasi tetap jadi ancaman ke depan,” ujarnya.

Setelah relatif aman, apakah Clayton hendak pulang ke desanya untuk menulis laporan perjalanannya? ”Belum. Tujuan saya belum tercapai, masih tahap perjuangan. Tujuan utama saya adalah hutan lestari dan masyarakat sejahtera,” katanya.

Senin, 24 Agustus 2009
Source: http://sains.kompas.com/read/xml/2009/08/24/08394760/clayton.penjaga.hutan.nantu.dari.inggris

Monday, August 24, 2009

Indonesia Terjebak Impor Pangan

GARAM PUN DIIMPOR SENILAI Rp 900 MILIAR


Kebijakan pembangunan ekonomi nasional yang bias industri mengabaikan pengembangan potensi pangan lokal dan pemenuhan kebutuhan pangan warga. 

Akibatnya, Indonesia kian terjebak dalam arus impor pangan. Lebih dari 5 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 50 triliun lebih devisa setiap tahun terkuras untuk mengimpor pangan.

Ketergantungan terhadap pangan impor menempatkan Indonesia pada kondisi dilematis. Fluktuasi harga pangan dunia siap menguras devisa lebih besar lagi. Sendi ekonomi bangsa bisa ambruk kapan saja apabila pasokan dari luar terhenti total karena berbagai alasan.

Krisis kedelai tahun 2007 menjadi pelajaran berharga betapa ketergantungan terhadap pangan impor memicu gejolak sosial masyarakat karena harga tempe dan tahu melonjak tajam. Pasokan impor pun minim. Padahal, kedua produk makanan itu menjadi makanan favorit sebagian besar rakyat Indonesia.

Di sisi lain, pengadaan pangan dari dalam negeri, seperti beras, tebu, dan jagung, juga rentan. Munculnya ancaman kekeringan yang lebih lama akibat fenomena iklim El Nino kian mengkhawatirkan.

Kondisi itu bisa dihindari jika petani diberdayakan dan juga infrastruktur pengairan diperhatikan. Fungsi sebagai penyedia dan pengatur air pada saat kemarau harus efektif. Namun, selain terkendala dana, langkah ini juga karena keinginan mengimpor jauh lebih besar daripada mengoptimalkan potensi yang ada tetapi masih terabaikan.

”Ada rencana pemerintah untuk membuka 500.000 hektar lahan pertanian di luar Jawa, tetapi mungkinkah terpenuhi kebutuhan airnya? Pemerintah masih harus membangun embung, bendung, dan bendungan. Belum lagi jaringan irigasinya, sedangkan dana pemerintah terbatas,” kata Direktur Jenderal Sumber Daya Air Departemen Pekerjaan Umum Iwan Nursyirwan.

Berkaca kepada Zimbabwe, pada tahun 1970-an hingga 1980-an negara itu adalah pengekspor produk pertanian seperti tembakau, kedelai, dan jagung. Namun, kini Zimbabwe mengalami hiperinflasi karena pasokan produk pangan yang minim, sementara cadangan devisa menipis akibat ekspor yang turun. Ini setelah sektor pertanian yang tadinya andal diabaikan.

Garam pun impor


Data menunjukkan, setiap tahun Indonesia harus mengeluarkan devisa setara dengan Rp 50 triliun untuk membeli enam komoditas pangan dari negara lain. Angka itu sekitar 5 persen dari APBN. Komoditas tersebut meliputi kedelai, gandum, daging sapi, susu, dan gula. Bahkan, garam yang sangat mudah diproduksi di dalam negeri karena sumber dayanya tersedia secara cuma-cuma dari alam tetap masih harus diimpor sebanyak 1,58 juta ton per tahun senilai Rp 900 miliar.

Nilai impor kedelai rata-rata setiap tahun mencapai 595 juta dollar AS (setara dengan Rp 5,95 triliun), gandum 2,25 miliar dollar AS (Rp 22,5 triliun), gula 859,5 juta dollar AS (Rp 8,59 triliun), daging sapi 480 juta dollar AS (Rp 4,8 triliun), susu 755 juta dollar AS (Rp 7,55 triliun), dan garam 90 juta dollar AS (Rp 900 miliar).

