Saturday, September 19, 2009

10 Inovasi Strategis di Dunia Masa Depan

Inovasi adalah kunci masa depan. Kesejahteraan yang dicapai manusia saat ini tidaklah terlepas dari inovasi yang telah dilahirkan pada masa lampau. Melalui berbagai penemuan yang telah diciptakan saat ini, kita pun dapat ”mengintip” masa depan.

Hal-hal yang dulu hanya bisa disaksikan di film-film fiksi dan buku ternyata menjelma sebagai realitas. Memandang sangat pentingnya inovasi, seperti diungkapkan Presiden AS Barack Obama dalam pidato mingguannya di radio dan media cyber, 1 Agustus 2009, Livescience merilis 10 obyek inovasi strategis yang telah dirintis dan akan menentukan pada masa depan.

Peralatan pembaca pikiran

Adam Wilson, ilmuwan dari Teknik Biomedis University of Wisconsin, AS, menciptakan sebuah interface (antarmuka untuk komputer) yang mampu menerjemahkan pikiran ke dalam bentuk teks.

Sistem antarmuka yang bekerja pada alat berupa elektrode dan kabel terkoneksi di kepala ini mampu mengubah sinyal listrik menjadi bentuk fisik, seperti tangan memindahkan cursor.

Teknologi ini sangat bermanfaat bagi pasien yang tak bisa berkomunikasi sama sekali, seperti penderita stroke atau penyakit langka Lou Gehrig (Amyotrophic Lateral Sclerosis) untuk bisa ”berbicara”. Alat ini dapat difungsikan sebagai alat pengetes kejujuran.

Keliling dunia 90 menit

Dari novel dan film kita ketahui, Phileas Fogg asal Inggris mampu mengelilingi dunia dalam 80 hari pada awal tahun 1870-an. Ke depan orang bisa hanya butuh kurang dari sejam untuk ke belahan dunia lain.

Dalam penelitian yang disponsori Pusat Sains Angkatan Udara AS dan Angkatan Udara Brasil, mimpi transportasi canggih dibangun di atas teknologi propulsi laser kecepatan hipersonik. Riset pimpinan Leik Myrabo, profesor Teknik Dirgantara dari Institut Politeknik Rensselaer, Troy, AS, ini tengah dilakukan di Laboratorium Hipersonik dan Aerodinamika Henry T Nagamatsu di Sao Jose, Brasil.

Kekuatan puncaknya dapat mencapai skala gigawatt. Alat ini diklaim mampu meluncurkan nano-satelit (1-10 kilogram) dan mikro-satelit (10-100 kilogram) ke orbit rendah dalam sekejap. Teknologi ini juga didesain untuk meluncurkan pesawat ke stasiun luar angkasa.

Lengan bionik

Ingat tokoh Luke ”Skywalker” di film Star Wars? Ya, tangan kanannya yang putus adalah sebuah lengan bionik. Tidak lama lagi, para veteran korban perang ataupun mereka yang terlahir tanpa lengan dan tungkai kaki bisa menikmati teknologi canggih Skywalker ini.

Banyak pusat penelitian di dunia mengembangkan lengan dan kaki bionik. Salah satunya adalah Touch Bionics yang telah memasarkan produknya, lengan i-LIMB. Lengan bionik ini memiliki kontrol intuitif.

Elektrode desain khusus ditempatkan di permukaan kulit untuk membaca sinyal-sinyal otot (myoelectric) yang dikirimkan otot di tungkai/lengan yang tersisa. Lengan i-LIMB berbahan dasar plastik itu dapat bergerak layaknya tangan biasa. Teknologi bionik yang tak kalah canggih tengah dirintis Miguel Nicolelis (Duke University, AS). Lengan buatan rancangannya, digerakkan otak langsung.

”Gadget” indera keenam

Pranav Mistry, mahasiswa program doktor dari Media Lab Massachusetts Institute of Technology (MIT), menciptakan alat Sixth Sense, yang bisa menampilkan informasi virtual tiga dimensi saat berinteraksi dengan obyek yang dilihat.

