Penataan sampah di Provinsi DKI Jakarta membutuhkan ketetapan tata ruang. Apabila tata ruang tidak segera dibereskan, pengelolaan sampah di Ibu Kota Jakarta akan sulit diselesaikan.
Pakar Teknologi Lingkungan Universitas Indonesia, Firdaus Ali, Selasa (29/9), mengatakan, selama ini tata ruang di Jakarta mudah berubah karena dibuat untuk mengikuti kebutuhan pasar sehingga penataan kota sulit dilakukan untuk jangka waktu yang panjang. ”Akibat kesemrawutan tata ruang itulah, pengelolaan sampah di Jakarta juga tidak pernah terselesaikan dengan baik,” ucap Firdaus.
Tata ruang yang tidak jelas ini juga membuat kantong-kantong perdagangan serta permukiman penduduk semakin meluas. Sementara tempat pembuangan sampah serta pengolahan sampah tidak dirancang secara berkelanjutan mengikuti perkembangan daerah. Kondisi ini diperparah dengan pertambahan jumlah penduduk yang tidak terkendali sehingga volume sampah bertambah. Situasi ini menggambarkan penanganan sampah yang belum menjadi prioritas oleh Pemprov DKI Jakarta.
Firdaus mencatat volume sampah yang dihasilkan di DKI Jakarta mencapai 27.500 meter kubik per hari. Adapun tempat pembuangan sampah tak banyak bertambah. Hampir seluruh sampah yang dihasilkan dari DKI Jakarta justru dibuang ke daerah tetangga.
Maryoto dari LSM Dana Mitra Lingkungan meminta pemerintah membuat rencana jangka pendek dan jangka panjang pengolahan sampah di DKI Jakarta. Untuk jangka pendek, Maryoto mengusulkan agar proses pembakaran sampah dilakukan secara lebih sempurna.
Pengolahan jangka panjang sampah dilakukan dengan sejumlah cara, antara lain memperbaiki manajemen pengelolaan sampah yang melibatkan berbagai instansi, pemberlakuan insentif bagi pihak yang ikut mendaur ulang sampah, serta menguatkan teknis operasional pengelolaan sampah. (ART)
Rabu, 30 September 2009 | 04:26 WIB
Jakarta, Kompas - http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/30/04263142/penataan.sampah.butuh.pengaturan.tata.ruang
Membantu Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank Dalam Penerapan Sustainable Finance (Keuangan Berkelanjutan) - Environmental & Social Risk Analysis (ESRA) for Loan/Investment Approval - Training for Sustainability Reporting (SR) Based on OJK/GRI - Penguatan Manajemen Desa dan UMKM - Membantu Membuat Program dan Strategi CSR untuk Perusahaan. Hubungi Sdr. Leonard Tiopan Panjaitan, S.sos, MT, CSRA di: leonardpanjaitan@gmail.com atau Hp: 081286791540 (WA Only)
Wednesday, September 30, 2009
Penggerusan Tebing Serayu Makin Parah
Penggerusan tebing Sungai Serayu di kawasan hilir semakin parah, setidaknya ada 20 rumah di tebing sungai itu yang terancam runtuh. Ada 10 titik lokasi di tebing sungai yang tergerus cukup lebar. Ket.Foto: Sejumlah pekerja sedang menambang pasir di tepi Sungai Serayu, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, Selasa (29/9). Aktivitas penambangan pasir itu kini sudah dalam taraf mengkhawatirkan karena menggerus beberapa titik dinding sungai sehingga mengancam permukiman warga.
Kepala Bidang Operasional dan Pemeliharaan Balai Besar Wilayah Sungai Serayu dan Opak Nasrun Sidqi, Selasa (29/9), mengatakan, 10 titik tebing sungai yang tergerus itu sedang dipetakan dan didata tingkat kerusakannya oleh konsultan.
Salah satu titik tebing yang tergerus cukup parah berada di Desa Kesugihan Kidul, Kecamatan Kesugihan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Panjang tebing sungai yang tergerus mencapai 60 meter dengan lebar 20-30 meter. Untuk menahan penggerusan, kata Nasrun, pihaknya memasang crucuk (pagar bambu) di sepanjang tebing.
”Itu adalah tindakan preventif agar 20 rumah di tebing itu tidak runtuh. Untuk selanjutnya harus diikuti dengan penanganan secara komprehensif,” katanya.
