Monday, October 5, 2009

Saatnya Pemprov DKI Fokus soal Tata Ruang

DUA TAHUN FAUZI BOWO-PRIJANTO

Bicara soal kota Jakarta, pasti tidak jauh-jauh dari kemacetan dan banjir. Dua masalah itu masih menghantui Jakarta. Masyarakat pun bertanya-tanya kapankah akan berakhir? Dalam dua tahun masa pemerintahan Fauzi Bowo dan Prijanto, masyarakat melihat belum ada kemajuan berarti terkait upaya penanggulangan persoalan itu.

Padahal, selain banjir dan macet masih ada sederet masalah merongrong Ibu Kota, mulai dari kemiskinan, ruang terbuka hijau (RTH) yang tak pernah cukup luasnya, hingga problem layanan kesehatan masyarakat dan pendidikan.

Fauzi Bowo dalam beberapa kali kesempatan menyatakan, demi mengatasi banjir, proyek banjir kanal timur (BKT) terus digenjot pelaksanaannya dan ditargetkan selesai tahun 2010. Mengiringi pembangunan BKT, pengerukan 13 sungai dan perbaikan drainase di seluruh Jakarta juga giat dilakukan.

”Tidak ada yang bisa langsung jadi bagus, semua butuh proses. Saat ini, DKI telah dan sedang melaksanakan program-programnya. DKI juga tengah melakukan perbaikan intern dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusianya. Saya yakin, jika orang-orang di pemerintahan dibenahi, pelaksanaan program pun bisa lebih lancar,” paparnya.

Pengembangan tata ruang

Nirwono Joga, arsitektur lanskap dan pengamat perkotaan, menyatakan, penyebab dari segala masalah rumit yang melilit Jakarta tidak lain karena kesalahan pengembangan tata ruang.

”Jakarta kini identik dengan banjir, ini terkait juga dengan kurangnya air bersih, permukaan tanah yang makin turun, dan intrusi air laut. Kemudian kemacetan parah berimbas pada pemborosan bahan bakar, waktu, dan tingginya pencemaran udara. Belum lagi kebakaran yang nyaris terjadi setiap hari. Terakhir, tumbuhnya perkampungan kumuh yang tidak dapat dicegah meski penggusuran terus dilakukan,” papar Nirwono.

Kalau mau dirunut, semuanya kembali ke masalah tata ruang. Daerah aliran sungai yang secara liar ditumbuhi permukiman sekaligus tempat pembuangan sampah dibiarkan selama puluhan tahun. Ini jelas mengingkari rencana tata ruang tata wilayah yang ditetapkan dan diperbarui setiap 10-20 tahun.

Nuzul Achjar, peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, menambahkan, untuk mengatasi kemacetan, misalnya, DKI lebih memilih membangun jalan tol. Padahal, kemacetan yang terjadi di Jakarta tidak mencerminkan tingginya permintaan akan penambahan jalan.

”Ini bukan sekadar prinsip ekonomi supply and demand. Bukan jalan yang diminta, melainkan sistem transportasi massal yang tepat menyeluruh,” kata Nuzul.

Kebutuhan akan transportasi massal itu, mau tidak mau, hanya bisa dipenuhi jika DKI bisa menata ruangnya dengan tepat, antara lain dengan memanfaatkan bagian bawah tanahnya untuk membangun sistem kereta api bawah tanah (subway). Di atas permukaan tanah, kawasan hijau diperluas sehingga bisa menekan tingkat pencemaran dan kepadatan.

Kesimpulannya, baik Nuzul maupun Nirwono menekankan agar DKI menyusun RTRW 2010-2030 secara saksama dengan memerhatikan berbagai masalah yang ada. Berdasarkan aturan tata ruang itulah, kebijakan lain diturunkan yang berkenaan langsung dengan banjir, macet, kebakaran, RTH, hingga penataan permukiman padat. Kuncinya, tinggal bagaimana menegakkan aturan secara tegas. (NELI TRIANA)

Senin, 5 Oktober 2009 | 04:04 WIB 
Source:http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/05/04042284/saatnya.pemprov.dki...fokus.soal.tata.ruang

24 Pulau di Indonesia Hilang, Ribuan Lainnya Terancam


Tercatat sebanyak 24 pulau kecil di Indonesia telah lenyap, baik akibat kejadian alam, maupun ulah manusia. Namun, itu belum seberapa. Yang lebih mengkhawatirkan, 2.000 pulau lain di Tanah Air juga terancam tenggelam akibat dampak pemanasan global. Hal itu diungkapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan RI Freddy Numberi saat menyampaikan kuliah umum di Universitas Widyatama (Utama) Bandung, Jumat (2/10). Acara kuliah umum ini dihadiri pula oleh Bupati Sorong Stepanus Malak dan civitas akademika Utama.

