Pada tanggal 19 Desember 1961, Presiden Soekarno mempermaklumkan ”Trikomando Rakyat” di Alun-alun Lor Yogyakarta, di tengah-tengah hujan lebat. Komando kedua berbunyi, ”Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat Tanah Air Indonesia!”
Setahun kemudian, tanggal 1 Januari 1963 pukul 00.00, ayam belum berkokok, Sang Saka Merah Putih berkibar di Papua. Berakhirlah lima tahun ketegangan dan kobaran emosi bangsa untuk ”merebut Irian Barat” dari tangan Belanda.
Bahwa Belanda 1949 tidak bersedia keluar dari Papua merupakan blunder politik paling besar. Papua Belanda tak lain bagian ”Hindia Belanda”. Belanda tidak mau melepaskannya karena jengkel harus angkat kaki dari Indonesia.
Mulai tahun 1957—bersamaan dengan meningkatnya krisis politik di Indonesia—kampanye untuk merebut kembali Papua kian memanaskan situasi Tanah Air, menyingkirkan orang berkepala dingin seperti Mohammad Hatta. Angkatan Bersenjata pun kian mendapat peran, di lain pihak, membuka lebar pintu bagi Partai Komunis Indonesia untuk muncul sebagai jago anti-neo-kolonialis-imperialis (antinekolim) paling radikal.
Pada tahun 1963, untuk sementara, masyarakat merasa tenang. Saat itu mulai dipikirkan beberapa usaha untuk membenahi perekonomian nasional yang kian mengkhawatirkan. Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama. Federasi Malaya, Singapura (yang dua tahun kemudian memisahkan diri), Sabah, dan Sarawak bersama membentuk ”Malaysia”. Kehadiran Malaysia ini juga untuk ”membendung” Indonesia (yang ”kiri” dan ”anti-Barat”)?
Ganyang Malaysia
Bagaimanapun, Presiden Soekarno tidak bisa menerima. Sesudah beberapa usaha diplomatik tidak membawa hasil, Bung Karno pada 3 Mei 1964 memaklumkan ”Dwikomando Rakyat” dan ”Ganyang Malaysia”.
”Konfrontasi” terhadap Malaysia menjadi awal kejatuhan Soekarno. Di Indonesia sendiri berbagai ketegangan meningkat. Rapat-rapat besar ”ganyang Malaysia” sudah menjadi machtsvertoning masing-masing ormas, seperti PKI, NU, Pemuda Katolik yang mau menunjukkan kemampuan memobilisasikan massa. Mantra Nasakom (Nasionalisme, Agama, Komunisme) tidak termakan rakyat. Rakyat sebaliknya makin terpecah, saling ketakutan, dan memuncak pada tragedi nasional, Gerakan 30 September.
Konfrontasi mengasingkan Indonesia dari negara-negara sahabat, baik dalam kelompok nonblok maupun blok Soviet. Indonesia keluar dari PBB. Tinggal China yang juga di luar PBB yang bisa dirangkul, lalu muncul ”poros Jakarta-Phnom Penh-Hanoi-Beijing-Pyongyang”. Sebuah PBB baru dipimpin Indonesia, akan menyatukan Nefos (New Emerging Forces, ”berisi” negara-negara dunia ketiga plus negara komunis) melawan Oldefos (Old Established Forces, negara-negara Barat), tinggal impian. Di Jakarta juga digelar Ganefo (Games of the New Emerging Forces), November 1963, untuk menandingi Olimpiade (Indonesia keluar dari Komite Internasional Olimpiade). Uni Soviet dan beberapa negara hanya mengirim atlet kelas tiga, tak ingin diskors dari Olimpiade.
Hanya beberapa pekan setelah peristiwa G30S, Soeharto diam-diam mengirim Benny Moerdani ke Kuala Lumpur. Pesan Soeharto, menjamin Indonesia tidak akan menyerang Malaysia.
Politik luar negeri Soeharto memang berbeda. Indonesia kembali ke PBB, kembali masuk IOC. Di Asia Tenggara, Indonesia menjadi sponsor utama ASEAN. Soeharto menjadikan Indonesia amat berpengaruh karena tidak berbicara dengan nada tinggi. Secara konsisten Indonesia mendukung perdamaian di wilayah ASEAN. Dengan sikap low profile, Indonesia justru berpengaruh dan terhormat. Negara sebesar Indonesia tidak perlu memamerkan ototnya untuk diakui. Semua presiden sesudah Soeharto memahami hal itu.
Konfrontasi lagi?
Namun, kini, apa kita akan konfrontasi lagi dengan Malaysia? Apa karena lagu atau tarian dibajak, lalu kita bereaksi seperti anak puber? Begitu rapuhkah kepercayaan diri kita?
Bukankah kita negara besar keempat di dunia, demokrasi paling mantap di Asia Tenggara, berhasil keluar dari krisis pasca- Soeharto, sukses dalam mengembalikan keamanan dalam negeri, luar biasa dalam menindak terorisme, dan perekonomian yang menunjukkan daya tahan?