Penambangan pasir
Ruszardi, konsultan yang memetakan dan meneliti kerusakan di hilir Sungai Serayu, mengatakan, ada beberapa faktor yang menyebabkan kerusakan Sungai Serayu semakin parah. Hal itu antara lain akibat penambangan pasir dan kurangnya vegetasi
pohon keras untuk menahan erosi.
Ia mengatakan, sebaiknya Pemerintah Kabupaten Banyumas dan Cilacap mulai mengendalikan jumlah penambang pasir di Sungai Serayu. Penambangan pasir di utara Bendung Gerak Serayu sebaiknya tidak ditambah lagi. Adapun jumlah penambang pasir di selatan bendungan harus mulai dikurangi.
Volume pasir di selatan Bendung Gerak Serayu, kata Ruszardi, relatif lebih sedikit dibandingkan bagian utara. Namun, jumlah penambangnya cukup banyak sehingga perlu dikurangi. Penambangan pasir yang tak terkendali menyebabkan dasar
Sungai Serayu semakin dalam. Hal itulah yang menyebabkan tebing sungai menjadi rawan longsor.
Untuk mengurangi ancaman erosi di sekitar aliran Sungai
Serayu, Ketua Paguyuban Masyarakat Peduli Sungai Serayu Eddy Wahono mengatakan, pihaknya menyiapkan 1.000 pohon keras, seperti beringin, untuk ditanam pada pertengahan Oktober.
Pengelola wisata
Untuk mengendalikan penambangan pasir di Sungai Serayu, Eddy mengatakan, dibutuhkan proses pengalihan lapangan kerja para penambang pasir. Salah satu yang sedang diupayakan adalah menarik minat para penambang pasir untuk mengelola Sungai Serayu sebagai obyek wisata alam.
”Untuk ini dibutuhkan waktu lama dan pendampingan secara terus-menerus,” katanya. (MDN)
Rabu, 30 September 2009 | 04:12 WIB
Banyumas, Kompas - http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/30/0412263/penggerusan.tebing..serayu..makin.parah
Kepala Bidang Operasional dan Pemeliharaan Balai Besar Wilayah Sungai Serayu dan Opak Nasrun Sidqi, Selasa (29/9), mengatakan, 10 titik tebing sungai yang tergerus itu sedang dipetakan dan didata tingkat kerusakannya oleh konsultan.
Salah satu titik tebing yang tergerus cukup parah berada di Desa Kesugihan Kidul, Kecamatan Kesugihan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Panjang tebing sungai yang tergerus mencapai 60 meter dengan lebar 20-30 meter. Untuk menahan penggerusan, kata Nasrun, pihaknya memasang crucuk (pagar bambu) di sepanjang tebing.
”Itu adalah tindakan preventif agar 20 rumah di tebing itu tidak runtuh. Untuk selanjutnya harus diikuti dengan penanganan secara komprehensif,” katanya.
Penambangan pasir
Ruszardi, konsultan yang memetakan dan meneliti kerusakan di hilir Sungai Serayu, mengatakan, ada beberapa faktor yang menyebabkan kerusakan Sungai Serayu semakin parah. Hal itu antara lain akibat penambangan pasir dan kurangnya vegetasi
pohon keras untuk menahan erosi.
Ia mengatakan, sebaiknya Pemerintah Kabupaten Banyumas dan Cilacap mulai mengendalikan jumlah penambang pasir di Sungai Serayu. Penambangan pasir di utara Bendung Gerak Serayu sebaiknya tidak ditambah lagi. Adapun jumlah penambang pasir di selatan bendungan harus mulai dikurangi.
Volume pasir di selatan Bendung Gerak Serayu, kata Ruszardi, relatif lebih sedikit dibandingkan bagian utara. Namun, jumlah penambangnya cukup banyak sehingga perlu dikurangi. Penambangan pasir yang tak terkendali menyebabkan dasar
Sungai Serayu semakin dalam. Hal itulah yang menyebabkan tebing sungai menjadi rawan longsor.
Untuk mengurangi ancaman erosi di sekitar aliran Sungai
Serayu, Ketua Paguyuban Masyarakat Peduli Sungai Serayu Eddy Wahono mengatakan, pihaknya menyiapkan 1.000 pohon keras, seperti beringin, untuk ditanam pada pertengahan Oktober.
Pengelola wisata
Untuk mengendalikan penambangan pasir di Sungai Serayu, Eddy mengatakan, dibutuhkan proses pengalihan lapangan kerja para penambang pasir. Salah satu yang sedang diupayakan adalah menarik minat para penambang pasir untuk mengelola Sungai Serayu sebagai obyek wisata alam.