Berdasarkan data dari Departemen Perindustrian, impor bahan baku susu bagi industri susu maupun industri makanan mencapai 655 juta dollar AS per tahun. Bila ditambah impor dalam bentuk produk olahan, angkanya naik 140 juta dollar AS lagi menjadi 795 juta dollar AS.

Guru besar ilmu ekonomi Institut Pertanian Bogor yang sekaligus Sekretaris Jenderal Asia Pacific Agricultural Policy Forum, Hermanto Siregar, Minggu (23/8) di Bogor, Jawa Barat, mengungkapkan, dampak langsung impor pangan adalah terkurasnya devisa negara.

”Karena kita harus mengeluarkan uang untuk mengimpor, potensi pendapatan negara berkurang sebesar nilai impor yang dikeluarkan,” ujar Hermanto.

Adapun dampak tidak langsung berupa kehilangan peluang penyerapan tenaga kerja yang lebih besar. Keinginan untuk mengurangi jumlah penganggur tidak bisa maksimal. Padahal, dengan memproduksi pangan sendiri, peluang kerja terbuka luas.

”Kita bisa bayangkan dengan anggaran 4,7 miliar dollar AS akan menyerap berapa banyak tenaga kerja,” katanya.

Karena itu, komoditas apa pun yang memungkinkan untuk diproduksi sendiri harus dilakukan secara optimal oleh pemerintah dan semua pemangku kepentingan. Sambil meningkatkan produksi, pengembangan industri berbasis pertanian juga harus dilakukan agar bisa mendapatkan nilai tambah. Ini manfaatnya besar bagi makroekonomi.

Bagi komoditas yang belum mampu diproduksi sendiri seperti kedelai dan gandum karena merupakan tanaman subtropis, perlu adanya langkah strategis melakukan substitusi. Karena kehilangan potensi peluang kerja, secara otomatis hilang juga potensi peningkatan daya beli masyarakat. Daya beli merupakan faktor penting menggerakkan perekonomian dan keberlangsungan industri.

Tidak adil


Ahli Peneliti Utama Bidang Kebijakan Pertanian Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Husein Sawit, mengatakan, berlaku ramah terhadap produk impor sama halnya dengan membiarkan ketidakadilan berlaku di hadapan kita. Impor pangan sebagian besar berasal dari negara maju seperti AS, Australia, Kanada, dan Uni Eropa.

Harga komoditas pangan impor dari negara-negara tersebut murah akibat subsidi yang besar yang terkait dengan subsidi ekspor. ”Ini tidak adil karena petani kita yang berlahan sempit harus berhadapan dengan komoditas pertanian impor yang disubsidi besar,” katanya.

”Orang lain ada yang bilang lebih baik impor karena harga murah. Namun, ini tidak bisa karena impor tidak bisa menyubstitusi kebutuhan masyarakat terhadap pekerjaan,” katanya.

Garam misalnya, impor dilakukan karena garam lokal kalah kualitas. Namun, kini puluhan ribu petani garam di sebagian besar pesisir Nusantara secara perlahan menganggur.

Pupon, pengusaha garam UD Apel Merah di Kecamatan Kaliori, Rembang, Jawa Tengah, Sabtu (8/8), mengakui, garam lokal tidak mampu bersaing dengan garam impor karena kalah kualitas. Garam impor mengandung NaCl 97 persen ke atas, sedangkan garam lokal paling bagus 80 persen.

Akibatnya, menurut Pupon, garam impor telah merebut sebagian pasar garam lokal di Jakarta, Serang, Yogyakarta, dan Cilegon. Ketika harga garam impor beda tipis dengan garam lokal, minat konsumen terhadap garam lokal pun anjlok. UD Apel Merah yang biasa mengirim garam 8-10 truk gandeng per bulan ke kota-kota tersebut kini hanya mengirim garam 1-2 truk gandeng per bulan.

Kepala Bagian Produksi UD Apel Merah Djono mengatakan sangat mudah memperbaiki kualitas garam lokal agar NaCl mencapai 97 persen. Caranya dengan mengeringkan garam selama 15-20 hari. NaCl garam lokal rendah karena petani garam memanen garam setelah dikeringkan 3-4 hari. ”Petani lebih mementingkan urusan perut ketimbang kualitas,” katanya.