Memang, dari semua itu masih ada sisi lemah, banyak yang amburadul, dan tak ada alasan untuk puas diri. Namun, jika orang lain mengakui kita, kita boleh bereaksi sedikit lebih dewasa terhadap ulah negara lain! Masak ada yang menyangka, Malaysia sengaja mendukung terorisme di Indonesia? Yang benar, dong! Masyarakat dan Pemerintah Malaysia masih tetap baik dan sahabat kita, maka kecurigaan seperti itu memalukan diri sendiri.
Kini, mahasiswa Malaysia akan diusir dari Indonesia. Menembak kaki sendiri? Bukankah mereka yang akan menceritakan segi positif Indonesia ke negaranya, sama seperti kisah tamu dari luar negeri (asal selamat dari pesawat sampai hotel) tentang Indonesia? Apa mau dikata jika beberapa universitas terkemuka tak akan lagi menerima mahasiswa Malaysia? Sepicik itukah? Universitas adalah pusat nalar dan akademis.
Ah, njelehi tenan harus menulis hal-hal seperti ini pada abad ke-21. Malaysia (sedikit) menginjak kaki kita. Apa kita langsung menangis? Apa ruginya Malaysia atau negara lain menyanyikan lagu-lagu indah dari Indonesia? Benar bahwa kepentingan ekonomis harus kita jaga. Namun, negara besar tidak perlu terus mengatakan bahwa dia negara besar.
Jumat, 04 September 2009
Penulis: Franz Magnis-Suseno SJ Rohaniwan; Guru Besar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara
Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/04/02523327/konfrontasi.lagi
Membantu Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank Dalam Penerapan Sustainable Finance (Keuangan Berkelanjutan) - Environmental & Social Risk Analysis (ESRA) for Loan/Investment Approval - Training for Sustainability Reporting (SR) Based on OJK/GRI - Penguatan Manajemen Desa dan UMKM - Membantu Membuat Program dan Strategi CSR untuk Perusahaan. Hubungi Sdr. Leonard Tiopan Panjaitan, S.sos, MT, CSRA di: leonardpanjaitan@gmail.com atau Hp: 081286791540 (WA Only)
Saturday, September 5, 2009
Mencari Cara Memprediksi Gempa Bumi
Apakah gempa bumi dapat diprediksi? Tantangan ini hingga kini belum terjawab. Namun, berbagai cara dilakukan, baik dengan menangkap fenomena alam maupun secara ilmiah. Belakangan ini tengah dicoba pengembangan deteksi kegempaan menggunakan gravimeter. Alat ini dilengkapi dengan sebuah sistem superkomputer yang disebut Superconducting Gravimeter (SG).
Bumi bukanlah benda statis, tetapi seperti mengalami dinamika. Pada inti atau mantelnya terjadi pasang surut atau pemuaian dan penyusutan. Proses ini dipengaruhi pula oleh tarik-menarik dengan planet di sekitarnya, terutama Matahari dan Bulan.
Perubahan kondisi Bumi ini dapat dipantau dengan parameter yang bekerja di dalamnya, seperti medan gravitasi, medan magnet, kelistrikan, suhu, porositas, atau kandungan air di permukaan tanah.
Dijelaskan Fauzi, Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, tekanan lempeng menyebabkan penekanan rongga-rongga di lapisan Bumi. Hal ini menyebabkan keluarnya air ke permukaan.
Sejak September tahun lalu Stasiun Pengamatan Gaya Berat Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) bekerja sama dengan perguruan tinggi di Jepang menerapkan Superconducting Gravimeter (SG).
Parluhutan Manurung, Kepala Bidang Medan Gaya Berat dan Pasang Surut Bakosurtanal menjelaskan, alat ini merupakan bagian dari Global Geodynamics Project (GCP).
Keberadaan stasiun ini di Indonesia sangat penting karena merupakan satu-satunya di khatulistiwa dan kawasan tektonik paling aktif di dunia. Jumlah alat ini terbatas, hanya 25 unit yang tersebar dalam jejaring Stasiun SG Global.
Alat GCP berfungsi memonitor terus-menerus perubahan medan gaya berat atau gravitasi Bumi dari detik ke detik hingga tahunan. Alat ini memantau sinyal perubahan nilai gaya berat secara kontinu selama enam tahun sampai diperoleh empat parameter.
Sejak teori gravitasi dilontarkan Isaac Newton 300 tahun lalu, pemahaman tentang gravitasi meningkat dan dikembangkan sistem pemantauan fenomena gravitasi Bumi. Sistem itu lalu dimanfaatkan untuk tujuan ekonomi, mencari sumber daya mineral dan minyak bumi.
Superconducting Gravimeter merupakan alat pengukur perubahan gaya berat atau gravitasi Bumi dengan kepekaan sangat tinggi—fraksi satu permiliar kali atau nano Gal. Dengan kemampuan ini, alat yang ditempatkan di permukaan Bumi itu dapat menangkap sinyal peubah mulai dari aktivitas inti Bumi hingga ke permukaan Bumi.
Alat ini mampu memantau sinyal perubahan gaya berat atau gelombang gravitasi yang disebabkan oleh aktivitas inti Bumi dan pengaruhnya terhadap gravitasi di permukaan hingga diperoleh gambaran tentang dinamika Bumi.
SG memiliki keunggulan, yaitu dapat memantau perubahan gravitasi dengan kepekaan yang tinggi dan memberi gambaran interaksi perubahan massa atmosfer sesuai kondisi cuaca.