Sebagai contoh, dengan melihat kulit wajah sebuah buku, beragam informasi: resensi, harga, bahkan komentar tentang buku itu, langsung muncul di hadapan kita layaknya tayangan dari sebuah proyektor LCD.

Sixth Sense adalah sebuah gadget yang memungkinkan segala informasi di internet terhubung langsung dengan dunia nyata dan membentuk sajian bernama realitas tambahan. Gadget yang ringkas ini mengingatkan kita pada teknologi canggih di film Minority Report.

Teknologi ini menggabungkan webcam dan proyektor mini yang terkoneksi dengan ponsel cerdas secara nirkabel.

Organ tubuh artifisial

Suatu saat ke depan, manusia yang menderita penyakit gagal hati bisa memiliki organ hati baru. Bukan lagi sekadar transplantasi, melainkan sebuah organ asli. Colin McGucklin dan Nico Forraz—duo peneliti dari Newcastle University, Inggris— menciptakan lever artifisial.

Lever manusia pertama yang pernah diciptakan ini masih dalam skala prototipe. Ukurannya mini, setara sebuah koin ukuran kecil. Lever ini dibuat dari sel punca (stem cell) yang diambil dari tali pusat manusia.

Bioreaktor untuk menumbuhkan sel punca diperoleh dari NASA. Pada masa depan kemungkinan bukan hanya lever yang bisa diproduksi, melainkan juga organ-organ vital lain, seperti ginjal, bahkan jantung.

Memberi makan dunia

Mencukupi kebutuhan pangan dunia bakal menjadi hal sangat krusial pada masa depan. Ilmuwan terus berupaya menciptakan varietas gandum, jagung, dan beras unggulan yang bisa panen berlipat ganda. Termasuk menyesuaikan dengan gejala pemanasan global.

Seiring pesatnya riset bioteknologi, muncul ide pembuatan superfood—makanan berbentuk pil yang mencakup seluruh nutrisi yang dibutuhkan. Ada yang mengembangkan makanan sintetis dari sel punca hewan. Riset ini salah satunya dilakukan di Ulrecht University, Belanda.

Melenyapkan limbah

Limbah akan menjadi persoalan besar pada masa depan jika tidak diantisipasi serius. Di negara-negara maju, melalui pemanfaatan teknologi, berbagai sampah diolah menjadi bahan baku daur ulang. Bulu ayam, oleh peneliti di Virginia Tech, AS, bisa diolah menjadi senyawa polimer sebagai bahan untuk membuat plastik pada masa depan.

Menjiplak nuklir Matahari

Reaksi fusi nuklir menjaga Matahari tetap bersinar cemerlang selama miliaran tahun. Ed Moses, dari National Ignition Facility, AS, melakukan penelitian bertujuan menciptakan fusi nuklir seperti di Matahari.

Dia mencampur 150 mikrogram deuterium dan tritium yang ditembakkan dengan laser raksasa sebagai inti tenaga untuk membangkitkan fusi nuklir. Percobaan ini mirip dengan adegan cerita fiksi film Spiderman 2. Pada 2010 dijadwalkan tes, yang diprediksi menghasilkan energi hingga 500 triliun watt.

Merekayasa iklim Bumi

Salah satu cara mencegah pemanasan global adalah melalui rekayasa kebumian (geoengineering). Muncul berbagai gagasan geoengineering yang hi-tech, seperti membuat cermin atau menaburkan partikel pemantul sinar matahari. Untuk mengurangi badai topan di AS akan dicoba mengaduk lautan, oleh sejumlah armada kapal, agar air laut mendingin. Teknologi rekayasa kebumian kian dimungkinkan.

Membuat otak manusia

Masih banyak bagian dari otak manusia yang menyimpan misteri. Di balik miliaran neuron, tersembunyi segala pemikiran dan teknologi canggih yang tak pernah terbayangkan akan dilahirkan.

