Saturday, September 5, 2009

Daya Dukung dan Daya Tampung Jadi Harapan

Kajian daya dukung dan daya tampung lingkungan yang diatur dalam Rancangan Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menjadi salah satu harapan bagi masa depan lingkungan.

Kalau tidak ada tentangan keras, RUU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) yang disetujui Badan Musyawarah DPR pada Kamis (3/9) itu akan disahkan dalam rapat paripurna, Selasa, 8 September 2009.

Pasal daya dukung dan daya tampung lingkungan tidak termuat dalam undang-undang sebelumnya, UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. ”Perhatian terhadap daya dukung lingkungan selama ini simbolis saja. Faktanya tidak dikerjakan,” kata pengajar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), sekaligus peneliti daya dukung lingkungan Pulau Jawa, Hariadi Kartodihardjo, ketika dihubungi di Bogor, Jawa Barat, kemarin.

Akibatnya, bencana ekologis terjadi beruntun dan menyebar di seluruh pulau besar di Indonesia. Dampaknya pun kian dahsyat.

Kajian daya dukung dan daya tampung lingkungan pada RUU PPLH diamanatkan untuk dikerjakan pemerintah daerah demi masa depan masyarakat. Eksploitasi sumber daya alam tidak lagi dilihat sebagai faktor utama pengambilan keputusan.

Sebelumnya Wakil Ketua Komisi VII DPR (salah satunya membidangi lingkungan) Sonny Keraf menyatakan, keberpihakan terhadap masa depan lingkungan menjadi perhatian penting tim pembahas. Daya dukung dan daya tampung hanya sedikit dari faktor perlindungan lingkungan.

Masih ada faktor pencadangan sumber daya alam, pemberlakuan instrumen ekonomi, dan kajian lingkungan hidup strategis yang wajib dilakukan untuk kelengkapan izin lingkungan sebagai syarat keluarnya izin usaha.

Mengutip hasil penelitian Kajian Daya Dukung dan Kebijakan Pembangunan Pulau Jawa tahun 2007, yang di antaranya dikerjakan Hariadi, disebutkan, daya dukung Pulau Jawa sudah terlampaui. Ketersediaan sumber air di sebagian besar kota di Jawa tidak mencukupi lagi.

Salah satu penyebabnya adalah tutupan lahan di Jawa tidak memenuhi syarat bagi ketersediaan air. Alih fungsi lahan terus meningkat untuk permukiman, tambak, dan kegiatan usaha lainnya. Ada persoalan tata ruang terkait pemenuhan kebutuhan ledakan populasi.

Pasal pencemaran

Selain pasal-pasal di atas, RUU PPLH juga mengatur pidana. Sanksi pidana pencemaran ditetapkan dengan ancaman hukuman minimal tiga tahun dan denda Rp 3 miliar.

”Diterapkan sanksi minimal agar tidak ada lagi vonis bebas dan ringan bagi pencemar,” kata Deputi V Menteri Negara Lingkungan Hidup Bidang Penataan Ilyas Asaad.

Sementara itu, ancaman pidana bagi pelanggar lingkungan di atas baku mutu lingkungan ditetapkan di bawah pencemaran. Begitu pula soal kelalaian.

Soal analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), sanksi dapat diberikan kepada pejabat pemerintah yang mengeluarkan izin bermasalah, tidak hanya kepada penyusun dan pemrakarsa amdal. (GSA)

Jumat, 04 September 2009
Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/04/02590066/daya.dukung.dan.daya.tampung.jadi.harapan

Emily, Meretas Ekspor Beras Organik

Tak ada yang mengira kalau dara ini salah satu sosok penting di balik suksesnya Indonesia mengekspor beras organik untuk pertama kali. Dia akrab dengan petani. Ia bersentuhan langsung dengan mereka. Dia juga bukan tipikal pengusaha yang gemar menekan petani kecil.

"Aku mau petaniku menjadi yang paling maju, paling sejahtera hidupnya, dengan menjadikan mereka sebagai pengusaha kecil,” kata Emily Sutanto, pendiri sekaligus Direktur Utama PT Bloom Agro, di Tasikmalaya, Jawa Barat.

Dengan bendera PT Bloom Agro yang ia dirikan setahun lalu, Emily mengekspor beras organik bersertifikat ke Amerika Serikat. Tahap awal pengiriman sebanyak 18 ton. Pengapalan ekspor beras organik perdana ini dilakukan pada Minggu (30/8) melalui Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.

