Impian petani dan pendukung kaum tani di dalam melepaskan diri dari jeratan teknologi kapitalis tampak akan terpenuhi dengan mulai maraknya praktik pertanian dengan input produksi organik. Ket.Foto: Pekerja mengemas pupuk cair organik dalam botol 1 liter di pabrik PT Sang Hyang Seri (Persero) di Dusun Lusah, Desa Prawatan, Kecamatan Jogonalan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, awal Juni lalu. Kapasitas produksi di pabrik ini mencapai 65.000 liter per bulan.
Di tengah optimisme dan semangat mewujudkan impian tersebut, kekhawatiran muncul bahwa mimpi tersebut akan tetap menjadi mimpi ketika terlalu besar harapan, yang kemudian memunculkan mitos.
Tanpa perhatian yang penuh, mitos ini akan menisbikan program bantuan pemerintah kepada petani, khususnya ketika pasar tidak melihat upaya ini sesuatu yang pantas mendapat premi.
Departemen Pertanian Amerika Serikat pada 1997 mendefinisikan pertanian organik sebagai sebuah sistem manajemen produksi berbasis agroekologi yang memacu dan mendorong keanekaragaman hayati, siklus biologi, dan aktivitas biologi tanah.
Praktiknya adalah penggunaan input luar-lahan minimal dan upaya memperkaya, mempertahankan, serta meningkatkan keharmonisan ekologi. Menurut Organisasi Pangan Dunia (FAO), tujuan utamanya adalah mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas dari komunitas yang saling berketergantungan antara kehidupan dalam tanah, hewan, dan manusia.
Klaim atau doktrin yang banyak dianut oleh pelaku paham pertanian organik adalah bahwa organik lebih sehat daripada input kimia seolah ingin memanfaatkan momentum prevalensi pasar yang menuntut bahan makanan yang tidak mengandung unsur-unsur pemicu penyakit serius.
Dalam beberapa tahun terakhir pikiran konsumen secara sukarela dibawa oleh doktrin tersebut walaupun ada banyak kejanggalan dalam logika berpikir para penganut aliran pertanian organik.
Bukti sukses
Sebuah penelitian jangka panjang di Universitas Cornell memberikan gambaran menakjubkan tentang hasil pengamatan selama 22 tahun. Dibuktikan bahwa secara keseluruhan produksi jagung dan kedelai dari perlakuan pertanian organik relatif sama dengan pertanian konvensional yang menggunakan pupuk kimia buatan.
Keuntungannya adalah bahwa pertanian organik menghemat konsumsi energi (bahan bakar minyak) sebesar 30 persen, menahan air lebih lama di musim kering, dan tidak memerlukan pestisida. Namun, hasil yang diperoleh pada empat tahun pertama produksinya 33 persen lebih rendah daripada perlakuan konvensional.
Setelah bahan organik terkumpul di dalam tanah, sejak tahun kelima produksinya mulai sama atau lebih tinggi daripada konvensional, terutama karena lebih tahan selama musim kering.
Dilaporkan pula bahwa pertanian organik mampu menyerap dan menahan karbon (C) sehingga sangat bermanfaat dalam mitigasi pemanasan global. Kandungan bahan organik tanah naik 15-28 persen yang setara dengan 1.500 kilogram CO dari udara.
Walaupun biaya produksi pada sistem pertanian organik 15 persen lebih tinggi daripada konvensional, dengan harga yang cukup baik pada tanaman sereal kenaikan ini tidak terlalu menjadi masalah. Sebaliknya, sistem pertanian organik tidak mampu memberikan keuntungan untuk tanaman anggur, apel, ceri, dan umbi-umbian.
Beberapa keberhasilan sejenis juga dilaporkan di Afrika, India, dan China. Namun, hasil-hasil tersebut masih menimbulkan pro dan kontra, terutama dari para ahli ilmu tanah yang tidak bisa menerima alasan bahwa hal tersebut semata-mata akibat organik versus kimia.
Mitos pertanian organik
Keberhasilan input organik dengan menggeser peran input kimia sebagai sebuah monumen inovasi dari Revolusi Hijau 60 tahun yang lalu semula dipandang sebelah mata oleh para ilmuwan ilmu tanah yang memahami dengan baik hubungan tanah dengan tanaman.
Namun, ketika gejala yang berkembang, khususnya di Amerika Serikat, makin mengkhawatirkan, beberapa pendapat mulai bermunculan. Salah satunya adalah yang diuraikan oleh Throckmorton (2007), seorang dekan dari Kansas State College.
Keberatannya terhadap doktrin pertanian organik adalah bahwa tidak mungkin peran pupuk kimia digantikan sepenuhnya oleh pupuk organik. Pertama, jika hal itu mungkin, dunia akan kekurangan biomassa untuk produksi pupuk organik karena dosisnya luar biasa besarnya.
Kedua, tanaman tidak hanya ditentukan oleh humus saja, tetapi oleh faktor-faktor lain seperti bahan organik aktif, nutrisi mineral tersedia, aktivitas mikroba tanah, aktivitas kimia dalam larutan tanah, dan kondisi fisik tanah.
Bahan organik tanah memang sering disebut sebagai ”nyawa dari tanah” sebagai ekspresi dari perannya mendukung aktivitas mikroba tanah. Peran lain dari bahan ini memang diakui penting, tetapi bukan satu-satunya, dalam pelarutan hara, pembenah tanah, dan kapasitas menahan air.
Fakta lain adalah bahwa bahan organik mengandung nutrisi tanaman sangat kecil.
Klaim bahwa nutrisi asal bahan organik (kompos, pupuk organik) lebih ”alami” dibandingkan asal pupuk kimia sangat tidak masuk akal, apalagi dihubungkan dengan kesehatan manusia.
Bukti empiris menunjukkan bahwa pada tanah organik (kadar bahan organik sangat tinggi) percobaan gandum, kentang, dan kubis di Amerika Serikat pada yang dipupuk
kimia buatan mencapai 5-54 kali lebih besar daripada yang tidak dipupuk kimia. Satu bukti lain bahwa organik bukan satu-satunya unsur utama dalam produksi tanaman adalah pada sistem hidroponik.
Kebijakan pemerintah, seperti Go Organic 2010, penerbitan SNI Sistem Pangan Organik (01-6729-2002), dan subsidi pupuk organik merupakan langkah-langkah konkret yang perlu diawasi implementasinya. Di samping itu, pertimbangan yang mendalam perlu dilakukan dengan memerhatikan dampak krisis keuangan 2008.
Daya beli masyarakat menurun, seperti yang dilaporkan di Inggris, berdampak stagnasi pada pertumbuhan produk pertanian organik pada tingkat 2 persen. Konsumen yang mengutamakan rupa daripada rasa juga tidak mudah berubah ke produk organik.
Di sisi lain, kemampuan produksi input organik untuk menopang produktivitas pangan yang dibutuhkan jauh dari memadai akibat keterbatasan dan terpencarnya bahan baku. Untuk itu, mitos-mitos yang terkait dengan produk organik harus dihapus dan diberikan pemahaman yang benar kepada petani.
Kombinasi optimal antara input anorganik dan organik akan mampu memenuhi persyaratan berbagai pihak, baik teknis, ekonomi, lingkungan, maupun kesehatan konsumen.
Jakarta, 18 September 2009
Penulis: Didiek Hadjar Goenadi Anggota Bidang Agribisnis- Komite Penanaman Modal, BKPM, dan Ketua Umum Asosiasi Inventor Indonesia
No comments:
Post a Comment