Selain itu, digunakan untuk memantau perilaku kerak bumi yang dipengaruhi konstelasi Bumi terhadap planet lain yang berperan dalam memicu gempa bumi. Alat ini dapat mendeteksi gempa kecil dan besar.
Sistem SG yang terpasang di Kantor Bakosurtanal Cibinong, sejak September 2008 dapat memantau gempa Gorontalo, Desember tahun lalu, dan gempa Tasikmalaya, Rabu (2/9).
Pengukuran gaya berat di Indonesia, ujar Kepala Bakosurtanal Rudolf W Matindas, telah lama dilakukan oleh perusahaan minyak di Jawa dan Sumatera. Namun, cakupannya tergolong sempit.
Data itu selama ini dirahasiakan perusahaan itu karena dapat mengungkap kondisi lapisan permukaan Bumi yang memiliki cekungan minyak. Sementara itu, di luar Pulau Jawa dan Sumatera boleh dibilang hingga kini minim data gaya berat, bahkan Papua masih tergolong blank area.
Penyediaan data gaya berat secara nasional untuk keperluan pembangunan di daerah dilakukan Bakosurtanal dengan menggandeng Denmark Technical University.
Untuk mempercepat survei gravitasi ini dipilih wahana pesawat terbang, yang menurut Koordinator Survey Airborne Gravity Indonesia (SAGI) 2008 Fientje Kasenda, memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan survei di darat atau teresterial dan satelit.
Dengan pesawat terbang, jangkauan lebih luas dan cepat untuk medan yang berat, seperti hutan, pegunungan, dan perairan dangkal hingga pesisir.
Selain itu, juga ada kesinambungan data antara laut dan darat. Resolusi data lebih baik dibandingkan dengan data satelit. Biaya pun lebih rendah.
Dalam program Bakosurtanal, tutur Matindas, SAGI tahap pertama dilakukan di seluruh Sulawesi yang topografinya kompleks. Diharapkan, survei gaya berat dan pembuatan peta seluruh Indonesia ini selesai 2012.
Jum'at, 04 September 2009
Penulis: Yuni Ikawati
Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/04/03025759/mencari.cara.memprediksi.gempa.bumi
Bumi bukanlah benda statis, tetapi seperti mengalami dinamika. Pada inti atau mantelnya terjadi pasang surut atau pemuaian dan penyusutan. Proses ini dipengaruhi pula oleh tarik-menarik dengan planet di sekitarnya, terutama Matahari dan Bulan.
Perubahan kondisi Bumi ini dapat dipantau dengan parameter yang bekerja di dalamnya, seperti medan gravitasi, medan magnet, kelistrikan, suhu, porositas, atau kandungan air di permukaan tanah.
Dijelaskan Fauzi, Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, tekanan lempeng menyebabkan penekanan rongga-rongga di lapisan Bumi. Hal ini menyebabkan keluarnya air ke permukaan.
Sejak September tahun lalu Stasiun Pengamatan Gaya Berat Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) bekerja sama dengan perguruan tinggi di Jepang menerapkan Superconducting Gravimeter (SG).
Parluhutan Manurung, Kepala Bidang Medan Gaya Berat dan Pasang Surut Bakosurtanal menjelaskan, alat ini merupakan bagian dari Global Geodynamics Project (GCP).
Keberadaan stasiun ini di Indonesia sangat penting karena merupakan satu-satunya di khatulistiwa dan kawasan tektonik paling aktif di dunia. Jumlah alat ini terbatas, hanya 25 unit yang tersebar dalam jejaring Stasiun SG Global.
Alat GCP berfungsi memonitor terus-menerus perubahan medan gaya berat atau gravitasi Bumi dari detik ke detik hingga tahunan. Alat ini memantau sinyal perubahan nilai gaya berat secara kontinu selama enam tahun sampai diperoleh empat parameter.
Sejak teori gravitasi dilontarkan Isaac Newton 300 tahun lalu, pemahaman tentang gravitasi meningkat dan dikembangkan sistem pemantauan fenomena gravitasi Bumi. Sistem itu lalu dimanfaatkan untuk tujuan ekonomi, mencari sumber daya mineral dan minyak bumi.
Superconducting Gravimeter merupakan alat pengukur perubahan gaya berat atau gravitasi Bumi dengan kepekaan sangat tinggi—fraksi satu permiliar kali atau nano Gal. Dengan kemampuan ini, alat yang ditempatkan di permukaan Bumi itu dapat menangkap sinyal peubah mulai dari aktivitas inti Bumi hingga ke permukaan Bumi.
Alat ini mampu memantau sinyal perubahan gaya berat atau gelombang gravitasi yang disebabkan oleh aktivitas inti Bumi dan pengaruhnya terhadap gravitasi di permukaan hingga diperoleh gambaran tentang dinamika Bumi.
SG memiliki keunggulan, yaitu dapat memantau perubahan gravitasi dengan kepekaan yang tinggi dan memberi gambaran interaksi perubahan massa atmosfer sesuai kondisi cuaca.
Selain itu, digunakan untuk memantau perilaku kerak bumi yang dipengaruhi konstelasi Bumi terhadap planet lain yang berperan dalam memicu gempa bumi. Alat ini dapat mendeteksi gempa kecil dan besar.