Beras organik yang diekspor tak sembarang organik, tapi organik bersertifikat. Kata ”bersertifikat” sekadar membedakan produk beras organik ini dengan beras ”organik” yang ada di pasaran, tetapi sesungguhnya tak mengikuti standar produksi beras organik.

Sertifikat beras organik dikeluarkan Institute for Marketecology, lembaga sertifikasi organik internasional, berbasis di Swiss, yang terakreditasi mendunia.

Logo sertifikat yang dikeluarkan pun tak tanggung-tanggung, langsung untuk tiga negara, yakni AS dengan US Department of Agricultural National Organic Program, Uni Eropa, dan Jepang dengan Japanese Agricultural Standard.

Dengan kata lain, beras organik itu sudah mendapatkan ”paspor” untuk masuk ke negara-negara yang paling ketat memberlakukan sistem keamanan pangannya di dunia.

Beras organik ini diproduksi oleh para petani kecil di tujuh kecamatan di Tasikmalaya, Jabar. Mata rantai dalam sistem perdagangan pun mengadopsi prinsip fair trade, yang oleh Menteri Pertanian Anton Apriyantono disebut-sebut sebagai yang pertama dilakukan oleh pengusaha beras ekspor Indonesia.

Dengan mengadopsi prinsip fair trade atau sistem perdagangan berkeadilan, tujuan menyejahterakan petani bukan lagi omong kosong. Bila suatu kali kedapatan petani organik mengalami tekanan harga, pemutusan kontrak kerja sama ekspor terjadi.

Oleh karena alasan fair trade dan kemanusiaan itulah, Emily tak akan mau menekan harga beli beras. Usaha penggilingan padi yang dapat memberikan nilai tambah bagi petani yang dikelola Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Simpatik bantuan Departemen Pertanian ini dibiarkan tumbuh bersama.

Dia tak harus membeli beras dari petani, tetapi cukup melalui Gapoktan Simpatik agar petani mendapat nilai tambah. Gabah organik setelah diproses di penggilingan milik petani menjadi beras dibeli Emily dengan harga Rp 8.000 per kilogram.

Dengan harga beli yang tinggi, Gapoktan membeli gabah kering pungut dari petani anggotanya dengan harga Rp 3.500 per kilogram atau lebih tinggi Rp 1.500 dibandingkan gabah nonorganik. Pada tahap ini jalur perdagangan semakin pendek dan tidak ada celah bagi tengkulak.

Semakin mantap lagi posisi petani ketika model penanaman padi dengan sistem intensif membuat ada petani yang mampu meningkatkan produktivitas padinya hingga menghasilkan 10 ton gabah kering panen.

Dengan produktivitas setinggi itu, pendapatan kotor petani dalam satu musim tanam (empat bulan) bisa sekitar Rp 35 juta. Apabila dalam setahun padi bisa ditanam tiga kali, pendapatan kotor petani dengan lahan 1 hektar dapat menembus Rp 105 juta.

Mulai dari nol

Kisah perjumpaan Emily dengan beras organik terjadi secara tidak sengaja. Peraih gelar master bidang Manajemen Internasional dan Mass Communication dari Pepperdine University, Los Angeles, California, dan Bond University, Australia, ini pada awal 2008 ditawari Solihin GP, yang dia sebut sahabat keluarganya.

”Bapak Solihin GP waktu itu mengatakan, ’Mau enggak kamu bantu petani? Mereka (petani) mau ekspor beras organik, tetapi pemerintah belum bisa berbuat apa-apa’,” kata Emily mengutip permintaan Gubernur Jabar waktu itu.

Kala itu Emily masih ragu. Dia sangsi, apa benar ada beras yang benar-benar organik di Indonesia. Karena gamang, ia lalu pergi ke Tasikmalaya, dan melihat langsung proses produksi beras organik.

Emily terpana. Mengapa selama ini konsumen beras organik dunia hanya tahu beras organik Thailand saja? Padahal, di Indonesia beras organiknya jauh lebih bagus. Produk beras organik yang dihasilkan begitu orisinal. Secara fisik, beras organik itu lebih empuk dan berat, pertanda banyak kandungan serat dan vitamin.

Proses produksinya juga penuh cinta karena dilakukan secara tradisional. Makin terpikat lagi Emily ketika tahu semangat petani yang berapi-api untuk mengekspor beras organik itu. Namun, mereka tak tahu bagaimana caranya.