Peneliti yang tergabung dalam Blue Brain Project di Swiss mengumumkan rencana membuat otak artifisial beberapa dekade lagi. Simulasi dilakukan dengan membuat otak tikus buatan, menggunakan IBM Supercomputer Blue Gene.

Jakarta, 19 September 2009
Penulis: Yulvianus Harjono

Target Industri Sel Surya 50 MW

Dikombinasikan Fuel Cell Jadi Tren ke Depan

Setelah berlarut-larut merencanakan pembangunan industri sel surya dalam negeri, pemerintah pun mulai menargetkan produksi awal 50 megawatt per tahun. Badan usaha milik negara, PT LEN Persero, ditunjuk sebagai industri pelaksana produksi material sumber energi terbarukan ini.

”Cetak biru untuk kebijakan implementasi sel surya produksi dalam negeri, khususnya di perkotaan, sudah disiapkan dan akan dipaparkan kepada Presiden pada awal Oktober 2009,” kata Direktur Pusat Teknologi Konversi dan Konservasi Energi pada Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Arya Rezavidi, Jumat (18/9) di Jakarta.

Menurut Arya, cetak biru tersebut berisi ketentuan penggunaan sel surya sebagai sumber energi listrik penerang jalan umum. Selain itu, ketentuan pembatasan penggunaan listrik PLN bagi gedung ataupun perumahan tertentu, agar selebihnya memanfaatkan sel surya.

Untuk memenuhi bauran energi pada 2025, pemerintah menargetkan pemanfaatan sel surya 800 megawatt. Kapasitas sel surya terpasang saat ini baru sekitar 10 megawatt sehingga peluang industri sel surya dalam negeri sebetulnya besar.

Menurut Arya, program pemanfaatan sel surya oleh pemerintah saat ini masih terpusat pada upaya menyuplai listrik di desa-desa yang memang terisolasi dan tak ada jaringan listrik. Investasi pengadaan sel surya impor pun masih cukup besar.

Dicontohkan, tahun 2008 dianggarkan pengadaan sel surya untuk daerah-daerah terpencil pada pos anggaran Kementerian Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal besarnya Rp 180 miliar. Adapun di Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral jumlahnya mencapai Rp 400 miliar.

Tren ke depan

Arya mengungkapkan, pemerintah harus mengoptimalkan produksi sel surya dalam negeri karena penggunaan sel surya tak terhindarkan, ini sesuai dengan tren ke depan. Pemenuhan energi terbarukan antara lain dengan mengombinasikan sel surya dengan teknologi fuel cell (sel bahan bakar hidrogen).

”Prinsip kedua sumber energi terbarukan tersebut bisa saling melengkapi,” kata Arya.

Sel surya dalam kapasitas besar bersifat statis, dapat menunjang produksi hidrogen melalui proses elektrolisis. Hidrogen yang dihasilkan kemudian diproses menjadi bahan bakar yang dapat didistribusikan, seperti bahan bakar kendaraan konvensional sekarang.

Menurut pakar sel bahan bakar BPPT, Eniya Listiyani Dewi, produksi teknologi untuk sel bahan bakar dalam negeri sudah dapat dikembangkan. Saat ini sudah dihasilkan prototipe untuk kapasitas produksi listrik 700 watt.

”Untuk kapasitas 1 kilowatt baru-baru ini telah diuji coba, tetapi terdapat kebocoran pada membran sebagai jantung sel bahan bakar ini,” kata Eniya.

Menurut Eniya, ketertarikan investor atau industri dalam negeri untuk mengembangkan aplikasi sel bahan bakar saat ini memang ada. Namun, hal itu belum didukung infrastruktur sumber hidrogen.

”Kalau pemerintah ingin mengembangkan infrastruktur industri hidrogen, sebaiknya mendekati lokasi-lokasi industri gas yang ada,” kata Eniya.