Sistem SG yang terpasang di Kantor Bakosurtanal Cibinong, sejak September 2008 dapat memantau gempa Gorontalo, Desember tahun lalu, dan gempa Tasikmalaya, Rabu (2/9).
Pengukuran gaya berat di Indonesia, ujar Kepala Bakosurtanal Rudolf W Matindas, telah lama dilakukan oleh perusahaan minyak di Jawa dan Sumatera. Namun, cakupannya tergolong sempit.
Data itu selama ini dirahasiakan perusahaan itu karena dapat mengungkap kondisi lapisan permukaan Bumi yang memiliki cekungan minyak. Sementara itu, di luar Pulau Jawa dan Sumatera boleh dibilang hingga kini minim data gaya berat, bahkan Papua masih tergolong blank area.
Penyediaan data gaya berat secara nasional untuk keperluan pembangunan di daerah dilakukan Bakosurtanal dengan menggandeng Denmark Technical University.
Untuk mempercepat survei gravitasi ini dipilih wahana pesawat terbang, yang menurut Koordinator Survey Airborne Gravity Indonesia (SAGI) 2008 Fientje Kasenda, memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan survei di darat atau teresterial dan satelit.
Dengan pesawat terbang, jangkauan lebih luas dan cepat untuk medan yang berat, seperti hutan, pegunungan, dan perairan dangkal hingga pesisir.
Selain itu, juga ada kesinambungan data antara laut dan darat. Resolusi data lebih baik dibandingkan dengan data satelit. Biaya pun lebih rendah.
Dalam program Bakosurtanal, tutur Matindas, SAGI tahap pertama dilakukan di seluruh Sulawesi yang topografinya kompleks. Diharapkan, survei gaya berat dan pembuatan peta seluruh Indonesia ini selesai 2012.
Jum'at, 04 September 2009
Penulis: Yuni Ikawati
Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/04/03025759/mencari.cara.memprediksi.gempa.bumi
Pendidikan Kesiagaan Bencana Sangat Minim
Pendidikan kesiapsiagaan menghadapi bencana alam sangat minim diajarkan di sekolah-sekolah. Akibatnya, siswa tidak banyak tahu cara bertindak yang tepat saat terjadi bencana. Padahal, pengetahuan ini sangat penting untuk mengurangi risiko saat terjadi bencana alam.
S Hamid Hasan, Ketua Umum Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia, yang dihubungi dari Jakarta, Jumat (4/9), mengatakan bahwa kurikulum pendidikan yang diajarkan di sekolah-sekolah minim berorientasi kepada kehidupan.
”Pembelajaran di kelas difokuskan pada penguasaan ilmu semata, bukan bagaimana mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari,” kata Hamid Hasan.
Akibatnya, setiap kali terjadi bencana, seperti gempa bumi, banjir, atau kebakaran, siswa terbiasa panik yang bisa mengancam keselamatan mereka.
”Pembelajaran kesiapsiagaan menghadapi bencana itu tidak mesti dalam mata pelajaran khusus. Itu bisa diajarkan di mata pelajaran apa saja, misalnya Geografi. Yang penting, siswa diajarkan terus-menerus,” ujarnya.
Minim di buku pelajaran
Hari Risnanda, guru Ilmu Pengetahuan Sosial SMP di Jakarta, menyatakan, pembelajaran soal peringatan dini atau early warning system menghadapi bencana di buku pelajaran sekolah memang minim. Untuk itu, guru yang perlu berinisiatif untuk bisa menambah pengetahuan siswa soal bagaimana prosedur penyelamatan diri yang benar ketika terjadi bencana.
”Pembelajaran bagaimana menghadapi bencana biasanya terbatas, pas ada materi pelajaran itu saja. Lagi-lagi itu tergantung gurunya, apa cuma sebatas pengenalan jenis-jenis gempa atau juga secara rinci menyampaikan panduan bagaimana bersikap saat terjadi gempa,” tutur Hari.
Loula Maretta dari Green Education mengatakan bahwa sekolah perlu membangun pembiasaan menghadapi bencana, mulai dari gempa bumi, kebakaran, hingga kerusuhan. Karena Indonesia rawan bencana alam, setiap warga negara, termasuk siswa, mesti tahu bagaimana cara bisa meloloskan diri secara tepat supaya tidak menambah korban bencana.
”Di sekolah-sekolah alam, pelajaran dan pelatihan menghadapi bencana itu selalu dilakukan. Dengan demikian, siswa tidak panik dan bisa mengambil langkah tepat saat terjadi bencana,” kata Loula. (ELN)
Sabtu, 05 September 2009
Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/05/03205499/pendidikan.kesiagaan.bencana.sangat.minim
S Hamid Hasan, Ketua Umum Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia, yang dihubungi dari Jakarta, Jumat (4/9), mengatakan bahwa kurikulum pendidikan yang diajarkan di sekolah-sekolah minim berorientasi kepada kehidupan.
”Pembelajaran di kelas difokuskan pada penguasaan ilmu semata, bukan bagaimana mampu mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari,” kata Hamid Hasan.
Akibatnya, setiap kali terjadi bencana, seperti gempa bumi, banjir, atau kebakaran, siswa terbiasa panik yang bisa mengancam keselamatan mereka.
