Tuesday, September 8, 2009

UNFCCC di Denmark

Setelah di Bali, konvensi badan PBB tentang perubahan iklim (UNFCCC atau UN Framework Convention on Climate Change) akan kembali digelar di Copenhagen, Denmark, Minggu (13/12/09).

Konferensi yang diselenggarakan pertama kali pada tahun 1992 itu bertujuan mendesak semua negara yang berkepentingan untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer pada tingkat yang dianggap tidak membahayakan iklim bumi. Tahun ini, pertemuan itu akan menjadikan usulan-usulan untuk menggunakan pembayaran karbon untuk melindungi hutan di dunia.

Konferensi bertajuk "Forest Day 3" didedikasikan untuk membahas peran hutan dalam perubahan iklim, mitigasi serta perubahan adaptasi, dan akan difokuskan pada "Hutan Keanekaragaman Hayati dan Perubahan Iklim."

Para negosiator juga akan membahas kerangka kerja global REDD (pengurangan emisi gas rumah kaca dari defortasi dan degradasi hutan). Dengan begitu negara-negara yang mengurangi tingkat deforestasi mereka akan memperoleh kredit untuk emisi gas yang berkurang. Kredit-kredit itu kemudian akan dijual pada pasar karbon internasional atau akan dialirkan ke suatu dana internasional.

Dalam sesi tanya jawab saat media briefing di Hotel Intercontinental, Selasa (25/8) pagi, Dr Agus Purnomo, mewakili pemerintah sebagai Executive Secretary National Council on Climate Change, menjelaskan, masyarakat hutan adat di Indonesia tidak memiliki perbedaan persepsi dengan negara-negara maju dan berkembang yang menghasilkan gas emisi terbanyak di dunia seperti China.

"Masyarakat dan desa itu adalah porsi yang besar, jadi dari pemerintah mereka yang memiliki tanggung jawab besar seperti masyarakat hutan adat akan diberikan insentif sekitar 70 persen," kata Dr Nur Masripatin, pemimpin tim REDD dari Departemen Kehutanan.

Selasa, 25 Agustus 2009 | 17:58 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com —  http://sains.kompas.com/read/xml/2009/08/25/17583580/unfccc.di.denmark

UU Lingkungan Hidup Disahkan DPR

DPR akhirnya menyetujui Rancangan Undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) untuk disahkan menjadi undang-undang dalam Sidang Paripurna di gedung parlemen, Jakarta, Selasa (8/9).

Sebanyak sepuluh fraksi secara aklamasi menyetujui RUU PPLH menjadi UU PPLH sebagai pengganti UU Np.23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Sidang yang dipimpin Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar.

Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar dalam penyampaian pendapat akhir pemerintah menyampaikan ucapan terima kasih kepada anggota DPR yang telah berinisiatif untuk membuat RUU PPLH untuk mengganti UU Lingkungan Hidup sebelumnya.

"UU tersebut (UU No.23/1997) telah bermanfaat bagi upaya pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia, tetapi efektifitas implementasinya belum dapat mencapai tujuan yang diharapkan karena adanya persoalan pada masalah substansial, struktural maupun kultural," kata Rachmat.

Dia menyebutkan beberapa hal penting dari UU PPLH yang belum atau masih kurang dalam UU sebelumnya, antara lain kewajiban pemerintah pusat maupun pemerintah daerah membuat Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).

Kajian itu untuk memastikan pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam kebijakan, rencana, dan program pembangunan.

UU PPLH juga menyebutkan penguatan AMDAL (analisi mengenai dampak lingkungan) untuk mencegah kerusakan lingkungan dengan meningkatkan akuntablitas, penerapan sertifikasi kompetensi penyusun dokumen AMDAL, penerapan sanksi hukum bagi pelanggar bidang AMDAL, dan AMDAL sebagai persyaratan utama dalam memperoleh izin lingkungan.

Masalah perijinan juga diperkuat dengan menjadikan izin lingkungan sebagai prasyarat memperoleh izin usaha/kegiatan dan izin usaha/kegiatan dapat dibatalkan apabila izin lingkungan dicabut.

Menlh mengatakan UU PPLH juga memperkuat sistem hukum PPLH dalam hal penegakan hukum lingkungan dengan antara lain pejabat pengawas yang berwenang menghentikan pelanggaran seketika di lapangan, Penyidik PNS dapat melakukan penangkapan dan penahanan serta hasil penyidikan disampaikan ke jaksa penuntut umum, yang berkoordinasi dengan kepolisian.

Bahkan pejabat pemberi izin lingkungan yang tidak sesuai prosedur dan pejabat yang tidak melaksanakan tugas pengawasan lingkungan juga dapat dipidana.