”Untuk ini dibutuhkan waktu lama dan pendampingan secara terus-menerus,” katanya. (MDN)
Rabu, 30 September 2009 | 04:12 WIB
Banyumas, Kompas - http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/30/0412263/penggerusan.tebing..serayu..makin.parah
Pemerintah Batalkan Izin Hutan Tanaman Industri
Pemerintah membatalkan izin hutan tanaman industri bagi PT Duta Alam Makmur di kawasan hutan penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat, Provinsi Jambi. Pembatalan tersebut disambut positif aktivis lingkungan.
Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi Budidaya, Selasa (29/9) di Jambi, mengatakan, pembatalan izin konsesi hutan tanaman industri (HTI) itu karena pihak perusahaan belum menyampaikan dokumen kerangka acuan analisis dampak lingkungan yang disyaratkan pemerintah hingga batas waktu yang ditetapkan, akhir Agustus.
Areal yang diajukan menjadi HTI akasia dan ekaliptus seluas 118.955 hektar itu terdiri atas eks hak pengusahaan hutan PT Sarestra II (47.645 hektar), Nusa Lease Timber Corporation (56.770 hektar), dan Rimba Kartika Jaya (14.540 hektar). Pengajuan kawasan ini sebelumnya mendapat penolakan keras dari penduduk 42 desa di sekitarnya serta aktivis dari 18 lembaga dan organisasi pelestari lingkungan.
Penolakan didasari kondisi ekologi kawasan hutan yang masih sangat baik sehingga tidak layak dialihfungsikan menjadi HTI. Selain sebagai area hulu Sungai Batanghari, kawasan tersebut memiliki kondisi topografi curam 45-70 derajat. Tutupan pepohonan mencapai lebih dari 60 persen. Hutan alam tersebut merupakan habitat bagi satwa liar yang dilindungi dan hampir punah, seperti harimau sumatera, ungko, siamang, tujuh jenis burung rangkong, macan dahan, kucing mas, dan tapir. Di sana juga ada kambing gunung (Muntiacus montanus) yang ditemukan pada tahun 2008.
Sejumlah hulu sungai dimanfaatkan masyarakat desa untuk memenuhi kebutuhan listrik dan air. Setidaknya ada 20 pembangkit listrik tenaga mikrohidro yang dimanfaatkan masyarakat dan menghabiskan investasi sekitar Rp 350 juta dari swadaya masyarakat dibantu dana pemerintah kabupaten, pusat, dan LSM.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Jambi Arif menyambut positif pembatalan izin HTI tersebut. Menurut dia, jika izin tetap diberikan, pemerintah akan mendapat sumber pemasukan baru keuangan. Namun, nilainya tidak akan seimbang dibandingkan bencana yang bakal terjadi pada masa depan akibat perusakan hutan menjadi kebun monokultur.
Menurut Arif, ada baiknya pengelolaan hutan diserahkan kepada masyarakat lokal. Dengan melibatkan masyarakat, mereka akan memiliki rasa tanggung jawab untuk menjaga hutan dari kerusakan. ”Masyarakat akan lebih kolektif terlibat dalam penjagaan hutan,” katanya. (ITA)
Rabu, 30 September 2009 | 04:13 WIB
Jambi, Kompas - http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/30/04132459/pemerintah.batalkan.izin.hutan.tanaman.industri
Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi Budidaya, Selasa (29/9) di Jambi, mengatakan, pembatalan izin konsesi hutan tanaman industri (HTI) itu karena pihak perusahaan belum menyampaikan dokumen kerangka acuan analisis dampak lingkungan yang disyaratkan pemerintah hingga batas waktu yang ditetapkan, akhir Agustus.
Areal yang diajukan menjadi HTI akasia dan ekaliptus seluas 118.955 hektar itu terdiri atas eks hak pengusahaan hutan PT Sarestra II (47.645 hektar), Nusa Lease Timber Corporation (56.770 hektar), dan Rimba Kartika Jaya (14.540 hektar). Pengajuan kawasan ini sebelumnya mendapat penolakan keras dari penduduk 42 desa di sekitarnya serta aktivis dari 18 lembaga dan organisasi pelestari lingkungan.
