Sunday, August 30, 2009

Untung Rugi Gulma dalam Waduk

Keberadaan gulma yang menutupi 70 persen luas genangan Waduk Batu Tegi dinilai baik karena gulma dapat mengikat unsur-unsur logam dalam air. Namun, gulma harus dikendalikan supaya tidak menutupi seluruh permukaan waduk dan daerah tangkapan air harus terus direhabilitasi untuk menekan laju erosi. Ket Foto: Tiono (40) dan Sakiyem (50) warga Kelurahan Sawah Besar, Kecamatan Gayamsari, Kota Semarang, Kamis (15/1) mengumpulkan eceng gondok (Eichhornia crassipes) untuk dijual di toko bunga. Sebagai gulma dan juga penyebab banjir karena tumbuh di rawa-rawa yang merupakan tempat penampungan air, eceng gondok mempunyai nilai ekonomis yang tinggi sebagai bahan produk kerajinan.

Peneliti Daerah Aliran Sungai (DAS) dari Universitas Lampung Irwan Sukri Banua, Minggu (30/8) mengatakan, keberadaan gulma jenis kiambang di Waduk Batu Tegi baik secara ekologis. Gulma akan mengikat unsur-unsur logam dan zat kimia di dalam perairan waduk sehingga ikan-ikan bisa berkembang baik di dalam waduk. "Gulma mampu menurunkan kadar unsur-unsur logam dan kimia dalam waduk," ujar Irwan.

Dia mengatakan, gulma tersebut muncul sebagai akibat terjadinya erosi di daerah tangkapan air di atas waduk. Saat musim kemarau saat ini, di Lampung masih terjadi hujan yang cukup deras.

Hujan saat musim kemarau menyebabkan laju erosi yang kuat. Laju erosi yang cepat yang menyebabkan sedimentasi di waduk telah meningkatkan kadar unsur hara dan mikro atau eutrofikasi di dalam waduk sehingga gulma muncul dan berkembang dengan cepat dalam tiga bulan terakhir.

Berdasarkan data pengelola Waduk Batu Tegi, penyebaran gulma di waduk tersebut saat ini sudah mencapai 70 persen dari luas genangan air seluas 16 kilometer persegi.

Irwan mengatakan, meski gulma baik secara ekologis namun pengelola waduk sebaiknya bisa mengendalikan gulma untuk tidak menutupi seluruh permukaan waduk. Gulma yang terlalu padat dan penuh akan menutupi muka air sehingga air kadar oksigen dalam air rendah dan membuat biota air tidak berkembang dan menurunkan kualitas air sebagai bahan baku air minum.

Pengendalian

Gulma bisa dikendalikan dengan cara manual, mengangkatnya ke atas dari permukan waduk , bukan dengan cara kimia karena akan meracuni air waduk. Dengan cara manual, pengelola bisa melokalisir penyebaran gulma menggunakan dua kapal motor yang dipasang jaring dan meminggirkan gulma.

Edi Sukoso, Pejabat Pembuat Komitmen Operasi dan Pemeliharaan Sumber Daya Alam Balai Besar Wilayah Sungai Mesuji-Sekampung mengatakan, saat ini satu-satunya cara yang dipakai untuk mengurangi gulma adalah meminggirkan gulma dengan jaring setinggi setengah meter sepanjang 200 meter yang dijepit dengan tiga bilah bambu memanjang.

Alat tersebut dipakai secara manual oleh pekerja harian Waduk Batu Tegi. Pekerja meminggirkan gulma ke sudut-sudut waduk kemudian mengangkatnya naik. Akan tetapi, pekerjaan manual dirasa tidak efektif karena pengangkatan gulma tidak cepat. "Kami tengah mengusulkan alokasi anggaran pengendalian gulma kepada pemerintah," ujar Edi.

Lebih lanjut Irwan mengatakan, selain melakukan upaya pengurangan penyebaran gulma, upaya lain yang juga harus dilakukan adalah mencegah laju erosi dengan cara rehabilitasi daerah tangkapan air. Saat ini s ekitar 88,82 persen dari daerah tangkapan air Waduk Batutegi seluas 43.404 hektar didominasi lahan kritis yang menimbulkan erosi.

"Selain mengendalikan persebaran gulma, sebaiknya rehabilitasi lahan dilakukan supaya laju erosi yang menyebabkan peningkatan unsur hara di waduk meningkat bisa dikendalikan," ujar Irwan.