"Selain hukuman maksimun, juga diperkenalkan hukuman minimum bagi pencemar dan perusak lingkungan," tambah Rachmat Witoelar.

Selasa, 8 September 2009 | 14:21 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com -  http://sains.kompas.com/read/xml/2009/09/08/1421551/uu.lingkungan.hidup.disahkan.dpr

Walhi : 3.626 Ha Hutan dan Lahan Terbakar

Data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyebutkan, hingga Agustus 2009 jumlah lahan dan hutan terbakar di Indonesia mencapai 3626,4 ha. Walhi juga mendeteksi adanya 24.176 titik api di seluruh Indonesia, di mana yang tertinggi berada di Kalimantan Barat.

Direktur Eksekutif Nasional Walhi Berry Nahdian Furqan menjelaskan, pembakaran lahan dan hutan ini terjadi setiap tahun seolah-olah menjadi imun, sehhingga ia menyebutnya sebagai “ulang tahun”pembakaran hutan.

Walhi juga mensinyalir ada sekitar 44 perusahaan perkebunan kelapa sawit, baik sengaja maupun tidak sengaja, menjadi pelaku pembakaran lahan dan hutan di Kalimantan Barat. Sekitar 15 perusahaan masing-masing di Riau dan Kalimantan Tengah juga menjadi pelaku kasus serupa.

Kebakaran tahunan, ungkap Berry, telah berdampak buruk pada sektor ekologi, pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Oleh karenanya, perlu tindakan serius dari pemerintah untuk dapat menjerat pelaku pembakaran hingga ke pemilik konsesi.

“Harapannya ke depan ada aturan yang tegas bahwa pemilik konsesi itu harus bertanggung jawab terhadap wilayah konsesinya. Terlepas siapapun yang membakar atau terjadi kebakaran yang disengaja atau tidak disengaja,” ungkap Berry dalam acara Diskusi Terbatas 'Fenomena Kebakaran Hutan di Indonesia' di Jakarta, Selasa (08/09).

Sementara itu, Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) bidang kehutanan Prof.Bambang Hero Saharjo menyatakan banyak hal yang menyebabkan kebakaran hutan di Indonesia tetap lestari. Penyebabnya antara lain political will pemerintah dan penegakan hukum yang lemah, kurangnya koordinasi dan SDM yang mengerti permasalahan, serta minimnya pendekatan kepada masyarakat.

Bambang juga membeberkan kebakaran hutan terparah di Indonesia adalah tahun 1997-1998 saat terjadi  gelombang besar el nino. Saat itu, jutaan lahan terbakar menyumbang 58 persen karbondioksida dunia sehingga Indonesia menempati posisi ketiga penghasil CO2 terbesar. Asap hasil pembakaran bahkan 50 kali lebih besar dibandingkan serangan Irak pada kilang minyak Kuwait 1991.

“Kesimpulannya adalah data dan fakta membuktikan dan semua bisa merasakan bahwa pengendalian kebakaran hutan dan lahan tidak cukup hanya dengan jargon belaka, tetapi harus benar-benar dilaksanakan kalau memang menginginkan lingkungan hidup yang lebih baik dan kredibilitas pemerintah yang bertanggung jawab.” lanjut Bambang.

Selasa, 8 September 2009 | 15:44 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com -http://sains.kompas.com/read/xml/2009/09/08/15440098/walhi..3.626.ha.hutan.dan.lahan.terbakar

Monday, September 7, 2009

RUU LINGKUNGAN: 26 Kewenangan Siap Disahkan

Pembahasan maraton Rancangan Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menunggu pengesahan, Selasa (8/9). Terdapat 26 kewenangan yang secara langsung akan memperkuat lembaga Kementerian Negara Lingkungan Hidup.

”Hingga saat ini peluang disahkan sangat besar,” kata Ketua Panitia Khusus RUU PPLH Sonny Keraf ketika dihubungi di Jakarta, Minggu (6/9). RUU diterima badan musyawarah pada Kamis pekan lalu.

Diakui Sonny, sejumlah pihak terkejut dengan besarnya kewenangan KNLH apabila RUU disahkan. Besarnya kewenangan memang sengaja diatur sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945, yang di antaranya mencantumkan bahwa hak atas lingkungan yang baik merupakan bagian dari hak asasi manusia dan pasal ekonomi berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.

”Tentu juga atas fakta kehancuran ekologi yang menimbulkan bencana besar terus-menerus,” kata Menteri Negara Lingkungan Hidup pada era pemerintah Abdurrahman Wahid itu. Atas dasar itu, kewenangan KNLH diperkuat.

