Saturday, September 5, 2009

Konfrontasi Lagi?

Pada tanggal 19 Desember 1961, Presiden Soekarno mempermaklumkan ”Trikomando Rakyat” di Alun-alun Lor Yogyakarta, di tengah-tengah hujan lebat. Komando kedua berbunyi, ”Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat Tanah Air Indonesia!”

Setahun kemudian, tanggal 1 Januari 1963 pukul 00.00, ayam belum berkokok, Sang Saka Merah Putih berkibar di Papua. Berakhirlah lima tahun ketegangan dan kobaran emosi bangsa untuk ”merebut Irian Barat” dari tangan Belanda.

Bahwa Belanda 1949 tidak bersedia keluar dari Papua merupakan blunder politik paling besar. Papua Belanda tak lain bagian ”Hindia Belanda”. Belanda tidak mau melepaskannya karena jengkel harus angkat kaki dari Indonesia.

Mulai tahun 1957—bersamaan dengan meningkatnya krisis politik di Indonesia—kampanye untuk merebut kembali Papua kian memanaskan situasi Tanah Air, menyingkirkan orang berkepala dingin seperti Mohammad Hatta. Angkatan Bersenjata pun kian mendapat peran, di lain pihak, membuka lebar pintu bagi Partai Komunis Indonesia untuk muncul sebagai jago anti-neo-kolonialis-imperialis (antinekolim) paling radikal.

Pada tahun 1963, untuk sementara, masyarakat merasa tenang. Saat itu mulai dipikirkan beberapa usaha untuk membenahi perekonomian nasional yang kian mengkhawatirkan. Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama. Federasi Malaya, Singapura (yang dua tahun kemudian memisahkan diri), Sabah, dan Sarawak bersama membentuk ”Malaysia”. Kehadiran Malaysia ini juga untuk ”membendung” Indonesia (yang ”kiri” dan ”anti-Barat”)?

Ganyang Malaysia

Bagaimanapun, Presiden Soekarno tidak bisa menerima. Sesudah beberapa usaha diplomatik tidak membawa hasil, Bung Karno pada 3 Mei 1964 memaklumkan ”Dwikomando Rakyat” dan ”Ganyang Malaysia”.

”Konfrontasi” terhadap Malaysia menjadi awal kejatuhan Soekarno. Di Indonesia sendiri berbagai ketegangan meningkat. Rapat-rapat besar ”ganyang Malaysia” sudah menjadi machtsvertoning masing-masing ormas, seperti PKI, NU, Pemuda Katolik yang mau menunjukkan kemampuan memobilisasikan massa. Mantra Nasakom (Nasionalisme, Agama, Komunisme) tidak termakan rakyat. Rakyat sebaliknya makin terpecah, saling ketakutan, dan memuncak pada tragedi nasional, Gerakan 30 September.

Konfrontasi mengasingkan Indonesia dari negara-negara sahabat, baik dalam kelompok nonblok maupun blok Soviet. Indonesia keluar dari PBB. Tinggal China yang juga di luar PBB yang bisa dirangkul, lalu muncul ”poros Jakarta-Phnom Penh-Hanoi-Beijing-Pyongyang”. Sebuah PBB baru dipimpin Indonesia, akan menyatukan Nefos (New Emerging Forces, ”berisi” negara-negara dunia ketiga plus negara komunis) melawan Oldefos (Old Established Forces, negara-negara Barat), tinggal impian. Di Jakarta juga digelar Ganefo (Games of the New Emerging Forces), November 1963, untuk menandingi Olimpiade (Indonesia keluar dari Komite Internasional Olimpiade). Uni Soviet dan beberapa negara hanya mengirim atlet kelas tiga, tak ingin diskors dari Olimpiade.

Hanya beberapa pekan setelah peristiwa G30S, Soeharto diam-diam mengirim Benny Moerdani ke Kuala Lumpur. Pesan Soeharto, menjamin Indonesia tidak akan menyerang Malaysia.

Politik luar negeri Soeharto memang berbeda. Indonesia kembali ke PBB, kembali masuk IOC. Di Asia Tenggara, Indonesia menjadi sponsor utama ASEAN. Soeharto menjadikan Indonesia amat berpengaruh karena tidak berbicara dengan nada tinggi. Secara konsisten Indonesia mendukung perdamaian di wilayah ASEAN. Dengan sikap low profile, Indonesia justru berpengaruh dan terhormat. Negara sebesar Indonesia tidak perlu memamerkan ototnya untuk diakui. Semua presiden sesudah Soeharto memahami hal itu.

Konfrontasi lagi?

Namun, kini, apa kita akan konfrontasi lagi dengan Malaysia? Apa karena lagu atau tarian dibajak, lalu kita bereaksi seperti anak puber? Begitu rapuhkah kepercayaan diri kita?

Bukankah kita negara besar keempat di dunia, demokrasi paling mantap di Asia Tenggara, berhasil keluar dari krisis pasca- Soeharto, sukses dalam mengembalikan keamanan dalam negeri, luar biasa dalam menindak terorisme, dan perekonomian yang menunjukkan daya tahan?

Memang, dari semua itu masih ada sisi lemah, banyak yang amburadul, dan tak ada alasan untuk puas diri. Namun, jika orang lain mengakui kita, kita boleh bereaksi sedikit lebih dewasa terhadap ulah negara lain! Masak ada yang menyangka, Malaysia sengaja mendukung terorisme di Indonesia? Yang benar, dong! Masyarakat dan Pemerintah Malaysia masih tetap baik dan sahabat kita, maka kecurigaan seperti itu memalukan diri sendiri.

Kini, mahasiswa Malaysia akan diusir dari Indonesia. Menembak kaki sendiri? Bukankah mereka yang akan menceritakan segi positif Indonesia ke negaranya, sama seperti kisah tamu dari luar negeri (asal selamat dari pesawat sampai hotel) tentang Indonesia? Apa mau dikata jika beberapa universitas terkemuka tak akan lagi menerima mahasiswa Malaysia? Sepicik itukah? Universitas adalah pusat nalar dan akademis.

Ah, njelehi tenan harus menulis hal-hal seperti ini pada abad ke-21. Malaysia (sedikit) menginjak kaki kita. Apa kita langsung menangis? Apa ruginya Malaysia atau negara lain menyanyikan lagu-lagu indah dari Indonesia? Benar bahwa kepentingan ekonomis harus kita jaga. Namun, negara besar tidak perlu terus mengatakan bahwa dia negara besar.

Jumat, 04 September 2009
Penulis: Franz Magnis-Suseno SJ Rohaniwan; Guru Besar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara
Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/04/02523327/konfrontasi.lagi

No comments:

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...