MINGGU, 30 AGUSTUS 2009 | 19:36 WIB
Laporan wartawan KOMPAS Helena Fransisca

Status Lindung Batang Toru Mendesak Segera Ditetapkan

Status lindung pada Kawasan Hutang Batang Toru mendesak untuk segera ditetapkan. Ancaman terhadap kelestarian kawasan ini terus terjadi. Aktivitas perambahan dan pertambangan di Kawasan Hutang Batang Toru, telah mengancam keanekaragaman hayati di kawasan tersebut. Di sisi lain, Departemen Kehutanan masih belum mengubah status Kawasan Hutan Batang Toru menjadi hutan lindung, meski sudah ada permintaan resmi dari pemerintah daerah.

Menurut Manajer Program Batang Toru, Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) Tatang Yudha Komoro, dalam waktu dekat memang ada rencana Departemen Kehutanan menurunkan tim verifikasi terkait penerbitan izin hak pengusaan hutan (HPH) di Kawasan Hutan Batang Toru (KHBT).

YEL bersama konsorsium beberapa lembaga swadaya masyarakat di bidang lingkungan hidup, sebelumnya pernah melakukan kajian bersama Pemkab Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah dan Tapanuli Utara tentang perluasan KHBT. Pemda di ketiga kabupaten yang wilayahnya masuk ke dalam KHBT sepakat mengusulkan penambahan luas kawasan, dari 25.315 hektar berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 44 Tahun 2005 tentang penunjukan kawasan hutan di Sumut, menjadi 116.453 hektar.

Dari total 116.453 hektar tersebut, 85,49 persen di antaranya direkomendasikan menjadi hutan lindung berdasarkan kajian konsorsium LSM lingkungan bersama tiga pemkab. KHBT memang bukan kawasan hutan lindung, meski dari aspek keanekaragaman hayati, bentang alam dan topografi, sangat layak dijadikan kawasan lindung.

Di dalam KHBT sudah ada HPH milik PT Teluk Nauli yang sudah tidak beroperasi hampir delapan tahun. Makanya tim Departemen Kehutanan mau memverifikasinya, sekaligus melihat langsung kelayakan usulan pemda yang meminta kawasan ini dijadikan hutan lindung, ujar Tatang di Sibolga, Minggu (30/8).

Menurut Tatang, penetapan status sebagai kawasan hutan lindung sangat mendesak, mengingat saat ini masih banyak terjadi aktivitas perambahan di KHBT. "Perambahan terutama terjadi di KHBT yang masuk wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah. Masyarakat asal Nias, banyak yang membuka kawasan hutan sebagai tempat perladangan mereka," ujar Tatang.

Sedangkan di KHBT yang masuk wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan, masih terdapat aktivitas pertambangan emas dari perusahaan asing. Sebelumnya, perusahaan asal Australia memiliki konsesi di areal KHBT. Namun kata Tatang, belakangan perusahaan tersebut dibeli oleh perusahaan pertambangan asal China.

"Kami jauh lebih khawatir lagi setelah perusahaan pertambangan China tersebut membeli konsesi tambang emas di Batang Toru. Di negeri mereka sendiri, persoalan keselamatan dan lingkungan tak menjadi prioritas, apalagi ini mereka menambang di negeri orang," kata Tatang.

Menurut dia, seandainya Menteri Kehutanan sudah menetapkan KHBT sebagai kawasan hutan lindung, maka aktivitas pertambangan di dalam kawasan bisa dirundingkan untuk tidak menimbulkan dampak lingkungan yang lebih merusak. "Kalau sudah jadi hutan lindung kan bisa disepakati, agar perusahaan pertambangan hanya boleh melakukan pertambangan bawah tanah," katanya.

KHBT selama ini menjadi habitat bagi banyak satawa langka seperti tapir (Tapirus indicus), harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), kucing batu (Pardofelis marmorata), beruang madu (Helarctos malayanus) hingga kambing hutan (Neamorhedus sumat rensis). Selain itu, di dalam KHBT diketahui terdapat 265 jenis burung, di mana 59 di antaranya merupakan satwa langka khas Sumatera. Bahkan KHBT juga menjadi habitat bagi orangutan yang diduga berbeda jenisnya dengan orangutan di Taman Nasional Gunung Leuser maupun di Kalimantan.