Penolakan didasari kondisi ekologi kawasan hutan yang masih sangat baik sehingga tidak layak dialihfungsikan menjadi HTI. Selain sebagai area hulu Sungai Batanghari, kawasan tersebut memiliki kondisi topografi curam 45-70 derajat. Tutupan pepohonan mencapai lebih dari 60 persen. Hutan alam tersebut merupakan habitat bagi satwa liar yang dilindungi dan hampir punah, seperti harimau sumatera, ungko, siamang, tujuh jenis burung rangkong, macan dahan, kucing mas, dan tapir. Di sana juga ada kambing gunung (Muntiacus montanus) yang ditemukan pada tahun 2008.
Sejumlah hulu sungai dimanfaatkan masyarakat desa untuk memenuhi kebutuhan listrik dan air. Setidaknya ada 20 pembangkit listrik tenaga mikrohidro yang dimanfaatkan masyarakat dan menghabiskan investasi sekitar Rp 350 juta dari swadaya masyarakat dibantu dana pemerintah kabupaten, pusat, dan LSM.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Jambi Arif menyambut positif pembatalan izin HTI tersebut. Menurut dia, jika izin tetap diberikan, pemerintah akan mendapat sumber pemasukan baru keuangan. Namun, nilainya tidak akan seimbang dibandingkan bencana yang bakal terjadi pada masa depan akibat perusakan hutan menjadi kebun monokultur.
Menurut Arif, ada baiknya pengelolaan hutan diserahkan kepada masyarakat lokal. Dengan melibatkan masyarakat, mereka akan memiliki rasa tanggung jawab untuk menjaga hutan dari kerusakan. ”Masyarakat akan lebih kolektif terlibat dalam penjagaan hutan,” katanya. (ITA)
Rabu, 30 September 2009 | 04:13 WIB
Jambi, Kompas - http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/30/04132459/pemerintah.batalkan.izin.hutan.tanaman.industri
Tangkubanparahu Harus Tetap Kawasan Lindung
Segala aktivitas pembangunan PT Grha Rani Putra Persada di Taman Wisata Alam Tangkubanparahu harus dihentikan. Pemerintah semestinya memproyeksikan kawasan itu sebagai kawasan lindung, bukan malah mengeksploitasi dan mengomersialisasikannya.
Anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, Sobirin, mengatakan hal itu di Bandung, Selasa (29/9). ”Izin prinsip yang diberikan Menteri Kehutan kepada PT GRPP itu keliru,” ujarnya.
Sobirin menjelaskan, Surat Keputusan Menhut Nomor 306/ Menhut-II/2009 tentang Izin Pengusahaan Pariwisata Alam di Taman Wisata Alam Tangkubanparahu (TWAT) kepada PT GRPP menyalahi prosedur. TWAT berada di Jabar, semestinya PT GRPP mengantongi rekomendari dari Gubernur Jabar.
Selain itu, SK itu menyalahi kewenangan Menhut. Semestinya Menhut mengembalikan TWAT menjadi kawasan lindung, bukan menyerahkan kepada pihak swasta. Secara kultural, SK itu menyebabkan keresahan.
Untuk itu, Sobirin meminta segala aktivitas pembangunan di Tangkubanparahu harus dihentikan. ”Kembalikan TWAT kepada Perhutani atau Balai Konservasi Sumber Daya Alam. Gubernur harus mengambil tindakan dan Menhut harus mencabut SK itu. Biarkan Tangkubanparahu menjadi kawasan lindung,” ujarnya.
Menurut Sobirin, alasan Menhut menyerahkan kepada pihak swasta karena TWAT tak terurus mengada-ada. Selama ini BKSDA mengelola sesuai jalurnya.
Direktur Utama PT GRPP Putra Kaban mengatakan, sejak tiga tahun lalu, dia sudah mengajukan rekomendasi kepada Gubernur Jabar yang saat itu dijabat Danny Setiawan. ”Sampai sekarang, kalau dihitung, sudah 20 kali saya ke kantor gubernur, tetapi belum ada hasil sesuai harapan Putra,” ujarnya.
PT GRPP memperoleh izin dari Menhut pada 29 Mei 2009. Kini PT GRPP telah memperbaiki jalan dan pagar Kawah Ratu di TWAT. Selain itu, mereka juga membangun fondasi gedung budaya dan rangka besi untuk mushala.
Secara terpisah, Wakil Gubernur Jabar Dede Yusuf belum berani berkomentar tentang pembangunan yang telah dilakukan PT GRPP. Ia akan berbicara terlebih dahulu dengan Gubernur Ahmad Heryawan. ”Jumat (2/10) kami akan menggelar rapat tentang tata ruang Tangkubanparahu. Mungkin PT GRPP akan kami undang,” ujarnya.
