Monday, October 5, 2009

Selamat Datang Televisi Digital Di Yogyakarta

Perkembangan siaran televisi di Indonesia menunjukkan bahwa televisi merupakan suatu media informasi yang sangat strategis dan efektif bagi masyarakat. Menyadari manfaat seperti tersebut di atas, minat masyarakat pengusaha juga begitu besar, seperti terlihat pada pemohon izin Lembaga Penyiaran Swasta lokal yang jumlahnya begitu banyak, sehingga tidak mungkin tertampung dalam alokasi frekuensi yang tersedia.

Saat ini di Direktorat Jenderal Sarana Komunikasi dan Desiminasi Informasi (SKDI) Departemen Komunikasi dan Informatika di Jakarta tercatat 10 Lembaga Penyiaran Swasta atau LPS (RCTI, SCTV, Indosiar, TPI, antv, Metro TV, TransTV, Trans7, Global TV, TV One), 1 Lembaga Penyiaran Publik atau LPP, yaitu TVRI, dan 115 LPS lokal yang mengantongi izin resmi, sementara masih terdapat 450-an LPS lokal yang tidak bisa mendapat izin resmi karena keterbatasan kanal, termasuk empat dari DIY dan tiga dari Jawa Tengah.

Oleh karena itu, sejak pertengahan 2008 Depkominfo bersama Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Ditjen Pos dan Telekomunikasi telah sepakat untuk melakukan moratorium perizinan LPS analog di kota-kota besar di Indonesia (sebut saja Kota AC Nielsen: Medan, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, Makassar, Palembang, dan Banjarmasin). Selanjutnya, LPS yang hendak melakukan permohonan izin siaran diarahkan ke sistem Televisi Digital Terestrial Penerimaan Tetap (TVD TT).

Pembagian kanal analog tersebut terdapat dalam Keputusan Menkominfo No 76 Tahun 2003 atau disebut KM 76. Dari 14 kanal yang terdapat di Yogyakarta, 11 kanal sudah digunakan oleh televisi nasional dan sisanya tiga kanal sudah digunakan tiga televisi lokal (RBTV, Jogja TV, dan ADTV), sementara masih terdapat empat LPS lokal (Nusa TV, MYTV, Malioboro TV, dan Kresna TV), satu yang belum kebagian kanal menunggu keputusan Menkominfo untuk memperoleh kanal non masterplan dengan mengambil kanal genap dari luar DIY. Persoalan di Yogyakarta, tidak jauh beda dengan Semarang dan kota-kota besar lainnya. Mungkin penyusunan KM 76 ini dulunya tidak memprediksikan akan munculnya pemohon televisi lokal yang jumlahnya mencapai ratusan dalam waktu lima tahun terakhir ini.

Persoalan inilah yang lalu menelurkan Peraturan Menteri Komunikasi Nomor 12/PER/M/Kominfo/02/09 yang berisi Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) Sekunder bagi LPS lokal yang tidak kebagian kanal masterplan di wilayahnya, dengan menggunakan kanal non masterplan, dengan catatan LPS lokal tersebut telah mengantongi Rekomendasi Kelayakan (RK) yang dikeluarkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) setempat sebelum tanggal 22 Agustus 2008.

Namun, hal ini tidaklah semudah membalik telapak tangan. Persoalan alokasi kanal tetap menjadi bahan pertimbangan khusus selain kesiapan materi program siaran, finansial, manajemen, rencana bisnis, dan lain-lainnya dari LPS lokal tersebut. Namun, kebijaksanaan pemerintah memberikan IPP ini akan dilakukan dengan catatan apabila di wilayahnya tempat bersiaran sudah diterapkan sistem penyiaran dengan teknologi digital, maka LPS tersebut harus sesegera mungkin berpindah ke sistem digital atau TVD TT. Sementara itu, bagi LPS yang baru memperoleh RK setelah 22 Agustus 2008 akan diarahkan ke sistem siaran digital dengan menunggu payung regulasi dan infrastrukturnya yang rencananya akan selesai akhir bulan Oktober 2009 ini.

Satu pita kanal digital dapat digunakan oleh enam sampai delapan program siaran. Konsorsium Televisi Digital Indonesia (KTDI), yakni SCTV, MetroTV, TransTV, Trans7, antv, dan TV One saat ini sudah melakukan siaran percobaan di Jakarta dengan menggunakan satu pita kanal digital dan kualitas tampilan audiovisualnya pun sama persis dengan televisi berlangganan atau televisi kabel.