Industri gas juga mengandalkan distribusi hidrogen melalui pipa. Selain itu, industri tersebut bisa terintegrasi dengan industri lain yang butuh hidrogen, seperti industri pupuk kimia.

”Beberapa investor yang menghubungi saya sudah bersedia mewujudkan kota hidrogen. Namun, pemerintah masih perlu mempersiapkan infrastruktur sumber hidrogennya,” kata Eniya Listiyani Dewi.

Kota hidrogen merupakan istilah untuk suatu kawasan yang tertata infrastrukturnya dengan mengoptimalkan hidrogen sebagai sumber energi utama yang ramah lingkungan.

Pihak BPPT bekerja sama dengan Universitas Gadjah Mada saat ini mengembangkan riset mesin pengubah atau reformer gas menjadi hidrogen. Alat ini dapat digunakan untuk memproduksi gas hidrogen dari sumber energi gas lain, seperti elpiji atau biogas.

”Reformer ini menjadi salah satu teknologi utama untuk menghasilkan hidrogen. Sekarang tinggal menunggu uji coba,” kata Eniya. (NAW)

Jakarta, 19 September 2009

Kompor Sawit Diperkenalkan ke Petani

Petani pemilik pohon kelapa sawit di Kampung Samprog, Desa Pangaur, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor, mendapat kompor berbahan bakar biji sawit, Rabu (16/9). Pembagian kompor kepada 25 petani ini merupakan langkah lanjutan dari riset dan pembuatan kompor sawit yang disponsori anggota Dewan Penasihat Presiden, Prof Subur Budhisantoso.

Kompor berbahan pelat aluminium tersebut hasil temuan Bayu Himawan dan Achmad Witjaksono, yang sudah memiliki hak paten. Kompor sawit tersebut sudah mulai diproduksi perajin
di Purbalingga, Jawa Tengah, untuk diperdagangkan secara ekonomis atas izin Bayu dan Witjaksono.

”Orang kampung seperti saya pasti berani memakai kompor ini. Soalnya, kompornya seperti kompor minyak tanah. Enggak kaget lihatnya. Orang kampung saya takut pakai kompor gas. Rata-rata, seperti saya, masak pakai hawu (tungku) kayu bakar,” kata Ny Eneng Sumiati (43), warga yang hadir dalam acara penyerahan kompor tersebut di halaman Koperasi Petani Sawit di Kampung Samprog.

Ny Umdanah (34), warga lainnya, menambahkan, di kampungnya mudah mendapatkan biji sawit karena ada perkebunan sawit milik PTPN VIII. ”Banyak buah sawit yang tercecer. Saya juga punya pohon sawit,” ujarnya.

Prof Emil Salim yang hadir pada acara itu mengatakan, masyarakat harus mengembangkan semangat melawan kemiskinan. ”Manusia tidak dilahirkan miskin, tetapi dengan akal. Di sini ada sawit. Biji sawit dapat menjadi bahan bakar. Jadi, kenapa harus bergantung pada minyak tanah atau elpiji yang sulit mendapatkannya karena jauh dari jaringan distribusinya,” tutur Emil.

Menurut Bayu, kompor berisi 200 gram biji sawit kering akan menghasilkan nyala api selama 50 menit. Satu kilogram biji sawit kering menghasilkan nyala api selama 250 menit atau 4 jam 10 menit. Harga biji sawit per kilogramnya Rp 4.500. Atau, jika setiap keluarga aktivitas memasaknya tiga jam per hari, keluarga tersebut hanya perlu memiliki satu pohon kelapa sawit.