Freddy menyatakan, ke-24 pulau ini hilang akibat tsunami Aceh pada 2004, abrasi, dan kegiatan penambangan pasir yang tidak terkendali. Pulau-pulau ini di antaranya Pulau Gosong Sinjai di NAD akibat tsunami, Mioswekel di Papua akibat abrasi, dan Lereh di Kepulauan Riau akibat penambangan pasir. Pemanasan global, ucapnya, menjadi ancaman paling konkret dan berbahaya bagi pulau-pulau lain di Tanah Air.

Menurut analisis bersama Departemen Kelautan Perikanan RI dan PBB, pada tahun 2030, sekitar 2.000 pulau kecil di Indonesia akan lenyap. "Saya punya list-nya, tetapi tidak bisa diungkapkan di sini," ujarnya. Dikatakan Freddy, kenaikan permukaan laut bisa mencapai lebih dari 2 meter jika tidak ada penanganan serius dalam menghentikan laju pemanasan global.

Tidak hanya di pulau-pulau kecil, dalam simulasi dampak perubahan iklim, sebagian wilayah pesisir utara Jakarta akan tenggelam. "Bandara Soekarno-Hatta pun akan tenggelam jika tidak ada upaya serius mengurangi laju pemanasan global. Percaya sama saya, adik-adik sekalian kalau masih hidup di masa itu suatu hari akan mengingat omongan saya ini," ujarnya.

Ancaman tenggelamnya pulau akibat kenaikan permukaan laut, ucapnya, bukanlah isapan jempol. "Sekarang, telah betul-betul terjadi," ucapnya memberikan contoh negara Kepulauan Kiribati dan Tuvalu. "Presiden Kiribati telah meminta warga dunia untuk menampung warganya karena 'negeri' mereka telah hilang," tuturnya. Warga-warga dari negara yang berada di Samudra Pasifik ini telah ditampung di Australia dan Selandia Baru.



JUMAT, 2 OKTOBER 2009 | 12:18 WIB
Laporan wartawan KOMPAS Yulvianus Harjono



Saturday, October 3, 2009

Bersiap Menghadapi Bencana

Gempa bumi, tsunami, banjir, letusan gunung api adalah fenomena alam yang terus terjadi secara periodik di muka Bumi sepanjang masa. Dinamika kebumian ini dapat berdampak bencana manakala manusia tidak arif menghadapinya.

Kearifan manusia menghadapi bencana ini sesungguhnya telah ada sejak dulu sehingga muncullah rumah-rumah kayu dan berpanggung yang relatif aman dari guncangan gempa serta terjangan tsunami dan banjir.

Namun, dari waktu ke waktu kearifan nenek moyang itu luntur dimakan zaman. Rumah beton sebagai produk kemajuan bangsa asing dicontek dan menjadi simbol modernisasi dan kemapanan. Padahal untuk itu, ada seperangkat aturan dan persyaratan yang harus diikuti agar aman bermukim di dalamnya.

Ada sederet lagi kearifan tradisional lain yang juga tidak diindahkan, seperti mempertahankan hutan di perbukitan dan lereng serta memelihara rawa sebagai daerah resapan.

Pertambahan penduduk yang mau tidak mau ”memakan” daerah hijau semakin memperbesar potensi bencana dan jatuhnya korban jiwa apabila tetap bermodalkan sikap yang tidak arif dan tidak ramah lingkungan tersebut.

Sejak dulu ada sederet pekerjaan rumah yang belum terselesaikan hingga kini, menyangkut upaya penanganan bencana, terutama bencana gempa. Bahkan persoalan kebencanaan dari waktu ke waktu menjadi kian sulit antara lain karena desakan populasi penduduk yang tidak terkendali.

Kesiapan hadapi bencana

Dalam penanganan bencana dan membangun kesiapan masyarakat menghadapi bencana, menurut Deputi Pencegahan dan Kesiapsiagaan Bencana Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sugeng Triutomo, ada beberapa parameter yang harus dilihat, yaitu pembuatan undang-undang dan peraturan, pembentukan kelembagaan di pusat dan daerah, pendidikan dan pelatihan masyarakat, penyiapan infrastruktur dan sarana tanggap darurat, serta rehabilitasi dan rekonstruksi.