Di Yogyakarta, yang terdapat 14 kanal analog, dapat diterapkan model siaran dengan sistem digital, dengan cara mengambil tiga pita kanal yang dikelola oleh tiga konsorsium atau multiplexer, dengan perincian satu pita rencananya digunakan oleh KTDI (SCTV, Metro TV, ANTV, TV One, TransTV, dan Trans7) kemudian satu pita lagi rencananya akan digunakan oleh Konsorsium TVRI-Telkom (TVRI, RCTI, TPI, Global TV, dan Indosiar). Lalu, satu pita lagi digunakan oleh Konsorsium Televisi Lokal Yogyakarta (belum dibentuk), yakni Jogja TV, RBTV, ADTV, MYTV, Kresna TV, Nusa TV, dan Malioboro TV.

Selanjutnya LPS-LPS tersebut disebut sebagai Content Provider atau Penyedia Program, sedangkan pihak penyedia pita kanal digital disebut sebagai multiplexer. Apabila jaringan televisi komunitas akan membentuk dan memiliki multiplexer sendiri, maka hal ini bisa dikonsultasikan dengan pemerintah, dalam hal ini Depkominfo.

Dengan demikian, kekurangan kanal akan dapat segera teratasi dan sekitar 450 LPS lokal akan berizin dan bersiaran dengan sistem TVD TT, ditambah 115 LPS lokal yang sudah mendapatkan IPP analog dan 11 televisi nasional.

Untuk bisa menangkap siaran TVD TT ini, pesawat televisi yang belum ada perangkat digitalnya harus menggunakan satu perangkat yang disebut sebagai Set Top Box (STB). Harga STB saat ini mencapai Rp 250.000-Rp 400.000, tanpa mengubah antena televisi yang sudah ada.

Namun, pemerintah yang bekerja sama dengan perusahaan elektronik akan mengusahakan harga STB ini di bawah Rp 250.000. Apabila harga STB ini sudah mencapai titik temu dan perangkat regulasi serta infrastruktur sudah siap, maka Indonesia akan segera mengikuti negara-negara lainnya untuk bersiaran secara digital.

Dengan demikian, beralihnya sistem televisi analog atau terestrial ke sistem TVD TT ini Pemerintah dapat menyelesaikan persoalan keterbatasan kanal, persoalan perizinan LPS. Namun, yang paling penting adalah masyarakat akan mendapat tontonan, hiburan, dan informasi yang semakin beragam dengan kualitas audiovisual yang jauh lebih sempurna.

Jadi, pertanyaan televisi digital ini untuk kepentingan siapa sudah terjawab. Selamat datang Televisi Digital Terestrial Penerimaan Tetap.

Penulis: Yudah Prakoso Direktur Eksekutif Institute of Community and Media Development- inCODE Yogyakarta
Senin, 05 Oktober 2009

Source:http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/05/14170041/selamat.datang.televisi.digital.di.yogyakarta

Hutan Lindung Rusak

Banjir di Muara Batang Gadis Bukan karena Hujan

Kerusakan hutan yang terjadi di kawasan hutan lindung Sidoar-doar, yang masuk Taman Nasional Batang Gadis, diduga menjadi penyebab banjir bandang di enam desa di Muara Batang Gadis, Kabupaten Mandailing Natal.

Investigasi Tim Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumut dan Komunitas Peduli Hutan Sumatera Utara (KPHSU) menemukan hutan di hulu lokasi bencana itu dikuasai oleh dua perusahaan hak pengusahaan hutan (HPH), yakni PT Inanta Timber yang hingga kini izinnya belum dicabut dan PT Keang Nam yang izinnya dicabut tahun 2007. Kedua perusahaan itu merupakan milik keluarga Adelin Lis, buron kasus kehutanan.

Sebelumnya, satu perusahaan HPH, yakni PT Aek Gadis Timber, yang menguasai hutan produksi di kawasan itu. Perusahaan bekerja hingga tahun 1997. Perusahaan ini diduga belum menyentuh kawasan hutan lindung Sidoar-doar.

Namun, belakangan, setelah kayu di kawasan HPH habis, perusahaan diduga merambah kawasan hutan lindung. Citra Satelit SPOT 4 tahun 2007 menunjukkan, kawasan hutan lindung yang masuk kawasan hutan Sidoar-doar sudah rusak oleh pembangunan jalan produksi dan aktivitas penebangan. Tutupan hutan yang seharusnya hijau penuh bercak-bercak dan garis-garis putih yang artinya pohon telah ditebang atau kawasan hutan telah dibuat jalan. Ribuan titik longsor oleh aktivitas produksi secara kasatmata bisa terlihat.