MINGGU, 30 AGUSTUS 2009 | 20:49 WIB
Laporan wartawan KOMPAS Khaerudin

MEDAN, KOMPAS.com - http://regional.kompas.com/read/xml/2009/08/30/20494888/Status.Lindung.Batang.Toru.Mendesak.Segera.Ditetapkan

Menangkap Teroris, Satu di Antara Jutaan Orang

"Kongres dan Departemen Pertahanan harus memetik pelajaran dari (apa yang terjadi) delapan tahun terakhir dan mempersenjatai tentaranya dengan teknologi untuk bereaksi dengan cepat menghadapi lawan yang sangat terkoordinasi, luar biasa lincah bergerak, dan menguasai teknologi". (Martin Feuerstein, ”DefenseNews”, 6/7/2009)

Banyak kalangan masyarakat yang penasaran, mengapa setelah lebih dari dua pekan berlalu aparat belum dapat menangkap satu tersangka pun pelaku bom Mega Kuningan. Mencari seorang Noordin M Top di antara lebih dari 200 juta penduduk Indonesia rupanya memang bukan pekerjaan mudah.

Inovator teknologi menyadari, adanya teknologi untuk menemukan buronan amat dibutuhkan. Sebagian didasarkan pada kenyataan, semenjak serangan World Trade Center 11 September 2001, perang konvensional banyak digantikan perang memburu teroris.

Dengan terjadinya bom Mega Kuningan, 17 Juli lalu, Indonesia pun masuk dalam deretan negara yang membutuhkan teknologi pencari atau penemu lokasi seseorang.

Dalam kaitan teknologi yang bisa melacak lokasi teroris ini, uraian Martin Feuerstein, chief technology officer di Polaris Wireless, perusahaan yang bergerak di bidang sistem penetapan lokasi berbasis perangkat lunak, menarik kita simak.

Kemampuan menetapkan lokasi sistem ini tampaknya juga bermanfaat untuk upaya pencegahan.

Sel-sel teroris yang merencanakan dan melaksanakan serangan sangat terkoordinasi dari tengah-tengah penduduk sipil harus diakui merupakan tantangan tersendiri.

Kesulitannya adalah membedakan antara kawan dan lawan. Dengan demikian, kunci sukses untuk mengunci lawan, menurut Feuerstein, adalah merumuskan satu respons cepat dan tepat—dengan bantuan teknologi penetapan tempat/lokasi berpresisi tinggi— sebelum pelaku bisa membaur kembali dengan penduduk.

Sekarang ini ia sebut sebagai saat yang tepat untuk menerapkan teknologi baru yang bisa membantu Angkatan Bersenjata Amerika untuk mengenali dan melacak kelompok perlawanan yang hidup dan berbaur dengan penduduk sipil.

Menurut skenario, bisa saja pada satu titik militer AS bekerja sama dengan pemerintah sahabat dan perusahaan telepon lokal untuk menggunakan penyadapan sah (lawful intercept/LI) guna memonitor komunikasi nirkabel lawan/teroris, melacak pembicaraan, dan transmisi data untuk membongkar serangan mendatang.

Sekarang ini teknologi yang ada sudah bisa secara teliti menetapkan lokasi telepon genggam yang menerima dan mengirimkan sinyal sampai ketelitian puluhan meter.

Dengan menambahkan informasi lokasi sangat akurat pada solusi LI di atas, hal itu bisa membuat tentara AS dan penegak hukum lokal dapat mengidentifikasi dan mengunci teroris secara lebih baik, selain dapat menangkap komunikasi mereka.

Dalam uraian Feuerstein disimulasikan, apa jadinya jika sekelompok perlawanan yang bersembunyi di pegunungan di perbatasan Afganistan-Pakistan menggunakan telepon genggam untuk meledakkan bom di luar satu hotel sibuk di kota seperti Kandahar?

Dengan menggunakan solusi LI, militer AS bekerja sama dengan pihak berwenang lokal bisa mendirikan pagar (geo-fence) di sekeliling hotel dan memplot semua aktivitas nirkabel yang terjadi di dalam zona tersebut. Mereka akan dengan cepat mengenali telepon genggam atau mobile device lain di dekat zona ledakan yang menerima transmisi pada saat bersamaan dengan bom meledak. Dari informasi tersebut, mereka bisa mengungkap nomor teleponponsel dimaksud, juga nomor SIM card, nomor ID perangkat keras, dan berikutnya petunjuk lebih jelas tentang alat tersebut.