Pemerintah bisa mengalihkan dana impor Rp 900 miliar untuk perbaikan mutu ini.(MAS/RYO/hen/abk/eko/naw/gal/eng/bee/mkn/sup)

Jakarta, 24 Agustus 2009
Source: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/xml/2009/08/24/05502461/indonesia.terjebak.impor.pangan

Jejak Astronot Terlihat di Bulan


Foto-foto terbaru dari wahana penjelajah Bulan milik NASA sepertinya bakal mengakhiri perdebatan, apakah astronot AS benar-benar pernah mendarat di Bulan.

Foto-foto yang diambil dari kamera wahana Lunar Reconnaissance Orbiter (LRO) itu menunjukkan jejak-jejak kaki dua astronot Apollo yang berusaha mencapai sebuah kawah di Bulan. Ket Foto: James Irwin, astronot Apollo 15 sedang menjelajahi bulan.


Foto tersebut memperlihatkan dataran di sekitar lokasi pendaratan Apollo 14, tempat astronot Alan Shepard dan Edgar Mitchell menjejakkan kaki di bulan pada 5 Februari 1971 menggunakan pendarat Antares.

Foto yang diperlihatkan minggu lalu itu menunjukkan bahwa kedua astronot sempat mendekati bibir kawah Cone Crater pada jarak sekitar 30 meter sebelum mereka memutuskan untuk kembali lagi.

Sekilas, foto tersebut memperlihatkan permukaan bulan yang polos tanpa ada tanda-tanda kehadiran manusia. Namun, jika diamati lebih detail, terlihat beberapa jejak pendaratan Antares dan keberadaan astronot yang tampak di sisi kiri bawah foto. Jejak sepatu Shepard dan Mitchell terlihat sedikit lebih gelap dibanding dataran sekitarnya.

Wilayah bulan yang dieksplorasi Shepard dan Mitchell dalam misi Apollo 14 adalah daerah berbukit dan berbatu yang disebut dataran tinggi Fra Mauro. Misi ini adalah yang ketiga dari enam kali pendaratan Apollo ke Bulan antara 1969 dan 1972.

LRO sebelumnya sudah mengirimkan foto lokasi pendaratan Apollo 14 serta daerah yang dikenal sebagai Tranquility Base, lokasi pendaratan pertama di Bulan. Tranquility Base didarati astronot Apollo 11 pada 20 Juli 1969.
.
Perburuan Cone Crater

Pada 6 Februari 1971, pada perjalanan kedua dari kunjungan selama 33 jam di Bulan, Shepard dan Mitchell mencoba mencapai Cone Crater untuk melihat bagian dasarnya. Kawah itu berada sekitar 1,4 km dari Antares sehingga pendarat tersebut tidak terlihat oleh para astronot. Selain itu, kawasan yang berbukit menyebabkan perjalanan menjadi melelahkan.

Lebih parah lagi, Shepard dan Mitchell kesulitan mendaki di permukaan Bulan yang lembut. "Masalah lainnya, ketidakstabilan permukaan di daerah itu membuat mereka kesulitan menandai lokasi yang akan mereka lalui," tulis Shepard yang meninggal tahun 1998. "Ed dan saya kesulitan memutuskan, jalan mana yang akan kami tempuh, seberapa jauh kami sudah berjalan, dan di mana kami saat itu."

"Dan kemudian datanglah saat paling membuat frustrasi dalam perjalanan itu. Kami mengira sudah dekat dengan kawah. Namun ternyata, kami berada di tepi kawah lain yang lebih kecil, dan masih agak jauh dari Cone Crater," tulisnya. "Saat itu kami menghubungi Houston (pusat pengendali misi) dan memberi tahu posisi kami meragukan."

Keduanya akhirnya tidak melanjutkan perjalanan menuju Cone Crater dan kembali ke pendarat Antares.
Pada foto LRO, salah satu penanda lokasi yang disebut Saddle Rock—sebelumnya pernah difoto oleh Shepard dan Mitchell—bisa terlihat. Dari foto itu tampak betapa dekat sebenarnya para astronot dari tujuan mereka.

Saat Shepard dan Mitchell berjalan di permukaan Bulan, rekan mereka, Stuart Roosa, mengorbit Bulan dalam modul komando. Mereka meninggalkan Bulan pada 6 Februari 1971 dan kembali ke Bumi tiga hari kemudian.