Selain memperkenalkan kompor sawit tersebut, anggota koperasi petani sawit berencana memproduksi dan memasarkan kompor tersebut di wilayah Bogor. Itu sebabnya, dalam acara pemberian kompor sawit stimulus tersebut, diundang pejabat atau aparat terkait. Di antaranya dari dinas sosial, transmigrasi, pembangunan daerah tertinggal, dan Pemerintah Kabupaten Bogor. Aparat tersebutlah yang akan melakukan pelatihan dan bimbingan teknis untuk memberdayakan masyarakat agar memanfaatkan biji sawit. (RTS)

Bogor, 19 September 2009

Mitos Organik dalam Era Pertanian Modern


Impian petani dan pendukung kaum tani di dalam melepaskan diri dari jeratan teknologi kapitalis tampak akan terpenuhi dengan mulai maraknya praktik pertanian dengan input produksi organik. Ket.Foto: Pekerja mengemas pupuk cair organik dalam botol 1 liter di pabrik PT Sang Hyang Seri (Persero) di Dusun Lusah, Desa Prawatan, Kecamatan Jogonalan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, awal Juni lalu. Kapasitas produksi di pabrik ini mencapai 65.000 liter per bulan.

Di tengah optimisme dan semangat mewujudkan impian tersebut, kekhawatiran muncul bahwa mimpi tersebut akan tetap menjadi mimpi ketika terlalu besar harapan, yang kemudian memunculkan mitos.

Tanpa perhatian yang penuh, mitos ini akan menisbikan program bantuan pemerintah kepada petani, khususnya ketika pasar tidak melihat upaya ini sesuatu yang pantas mendapat premi.

Departemen Pertanian Amerika Serikat pada 1997 mendefinisikan pertanian organik sebagai sebuah sistem manajemen produksi berbasis agroekologi yang memacu dan mendorong keanekaragaman hayati, siklus biologi, dan aktivitas biologi tanah.

Praktiknya adalah penggunaan input luar-lahan minimal dan upaya memperkaya, mempertahankan, serta meningkatkan keharmonisan ekologi. Menurut Organisasi Pangan Dunia (FAO), tujuan utamanya adalah mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas dari komunitas yang saling berketergantungan antara kehidupan dalam tanah, hewan, dan manusia.

Klaim atau doktrin yang banyak dianut oleh pelaku paham pertanian organik adalah bahwa organik lebih sehat daripada input kimia seolah ingin memanfaatkan momentum prevalensi pasar yang menuntut bahan makanan yang tidak mengandung unsur-unsur pemicu penyakit serius.

Dalam beberapa tahun terakhir pikiran konsumen secara sukarela dibawa oleh doktrin tersebut walaupun ada banyak kejanggalan dalam logika berpikir para penganut aliran pertanian organik.

Bukti sukses

Sebuah penelitian jangka panjang di Universitas Cornell memberikan gambaran menakjubkan tentang hasil pengamatan selama 22 tahun. Dibuktikan bahwa secara keseluruhan produksi jagung dan kedelai dari perlakuan pertanian organik relatif sama dengan pertanian konvensional yang menggunakan pupuk kimia buatan.

Keuntungannya adalah bahwa pertanian organik menghemat konsumsi energi (bahan bakar minyak) sebesar 30 persen, menahan air lebih lama di musim kering, dan tidak memerlukan pestisida. Namun, hasil yang diperoleh pada empat tahun pertama produksinya 33 persen lebih rendah daripada perlakuan konvensional.

Setelah bahan organik terkumpul di dalam tanah, sejak tahun kelima produksinya mulai sama atau lebih tinggi daripada konvensional, terutama karena lebih tahan selama musim kering.

Dilaporkan pula bahwa pertanian organik mampu menyerap dan menahan karbon (C) sehingga sangat bermanfaat dalam mitigasi pemanasan global. Kandungan bahan organik tanah naik 15-28 persen yang setara dengan 1.500 kilogram CO dari udara.

Walaupun biaya produksi pada sistem pertanian organik 15 persen lebih tinggi daripada konvensional, dengan harga yang cukup baik pada tanaman sereal kenaikan ini tidak terlalu menjadi masalah. Sebaliknya, sistem pertanian organik tidak mampu memberikan keuntungan untuk tanaman anggur, apel, ceri, dan umbi-umbian.