Kerusakan juga meluas pada ribuan hektar kawasan hutan di luar konsensi HPH PT Inanta Timber yang juga masuk kawasan hutan Sidoar-doar. Padahal, kawasan itu adalah daerah tangkapan air mata air anak-anak Aek Parlampungan dan Aek Salebaru yang bermuara pada Sungai Batang Gadis.

Kerusakan hutan yang menumpuk akhirnya menimbulkan banjir bandang yang menewaskan 9 orang, menghilangkan 1 orang, dan membuat ribuan orang kehilangan tempat tinggal sebelum perayaan Idul Fitri bulan lalu.

”Pernyataan berbagai pihak bahwa banjir disebabkan intensitas hujan yang tinggi sangat disayangkan. Jika kondisi alam bagus, bencana alam bisa diminimalisasi. Banjir bandang ini terjadi tak murni karena bencana alam, tetapi bencana ekologis atau human error karena adanya aktivitas manusia di kawasan itu,” tutur Eksekutif Daerah Walhi Sumut Syahrul Manik Sagala.

Sekjen KPHSU Jimmy Panjaitan menambahkan, pemerintah diminta segera melakukan audit lingkungan secara menyeluruh terhadap aktivitas pemanfaatan hutan dan kerusakan di sekitar lokasi bencana. (WSI)

Senin, 5 Oktober 2009 | 03:50 WIB

Medan, Kompas -  http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/05/03500437/hutan.lindung.rusak

Masalah di Jakarta, Bukan Hanya soal Air

Kebakaran adalah musibah yang mendatangkan kerugian dan kepedihan. Musibah ini sebenarnya bisa dicegah. Namun, di Jakarta, kebakaran sulit untuk dicegah karena faktor penyulit yang sangat banyak dan tumpang tindih.

Kalau sudah kebakaran, kayaknya kita dapat bencana bertubi. Rumah dan barang-barang berharga ludes. Sudah begitu, setelah api padam, lumpur dan sampah yang turut tersedot dari kali saat pemadaman tersebar di mana-mana. Nasib, nasib,” kata Nana, warga Galur, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu.

Nana, seperti halnya ribuan korban kebakaran lain di Jakarta, memang hanya bisa pasrah dan menyesali diri. Tinggal di kawasan permukiman padat, jalanan sempit, kabel listrik berseliweran begitu dekat dengan rumah, menggantol atau mencuri listrik sudah menjadi praktik umum. Hidup begitu dekat dengan bahaya setiap hari.

Kondisi yang lebih mengerikan terlihat di permukiman kumuh di kawasan Waduk Melati, tak jauh dari pusat perbelanjaan termegah di seputaran bundaran Hotel Indonesia. Sulistyo hidup berdesakan dengan istri dan tiga orang anak usia taman kanak-kanak hingga sekolah dasar.

Di rumah petak kontrakan berukuran tak lebih dari 3 x 4 meter, sebuah kabel tampak ditarik dari rumah si induk semang yang juga berfungsi sebagai warung makan sederhana. Kabel hitam itu bermuara di sebuah colokan. Pada instalasi itu terdapat kabel untuk mengalirkan listrik ke satu-satunya lampu di ruangan itu, kemudian kabel dispenser, kipas angin, dan televisi.

Di dalam rumah petak, terdapat WC berukuran lebih kurang 1 x 1 meter di samping sumur pompa tangan. Tak jauh dari WC, ada dipan untuk tidur. Dapur berupa sebuah meja dengan kompor dan tabung gas ukuran tiga kilogram, serta setumpuk peralatan masak diletakkan di emper rumah; tepat di tepi jalan yang hanya selebar setengah meter. Ruangan pengap tanpa sirkulasi udara.

Rumah-rumah petak serupa mungkin jumlahnya jutaan di penjuru Jakarta. Keberadaan permukiman superpadat ini sudah sejak lama dinyatakan sebagai kawasan rawan kebakaran. Dinas Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana DKI Jakarta mencatat terdapat 575 kelurahan rawan bencana di lima wilayah kota di Ibu Kota. Sebanyak 132 kelurahan terdapat di Jakarta Selatan.