”Pembelajaran kesiapsiagaan menghadapi bencana itu tidak mesti dalam mata pelajaran khusus. Itu bisa diajarkan di mata pelajaran apa saja, misalnya Geografi. Yang penting, siswa diajarkan terus-menerus,” ujarnya.
Minim di buku pelajaran
Hari Risnanda, guru Ilmu Pengetahuan Sosial SMP di Jakarta, menyatakan, pembelajaran soal peringatan dini atau early warning system menghadapi bencana di buku pelajaran sekolah memang minim. Untuk itu, guru yang perlu berinisiatif untuk bisa menambah pengetahuan siswa soal bagaimana prosedur penyelamatan diri yang benar ketika terjadi bencana.
”Pembelajaran bagaimana menghadapi bencana biasanya terbatas, pas ada materi pelajaran itu saja. Lagi-lagi itu tergantung gurunya, apa cuma sebatas pengenalan jenis-jenis gempa atau juga secara rinci menyampaikan panduan bagaimana bersikap saat terjadi gempa,” tutur Hari.
Loula Maretta dari Green Education mengatakan bahwa sekolah perlu membangun pembiasaan menghadapi bencana, mulai dari gempa bumi, kebakaran, hingga kerusuhan. Karena Indonesia rawan bencana alam, setiap warga negara, termasuk siswa, mesti tahu bagaimana cara bisa meloloskan diri secara tepat supaya tidak menambah korban bencana.
”Di sekolah-sekolah alam, pelajaran dan pelatihan menghadapi bencana itu selalu dilakukan. Dengan demikian, siswa tidak panik dan bisa mengambil langkah tepat saat terjadi bencana,” kata Loula. (ELN)
Sabtu, 05 September 2009
Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/05/03205499/pendidikan.kesiagaan.bencana.sangat.minim
Mengurangi Risiko Kecelakaan akibat Gempa
Kesiapsiagaan terhadap risiko gempa bumi makin tak terelakkan. Selama periode 2004-2009 gempa menimpa berbagai wilayah, membentang dari Aceh hingga Papua, serta merenggut jiwa dan kerugian material yang tidak sedikit.
Akhir 2004 ditandai gempa berkekuatan 9,3 skala Richter di wilayah Aceh-Andaman hingga menewaskan sekitar 300.000 penduduk Aceh dan Laut Andaman. Disusul tiga bulan kemudian, Maret 2005, gempa di Nias menewaskan lebih dari 1.000 orang.
Rentetan berikutnya, antara lain Juni 2006 gempa di Yogyakarta yang menewaskan lebih dari 6.000 jiwa. Berselang satu bulan kemudian gempa dengan tsunami terjadi di Pangandaran.
Pada 2007 beruntun, antara 1 hingga 12 September gempa relatif besar terjadi di Bengkulu dan Kepulauan Mentawai. Pada awal 2009 juga terjadi gempa berkekuatan 7,6 skala Richter di Sorong, Papua Barat.
Terakhir kali, gempa di Tasikmalaya, Jawa Barat, berkekuatan 7,3 skala Richter beberapa hari lalu. Rentetan peristiwa gempa tersebut menunjukkan bahwa kini saatnya untuk makin gencar bertindak mengurangi risiko kecelakaan akibat gempa.
Kunci utamanya, pertama, mengenali fenomena alam gempa bumi itu sendiri, kedua, mengenali ancaman risiko gempa terhadap lokasi tempat tinggal, serta ketiga, mengenali struktur rumah dan mengupayakannya agar tahan gempa.
Mengenali fenomena gempa, berarti sekaligus tahu dampak-dampaknya. Tanah longsor dan amblas atau terbelah merupakan dampak ikutan dari gempa. Selain itu, yang tinggal di pantai juga harus mengantisipasi terjadinya tsunami.
Mengenali gejala tsunami, seperti tiba-tiba air laut surut, penting sekali untuk diketahui agar terhindar dari terjangan gelombang besar yang datang kemudian.
”Kondisi korban gempa semakin banyak yang berada di permukiman karena tertimpa struktur bangunan,” kata Hengki Wibowo Ashadi, dosen Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Jumat (4/9).
Menurut dia, yang amat penting sekarang adalah pengetahuan untuk mengenali cara-cara mengurangi risiko kecelakaan akibat gempa. Menurut Hengki, yang terpenting diupayakan adalah mewujudkan bangunan tahan gempa. ”Semestinya itu bisa dimasukkan ke dalam peraturan daerah,” ujarnya. Selain itu, juga harus tahu bagaimana bersikap atau bertindak tepat sebelum dan saat terjadi gempa.
Direktur Eksekutif Humanitarian Forum Indonesia Hening Parlan sebagai salah satu anggota dari Platform Nasional, sebuah forum multistakeholders yang melakukan koordinasi suportif bagi Badan Nasional Penanggulangan Bencana, mengatakan, ”Penanggulangan bencana sekarang belum menjadi terpenting. Fokusnya adalah sikap individual menghadapi bencana. Selama ini kita pada umumnya masih bertindak sesuai refleks. Jadi kesiapsiagaan itu penting sampai ke individu-individu.”(NAW/ISW)
Sabtu, 05 September 2009
Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/05/0316395/mengurangi.risiko.kecelakaan.akibat..gempa
Akhir 2004 ditandai gempa berkekuatan 9,3 skala Richter di wilayah Aceh-Andaman hingga menewaskan sekitar 300.000 penduduk Aceh dan Laut Andaman. Disusul tiga bulan kemudian, Maret 2005, gempa di Nias menewaskan lebih dari 1.000 orang.