Diakui Sugeng, yang juga menjadi Direktur Eksekutif Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia, tingkat kesiapan tersebut secara umum masih rendah. Dari segi materi pelatihan pembelajaran menghadapi bencana, misalnya, telah tersusun baik dan melibatkan kalangan peneliti, akademisi, dan organisasi massa nonpemerintah. Namun, sosialisasi dan diseminasinya masih sangat kurang.

Dari sisi kelembagaan BNPB sendiri masih dalam proses reorganisasi dan bebenah sejak menyandang nama baru. Perubahan satuan koordinasi pelaksana di daerah menjadi badan penanggulangan bencana daerah baru terlaksana di 18 provinsi dan 33 kabupaten.

Sementara itu, peta kerentanan bencana pun belum selesai disusun. Peta rawan bencana, seperti gempa, tsunami, tanah longsor, dan banjir, ujar Kepala Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional RW Matindas, sebenarnya telah ada, tetapi masih dalam skala yang kecil sekitar 1:50.000 hingga 1:25.000.

Menurutnya, peta tersebut harus diperdetail oleh pemerintah daerah dengan mengacu pada tingkat kegempaan di tiap lokasi. Langkah selanjutnya adalah menurunkannya pada penetapan building code atau kekuatan konstruksi bangunan dan peta tanggap darurat serta penataan ruang wilayah daerah. ”Saat ini belum ada daerah yang melakukan hal tersebut secara komprehensif dan terkoordinasi,” ujarnya.

Simulasi

Sejak tsunami Aceh, 26 Desember 2004, perhatian semua orang lebih besar pada upaya peringatan dini pada munculnya ancaman gelombang pasang yang menyertai gempa besar itu. Dengan demikian, kemudian dibangun jejaring peringatan dini tsunami yang dilengkapi sarana pemantau dan penyampai informasi ancamannya.

Pemerintah dan masyarakat Kota Padang termasuk yang siap menghadapi datangnya tsunami, dengan membuat peta evakuasi, menetapkan lokasi shelter, hingga melakukan simulasi bencana.

Namun, kenyataannya, ketika gempa besar itu benar-benar datang, meski hanya berlangsung beberapa menit, sudah menelan banyak korban jiwa. ”Masyarakat Kota Padang yang telah melakukan persiapan dan simulasi menghadapi bencana menanggung dampak yang demikian besar, bagaimana dengan daerah yang sama sekali tak melakukan kesiapsiagaan,” tutur Sugeng.

Faktor kekuatan struktur dan bahan bangunan tampaknya kurang mendapat perhatian tidak hanya ditemui di Padang, tetapi hampir di setiap daerah yang dilanda gempa tektonik.

Padahal di daerah-daerah yang rawan gempa besar, terbentang dari Aceh hingga Papua, bertumbuh kawasan permukiman hingga menjadi perkotaan. Gempa Padang hendaknya menjadi momentum bagi daerah lain untuk segera membangun kesadaran dan kesiapsiagaannya menghadapi bencana.

Sabtu, 3 Oktober 2009 | 03:51 WIB

Penulis: Yuni Ikawati

EVALUASI LINGKUNGAN: Kerusakan Lingkungan Tak Teratasi

Selama lima tahun terakhir aktivitas ramah lingkungan dinilai meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Namun, tingkat kerusakan ekologi terus berlangsung dengan intensitas tinggi.

”Kami akui bahwa kerusakan lingkungan masih terus terjadi dengan intensitas tinggi,” kata Sekretaris Menteri Negara Lingkungan Hidup Arief Yuwono dalam Evaluasi Lima Tahun Pengelolaan Lingkungan Hidup ”Mengubah Krisis Menjadi Peluang” di Jakarta, Jumat (2/10). Ada pendapat yang menuding, faktor otonomi daerah mempercepat kehancuran ekologis, terutama terkait nafsu mengejar pendapatan daerah.

Tidak hanya daerah, lemahnya perhatian terhadap peran lingkungan juga melanda pemerintah pusat. Bahkan, sudah terjadi sejak era Orde Baru.

”Politik dan ekonomi begitu kuat sehingga lingkungan berada di pinggiran. Masalah lingkungan pun kolaps di era otonomi daerah,” kata guru besar Universitas Padjadjaran, Bandung, Jawa Barat, Surna T Djajadiningrat.