”Umumnya, kelurahan-kelurahan itu padat penduduk, rumah-rumah berdempetan dan memakai bahan mudah terbakar, seperti kayu tripleks, akses jalan amat sempit dan banyak instalasi listrik tidak sesuai aturan,” kata Wali Kota Jakarta Selatan Syahrul Effendi.

Beberapa kawasan rawan kebakaran antara lain di sekitar Manggarai, Bukit Duri, dan kawasan padat penduduk lainnya.

Kesalahan penataan ruang

Nirwono Joga, ahli arsitektur lanskap, menyatakan, Jakarta memang tidak lepas dari berbagai macam bencana, yaitu banjir, kemacetan, kekeringan, dan kebakaran. Semua itu adalah akibat dari kesalahan penataan ruang berlarut yang terjadi lebih dari 30 tahun terakhir. Pembangunan dibiarkan berlangsung liar. Pusat-pusat ekonomi berupa perkantoran, pasar, dan kawasan industri tumbuh menjamur.

Tanpa pengawasan, Jakarta menjadi kota yang terus menarik para pencari kerja. Penduduk terus bertambah, sementara daya ekonomi tidak mendukung; permukiman kumuh pun muncul. Keterbatasan ekonomi dan pendidikan menyebabkan penghuni permukiman padat hanya terfokus pada upaya menyambung hidup tanpa memedulikan keamanan, termasuk dari bahaya kebakaran dan banjir.

Pemerintah pun seakan terlambat menyadari bahaya yang mengancam warganya. Peralatan minim yang dimiliki Pemprov DKI membuktikan kealpaan atau mungkin ketidakpedulian pemerintah itu.

Pada 1920-an, seperti dalam Kompas (15/7), banyak permukiman di Jakarta dilengkapi dengan gang kebakaran (brandgang). Gang ini berupa jalan yang dibangun di bagian belakang deretan rumah berfungsi sebagai akses masuk peralatan pemadam kebakaran dan jalur evakuasi. Kini, brandgang nyaris tidak bisa dirunut lagi keberadaannya. Semua celah kecil, bahkan di tepi kali sempit pun, dipakai untuk mendirikan rumah.

Selain itu, DKI kini hanya memiliki 3.000 petugas pemadam dari total 6.000 petugas yang dibutuhkan. Jumlah mobil sektor, yakni mobil pemadam yang bisa digunakan di kawasan sempit, hanya tersedia 10 unit. Padahal, kebutuhannya minimal adalah satu mobil sektor untuk setiap kecamatan di Jakarta.

Buruknya lagi, Dinas Pemadam Kebakaran (Damkar) dan Penanggulangan Bencana (PB) DKI mencatat, dari 1.493 unit hidran di Jakarta, 40 persen atau 599 unit di antaranya tidak berfungsi. Akibatnya, ketika terjadi kebakaran, seperti di Penjaringan, Jakarta Utara, yang menghanguskan 1.158 rumah, api tidak bisa cepat dipadamkan. Ratusan hidran yang bermasalah itu antara lain tidak ada aliran airnya, ada bagian-bagiannya yang hilang atau dicuri, dan ada yang rusak parah.

Data bulan September 2009 di Suku Dinas Damkar dan PB Jakarta Utara, dari 264 hidran yang ada, hanya tujuh hidran yang kualitasnya memenuhi standar. Hidran itu mempunyai aliran yang besar. Sebanyak 11 hidran mengeluarkan aliran air sedang dan 109 aliran air kecil.

”Kalau aliran kecil seperti ini, untuk masuk ke dalam tangki mobil pemadam saja tidak kuat. Padahal, air di dalam hidran tidak boleh disedot pompa karena bisa merusak pompa. Kalau aliran besar, untuk memenuhi tangki mobil ukuran 4.000 liter hanya butuh waktu 10-15 menit,” kata Ngarno, Kepala Sudin Damkar dan PB Jakarta Utara.

Bisa dibayangkan, jika sebagian besar hidran yang ada alirannya kecil, kesempatan api menjalar lebih luas lagi semakin besar. Khusus terkait hidran yang kering atau tidak memiliki aliran air, Wakil Gubernur DKI Prijanto pekan lalu meminta PT Palyja dan PT Aetra, selaku operator PAM Jaya, bertanggung jawab. Menurut Prijanto, kedua operator diminta mengecek pasokan air untuk hidran di wilayah kerja masing–masing.