Dede menegaskan, secara prinsip, pengelolaan TWAT tidak bisa sepenuhnya diambil pihak swasta. Pemerintah harus tetap dilibatkan, terutama untuk mengontrol pembangunannya. Apalagi, sebagian kawasan TWAT merupakan kawasan lindung yang dilarang untuk dibangun. (MHF)
Rabu, 30 September 2009 | 04:17 WIB
Bandung, Kompas - http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/30/04171970/tangkubanparahu.harus.tetap..kawasan.lindung
Anggota Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda, Sobirin, mengatakan hal itu di Bandung, Selasa (29/9). ”Izin prinsip yang diberikan Menteri Kehutan kepada PT GRPP itu keliru,” ujarnya.
Sobirin menjelaskan, Surat Keputusan Menhut Nomor 306/ Menhut-II/2009 tentang Izin Pengusahaan Pariwisata Alam di Taman Wisata Alam Tangkubanparahu (TWAT) kepada PT GRPP menyalahi prosedur. TWAT berada di Jabar, semestinya PT GRPP mengantongi rekomendari dari Gubernur Jabar.
Selain itu, SK itu menyalahi kewenangan Menhut. Semestinya Menhut mengembalikan TWAT menjadi kawasan lindung, bukan menyerahkan kepada pihak swasta. Secara kultural, SK itu menyebabkan keresahan.
Untuk itu, Sobirin meminta segala aktivitas pembangunan di Tangkubanparahu harus dihentikan. ”Kembalikan TWAT kepada Perhutani atau Balai Konservasi Sumber Daya Alam. Gubernur harus mengambil tindakan dan Menhut harus mencabut SK itu. Biarkan Tangkubanparahu menjadi kawasan lindung,” ujarnya.
Menurut Sobirin, alasan Menhut menyerahkan kepada pihak swasta karena TWAT tak terurus mengada-ada. Selama ini BKSDA mengelola sesuai jalurnya.
Direktur Utama PT GRPP Putra Kaban mengatakan, sejak tiga tahun lalu, dia sudah mengajukan rekomendasi kepada Gubernur Jabar yang saat itu dijabat Danny Setiawan. ”Sampai sekarang, kalau dihitung, sudah 20 kali saya ke kantor gubernur, tetapi belum ada hasil sesuai harapan Putra,” ujarnya.
PT GRPP memperoleh izin dari Menhut pada 29 Mei 2009. Kini PT GRPP telah memperbaiki jalan dan pagar Kawah Ratu di TWAT. Selain itu, mereka juga membangun fondasi gedung budaya dan rangka besi untuk mushala.
Secara terpisah, Wakil Gubernur Jabar Dede Yusuf belum berani berkomentar tentang pembangunan yang telah dilakukan PT GRPP. Ia akan berbicara terlebih dahulu dengan Gubernur Ahmad Heryawan. ”Jumat (2/10) kami akan menggelar rapat tentang tata ruang Tangkubanparahu. Mungkin PT GRPP akan kami undang,” ujarnya.
Dede menegaskan, secara prinsip, pengelolaan TWAT tidak bisa sepenuhnya diambil pihak swasta. Pemerintah harus tetap dilibatkan, terutama untuk mengontrol pembangunannya. Apalagi, sebagian kawasan TWAT merupakan kawasan lindung yang dilarang untuk dibangun. (MHF)
Rabu, 30 September 2009 | 04:17 WIB
Bandung, Kompas - http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/30/04171970/tangkubanparahu.harus.tetap..kawasan.lindung
Perubahan Iklim: Stok Karbon Gambut 600 Ton Per Hektar
Pemerintah telah bekerja sama dengan beberapa negara maju untuk demonstrasi program reduksi emisi dari deforestasi dan degradasi. Salah satunya diperoleh hasil nilai per hektar gambut memiliki stok karbon 600 ton setara karbon dioksida per tahun.
”Identifikasi stok karbon itu hasil kerja sama demonstrasi REDD (reduksi emisi dari deforestasi dan degradasi) dengan Australia di Kalimantan Tengah,” kata Direktur Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Air Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional Basah Hernowo, Selasa (29/9) di Jakarta.
Konversi nilai rupiah untuk stok karbon yang dipertahankan di dalam lahan gambut saat ini belum ditentukan. Menurut Hernowo, langkah mendesak untuk mempertahankan stok karbon tersebut adalah membanjiri lahan gambut yang sudah terekspose karena gambut terekspose sudah melepas karbon.
