Sunday, October 11, 2009

Korupsi di Sektor Swasta Lebih Mengkhawatirkan


Selama ini seolah-olah persoalan korupsi yang semakin merajalela hanya terjadi di pemerintahan. Transparency International Indonesia (TII) mengungkapkan, korupsi yang terjadi di sektor-sektor swasta dan bisnis jauh lebih mengkhawatirkan.

"Selama ini yang tersorot dan sampai kepada publik hanya korupsi yang terjadi di pemerintahan. Padahal di sektor swasta ini lebih dahsyat," kata Sekretaris Jenderal TII Teten Masduki, Rabu (7/10), di Menara Kadin, Jakarta.

Laporan korupsi global Transparency International (TI) yang berpusat menyebutkan banyak kondisi yang memungkinkan terjadinya krisis yang berkaitan dengan resiko korupsi di dunia bisnis. Kerugian akibat praktik korupsi di sektor swasta secara global, sebut laporan itu, ditengarai mencapai nilai tak kurang dari 300 miliar US dollar.

Selama ini, kata Teten, kinerja perusahaan-perusahaan dalam melawan korupsi terbilang buruk. Kinerja perusahaan seringkali tidak sesuai dengan komitmennya. "Sementara tatanan ekonomi global dan pasar yang dinamis terus melahirkan berbagai peluang korupsi baru dan samar," tuturnya.

Dari hasil temuan TI, terungkap sumber utama terjadinya praktik korupsi di sektor swasta berasal dari suap. Praktik ini terjadi ketika dunia bisnis bersinggungan dengan pejabat pemerintahan, pegawai negeri, ataupun anggota partai politik. "Di negara-negara berkembang, politisi dan pejabat pemerintah menerima suap antara 20 sampai 40 miliar US Dollar setiap tahunnya," papar Teten.

Praktik ini, secara langsung akan merusak kinerja perusahaan. "Imbasnya terjadi korupsi pasar yang melemahkan persaingan sehat, harga yang adil, dan efisiensi," tambahnya.

Karena itu ia berharap, sektor swasta dapat menegaskan komitmen mengikat yang dapat diverifikasi dan terbuka untuk dikoreksi dari segi kepatuhannya. "Selain itu pemerintah juga harus menggunakan perangkat inovatif dan penegakan yang cerdas," tandasnya.


RABU, 7 OKTOBER 2009 | 19:50 WIB

BUMN Paling Rentan terhadap Korupsi

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dinilai merupakan institusi yang paling rentan terhadap tindakan korupsi. Kerugian uang negara yang terbesar juga berasal dari tindak korupsi yang terjadi di dalam institusi BUMN.

Hal itu dikatakan Koordinator Badan Pekerja Indonesian Corruption Watch (ICW) Danang Widoyoko di sela-sela kegiatan diskusi yang bertajuk Peran Serta Serikat Pekerja dan Direksi dalam Upaya Tindakan Pencegahan terjadinya Korupsi di Lingkungan Perusahaan, di pabrik PT Pindad (Persero), Sabtu (10/10) di Bandung.

"BUMN paling rentan karena merupakan institusi yang erat berkaitan dengan pengusahaan ekonomi dan menyumbang pendapatan ke kas negara. Tindakan korupsi di BUMN pun berdampak langsung kepada keuangan negara," kata Danang.

Selain itu, praktik korupsi di BUMN semakin diperparah dengan kentalnya nuansa politis dalam pengelolaan BUMN. Ia mencontohkan pemilihan jajaran direksi atau komisaris BUMN yang pada kenyataannya amat bergantung pada lobi-lobi politik.

"Tidak jarang ditemui pimpinan BUMN yang tidak berlatar belakang profesional, melainkan memiliki karier di bidang politik. Hal itu semakin membuat BUMN terpuruk. Setiap kali ada pergantian pimpinan negara atau terjadi perubahan konstelasi politik, maka jajaran direksi dan komisaris pun bergeser," ujar Danang.