Rentetan berikutnya, antara lain Juni 2006 gempa di Yogyakarta yang menewaskan lebih dari 6.000 jiwa. Berselang satu bulan kemudian gempa dengan tsunami terjadi di Pangandaran.
Pada 2007 beruntun, antara 1 hingga 12 September gempa relatif besar terjadi di Bengkulu dan Kepulauan Mentawai. Pada awal 2009 juga terjadi gempa berkekuatan 7,6 skala Richter di Sorong, Papua Barat.
Terakhir kali, gempa di Tasikmalaya, Jawa Barat, berkekuatan 7,3 skala Richter beberapa hari lalu. Rentetan peristiwa gempa tersebut menunjukkan bahwa kini saatnya untuk makin gencar bertindak mengurangi risiko kecelakaan akibat gempa.
Kunci utamanya, pertama, mengenali fenomena alam gempa bumi itu sendiri, kedua, mengenali ancaman risiko gempa terhadap lokasi tempat tinggal, serta ketiga, mengenali struktur rumah dan mengupayakannya agar tahan gempa.
Mengenali fenomena gempa, berarti sekaligus tahu dampak-dampaknya. Tanah longsor dan amblas atau terbelah merupakan dampak ikutan dari gempa. Selain itu, yang tinggal di pantai juga harus mengantisipasi terjadinya tsunami.
Mengenali gejala tsunami, seperti tiba-tiba air laut surut, penting sekali untuk diketahui agar terhindar dari terjangan gelombang besar yang datang kemudian.
”Kondisi korban gempa semakin banyak yang berada di permukiman karena tertimpa struktur bangunan,” kata Hengki Wibowo Ashadi, dosen Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Jumat (4/9).
Menurut dia, yang amat penting sekarang adalah pengetahuan untuk mengenali cara-cara mengurangi risiko kecelakaan akibat gempa. Menurut Hengki, yang terpenting diupayakan adalah mewujudkan bangunan tahan gempa. ”Semestinya itu bisa dimasukkan ke dalam peraturan daerah,” ujarnya. Selain itu, juga harus tahu bagaimana bersikap atau bertindak tepat sebelum dan saat terjadi gempa.
Direktur Eksekutif Humanitarian Forum Indonesia Hening Parlan sebagai salah satu anggota dari Platform Nasional, sebuah forum multistakeholders yang melakukan koordinasi suportif bagi Badan Nasional Penanggulangan Bencana, mengatakan, ”Penanggulangan bencana sekarang belum menjadi terpenting. Fokusnya adalah sikap individual menghadapi bencana. Selama ini kita pada umumnya masih bertindak sesuai refleks. Jadi kesiapsiagaan itu penting sampai ke individu-individu.”(NAW/ISW)
Sabtu, 05 September 2009
Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/05/0316395/mengurangi.risiko.kecelakaan.akibat..gempa
Perang dengan Malaysia?
Pada awal tahun 1950-an ada lelucon. Jika ada sejumlah orang sedang berselisih, datanglah seseorang yang akan memisah dengan mengatakan, ”Sudahlah jangan bertengkar. Itu tentara Belanda akan datang menyerang.” Ajaibnya, konon, pertikaian berakhir karena semua siap menghadapi musuh.
Inti lelucon itu adalah bangsa Indonesia akan bersatu bila ada musuh bersama. Lelucon ini menyakitkan karena kita dianggap baru bersatu bila ada musuh bersama.
Gampang tersulut
Tampaknya, itulah yang terjadi. Ketika kasus Ambalat muncul dan konon Malaysia akan menyerobot pulau Indonesia itu, orang menyerukan untuk mengganyang Malaysia. Saat lagu ”Rasa Sayange”, kain batik, dan reog ponorogo didaku milik Malaysia, masyarakat menggusari Malaysia. Bumbu kemarahan lain adalah nasib tenaga kerja Indonesia yang kabarnya di sana banyak dizalimi. Terakhir, saat tari pendet masuk program pariwisata Malaysia, orang siap mengamuk melawan jiran serumpun itu.
Di sisi lain, kasus itu menunjukkan sampai tahap tertentu, rasa cinta tanah air dan semangat nasionalisme masih kuat pada bangsa Indonesia. Namun, kasus itu juga mengungkap, kemarahan gampang disulut dan kita mudah terpancing untuk bertindak irasional. Seruan-seruan untuk mengganyang Malaysia, yang dulu pernah didengungkan saat Trikora dideklarasikan, merupakan contoh irasionalitas itu.
Namun, kita juga disadarkan. Ingatan kolektif bangsa tentang masa konfrontasi dengan Malaysia ternyata masih ada dan kuat. Sentimen anti-Malaysia mudah disulut meski generasi sudah berganti.