Sejumlah kewenangan yang diatur, di antaranya menerbitkan izin lingkungan bagi kegiatan berskala besar dan penting, mengawasi kegiatan yang izin lingkungannya dikeluarkan KNLH dan daerah, mencabut izin lingkungan yang telah dikeluarkan, mengembangkan dan melaksanakan instrumen ekonomi lingkungan hidup, menangkap dan menahan orang, serta menggugat secara perdata apabila terjadi kerugian terhadap negara.

Ada juga kewenangan membuat kajian lingkungan hidup strategis secara nasional untuk pembangunan wilayah, perencanaan, dan program. Total terdapat 26 kewenangan, yang beberapa di antaranya baru diadopsi.

Koordinator Tim Ahli Pemerintah Mas Achmad Santosa mengatakan, penambahan kewenangan tersebut membutuhkan syarat pelaksanaan. Syarat tersebut, di antaranya, pengawasan ketat pelaksanaan di lapangan.

”Apabila tidak diantisipasi dengan baik, KNLH bisa menjadi sumber penyalahgunaan kewenangan, termasuk korupsi,” kata peneliti senior Pusat Studi Hukum Lingkungan (ICEL) itu.

Caranya, pembenahan menyeluruh melalui program reformasi birokrasi dan pengawasan internal (inspektorat) serta kontrol publik. (GSA)

Senin, 7 September 2009 | 03:34 WIB

Jakarta, Kompas - http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/07/03340578/26.kewenangan.siap.disahkan

PERLINDUNGAN OZON: Dana Pinjaman Pergantian "Chiller" Belum Diakses

Dana pinjaman lunak penggantian pendingin ruangan skala besar (chiller) hingga kini belum dimanfaatkan penanam modal dalam negeri dan badan usaha milik negara. Dana pinjaman multilateral disediakan Bank Kredit Pembangunan Jerman akhir tahun 2007 lalu.

Sebelumnya, peluang pendanaan dijajaki bersama Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KNLH) dengan Bank Dunia.

”Kami belum tahu apa kendala penggantian chiller berbasis refrigeran tidak ramah lingkungan meskipun sudah ada akses pinjaman dana,” kata Asisten Deputi III Urusan Pengendalian Dampak Perubahan Iklim Sulistyowati di Jakarta pada akhir pekan lalu.

Chiller AC biasa digunakan di gedung-gedung, seperti hotel, perkantoran, pusat perbelanjaan, dan rumah sakit. Chiller AC dengan bahan pendingin freon berbasis chlorofluorocarbon (CFC), yang dikenal sebagai refrigeran atau R-12 dan R-22, mendesak untuk diganti.

Penelitian internasional menunjukkan, molekul-molekul dalam CFC yang terpapar di angkasa menipiskan lapisan ozon dan memiliki potensi pemanasan global 3.750 hingga 10.720 kali karbon dioksida (CO). Jumlah yang sangat besar.

Menurut Kepala Bidang Pendanaan di bawah Deputi VII Bidang Pembinaan Sarana Teknis dan Peningkatan Kapasitas KNLH Damayanti Ratunanda, Bank Kredit Pembangunan Jerman (KfW) bersedia menyediakan pinjaman hingga Rp 20 miliar per aplikasi kredit penggantian chiller.

Syaratnya, pinjaman hanya bisa diajukan perusahaan modal dalam negeri (PMDN) dan badan usaha milik negara (BUMN). ”Hingga kini belum ada yang memanfaatkan,” kata Damayanti Ratunanda.

Beberapa hotel di Bali dilaporkan pernah mengajukan, tetapi ditolak karena ternyata dimiliki asing (PMA). ”Saya tidak tahu, kenapa PMDN dan BUMN belum mengaksesnya,” kata Damayanti.

300 ”chiller”

Menurut Tri Widayati dari Unit Ozon Nasional, setidaknya ada 300 chiller AS berbasis freon CFC di Indonesia dengan total konsumsi CFC 150 metrik ton. Data Tim Teknis untuk Perlindungan Ozon menyebutkan, terdapat sekitar 3.500 chiller di Indonesia.

”Chiller AC berbasis freon HCFC (hydrochlorofluorocarbon) belum diwajibkan diganti,” kata Tri. Meskipun HCFC yang memiliki unsur klor, yang juga terkait pemanasan global, HCFC belum diwajibkan diganti dalam skema Protokol Montreal.

Indonesia, selaku peratifikasi Protokol Montreal di bawah Konvensi Wina, telah menghapus impor bahan perusak ozon jenis CFC per 1 Januari 2008. Konsekuensinya, refrigeran CFC, R-12 dan R-22, hanya menggunakan bahan sisa atau yang didaur ulang.

Faktanya, kebutuhan chiller AC masih saja tercukupkan. Hal tersebut diakui menimbulkan pertanyaan ketersediaan CFC di Indonesia. Tudingan diarahkan pada suplai dari penyelundupan yang beberapa kali terungkap. (GSA)

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...