”Ini menyangkut nyawa manusia, jangan main-main. Toh, DKI juga akan membayar sesuai banyaknya penggunaan. Mudah saja memantaunya dari meteran penggunaan air di setiap fasilitas hidran yang ada,” kata Prijanto.

Namun, Ramses Simanjuntak, Direktur Bisnis dan Komunikasi PT Aetra, menampik tuduhan tidak memantau aliran air. ”Hidran itu tanggung jawab Damkar. Mereka yang harus mengecek, apakah aliran di hidran itu besar atau kecil. Kalau kecil, ya laporkan kepada kami, nanti akan kami perbaiki,” kata Ramses.

Operator tidak tahu titik yang bocor atau aliran kecil jika tidak ada laporan. ”Sebenarnya kami sudah memantau titik-titik mana saja yang bocor. Namun, akan lebih cepat jika ada pelaporan,” tutur Ramses.

Ngarno mengakui, pemeriksaan hidran selalu dilakukan tiap tiga bulan sekali. Semua hasil pemeriksaan itu dilaporkan ke rapat koordinasi di dinas yang juga dihadiri para operator air. Pihaknya telah memetakan tiap daerah. Jika terjadi kebakaran di suatu daerah tertentu, sumber air didapatkan dari mana saja.

”Namun, memetakan sumber air itu tidak mudah. Lihat saja, di Jakarta terdapat 13 sungai. Sepertinya banyak ya, tetapi kalau musim kemarau, tidak ada airnya. Yang ada hanya lumpur,” kata Ngarno.

Penggunaan hidran bagi Damkar adalah solusi nomor dua. Solusi pertama adalah memakai air kali. ”Air kali itu murah dan cepat bisa disedot dengan pompa, sedangkan hidran selain lama, juga mahal, karena kami harus membayar ke operator setiap liter yang kami pakai. Tarifnya cukup mahal karena bukan termasuk golongan sosial atau warga miskin,” kata Ngarno.

Oleh NELI TRIANA dan M CLARA WRESTI

Senin , 5 Oktober 2009
Source:http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/05/03181185/masalah.di.jakarta..bukan.hanya..soal..air 

Saatnya Pemprov DKI Fokus soal Tata Ruang

DUA TAHUN FAUZI BOWO-PRIJANTO

Bicara soal kota Jakarta, pasti tidak jauh-jauh dari kemacetan dan banjir. Dua masalah itu masih menghantui Jakarta. Masyarakat pun bertanya-tanya kapankah akan berakhir? Dalam dua tahun masa pemerintahan Fauzi Bowo dan Prijanto, masyarakat melihat belum ada kemajuan berarti terkait upaya penanggulangan persoalan itu.

Padahal, selain banjir dan macet masih ada sederet masalah merongrong Ibu Kota, mulai dari kemiskinan, ruang terbuka hijau (RTH) yang tak pernah cukup luasnya, hingga problem layanan kesehatan masyarakat dan pendidikan.

Fauzi Bowo dalam beberapa kali kesempatan menyatakan, demi mengatasi banjir, proyek banjir kanal timur (BKT) terus digenjot pelaksanaannya dan ditargetkan selesai tahun 2010. Mengiringi pembangunan BKT, pengerukan 13 sungai dan perbaikan drainase di seluruh Jakarta juga giat dilakukan.

”Tidak ada yang bisa langsung jadi bagus, semua butuh proses. Saat ini, DKI telah dan sedang melaksanakan program-programnya. DKI juga tengah melakukan perbaikan intern dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusianya. Saya yakin, jika orang-orang di pemerintahan dibenahi, pelaksanaan program pun bisa lebih lancar,” paparnya.

Pengembangan tata ruang

Nirwono Joga, arsitektur lanskap dan pengamat perkotaan, menyatakan, penyebab dari segala masalah rumit yang melilit Jakarta tidak lain karena kesalahan pengembangan tata ruang.

”Jakarta kini identik dengan banjir, ini terkait juga dengan kurangnya air bersih, permukaan tanah yang makin turun, dan intrusi air laut. Kemudian kemacetan parah berimbas pada pemborosan bahan bakar, waktu, dan tingginya pencemaran udara. Belum lagi kebakaran yang nyaris terjadi setiap hari. Terakhir, tumbuhnya perkampungan kumuh yang tidak dapat dicegah meski penggusuran terus dilakukan,” papar Nirwono.