Beberapa keberhasilan sejenis juga dilaporkan di Afrika, India, dan China. Namun, hasil-hasil tersebut masih menimbulkan pro dan kontra, terutama dari para ahli ilmu tanah yang tidak bisa menerima alasan bahwa hal tersebut semata-mata akibat organik versus kimia.

Mitos pertanian organik

Keberhasilan input organik dengan menggeser peran input kimia sebagai sebuah monumen inovasi dari Revolusi Hijau 60 tahun yang lalu semula dipandang sebelah mata oleh para ilmuwan ilmu tanah yang memahami dengan baik hubungan tanah dengan tanaman.

Namun, ketika gejala yang berkembang, khususnya di Amerika Serikat, makin mengkhawatirkan, beberapa pendapat mulai bermunculan. Salah satunya adalah yang diuraikan oleh Throckmorton (2007), seorang dekan dari Kansas State College.

Keberatannya terhadap doktrin pertanian organik adalah bahwa tidak mungkin peran pupuk kimia digantikan sepenuhnya oleh pupuk organik. Pertama, jika hal itu mungkin, dunia akan kekurangan biomassa untuk produksi pupuk organik karena dosisnya luar biasa besarnya.

Kedua, tanaman tidak hanya ditentukan oleh humus saja, tetapi oleh faktor-faktor lain seperti bahan organik aktif, nutrisi mineral tersedia, aktivitas mikroba tanah, aktivitas kimia dalam larutan tanah, dan kondisi fisik tanah.

Bahan organik tanah memang sering disebut sebagai ”nyawa dari tanah” sebagai ekspresi dari perannya mendukung aktivitas mikroba tanah. Peran lain dari bahan ini memang diakui penting, tetapi bukan satu-satunya, dalam pelarutan hara, pembenah tanah, dan kapasitas menahan air.

Fakta lain adalah bahwa bahan organik mengandung nutrisi tanaman sangat kecil.
Klaim bahwa nutrisi asal bahan organik (kompos, pupuk organik) lebih ”alami” dibandingkan asal pupuk kimia sangat tidak masuk akal, apalagi dihubungkan dengan kesehatan manusia.

Bukti empiris menunjukkan bahwa pada tanah organik (kadar bahan organik sangat tinggi) percobaan gandum, kentang, dan kubis di Amerika Serikat pada yang dipupuk

kimia buatan mencapai 5-54 kali lebih besar daripada yang tidak dipupuk kimia. Satu bukti lain bahwa organik bukan satu-satunya unsur utama dalam produksi tanaman adalah pada sistem hidroponik.

Kebijakan pemerintah, seperti Go Organic 2010, penerbitan SNI Sistem Pangan Organik (01-6729-2002), dan subsidi pupuk organik merupakan langkah-langkah konkret yang perlu diawasi implementasinya. Di samping itu, pertimbangan yang mendalam perlu dilakukan dengan memerhatikan dampak krisis keuangan 2008.

Daya beli masyarakat menurun, seperti yang dilaporkan di Inggris, berdampak stagnasi pada pertumbuhan produk pertanian organik pada tingkat 2 persen. Konsumen yang mengutamakan rupa daripada rasa juga tidak mudah berubah ke produk organik.

Di sisi lain, kemampuan produksi input organik untuk menopang produktivitas pangan yang dibutuhkan jauh dari memadai akibat keterbatasan dan terpencarnya bahan baku. Untuk itu, mitos-mitos yang terkait dengan produk organik harus dihapus dan diberikan pemahaman yang benar kepada petani.

Kombinasi optimal antara input anorganik dan organik akan mampu memenuhi persyaratan berbagai pihak, baik teknis, ekonomi, lingkungan, maupun kesehatan konsumen.