Ia mencontohkan kerusakan lingkungan di Bandung. Fungsi dan jasa lingkungan hancur akibat pembangunan yang mengarusutamakan kepentingan ekonomi semata.

Wali Kota Jakarta Pusat Sylviana Murni mengakui, persoalan lingkungan belum menjadi prioritas pembangunan saat ini. Pertumbuhan ekonomi masih lebih menarik dijadikan prioritas utama negara.

Namun, ia sepakat bahwa belum ada kata terlambat untuk mengubah cara pandang dunia terhadap lingkungan. Apalagi, di tengah fenomena pemanasan global seperti sekarang.

Bukan soal teknis

Direktur Eksekutif Nasional Walhi Berry N Furqan menyatakan, persoalan lingkungan bukan soal teknis semata. Buktinya, hutan terus digunduli di tengah teknologi yang mampu menghasilkan bibit pohon kayu
usia pendek untuk dipanen. Sampah perkotaan juga terus menumpuk tanpa ada solusi yang jitu.

Oleh karena itu, tanpa kehendak dan kemampuan merekonstruksi tatanan politik dan ekonomi yang korup dan rakus, kehancuran ekologis akan terus marak. ”Kehancuran tersebut ditambah lemahnya kewenangan lembaga lingkungan,” kata Berry.

Data Walhi menunjukkan, bencana ekologis di Indonesia tercatat 205 kali (tahun 2007) dan naik menjadi 359 kali (2008). Angka itu tidak termasuk gempa bumi dan gunung meletus.

Angka kasus bencana lingkungan dipastikan akan terus meningkat setiap tahunnya, terutama apabila tidak ada terobosan penanganan lingkungan di Indonesia. (GSA)

TAMAN TANGKUBANPARAHU: Departemen Kehutanan Bersikukuh Masalah Izin

Departemen Kehutanan bersikeras mempertahankan Izin Pengusahaan Pariwisata Alam kepada PT Graha Rani Putra Persada selama 30 tahun ke depan meskipun ditentang masyarakat.

Pengelolaan Taman Wisata Alam Tangkubanparahu (TWAT) di wilayah hutan konservasi oleh pihak swasta. Namun, ”Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, pengelolaan kawasan konservasi itu merupakan otoritas Menteri Kehutanan. Kami akan mengaturnya, seperti Bromo-Tengger,” kata Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan Darori, Jumat (2/10) di Jakarta.

Menteri Kehutanan MS Kaban mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 306/Menhut-II/2009, tertanggal 29 Mei 2009, sebagai Izin Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA) kepada PT Graha Rani Putra Persada untuk pengelolaan taman wisata seluas 250,7 hektar (ha). Lokasi itu terdiri atas 171,4 ha di Blok Pemanfaatan TWAT dan 79,3 ha di Kawasan Hutan Lindung Cikole.

Menurut Darori, sebelumnya taman wisata itu dikelola Perum Perhutani. Pendapatan mencapai Rp 5 miliar per tahun. Sebanyak Rp 2 miliar disetorkan sebagai pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dan Rp 3 miliar untuk biaya operasional.

Ketua Umum Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda Mubiar Purwasasmita di Bandung, Jawa Barat, saat dihubungi dari Jakarta mengatakan, apa pun dasar pengelolaan hutan lindung Gunung Tangkubanparahu itu menyalahi ketentuan karena pengalihan dan rencana pengelolaannya tidak menghargai aspirasi masyarakat. ”Aspirasi pemerintah daerah bisa tidak diperhatikan pemerintah pusat. Namun, aspirasi masyarakat tak bisa diabaikan,” katanya.

Darori mengatakan, mengacu pada UU No 5/1990, pemerintah daerah pemangku wilayah hutan lindung atau konservasi hanya berhak sebatas memberi pertimbangan atas pengelolaan kepada Menteri Kehutanan. Rekomendasi pemerintah daerah tidak menjadi acuan utama.

Masyarakat menolak pengelolaan taman oleh swasta karena khawatir hutan lindung di kawasan itu semakin rusak. Hutan tersebut merupakan simbol budaya masyarakat Jawa Barat. Hal itu diungkapkan dalam surat terbuka kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono oleh kelompok musisi Bimbo, panutan masyarakat Jawa Barat.

Masyarakat Adat Tangkubanparahu juga menolak dan melaporkan dugaan penebangan pohon yang sebenarnya dilarang.

Beberapa lembaga swadaya masyarakat lingkungan di Jawa Barat juga mempersoalkan masalah ini dan akan menempuh jalur hukum. (NAW/REK)

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...