Deretan panggilan (call log) kemudian bisa dianalisis untuk menentukan nomor telepon pemicu detonator dan lokasi tepat dibuatnya panggilan itu. Dari situ, keberadaan pengguna ponsel yang digunakan untuk memicu bom dapat dilacak dengan memplot transmisi nirkabel yang dipancarkan pada peta.

Satu hal yang diunggulkan di sini adalah bahwa solusi LI dapat melacak lokasi hingga beberapa puluh meter. Bahkan, sekalipun penyerang membaur dengan penduduk sipil, sistem bisa menetapkan lokasi eksaknya hingga ke gedung tertentu, atau bahkan ruangan tertentu.

Pasca-GPS

Tampak bahwa akurasi merupakan pembeda teknologi penentu lokasi ini dengan teknologi terdahulu. Dalam skenario di atas, teknologi penentu lokasi GPS (global positioning system) tidak dapat dipergunakan karena lawan tidak akan menggunakan ponsel berfasilitas GPS, atau kalaupun ada, fasilitas itu akan dimatikan. Lalu, kalaupun ada kemungkinan penggunaan GPS, di wilayah yang padat penduduk atau di antara gedung-gedung, masih akan ada masalah dengan penglihatan langsung.

Sekadar catatan, teknologi lokasi sebelum ini, seperti Cell ID, yang menggunakan menara sel untuk menetapkan lokasi, hanya punya ketelitian beberapa ratus meter. Sementara itu, kini ada teknologi WLS (wireless location signature), didasarkan pada temuan, setiap lokasi punya ciri atau tanda tangan frekuensi radio unik.

Seiring dengan kemajuan teknologi nirkabel, ciri khas satu lokasi semakin bisa dikenali dan itu artinya ketelitian penetapan lokasi pun bisa ditingkatkan.

Munculnya tulisan Feuerstein menyiratkan, untuk AS pun, adanya teknologi yang memungkinkan angkatan bersenjatanya bertindak cepat amat mendesak. Ini karena lawan yang dihadapi juga semakin canggih dalam koordinasi, luar biasa mobil, dan semakin piawai memanfaatkan teknologi.

Kita pun menghadapi masalah yang sama hari-hari ini, yakni menangkap pelaku peledakan bom Mega Kuningan dan melengkapi diri untuk menghadapi ancaman serupa pada masa depan.

Friday, August 28, 2009

Hak Pengusahaan Pesisir Mulai 2011

Kelautan

Hak pengusahaan perairan pesisir atau HP3 diberlakukan mulai tahun 2011. Pemanfaatan sumber daya pesisir yang membagi perairan dalam kapling-kapling itu nantinya dikelola masyarakat atau pelaku usaha.

Pada tahun yang bersamaan, pemerintah juga berencana memberlakukan kluster perikanan tangkap yang juga membagi perairan dalam kawasan usaha penangkapan.

Kluster diberlakukan di kawasan teritorial (0-12 mil) hingga Zona Ekonomi Eksklusif 200 mil dari garis pantai.

Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) Departemen Kelautan dan Perikanan Alex Retraubun di Jakarta, Kamis (27/8), mengemukakan, penerapan HP3 berlangsung di kawasan teritorial dan disesuaikan dengan tata ruang dan zona perairan daerah.

Mulai tahun depan, kata Alex, pihaknya memfasilitasi kabupaten/kota untuk menyusun rencana pembagian zona perairan.

Untuk tahap awal, ada 20 kabupaten/kota yang siap menyusun peraturan daerah tentang rencana penetapan zona perairan pesisir.

Dengan demikian, wilayah laut dibagi menjadi empat bagian, yakni kawasan pemanfaatan umum, kawasan konservasi, kawasan nasional strategis tertentu, dan alur pelayaran.

HP3 hanya diterapkan pada kawasan pemanfaatan umum untuk kegiatan usaha perikanan budidaya dan wisata bahari.

Sekretaris Direktorat Jenderal KP3K Sudirman Saad menambahkan, HP3 memberi hak bagi orang, kelompok masyarakat, atau pengusaha untuk memanfaatkan sumber daya perairan pada areal tepi laut hingga jarak 12 mil dari pantai.