Jakarta, 18 September 2009
Penulis: Didiek Hadjar Goenadi Anggota Bidang Agribisnis- Komite Penanaman Modal, BKPM, dan Ketua Umum Asosiasi Inventor Indonesia

Kuncinya Mendekat pada Ibu Bumi


Para petani yang menerapkan metode organik tak memiliki resep tunggal untuk meningkatkan kesuburan lahan serta mengatasi gangguan hama dan penyakit tanaman. Masing-masing menemukan teknik sendiri. Kuncinya adalah mendekat pada ibu bumi, memahami keluh kesahnya, dan memberi apa yang dimauinya. Ket.Foto: Pekerja menaruh butiran kompos pada granulator yang berputar sebelum dipanaskan di PT Godang Tua Jaya Farming di Tempat Pembuangan Akhir Bantar Gebang, Bekasi, Jawa Barat, awal April lalu. Di kawasan tersebut akan dibangun pengolahan sampah terpadu.

Kata kunci itu barangkali terdengar abstrak bagi sebagian orang. Namun, bagi petani yang telah menerapkannya, metode tersebut sangat nyata. Jauh lebih nyata dibandingkan dengan menggantungkan tanah mereka pada rezim pupuk dan pestisida kimia yang datang dari negeri yang entah.

Di samping teknik yang telah dikenal umum, dengan membuat kompos berbahan baku kotoran hewan atau dedaunan, sejumlah petani organik menemukan teknik dan bahan terbaik untuk pupuk sesuai dengan kondisi daerahnya masing-masing.

Misalnya, Purwanto, petani dari Dusun Kleben, Kelurahan Sidorejo, Godean, Sleman, Yogyakarta, menemukan pupuk dari fermentasi telur itik busuk—dipilih dari telur itik yang gagal menetas dari usaha penetasan telur yang dimilikinya.

Petani 34 tahun ini, selain mengolah lahan warisan mertua seluas 450 m, juga mengembangkan usaha penetasan bebek sejak tiga tahun terakhir. Setiap bulan dia menetaskan sekitar 2.500 telur dengan tingkat kegagalan sekitar 5 persen.

Limbah telur ini awalnya biang masalah karena biasanya dia membuang telur busuk itu ke sungai. Tetangganya protes karena muncul bau busuk yang luar biasa. ”Suatu malam saya menemukan ide, kenapa telur itu tidak saya pendam di dalam sawah? Telur kan makanan bergizi bagi manusia, pasti juga baik bagi padi,” demikian logika sederhananya.

Selama dua tahun terakhir dia mempraktikkan metode temuannya itu dan sudah sekitar 4.000 telur bebek lengkap dengan cangkangnya yang ditanam di sawah. ”Panenan ternyata bagus,” kata Purwanto.

Di Klaten, sekelompok petani memfermentasi limbah tetes tebu dari pabrik gula, yang sebelumnya menjadi masalah lingkungan. Sedangkan di Margoluwih, Sayegan, Yogyakarta, Kelompok Joglo Tani menggunakan air kencing kelinci untuk membuat pupuk.

Para praktisi organik ini percaya bahwa ibu bumi dan tanaman merupakan sosok yang hidup dan bernapas. Karena itu, kebutuhan terhadap unsur hara juga berlainan pada waktu, jenis tanaman, dan tempat yang berbeda. Dengan mengenal dan membaca tanda-tanda alam, para penggiat organik ini menemukan cara masing-masing.

”Saya pernah dianggap gila karena tiap hari merenung di tengah sawah,” kata Purwanto. Waktu itu tanaman padinya yang mulai menguning dikeroyok tikus. Beberapa resep tradisional dicoba, tetapi tak mempan. ”Tikus itu hewan pintar, mereka juga belajar,” katanya.

Dia akhirnya menemukan teknik merendam sawah saat malam—ketika tikus-tikus itu menyerbu—dan cepat mengeringkan kembali saat pagi. Demikian seterusnya. Untuk sementara padinya aman walaupun mungkin suatu saat tikus itu akan menemukan cara menyerang pada saat tengah hari bolong.