”Kalau beras organik dari petani bisa diekspor, ini bisa memacu semangat petani untuk lebih maju,” katanya.

Langkah selanjutnya giliran sertifikasi. Emily menjalani proses ini sampai tiga bulan. Dia memerlukan sertifikasi itu, dengan pertimbangan agar ke depan produksi beras organik bisa berkelanjutan. Di sini perlu diterapkan sistem pengawasan yang dilakukan internal dalam kelompok antarpetani. Dalam hal ini kejujuran petani benar-benar diuji.

Setelah produknya beres, mulailah ia melirik pasar ekspor. Kebetulan dari Cornell University, AS, juga sedang menggarap produk pertanian organik. Jadilah dia dipertemukan dengan calon pembeli, Lotus Foods, yang sangat mendukung program pelestarian lingkungan.

Perbedaan

Bagi Emily, merintis jalan ekspor tidak mudah. Apalagi, sejak usia sembilan tahun ia tinggal di Singapura, AS, dan Australia untuk belajar. Baru sekitar dua tahun lalu dia kembali ke Indonesia. Untuk berkomunikasi dia tak hanya terkendala budaya, tetapi juga bahasa.

Sambil merintis jalan, Emily belajar bahasa Indonesia. Tak jarang, budaya lugas dan cara mengatasi masalah yang tidak bertele-tele seperti yang kerap dia lakukan selama tinggal di luar negeri terbentur budaya petani yang kerap bersikap pasrah.

Ketika ada persoalan menyangkut hama penyakit, misalnya, Emily langsung bertanya mengapa bisa terjadi dan bagaimana solusinya. Pada awalnya petani takut-takut menjawabnya karena mengira Emily marah. Lama-kelamaan mereka bisa memahami cara kerja dia. Apalagi, ketika Emily kerap mengajak petani lesehan membicarakan masalah bersama-sama.

”Aku minta para petani memanggilku Emily saja, jangan panggil ibu karena kami mitra,” ungkap Emily yang tak suka disebut pengusaha.

Dia mengaku tidak akan meninggalkan pekerjaannya sebagai pengekspor beras organik. Dia optimistis beras organik dari Indonesia bisa bersaing di pasaran internasional. Buktinya, tambah Emily, dalam waktu dekat ini sudah ada permintaan untuk mengekspor 19 ton beras organik ke Malaysia.

Biodata

• Nama: Emily Sutanto
• Pendidikan: - Belajar di Singapura sejak berusia 9 tahun - Pepperdine University, Los Angeles, AS - Bond University, Australia

Jumat, 04 September 2009
Penulis: Hermas E Prabowo
Source:http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/04/04103897/emily.meretas.ekspor.beras.organik 

Masa Keemasan Majapahit Diungkap

Masa keemasan Majapahit yang tertuang dalam karya Mpu Prapanca, Nagara Krtagama, ditulis ulang dan diulas oleh Prof I Ketut Riana. Sejauh ini ada 15 versi naskah Nagara Krtagama yang beredar sejak tahun 1902.

Dalam peluncuran dan bedah buku berjudul Kakawin Desa Warnnnana uthawi Nagara Krtagama; Masa Keemasan Majapahit, Kamis (3/9), ahli linguistik, Prof I Ketut Riana mengatakan, buku itu diterbitkan guna melestarikan warisan leluhur yang tinggi dan mulia. ”Melalui karya ini, masyarakat dapat memahami lebih lanjut tentang karya sastra sejarah Nusantara yang mengagumkan,” katanya.

Buku yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas tersebut mengulas kejayaan Majapahit yang terkenal di Nusantara, bahkan di negara lain. Buku disajikan lengkap dengan huruf Bali dan salinannya dengan bahasa Jawa Kuna.

Dr HIR Hinzler, asisten guru besar bidang Arkeologi dan Sejarah Purba, Universitas Leiden, mengungkapkan, berdasarkan penelusurannya, terdapat setidaknya 15 versi Nagara Krtagama sejak tahun 1902 hingga kini. Karya tersebut disalin kembali ke daun lontar ataupun ke atas kertas. Tak mengherankan jika kerap timbul pertanyaan naskah mana yang asli dan paling tua. Karya asli diduga hancur bersama runtuhnya Kerajaan Majapahit pada abad ke-15.