Kalau mau dirunut, semuanya kembali ke masalah tata ruang. Daerah aliran sungai yang secara liar ditumbuhi permukiman sekaligus tempat pembuangan sampah dibiarkan selama puluhan tahun. Ini jelas mengingkari rencana tata ruang tata wilayah yang ditetapkan dan diperbarui setiap 10-20 tahun.

Nuzul Achjar, peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, menambahkan, untuk mengatasi kemacetan, misalnya, DKI lebih memilih membangun jalan tol. Padahal, kemacetan yang terjadi di Jakarta tidak mencerminkan tingginya permintaan akan penambahan jalan.

”Ini bukan sekadar prinsip ekonomi supply and demand. Bukan jalan yang diminta, melainkan sistem transportasi massal yang tepat menyeluruh,” kata Nuzul.

Kebutuhan akan transportasi massal itu, mau tidak mau, hanya bisa dipenuhi jika DKI bisa menata ruangnya dengan tepat, antara lain dengan memanfaatkan bagian bawah tanahnya untuk membangun sistem kereta api bawah tanah (subway). Di atas permukaan tanah, kawasan hijau diperluas sehingga bisa menekan tingkat pencemaran dan kepadatan.

Kesimpulannya, baik Nuzul maupun Nirwono menekankan agar DKI menyusun RTRW 2010-2030 secara saksama dengan memerhatikan berbagai masalah yang ada. Berdasarkan aturan tata ruang itulah, kebijakan lain diturunkan yang berkenaan langsung dengan banjir, macet, kebakaran, RTH, hingga penataan permukiman padat. Kuncinya, tinggal bagaimana menegakkan aturan secara tegas. (NELI TRIANA)

Senin, 5 Oktober 2009 | 04:04 WIB 
Source:http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/05/04042284/saatnya.pemprov.dki...fokus.soal.tata.ruang

24 Pulau di Indonesia Hilang, Ribuan Lainnya Terancam


Tercatat sebanyak 24 pulau kecil di Indonesia telah lenyap, baik akibat kejadian alam, maupun ulah manusia. Namun, itu belum seberapa. Yang lebih mengkhawatirkan, 2.000 pulau lain di Tanah Air juga terancam tenggelam akibat dampak pemanasan global. Hal itu diungkapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan RI Freddy Numberi saat menyampaikan kuliah umum di Universitas Widyatama (Utama) Bandung, Jumat (2/10). Acara kuliah umum ini dihadiri pula oleh Bupati Sorong Stepanus Malak dan civitas akademika Utama.

Freddy menyatakan, ke-24 pulau ini hilang akibat tsunami Aceh pada 2004, abrasi, dan kegiatan penambangan pasir yang tidak terkendali. Pulau-pulau ini di antaranya Pulau Gosong Sinjai di NAD akibat tsunami, Mioswekel di Papua akibat abrasi, dan Lereh di Kepulauan Riau akibat penambangan pasir. Pemanasan global, ucapnya, menjadi ancaman paling konkret dan berbahaya bagi pulau-pulau lain di Tanah Air.

Menurut analisis bersama Departemen Kelautan Perikanan RI dan PBB, pada tahun 2030, sekitar 2.000 pulau kecil di Indonesia akan lenyap. "Saya punya list-nya, tetapi tidak bisa diungkapkan di sini," ujarnya. Dikatakan Freddy, kenaikan permukaan laut bisa mencapai lebih dari 2 meter jika tidak ada penanganan serius dalam menghentikan laju pemanasan global.

Tidak hanya di pulau-pulau kecil, dalam simulasi dampak perubahan iklim, sebagian wilayah pesisir utara Jakarta akan tenggelam. "Bandara Soekarno-Hatta pun akan tenggelam jika tidak ada upaya serius mengurangi laju pemanasan global. Percaya sama saya, adik-adik sekalian kalau masih hidup di masa itu suatu hari akan mengingat omongan saya ini," ujarnya.

Ancaman tenggelamnya pulau akibat kenaikan permukaan laut, ucapnya, bukanlah isapan jempol. "Sekarang, telah betul-betul terjadi," ucapnya memberikan contoh negara Kepulauan Kiribati dan Tuvalu. "Presiden Kiribati telah meminta warga dunia untuk menampung warganya karena 'negeri' mereka telah hilang," tuturnya. Warga-warga dari negara yang berada di Samudra Pasifik ini telah ditampung di Australia dan Selandia Baru.



JUMAT, 2 OKTOBER 2009 | 12:18 WIB
Laporan wartawan KOMPAS Yulvianus Harjono



Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...