Di Purbalingga, pelopor pertanian organik, Mbah Gatot, menggunakan gula untuk melawan tikus. Pertama-tama, dia mencari liang tikus yang masih aktif, yaitu yang masih ada bekas lalu lintas hewan pengerat itu. Lalu di bagian luar liang ditaruh beberapa sendok gula merah atau gula putih. Tujuannya agar setiap ada tikus yang lewat, rambut tikus itu tertempel gula dan terbawa masuk jauh ke dalam liangnya. Gula akan mendatangkan semut, dan semut akan mengusir tikus. Itulah logikanya. Logika yang dipahami dan ditemukan dari hasil pengamatan sendiri, kemudian dicobakan.

Beberapa teknik itu gagal, sebagian berhasil. Tetapi, pada prinsipnya mereka berdialog, belajar, dan mencoba mandiri.

Teknik paling ampuh mengatasi tikus, menurut Purwanto, sudah dikenal oleh petani sejak lama, yaitu menggunakan predator tikus, misalnya ular, burung hantu, atau elang. ”Tetapi, sekarang predator tikus itu dihabisi oleh predator yang lebih rakus, manusia,” dan sebagai akibatnya, ”petani yang sekarang kesulitan melawan tikus itu,” kata Purwanto menerangkan konsep rantai makanan.

Jejaring hidup

Seperti ditulis oleh Rachel Carson dalam Silent Spring (1962), buku klasik yang mengubah cara pandang dunia Barat terhadap pupuk dan pestisida kimia, sejarah kehidupan adalah interaksi dengan lingkungan. Saling tergantung dan saling dukung. Tak ada yang tak berguna dalam jejaring alam ini, semua memiliki peranan.

Jauh sebelum manusia menjadi dominan, alam telah menemukan keseimbangannya sendiri. Manusia tidak mencipta apa-apa, termasuk tanaman pangan yang sekarang dikenal, mulai dari padi-padian, gandum, jagung, hingga umbi-umbian. Manusia hanya menyeleksi, memodifikasi, dan membiakkan dengan cepat yang diinginkannya serta menyisihkan yang dianggap tak berguna.

Aneka tanaman itu sudah ada di bumi, demikian juga serangga yang tergantung padanya. Dan, seperti manusia, spesies pesaing itu juga beradaptasi. Ketika kemudian manusia menganggap spesies itu sebagai hama dan menyerangnya dengan zat kimia mematikan, mereka pun belajar untuk bertahan dengan kemampuan adaptasi yang jauh lebih canggih dibandingkan dengan manusia karena mereka jauh lebih tua.

Contoh yang populer adalah penggunaan dichloro diphenyl trichloroethane (DDT). Pada tahap awal penggunaannya, DDT dianggap pahlawan yang mampu mengalahkan serangga pengganggu, tetapi hanya sebentar karena muncul berbagai varian baru serangga yang lebih kebal terhadap racun ini. Demikian seterusnya, walaupun jenis dan dosis racun ditambah, spesies pesaing itu tetap bertahan dan semakin kebal.

Rachel Carson mengamati, alih-alih menghabisi hama pengganggu, racun kimia itu justru membunuh aneka spesies yang berguna bagi manusia, seperti lebah penyerbuk dan burung pemakan hama. Pada gilirannya, racun kimia yang ditujukan kepada spesies pengganggu juga menggerogoti tubuh manusia.
Singkatnya, menurut Rachel, ”perang dengan racun kimia tak akan pernah dimenangi manusia”.

Walaupun tak pernah membaca Silent Spring atau buku-buku sejenis itu, Purwanto tahu betul bahwa racun kimia memang bukan jawaban untuk pertanian. ”Kita cukup mendekat pada alam untuk tahu bahwa metode pertanian organik adalah yang terbaik untuk kehidupan,” kata petani muda dari dusun kecil ini. Dia sangat yakin gerakan menuju organik adalah perjuangan ”untuk keberlangsungan lingkungan, dan akhirnya untuk keberlangsungan hidup manusia di bumi juga”.

Jakarta, 18 September 2009
Penulis: Ahmad Arif

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...