Tuesday, August 25, 2009

Clayton, Penjaga Hutan Nantu dari Inggris

 Tahun 1869, sang naturalis legendaris Alfred Russel Wallace (1823-1913) dari Desa Hurstpierpoint, wilayah Sussex, Inggris, menyelesaikan buku catatan perjalanannya. Buku itu diberi judul The Malay Archipelago dan di dalamnya membahas Garis Wallace.

Wallace menemukan ada dua kelompok fauna yang berbeda antara wilayah timur dan barat. Garis pembatas itu disebut Garis Wallace. Garis pembatas itu ada di antara Pulau Bali dan Lombok serta antara Kalimantan dan Sulawesi.

Wallace mengungkap, fauna Sulawesi aneh dan ganjil. Kemungkinan sebagian Sulawesi ada yang masuk Asia dan sebagian masuk Australia. Sejak itulah, Sulawesi atau Celebes dikenal misterius dengan fauna uniknya.
Pada era berbeda dan generasi yang berbeda pula, tepatnya tahun 1986, dari desa yang sama dengan Wallace, mahasiswi Universitas Oxford, Inggris, Lynn Clayton, menyusuri belantara Sulawesi. Saat itu, Clayton membantu Dr Anthony J Whitten membuat buku The Ecology of Sulawesi.

Clayton yang saat itu masih S-1 seolah menelusuri ”dongeng-dongeng” yang diceritakan Wallace. Takjub sekaligus bangga bisa merealisasikan mimpi masa kecilnya menjadi konservasionis. ”Saya tahu, kalau Wallace pernah tinggal di desa saya, baru tahun lalu,” katanya.

Ekspedisi pertama itu membuatnya jatuh cinta dengan hutan Sulawesi, yang selanjutnya membuat dia tetap di Sulawesi hingga kini. Mendedikasikan hidupnya untuk konservasi hutan primer di Hutan Nantu, Boliyohuto-Paguyaman, Gorontalo.

Ya, 23 tahun jika dihitung sejak ekspedisi pertamanya. Tampaknya Clayton ingin menerapkan betul teori yang dia dapatkan. Menjadi intelektual organik, bekerja di tengah problem riil masyarakat.

”Saya masih menjadi peneliti Universitas Oxford, tetapi saya suka kerja di lapangan. Saya tak bisa meninggalkan kerja lapangan,” kata ”doktor babi rusa” ini.

Awalnya babi rusa

Clayton meraih gelar S-3 tahun 1996 dari hasil penelitian di Hutan Nantu dengan judul ”Conservation Biology of the Babirusa in Sulawesi, Indonesia”. Babi rusa (Babyrousa babyrussa) sejak 1996 masuk kategori langka dan dilindungi IUCN dan CITES.

Babi rusa unik karena memiliki taring yang tumbuh dari hidung, bengkok ke belakang sampai di depan matanya. Clayton tak hanya menjadi peneliti, tetapi juga ikut memikirkan bagaimana konservasi satu satwa langka berbuah pada konservasi untuk kelestarian hutan dan kesejahteraan warga.

Jangan sepelekan satu binatang babi rusa. Selain hewan ini hanya ada di Sulawesi dan sekitarnya, spesies ini bisa menjadi ikon atau spesies kunci untuk konservasi.

Melindungi satu spesies kunci tak akan bisa berhasil jika tidak diikuti dengan konservasi habitatnya. Mengonservasi habitat spesies kunci berarti mengonservasi hutan secara umum beserta isinya. Itulah prinsip ekologi yang sedang diembannya.

Penelitian babi rusa merupakan jalan panjang yang harus dilalui Clayton. Dimulai tahun 1988, setelah menyelesaikan ekspedisi, dia kemudian mengajukan proposal penelitian soal babi rusa di Sulawesi untuk studi pascasarjana.

Tahun 1989, selama enam bulan dia mencoba mencari tempat untuk pengamatan, tetapi tak kunjung ketemu. Di tengah keputusasaan, sampailah dia ke Sungai Nantu. Di kawasan itulah dia menemukan daerah yang sering didatangi babi rusa.

”Ada lokasi terbuka berukuran 20 meter x 60 meter dikelilingi pepohonan dan di tengah lokasi terdapat sumber air panas. Lokasi itu merupakan tempat berkumpul hewan-hewan unik dan langka, ada babi rusa, anoa, dan masih banyak lagi, tetapi rata-rata didominasi babi rusa,” katanya.

Tempat itulah satu-satunya di dunia untuk melihat langsung babi rusa di alam terbuka. ”Orang menyebut lokasi itu adudu,” katanya.

Akhirnya, di tepi sungai di tengah hutan belantara, dia membuat gubuk tempat tinggal sekaligus pos penelitian selama berbulan-bulan.

Di kubangan itu dia pernah melihat rombongan babi rusa hingga 44 ekor, bercengkerama, minum, dan menjilati tanah di kubangan. Babi rusa menjilati tanah yang kaya mineral itu untuk menetralisasi racun buah pangi yang mereka makan.


Tahun 1994, para pembalak liar mulai merangsek ke wilayah Nantu. Melihat ancaman itu, Clayton dan kawan-kawan dari beberapa universitas dan pemerintahan lokal berinisiatif mengajukan daerah tersebut sebagai kawasan konservasi.

”Saya bersama teman-teman dari Institut Pertanian Bogor dan Kanwil Kehutanan Sulawesi Utara memulai upaya ke Departemen Kehutanan Jakarta untuk mengajukan hutan itu sebagai kawasan konservasi,” katanya.
Tahun 1994 perusakan hutan mulai terjadi. ”Siang malam saya diliputi kesedihan mendengar bunyi pohon roboh, gergaji mesin meraung-raung, memorak-porandakan hutan yang saya kagumi,” katanya.

Beberapa adudu hancur. Setiap hari hewan langka, seperti babi rusa, rusa dan anoa, dijumpai mati akibat jerat yang dipasang orang. Maka, tekad Clayton makin menyala untuk mendorong peningkatan keamanan hutan dengan bantuan kepolisian.

Upaya lain adalah memublikasikan keanekaragaman hayati Hutan Nantu dalam skala lokal, nasional, maupun internasional. Ya, keahlian Clayton dengan otoritas doktornya memang punya akses ke dunia internasional.

Tahun 1999 Hutan Nantu ditetapkan Menteri Kehutanan sebagai hutan konservasi dengan status Suaka Margasatwa seluas 31.215 hektar. ”Keputusan ini merupakan secercah harapan untuk menata kembali Hutan Nantu yang rusak,” katanya.

”Berkat patroli dari kepolisian, untuk sementara Hutan Nantu aman. Namun, illegal logging dan transmigrasi tetap jadi ancaman ke depan,” ujarnya.

Setelah relatif aman, apakah Clayton hendak pulang ke desanya untuk menulis laporan perjalanannya? ”Belum. Tujuan saya belum tercapai, masih tahap perjuangan. Tujuan utama saya adalah hutan lestari dan masyarakat sejahtera,” katanya.

Senin, 24 Agustus 2009
Source: http://sains.kompas.com/read/xml/2009/08/24/08394760/clayton.penjaga.hutan.nantu.dari.inggris

No comments:

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...