Apa yang terjadi pada kita? Bila mawas diri, soul searching, kita merasa, kekesalan kepada Malaysia sebenarnya tercampur perasaan lain, di antaranya perasaan tersinggung karena merasa dilecehkan saudara serumpun yang lebih muda. Juga ada rasa iri dan cemburu karena kini Malaysia lebih maju dan lebih makmur dibandingkan dengan Indonesia, padahal kita merdeka lebih dulu. Dan pada awal kemerdekaan, mereka ”berguru” kepada Indonesia. Juga ada rasa kecewa karena Malaysia dianggap kurang tenggang rasa dan menganggap enteng saudara tua, Indonesia.
Selama ini, banyak di antara kita merasa lebih unggul dibandingkan dengan Malaysia karena Indonesia merebut kemerdekaan dengan darah dan keringat? Sedangkan Malaysia ”diberi” kemerdekaan oleh bekas penjajahnya
Mendadak, kita disadarkan, kini dunia sepertinya memakai parameter berbeda, bagaimana cara suatu negara merdeka kurang diperhatikan. Yang lebih penting dan diperhitungkan adalah kemajuan dan kesejahteraan rakyat negara itu.
Kita masih bisa berbangga diri, Indonesia adalah negara demokrasi nomor tiga di dunia setelah India dan Amerika Serikat. Sedangkan Malaysia dan Singapura bukan negara demokratis. Apalagi di dua negara itu masih berlaku ketentuan seperti Internal Security Act yang memungkinkan orang ditangkap dan ditahan sewenang-wenang. Namun, apakah hal itu dapat membuat kita lebih unggul?
Sedang galau
Hati kita sebagai bangsa sedang galau. Kita seperti menggapai-gapai dan mencari-cari apa yang dapat mengangkat martabat bangsa. Kemiskinan dan pengangguran terserak di mana-mana. Korupsi di Indonesia masih bertengger di papan atas. Prestasi bidang olahraga yang memungkinkan atlet kita meraih medali emas hingga lagu ”Indonesia Raya” dikumandangkan tak juga kunjung tiba. Olahraga kita sedang jeblok. Karena itu, kini kita cenderung menjulangtinggikan prestasi-prestasi ”anak bangsa” yang lumayan tetapi tak terlalu tinggi, seperti medali emas di lomba fisika internasional atau kemenangan penyanyi di festival.
Kita juga gusar jika ada suara-suara yang mau mengecilkan atau meniadakan kebanggaan nasional seperti Candi Borobudur atau komodo dari daftar keajaiban dunia. Singkat kata, sebagai bangsa, kita sedang gampang tersinggung. Dalam hati, sebenarnya kita ingin tinggi menjulang dengan prestasi-prestasi besar, tetapi realitas menyadarkan, kita belum mampu. Meniadakan orang antre minyak tanah pun belum mampu, apalagi menghapus korupsi. Perjalanan masih jauh.
Dalam keterbatasan, apakah kita malu karena tidak bisa menepuk dada?
Tidak. Seperti bayi belajar berjalan, kita masih tertatih-tatih, harus puas dan bangga dengan prestasi-prestasi ”kecil”. Untuk mencapai prestasi besar, kita harus lebih banyak belajar dan bekerja lebih keras.
Kita juga harus becermin. Setelah beberapa jenis produk budaya Indonesia di klaim Malaysia, kita baru sadar selama ini telah melalaikan harta pusaka budaya. Dalam arus globalisasi dan pendewaan materi yang kini makin bersimaharajalela, secara setengah sadar kita telah mencampakkan kebudayaan nasional.
Celakanya, tampaknya kita juga masih melakukan kealpaan yang sama dengan retorika yang juga sama. Sekadar contoh, kita membanggakan diri, wayang kulit sejak 2003 diakui Unesco sebagai warisan budaya Indonesia. Kenyataannya, wayang kulit kita sebagai seni pertunjukan sudah bertahun-tahun sekarat dan kalau dibiarkan akan makin remuk.
Mengajak perang dengan Malaysia jelas bukan solusi. Agaknya yang perlu dilakukan adalah menyerukan kepada seluruh bangsa untuk kembali ke akal sehat dan lebih memelihara warisan budaya. Mungkin seraya memekikkan, ”Awas, itu Malaysia sudah mulai mengiklankan produk budaya kita!”
Sabtu, 05 September 2009
Penulis: Susanto Pudjomartono - Wartawan Senior
Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/05/02525244/perang.dengan.malaysia
Inti lelucon itu adalah bangsa Indonesia akan bersatu bila ada musuh bersama. Lelucon ini menyakitkan karena kita dianggap baru bersatu bila ada musuh bersama.
Gampang tersulut
Tampaknya, itulah yang terjadi. Ketika kasus Ambalat muncul dan konon Malaysia akan menyerobot pulau Indonesia itu, orang menyerukan untuk mengganyang Malaysia. Saat lagu ”Rasa Sayange”, kain batik, dan reog ponorogo didaku milik Malaysia, masyarakat menggusari Malaysia. Bumbu kemarahan lain adalah nasib tenaga kerja Indonesia yang kabarnya di sana banyak dizalimi. Terakhir, saat tari pendet masuk program pariwisata Malaysia, orang siap mengamuk melawan jiran serumpun itu.
Di sisi lain, kasus itu menunjukkan sampai tahap tertentu, rasa cinta tanah air dan semangat nasionalisme masih kuat pada bangsa Indonesia. Namun, kasus itu juga mengungkap, kemarahan gampang disulut dan kita mudah terpancing untuk bertindak irasional. Seruan-seruan untuk mengganyang Malaysia, yang dulu pernah didengungkan saat Trikora dideklarasikan, merupakan contoh irasionalitas itu.