Prof I Ketut Riana menggunakan naskah lontar koleksi Museum Mpu Tantular, Sidoarjo, Jawa Timur. Naskah itu relatif lebih lengkap karena merupakan hasil revisi dari beberapa naskah yang dianggap kurang lengkap oleh penyadur.

Pembahas yang lain, sejarawan Prof Djoko Suryo, mengatakan, teks itu menjadi menarik karena juga memiliki nilai sejarah. ”Prapanca menggubah karya tidak hanya menggunakan sumber karya-karya masa lampau, tetapi juga pengamatan sendiri, seperti soal tata kota dan pemerintahan. Ini dapat digunakan untuk merekonstruksi Kerajaan Majapahit,” ujarnya.

Prof Riana mengatakan, naskah dapat menjadi sumber informasi yang menghidupkan artefak-artefak yang ada. ”Di candi-candi banyak terdapat relief yang sebetulnya ceritanya dapat dicari di berbagai naskah sehingga relief itu ’berbicara’ dan masyarakat dapat memahaminya,” ujarnya. (INE)

Jumat, 04 September 2009
Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/04/04035377/masa.keemasan.majapahit.diungkap

Konfrontasi Lagi?

Pada tanggal 19 Desember 1961, Presiden Soekarno mempermaklumkan ”Trikomando Rakyat” di Alun-alun Lor Yogyakarta, di tengah-tengah hujan lebat. Komando kedua berbunyi, ”Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat Tanah Air Indonesia!”

Setahun kemudian, tanggal 1 Januari 1963 pukul 00.00, ayam belum berkokok, Sang Saka Merah Putih berkibar di Papua. Berakhirlah lima tahun ketegangan dan kobaran emosi bangsa untuk ”merebut Irian Barat” dari tangan Belanda.

Bahwa Belanda 1949 tidak bersedia keluar dari Papua merupakan blunder politik paling besar. Papua Belanda tak lain bagian ”Hindia Belanda”. Belanda tidak mau melepaskannya karena jengkel harus angkat kaki dari Indonesia.

Mulai tahun 1957—bersamaan dengan meningkatnya krisis politik di Indonesia—kampanye untuk merebut kembali Papua kian memanaskan situasi Tanah Air, menyingkirkan orang berkepala dingin seperti Mohammad Hatta. Angkatan Bersenjata pun kian mendapat peran, di lain pihak, membuka lebar pintu bagi Partai Komunis Indonesia untuk muncul sebagai jago anti-neo-kolonialis-imperialis (antinekolim) paling radikal.

Pada tahun 1963, untuk sementara, masyarakat merasa tenang. Saat itu mulai dipikirkan beberapa usaha untuk membenahi perekonomian nasional yang kian mengkhawatirkan. Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama. Federasi Malaya, Singapura (yang dua tahun kemudian memisahkan diri), Sabah, dan Sarawak bersama membentuk ”Malaysia”. Kehadiran Malaysia ini juga untuk ”membendung” Indonesia (yang ”kiri” dan ”anti-Barat”)?

Ganyang Malaysia

Bagaimanapun, Presiden Soekarno tidak bisa menerima. Sesudah beberapa usaha diplomatik tidak membawa hasil, Bung Karno pada 3 Mei 1964 memaklumkan ”Dwikomando Rakyat” dan ”Ganyang Malaysia”.

”Konfrontasi” terhadap Malaysia menjadi awal kejatuhan Soekarno. Di Indonesia sendiri berbagai ketegangan meningkat. Rapat-rapat besar ”ganyang Malaysia” sudah menjadi machtsvertoning masing-masing ormas, seperti PKI, NU, Pemuda Katolik yang mau menunjukkan kemampuan memobilisasikan massa. Mantra Nasakom (Nasionalisme, Agama, Komunisme) tidak termakan rakyat. Rakyat sebaliknya makin terpecah, saling ketakutan, dan memuncak pada tragedi nasional, Gerakan 30 September.

Konfrontasi mengasingkan Indonesia dari negara-negara sahabat, baik dalam kelompok nonblok maupun blok Soviet. Indonesia keluar dari PBB. Tinggal China yang juga di luar PBB yang bisa dirangkul, lalu muncul ”poros Jakarta-Phnom Penh-Hanoi-Beijing-Pyongyang”. Sebuah PBB baru dipimpin Indonesia, akan menyatukan Nefos (New Emerging Forces, ”berisi” negara-negara dunia ketiga plus negara komunis) melawan Oldefos (Old Established Forces, negara-negara Barat), tinggal impian. Di Jakarta juga digelar Ganefo (Games of the New Emerging Forces), November 1963, untuk menandingi Olimpiade (Indonesia keluar dari Komite Internasional Olimpiade). Uni Soviet dan beberapa negara hanya mengirim atlet kelas tiga, tak ingin diskors dari Olimpiade.