Jakarta, 24 Agustus 2009
Source:http://sains.kompas.com/read/xml/2009/08/24/16281438/jejak.astronot.terlihat.di.bulan

WSN
Sumber : SPACE.COM

Telkom Sambut Positif Terbitnya Regulasi IPTV


PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) menyambut baik terbitnya Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 30/PER/ M.KOMINFO/8/2009 tentang Penyelenggaraan Layanan Televisi Protokol Internet (Internet Protocol Television/IPTV) di Indonesia tanggal 19 Agustus 2009.

"Kami menyambut baik keluarnya regulasi tersebut karena akan memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan layanan IPTV sebagai area bisnis baru yang menjanjikan," ujar Vice President Public and Marketing Communication Telkom, Eddy Kurnia, Senin (24/8) di Jakarta.

Eddy menegaskan, tak memungkiri, Telkom juga menaruh minat untuk terjun di bisnis layanan IPTV mengingat berbagai alasan, di antaranya: kesiapan infrastrukur Telkom dalam mendukung pengembangan IPTV; in-line dengan strategy dan tranformasi bisnis Telkom, terutama dalam kaitan menumbuhkan bisnis baru (grow new wave); IPTV bisa menjadi wahana (vehicle) yang efektif untuk merevitalisasi bisnis fixed line yang sedang mengalami fase menurun (declining).

Selain itu, kata Eddy Kurnia, potensi bisnis IPTV cukup menjanjikan seiring dengan perubahan lifestyle masyarakat dalam berhubungan dengan media. "IPTV itu benar-benar akan mengakomodasi keinginan orang untuk memanfaatkan media melalui cara-cara yang sangat nyaman, praktis dan ekonomis, sehingga akan digandrungi orang," ujarnya.

Berbeda


Sebagaimana diatur dalam PM 30/2009, IPTV adalah teknologi yang menyediakan layanan konvergen dalam bentuk siaran radio dan televisi, videoaudio, teks, grafik dan data yang disalurkan ke pelanggan melalui jaringan protokol internet yang dijamin kualitas layanannya, keamanannya, kehandalannya, dan mampu memberikan layanan komunikasi dengan pelanggan secara dua arah atau interaktif dan real time dengan menggunakan televisi standar.

Dalam bahasa lain, IPTV tak ubahnya layanan TV berbayar yang ditransmisikan melalui jaringan Internet Protocol (IP). Lantas, dapat ditonton di rumah melalui p eralatan penerima TV dengan tambahan sebuah Set Top Box (IP-STB) sebagai salah satu komponen kunci. Berbeda dengan TV Internet yang biasa kita saksikan di situs-situs seperti YouTube, IPTV merupakan jaringan tertutup yang hanya dapat diakses oleh mereka yang berlangganan saja.

IPTV menyediakan konten program televisi ( sport, news, film , dan lain-lain) dan konten hiburan interaktif lainnya (musik, game, advertising) melalui suatu jaringan broadband IP network yang aman (secure ) dan dikelola secara akurat/end to end oleh service provider. Sedangkan pada sisi client atau user layanan yang bersifat multicast (dari satu sumber untuk banyak pengakses) ini dapat diakses menggunakan terminal PC/desktop maupun pesawat televisi dengan tambahan perangkat yang disebut IP Set Top Box (IP-STB).

IPTV berbeda dengan program video streaming yang disiarkan melalui internet. IP di sini berarti suatu metode pengiriman informasi TV melalui suatu jaringan IP yang aman dan bisa di-manage oleh service providernya, termasuk bandwidth dan aspek keamanan informasinya. Hal tersebut memungkinkan penonton menikmati layananentertainment yang sangat memuaskan dengan kualitas siaran yang terjamin.

IPTV berkembang pesat di Luar Negeri, baik di megara maju maupun negara berkembang , antara lain karena sifat-sifat layanannya yang personal, ubiquitous, dengan kualitas gambar dan suara yang prima, serta mempunyai nilai beli yang tinggi. IPTV diharapkan dapat menjadi peluang bisnis industri dalam negeri.     
Haryo Damardono

Senin, 24 Agustus 2009 | 12:31 WIB

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...