Monday, October 5, 2009

Selamat Datang Televisi Digital Di Yogyakarta

Perkembangan siaran televisi di Indonesia menunjukkan bahwa televisi merupakan suatu media informasi yang sangat strategis dan efektif bagi masyarakat. Menyadari manfaat seperti tersebut di atas, minat masyarakat pengusaha juga begitu besar, seperti terlihat pada pemohon izin Lembaga Penyiaran Swasta lokal yang jumlahnya begitu banyak, sehingga tidak mungkin tertampung dalam alokasi frekuensi yang tersedia.

Saat ini di Direktorat Jenderal Sarana Komunikasi dan Desiminasi Informasi (SKDI) Departemen Komunikasi dan Informatika di Jakarta tercatat 10 Lembaga Penyiaran Swasta atau LPS (RCTI, SCTV, Indosiar, TPI, antv, Metro TV, TransTV, Trans7, Global TV, TV One), 1 Lembaga Penyiaran Publik atau LPP, yaitu TVRI, dan 115 LPS lokal yang mengantongi izin resmi, sementara masih terdapat 450-an LPS lokal yang tidak bisa mendapat izin resmi karena keterbatasan kanal, termasuk empat dari DIY dan tiga dari Jawa Tengah.

Oleh karena itu, sejak pertengahan 2008 Depkominfo bersama Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Ditjen Pos dan Telekomunikasi telah sepakat untuk melakukan moratorium perizinan LPS analog di kota-kota besar di Indonesia (sebut saja Kota AC Nielsen: Medan, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, Makassar, Palembang, dan Banjarmasin). Selanjutnya, LPS yang hendak melakukan permohonan izin siaran diarahkan ke sistem Televisi Digital Terestrial Penerimaan Tetap (TVD TT).

Pembagian kanal analog tersebut terdapat dalam Keputusan Menkominfo No 76 Tahun 2003 atau disebut KM 76. Dari 14 kanal yang terdapat di Yogyakarta, 11 kanal sudah digunakan oleh televisi nasional dan sisanya tiga kanal sudah digunakan tiga televisi lokal (RBTV, Jogja TV, dan ADTV), sementara masih terdapat empat LPS lokal (Nusa TV, MYTV, Malioboro TV, dan Kresna TV), satu yang belum kebagian kanal menunggu keputusan Menkominfo untuk memperoleh kanal non masterplan dengan mengambil kanal genap dari luar DIY. Persoalan di Yogyakarta, tidak jauh beda dengan Semarang dan kota-kota besar lainnya. Mungkin penyusunan KM 76 ini dulunya tidak memprediksikan akan munculnya pemohon televisi lokal yang jumlahnya mencapai ratusan dalam waktu lima tahun terakhir ini.

Persoalan inilah yang lalu menelurkan Peraturan Menteri Komunikasi Nomor 12/PER/M/Kominfo/02/09 yang berisi Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) Sekunder bagi LPS lokal yang tidak kebagian kanal masterplan di wilayahnya, dengan menggunakan kanal non masterplan, dengan catatan LPS lokal tersebut telah mengantongi Rekomendasi Kelayakan (RK) yang dikeluarkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) setempat sebelum tanggal 22 Agustus 2008.

Namun, hal ini tidaklah semudah membalik telapak tangan. Persoalan alokasi kanal tetap menjadi bahan pertimbangan khusus selain kesiapan materi program siaran, finansial, manajemen, rencana bisnis, dan lain-lainnya dari LPS lokal tersebut. Namun, kebijaksanaan pemerintah memberikan IPP ini akan dilakukan dengan catatan apabila di wilayahnya tempat bersiaran sudah diterapkan sistem penyiaran dengan teknologi digital, maka LPS tersebut harus sesegera mungkin berpindah ke sistem digital atau TVD TT. Sementara itu, bagi LPS yang baru memperoleh RK setelah 22 Agustus 2008 akan diarahkan ke sistem siaran digital dengan menunggu payung regulasi dan infrastrukturnya yang rencananya akan selesai akhir bulan Oktober 2009 ini.

Satu pita kanal digital dapat digunakan oleh enam sampai delapan program siaran. Konsorsium Televisi Digital Indonesia (KTDI), yakni SCTV, MetroTV, TransTV, Trans7, antv, dan TV One saat ini sudah melakukan siaran percobaan di Jakarta dengan menggunakan satu pita kanal digital dan kualitas tampilan audiovisualnya pun sama persis dengan televisi berlangganan atau televisi kabel.

Di Yogyakarta, yang terdapat 14 kanal analog, dapat diterapkan model siaran dengan sistem digital, dengan cara mengambil tiga pita kanal yang dikelola oleh tiga konsorsium atau multiplexer, dengan perincian satu pita rencananya digunakan oleh KTDI (SCTV, Metro TV, ANTV, TV One, TransTV, dan Trans7) kemudian satu pita lagi rencananya akan digunakan oleh Konsorsium TVRI-Telkom (TVRI, RCTI, TPI, Global TV, dan Indosiar). Lalu, satu pita lagi digunakan oleh Konsorsium Televisi Lokal Yogyakarta (belum dibentuk), yakni Jogja TV, RBTV, ADTV, MYTV, Kresna TV, Nusa TV, dan Malioboro TV.

Selanjutnya LPS-LPS tersebut disebut sebagai Content Provider atau Penyedia Program, sedangkan pihak penyedia pita kanal digital disebut sebagai multiplexer. Apabila jaringan televisi komunitas akan membentuk dan memiliki multiplexer sendiri, maka hal ini bisa dikonsultasikan dengan pemerintah, dalam hal ini Depkominfo.

Dengan demikian, kekurangan kanal akan dapat segera teratasi dan sekitar 450 LPS lokal akan berizin dan bersiaran dengan sistem TVD TT, ditambah 115 LPS lokal yang sudah mendapatkan IPP analog dan 11 televisi nasional.

Untuk bisa menangkap siaran TVD TT ini, pesawat televisi yang belum ada perangkat digitalnya harus menggunakan satu perangkat yang disebut sebagai Set Top Box (STB). Harga STB saat ini mencapai Rp 250.000-Rp 400.000, tanpa mengubah antena televisi yang sudah ada.

Namun, pemerintah yang bekerja sama dengan perusahaan elektronik akan mengusahakan harga STB ini di bawah Rp 250.000. Apabila harga STB ini sudah mencapai titik temu dan perangkat regulasi serta infrastruktur sudah siap, maka Indonesia akan segera mengikuti negara-negara lainnya untuk bersiaran secara digital.

Dengan demikian, beralihnya sistem televisi analog atau terestrial ke sistem TVD TT ini Pemerintah dapat menyelesaikan persoalan keterbatasan kanal, persoalan perizinan LPS. Namun, yang paling penting adalah masyarakat akan mendapat tontonan, hiburan, dan informasi yang semakin beragam dengan kualitas audiovisual yang jauh lebih sempurna.

Jadi, pertanyaan televisi digital ini untuk kepentingan siapa sudah terjawab. Selamat datang Televisi Digital Terestrial Penerimaan Tetap.

Penulis: Yudah Prakoso Direktur Eksekutif Institute of Community and Media Development- inCODE Yogyakarta
Senin, 05 Oktober 2009

Source:http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/05/14170041/selamat.datang.televisi.digital.di.yogyakarta

No comments:

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...