Hanya beberapa pekan setelah peristiwa G30S, Soeharto diam-diam mengirim Benny Moerdani ke Kuala Lumpur. Pesan Soeharto, menjamin Indonesia tidak akan menyerang Malaysia.

Politik luar negeri Soeharto memang berbeda. Indonesia kembali ke PBB, kembali masuk IOC. Di Asia Tenggara, Indonesia menjadi sponsor utama ASEAN. Soeharto menjadikan Indonesia amat berpengaruh karena tidak berbicara dengan nada tinggi. Secara konsisten Indonesia mendukung perdamaian di wilayah ASEAN. Dengan sikap low profile, Indonesia justru berpengaruh dan terhormat. Negara sebesar Indonesia tidak perlu memamerkan ototnya untuk diakui. Semua presiden sesudah Soeharto memahami hal itu.

Konfrontasi lagi?

Namun, kini, apa kita akan konfrontasi lagi dengan Malaysia? Apa karena lagu atau tarian dibajak, lalu kita bereaksi seperti anak puber? Begitu rapuhkah kepercayaan diri kita?

Bukankah kita negara besar keempat di dunia, demokrasi paling mantap di Asia Tenggara, berhasil keluar dari krisis pasca- Soeharto, sukses dalam mengembalikan keamanan dalam negeri, luar biasa dalam menindak terorisme, dan perekonomian yang menunjukkan daya tahan?

Memang, dari semua itu masih ada sisi lemah, banyak yang amburadul, dan tak ada alasan untuk puas diri. Namun, jika orang lain mengakui kita, kita boleh bereaksi sedikit lebih dewasa terhadap ulah negara lain! Masak ada yang menyangka, Malaysia sengaja mendukung terorisme di Indonesia? Yang benar, dong! Masyarakat dan Pemerintah Malaysia masih tetap baik dan sahabat kita, maka kecurigaan seperti itu memalukan diri sendiri.

Kini, mahasiswa Malaysia akan diusir dari Indonesia. Menembak kaki sendiri? Bukankah mereka yang akan menceritakan segi positif Indonesia ke negaranya, sama seperti kisah tamu dari luar negeri (asal selamat dari pesawat sampai hotel) tentang Indonesia? Apa mau dikata jika beberapa universitas terkemuka tak akan lagi menerima mahasiswa Malaysia? Sepicik itukah? Universitas adalah pusat nalar dan akademis.

Ah, njelehi tenan harus menulis hal-hal seperti ini pada abad ke-21. Malaysia (sedikit) menginjak kaki kita. Apa kita langsung menangis? Apa ruginya Malaysia atau negara lain menyanyikan lagu-lagu indah dari Indonesia? Benar bahwa kepentingan ekonomis harus kita jaga. Namun, negara besar tidak perlu terus mengatakan bahwa dia negara besar.

Jumat, 04 September 2009
Penulis: Franz Magnis-Suseno SJ Rohaniwan; Guru Besar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara
Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/04/02523327/konfrontasi.lagi

Mencari Cara Memprediksi Gempa Bumi

Apakah gempa bumi dapat diprediksi? Tantangan ini hingga kini belum terjawab. Namun, berbagai cara dilakukan, baik dengan menangkap fenomena alam maupun secara ilmiah. Belakangan ini tengah dicoba pengembangan deteksi kegempaan menggunakan gravimeter. Alat ini dilengkapi dengan sebuah sistem superkomputer yang disebut Superconducting Gravimeter (SG).

Bumi bukanlah benda statis, tetapi seperti mengalami dinamika. Pada inti atau mantelnya terjadi pasang surut atau pemuaian dan penyusutan. Proses ini dipengaruhi pula oleh tarik-menarik dengan planet di sekitarnya, terutama Matahari dan Bulan.

Perubahan kondisi Bumi ini dapat dipantau dengan parameter yang bekerja di dalamnya, seperti medan gravitasi, medan magnet, kelistrikan, suhu, porositas, atau kandungan air di permukaan tanah.

Dijelaskan Fauzi, Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, tekanan lempeng menyebabkan penekanan rongga-rongga di lapisan Bumi. Hal ini menyebabkan keluarnya air ke permukaan.