Bisa dialihkan

HP3 berlaku selama 20 tahun, dapat diperpanjang dan dialihkan ke pihak lain. ”Komposisi HP3 untuk swasta dan masyarakat disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi daerah. Apabila daerah itu membutuhkan investasi besar, HP3 untuk swasta bisa lebih besar,” ujar Sudirman.

Selama ini, pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dilakukan dengan sistem perizinan. Dengan cara ini, peran negara relatif masih dominan dalam menentukan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau kecil.

Sudirman menilai sistem perizinan dalam pengelolaan wilayah perairan pesisir memiliki keterbatasan dan sewaktu-waktu berpotensi dicabut oleh pemda.

Sementara itu, HP3 akan memberikan jaminan investasi dan keleluasaan bagi pemegang konsesi untuk mengelola kawasan. ”Dalam HP3, sebagian kedaulatan pengelolaan perairan diserahkan kepada pemegang HP3. Dalam terminologi itu, ada keleluasaan usaha, bisa diperpanjang dan dialihkan,” ujarnya.

Ditanya mengenai peluang tumpang tindih antara pelaksanaan HP3 dan kluster perikanan tangkap, Alex mengemukakan, pihaknya belum melakukan koordinasi dengan Ditjen Perikanan Tangkap DKP. (LKT)

Kelautan: Hak Pengusahaan Pesisir Mulai 2011

Hak pengusahaan perairan pesisir atau HP3 diberlakukan mulai tahun 2011. Pemanfaatan sumber daya pesisir yang membagi perairan dalam kapling-kapling itu nantinya dikelola masyarakat atau pelaku usaha.

Pada tahun yang bersamaan, pemerintah juga berencana memberlakukan kluster perikanan tangkap yang juga membagi perairan dalam kawasan usaha penangkapan.

Kluster diberlakukan di kawasan teritorial (0-12 mil) hingga Zona Ekonomi Eksklusif 200 mil dari garis pantai.

Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) Departemen Kelautan dan Perikanan Alex Retraubun di Jakarta, Kamis (27/8), mengemukakan, penerapan HP3 berlangsung di kawasan teritorial dan disesuaikan dengan tata ruang dan zona perairan daerah.

Mulai tahun depan, kata Alex, pihaknya memfasilitasi kabupaten/kota untuk menyusun rencana pembagian zona perairan.

Untuk tahap awal, ada 20 kabupaten/kota yang siap menyusun peraturan daerah tentang rencana penetapan zona perairan pesisir.

Dengan demikian, wilayah laut dibagi menjadi empat bagian, yakni kawasan pemanfaatan umum, kawasan konservasi, kawasan nasional strategis tertentu, dan alur pelayaran.

HP3 hanya diterapkan pada kawasan pemanfaatan umum untuk kegiatan usaha perikanan budidaya dan wisata bahari.

Sekretaris Direktorat Jenderal KP3K Sudirman Saad menambahkan, HP3 memberi hak bagi orang, kelompok masyarakat, atau pengusaha untuk memanfaatkan sumber daya perairan pada areal tepi laut hingga jarak 12 mil dari pantai.

Bisa dialihkan

HP3 berlaku selama 20 tahun, dapat diperpanjang dan dialihkan ke pihak lain. ”Komposisi HP3 untuk swasta dan masyarakat disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi daerah. Apabila daerah itu membutuhkan investasi besar, HP3 untuk swasta bisa lebih besar,” ujar Sudirman.

Selama ini, pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dilakukan dengan sistem perizinan. Dengan cara ini, peran negara relatif masih dominan dalam menentukan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau kecil.

Sudirman menilai sistem perizinan dalam pengelolaan wilayah perairan pesisir memiliki keterbatasan dan sewaktu-waktu berpotensi dicabut oleh pemda.

Sementara itu, HP3 akan memberikan jaminan investasi dan keleluasaan bagi pemegang konsesi untuk mengelola kawasan. ”Dalam HP3, sebagian kedaulatan pengelolaan perairan diserahkan kepada pemegang HP3. Dalam terminologi itu, ada keleluasaan usaha, bisa diperpanjang dan dialihkan,” ujarnya.

Ditanya mengenai peluang tumpang tindih antara pelaksanaan HP3 dan kluster perikanan tangkap, Alex mengemukakan, pihaknya belum melakukan koordinasi dengan Ditjen Perikanan Tangkap DKP. (LKT)

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...