”Langkah seperti itu yang belum bisa ditempuh karena terkendala dari dalam. Saat ini belum dimiliki kesatuan pengelolaan hutan yang bertanggung jawab atas lahan gambut tersebut,” kata Hernowo.
Dari hasil kerja sama dengan Australia, ditetapkan lokasi dua kali 50.000 hektar lahan gambut di Kalimantan Tengah. Saat ini sedang dikembangkan fase kedua ke wilayah Jambi, tetapi belum ditetapkan luasannya.
Selain Australia, kerja sama serupa juga ditempuh dengan Jerman dan organisasi internasional The Nature Conservancy (TNC) di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.
Secara terpisah, Ketua Kelompok Kerja Perubahan Iklim pada Departemen Kehutanan Wandoyo Siswanto mengatakan, implementasi REDD diharapkan masuk dalam skema pasca-Protokol Kyoto setelah 2012 nanti. Di dalam Protokol Kyoto, fungsi hutan sebagai penyimpan dan penyerap karbon tidak diperhitungkan.
”Tujuan REDD, negara pemilik hutan luas agar mendapat perhatian besar untuk mitigasi perubahan iklim,” kata Wandoyo.
Masyarakat kini masih mempertanyakan REDD. Sebagian masyarakat adat, seperti diungkap Yuriun, komunitas masyarakat adat Nanggroe Aceh Darussalam beberapa hari lalu di Jakarta, sebagai pemangku hutan khawatir akan tergusur atas nama implementasi REDD. (NAW)
Rabu, 30 September 2009 | 03:56 WIB
Jakarta, Kompas - http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/30/03563682/stok.karbon.gambut.600.ton.per.hektar
”Identifikasi stok karbon itu hasil kerja sama demonstrasi REDD (reduksi emisi dari deforestasi dan degradasi) dengan Australia di Kalimantan Tengah,” kata Direktur Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Air Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional Basah Hernowo, Selasa (29/9) di Jakarta.
Konversi nilai rupiah untuk stok karbon yang dipertahankan di dalam lahan gambut saat ini belum ditentukan. Menurut Hernowo, langkah mendesak untuk mempertahankan stok karbon tersebut adalah membanjiri lahan gambut yang sudah terekspose karena gambut terekspose sudah melepas karbon.
”Langkah seperti itu yang belum bisa ditempuh karena terkendala dari dalam. Saat ini belum dimiliki kesatuan pengelolaan hutan yang bertanggung jawab atas lahan gambut tersebut,” kata Hernowo.
Dari hasil kerja sama dengan Australia, ditetapkan lokasi dua kali 50.000 hektar lahan gambut di Kalimantan Tengah. Saat ini sedang dikembangkan fase kedua ke wilayah Jambi, tetapi belum ditetapkan luasannya.
Selain Australia, kerja sama serupa juga ditempuh dengan Jerman dan organisasi internasional The Nature Conservancy (TNC) di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.
Secara terpisah, Ketua Kelompok Kerja Perubahan Iklim pada Departemen Kehutanan Wandoyo Siswanto mengatakan, implementasi REDD diharapkan masuk dalam skema pasca-Protokol Kyoto setelah 2012 nanti. Di dalam Protokol Kyoto, fungsi hutan sebagai penyimpan dan penyerap karbon tidak diperhitungkan.
”Tujuan REDD, negara pemilik hutan luas agar mendapat perhatian besar untuk mitigasi perubahan iklim,” kata Wandoyo.
Masyarakat kini masih mempertanyakan REDD. Sebagian masyarakat adat, seperti diungkap Yuriun, komunitas masyarakat adat Nanggroe Aceh Darussalam beberapa hari lalu di Jakarta, sebagai pemangku hutan khawatir akan tergusur atas nama implementasi REDD. (NAW)
Rabu, 30 September 2009 | 03:56 WIB
Jakarta, Kompas - http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/30/03563682/stok.karbon.gambut.600.ton.per.hektar
Subscribe to:
Posts (Atom)
Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke
| Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...
-
PT Konsorsium Televisi Digital Indonesia (KTDI) menggelar uji coba siaran televisi digital di wilayah Jabotabek. Siaran uji coba itu merupak...
-
JAKARTA - PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) sangat sepakat mengenai ketentuan Bank Indonesia (BI) untuk membuat standarisasi sistem pembayaran pada...