Sejak September tahun lalu Stasiun Pengamatan Gaya Berat Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) bekerja sama dengan perguruan tinggi di Jepang menerapkan Superconducting Gravimeter (SG).

Parluhutan Manurung, Kepala Bidang Medan Gaya Berat dan Pasang Surut Bakosurtanal menjelaskan, alat ini merupakan bagian dari Global Geodynamics Project (GCP).

Keberadaan stasiun ini di Indonesia sangat penting karena merupakan satu-satunya di khatulistiwa dan kawasan tektonik paling aktif di dunia. Jumlah alat ini terbatas, hanya 25 unit yang tersebar dalam jejaring Stasiun SG Global.

Alat GCP berfungsi memonitor terus-menerus perubahan medan gaya berat atau gravitasi Bumi dari detik ke detik hingga tahunan. Alat ini memantau sinyal perubahan nilai gaya berat secara kontinu selama enam tahun sampai diperoleh empat parameter.

Sejak teori gravitasi dilontarkan Isaac Newton 300 tahun lalu, pemahaman tentang gravitasi meningkat dan dikembangkan sistem pemantauan fenomena gravitasi Bumi. Sistem itu lalu dimanfaatkan untuk tujuan ekonomi, mencari sumber daya mineral dan minyak bumi.

Superconducting Gravimeter merupakan alat pengukur perubahan gaya berat atau gravitasi Bumi dengan kepekaan sangat tinggi—fraksi satu permiliar kali atau nano Gal. Dengan kemampuan ini, alat yang ditempatkan di permukaan Bumi itu dapat menangkap sinyal peubah mulai dari aktivitas inti Bumi hingga ke permukaan Bumi.

Alat ini mampu memantau sinyal perubahan gaya berat atau gelombang gravitasi yang disebabkan oleh aktivitas inti Bumi dan pengaruhnya terhadap gravitasi di permukaan hingga diperoleh gambaran tentang dinamika Bumi.

SG memiliki keunggulan, yaitu dapat memantau perubahan gravitasi dengan kepekaan yang tinggi dan memberi gambaran interaksi perubahan massa atmosfer sesuai kondisi cuaca.

Selain itu, digunakan untuk memantau perilaku kerak bumi yang dipengaruhi konstelasi Bumi terhadap planet lain yang berperan dalam memicu gempa bumi. Alat ini dapat mendeteksi gempa kecil dan besar.

Sistem SG yang terpasang di Kantor Bakosurtanal Cibinong, sejak September 2008 dapat memantau gempa Gorontalo, Desember tahun lalu, dan gempa Tasikmalaya, Rabu (2/9).

Pengukuran gaya berat di Indonesia, ujar Kepala Bakosurtanal Rudolf W Matindas, telah lama dilakukan oleh perusahaan minyak di Jawa dan Sumatera. Namun, cakupannya tergolong sempit.

Data itu selama ini dirahasiakan perusahaan itu karena dapat mengungkap kondisi lapisan permukaan Bumi yang memiliki cekungan minyak. Sementara itu, di luar Pulau Jawa dan Sumatera boleh dibilang hingga kini minim data gaya berat, bahkan Papua masih tergolong blank area.

Penyediaan data gaya berat secara nasional untuk keperluan pembangunan di daerah dilakukan Bakosurtanal dengan menggandeng Denmark Technical University.

Untuk mempercepat survei gravitasi ini dipilih wahana pesawat terbang, yang menurut Koordinator Survey Airborne Gravity Indonesia (SAGI) 2008 Fientje Kasenda, memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan survei di darat atau teresterial dan satelit.

Dengan pesawat terbang, jangkauan lebih luas dan cepat untuk medan yang berat, seperti hutan, pegunungan, dan perairan dangkal hingga pesisir.

Selain itu, juga ada kesinambungan data antara laut dan darat. Resolusi data lebih baik dibandingkan dengan data satelit. Biaya pun lebih rendah.

Dalam program Bakosurtanal, tutur Matindas, SAGI tahap pertama dilakukan di seluruh Sulawesi yang topografinya kompleks. Diharapkan, survei gaya berat dan pembuatan peta seluruh Indonesia ini selesai 2012.

Jum'at, 04 September 2009

Penulis: Yuni Ikawati

Source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/04/03025759/mencari.cara.memprediksi.gempa.bumi


 

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...