Saturday, October 3, 2009

TAMAN TANGKUBANPARAHU: Departemen Kehutanan Bersikukuh Masalah Izin

Departemen Kehutanan bersikeras mempertahankan Izin Pengusahaan Pariwisata Alam kepada PT Graha Rani Putra Persada selama 30 tahun ke depan meskipun ditentang masyarakat.

Pengelolaan Taman Wisata Alam Tangkubanparahu (TWAT) di wilayah hutan konservasi oleh pihak swasta. Namun, ”Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, pengelolaan kawasan konservasi itu merupakan otoritas Menteri Kehutanan. Kami akan mengaturnya, seperti Bromo-Tengger,” kata Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan Darori, Jumat (2/10) di Jakarta.

Menteri Kehutanan MS Kaban mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 306/Menhut-II/2009, tertanggal 29 Mei 2009, sebagai Izin Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA) kepada PT Graha Rani Putra Persada untuk pengelolaan taman wisata seluas 250,7 hektar (ha). Lokasi itu terdiri atas 171,4 ha di Blok Pemanfaatan TWAT dan 79,3 ha di Kawasan Hutan Lindung Cikole.

Menurut Darori, sebelumnya taman wisata itu dikelola Perum Perhutani. Pendapatan mencapai Rp 5 miliar per tahun. Sebanyak Rp 2 miliar disetorkan sebagai pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dan Rp 3 miliar untuk biaya operasional.

Ketua Umum Dewan Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda Mubiar Purwasasmita di Bandung, Jawa Barat, saat dihubungi dari Jakarta mengatakan, apa pun dasar pengelolaan hutan lindung Gunung Tangkubanparahu itu menyalahi ketentuan karena pengalihan dan rencana pengelolaannya tidak menghargai aspirasi masyarakat. ”Aspirasi pemerintah daerah bisa tidak diperhatikan pemerintah pusat. Namun, aspirasi masyarakat tak bisa diabaikan,” katanya.

Darori mengatakan, mengacu pada UU No 5/1990, pemerintah daerah pemangku wilayah hutan lindung atau konservasi hanya berhak sebatas memberi pertimbangan atas pengelolaan kepada Menteri Kehutanan. Rekomendasi pemerintah daerah tidak menjadi acuan utama.

Masyarakat menolak pengelolaan taman oleh swasta karena khawatir hutan lindung di kawasan itu semakin rusak. Hutan tersebut merupakan simbol budaya masyarakat Jawa Barat. Hal itu diungkapkan dalam surat terbuka kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono oleh kelompok musisi Bimbo, panutan masyarakat Jawa Barat.

Masyarakat Adat Tangkubanparahu juga menolak dan melaporkan dugaan penebangan pohon yang sebenarnya dilarang.

Beberapa lembaga swadaya masyarakat lingkungan di Jawa Barat juga mempersoalkan masalah ini dan akan menempuh jalur hukum. (NAW/REK)

No comments:

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...