Namun, kita juga disadarkan. Ingatan kolektif bangsa tentang masa konfrontasi dengan Malaysia ternyata masih ada dan kuat. Sentimen anti-Malaysia mudah disulut meski generasi sudah berganti.
Apa yang terjadi pada kita? Bila mawas diri, soul searching, kita merasa, kekesalan kepada Malaysia sebenarnya tercampur perasaan lain, di antaranya perasaan tersinggung karena merasa dilecehkan saudara serumpun yang lebih muda. Juga ada rasa iri dan cemburu karena kini Malaysia lebih maju dan lebih makmur dibandingkan dengan Indonesia, padahal kita merdeka lebih dulu. Dan pada awal kemerdekaan, mereka ”berguru” kepada Indonesia. Juga ada rasa kecewa karena Malaysia dianggap kurang tenggang rasa dan menganggap enteng saudara tua, Indonesia.
Selama ini, banyak di antara kita merasa lebih unggul dibandingkan dengan Malaysia karena Indonesia merebut kemerdekaan dengan darah dan keringat? Sedangkan Malaysia ”diberi” kemerdekaan oleh bekas penjajahnya
Mendadak, kita disadarkan, kini dunia sepertinya memakai parameter berbeda, bagaimana cara suatu negara merdeka kurang diperhatikan. Yang lebih penting dan diperhitungkan adalah kemajuan dan kesejahteraan rakyat negara itu.
Kita masih bisa berbangga diri, Indonesia adalah negara demokrasi nomor tiga di dunia setelah India dan Amerika Serikat. Sedangkan Malaysia dan Singapura bukan negara demokratis. Apalagi di dua negara itu masih berlaku ketentuan seperti Internal Security Act yang memungkinkan orang ditangkap dan ditahan sewenang-wenang. Namun, apakah hal itu dapat membuat kita lebih unggul?
Sedang galau
Hati kita sebagai bangsa sedang galau. Kita seperti menggapai-gapai dan mencari-cari apa yang dapat mengangkat martabat bangsa. Kemiskinan dan pengangguran terserak di mana-mana. Korupsi di Indonesia masih bertengger di papan atas. Prestasi bidang olahraga yang memungkinkan atlet kita meraih medali emas hingga lagu ”Indonesia Raya” dikumandangkan tak juga kunjung tiba. Olahraga kita sedang jeblok. Karena itu, kini kita cenderung menjulangtinggikan prestasi-prestasi ”anak bangsa” yang lumayan tetapi tak terlalu tinggi, seperti medali emas di lomba fisika internasional atau kemenangan penyanyi di festival.
Kita juga gusar jika ada suara-suara yang mau mengecilkan atau meniadakan kebanggaan nasional seperti Candi Borobudur atau komodo dari daftar keajaiban dunia. Singkat kata, sebagai bangsa, kita sedang gampang tersinggung. Dalam hati, sebenarnya kita ingin tinggi menjulang dengan prestasi-prestasi besar, tetapi realitas menyadarkan, kita belum mampu. Meniadakan orang antre minyak tanah pun belum mampu, apalagi menghapus korupsi. Perjalanan masih jauh.
Dalam keterbatasan, apakah kita malu karena tidak bisa menepuk dada?
Tidak. Seperti bayi belajar berjalan, kita masih tertatih-tatih, harus puas dan bangga dengan prestasi-prestasi ”kecil”. Untuk mencapai prestasi besar, kita harus lebih banyak belajar dan bekerja lebih keras.
Kita juga harus becermin. Setelah beberapa jenis produk budaya Indonesia di klaim Malaysia, kita baru sadar selama ini telah melalaikan harta pusaka budaya. Dalam arus globalisasi dan pendewaan materi yang kini makin bersimaharajalela, secara setengah sadar kita telah mencampakkan kebudayaan nasional.
Celakanya, tampaknya kita juga masih melakukan kealpaan yang sama dengan retorika yang juga sama. Sekadar contoh, kita membanggakan diri, wayang kulit sejak 2003 diakui Unesco sebagai warisan budaya Indonesia. Kenyataannya, wayang kulit kita sebagai seni pertunjukan sudah bertahun-tahun sekarat dan kalau dibiarkan akan makin remuk.
Mengajak perang dengan Malaysia jelas bukan solusi. Agaknya yang perlu dilakukan adalah menyerukan kepada seluruh bangsa untuk kembali ke akal sehat dan lebih memelihara warisan budaya. Mungkin seraya memekikkan, ”Awas, itu Malaysia sudah mulai mengiklankan produk budaya kita!”
Sabtu, 05 September 2009
Penulis: Susanto Pudjomartono - Wartawan Senior
Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/05/02525244/perang.dengan.malaysia
Subscribe to:
Posts (Atom)
Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke
| Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...
-
PT Konsorsium Televisi Digital Indonesia (KTDI) menggelar uji coba siaran televisi digital di wilayah Jabotabek. Siaran uji coba itu merupak...
-
JAKARTA - PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) sangat sepakat mengenai ketentuan Bank Indonesia (BI) untuk membuat standarisasi sistem pembayaran pada...