Untuk mewujudkan tata kelola BUMN yang baik, sejumlah pihak dalam BUMN harus aktif mengawasi kinerja pimpinan. Serikat pekerja BUMN, kata Danang, memiliki kekuatan untuk mengawasi tata kelola BUMN. "Mereka harus mengkritisi pengangkatan jajaran direksi atau komisaris yang muatan politisnya lebih kuat daripada pertimbangan profesional," tuturnya.

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bidang Pencegahan, M Yasin menambahkan, tata kelola BUMN yang baik bisa diwujudkan dengan mengedepankan transparansi, akuntabilitas, efektivitas, dan penegakan hukum.

"Bila empat hal ini ditegakkan, maka kemampuan BUMN dalam menghasilkan laba akan meningkat. Akibatnya, daya tahan BUMN menguat. Dalam kondisi BUMN yang kuat dan berdaya saing, maka tidak perlu lagi ada wacana privatisasi BUMN," ujarnya.

Meskipun BUMN menyumbang pendapatan negara, ternyata kontribusinya bagi kas negara pun relatif kecil. Yasin, memperkirakan sumbangan BUMN hanya sekitar 10 persen ke dalam kas negara.

SABTU, 10 OKTOBER 2009 | 21:56 WIB

Telkomsel Minimalkan "Blank Spot" di Jalur KA

Tahun ini Telkomsel berupaya melakukan terobosan dengan meningkatkan layanannya kepada para pemudik yang menggunakan jalur kereta api. Peningkatan kualitas jaringan di sepanjang jalur kereta api di Pulau Jawa diharapkan dapat meminimalkan blank spot(daerah yang tak terjangkau sinyal).

Demikian dikatakan Direktur Utama Telkomsel Sarwoto Atmosutarno di Surabaya, dalam drive test atau uji jaringan di sepanjang jalur kereta api dari Stasiun Gambir Jakarta hingga Pasar Turi Surabaya yang dilakukan 13-14 September 2009.

Menurut Sarwoto, jumlah pemudik yang menggunakan kereta api tidak bisa diabaikan. Ia mengatakan, dari jumlah pemudik tahun ini yang diperkirakan 16,2 juta orang, 3 juta orang di antaranya menggunakan kereta api. Inilah alasan Telkomsel menjadikan jalur kereta api juga sebagai sasaran layanan pemudik.

Menurutnya, kebanyakan operator tidak tertarik mengembangkan jaringannya di sepanjang jalur kereta api secara penuh karena memang banyak melalui daerah yang tidak ada penduduk, seperti hutan kosong atau persawahan.

Sementara jaringan di sepanjang jalan raya yang dilalui pemudik jalur darat antara 8-9 juta umumnya sudah terjangkau semua layanan termasuk Telkomsel. "Kita ingin membuktikan bahwa di tingkat weakness pun Telkomselready," ujar Sarwoto.

Menurutnya, apa yang dilakukan Telkomsel untuk melayani pelanggan ini luar biasa karena daerah kosong pun ada sinyal. Walaupun lemah, kata Sarwoto, setidaknya masih bisa buat mengirim SMS.

SENIN, 14 SEPTEMBER 2009 | 13:52 WIB
Laporan wartawan KOMPAS.com Tri Wahono

SURABAYA, KOMPAS.com — http://bisniskeuangan.kompas.com/read/xml/2009/09/14/13520896/telkomsel.minimalkan.blank.spot.di.jalur.ka

Telkomsel Operasikan BTS "Mobile" di Sumbar


Telkomsel mengoperasikan Compact Mobile Base Transceiver (COMBAT) atau mobile BTS untuk menambah kapasitas "handling" lalu lintas komunikasi di Sumatera Barat di tengah sudah berhasilnya perusahaan itu mengoperasikan kembali 709 menara komunikasi atau BTS.

"Dengan beroperasinya 709 BTS tersebut ’coverage’ layanan Telkomsel telah menjangkau 85 persen Kota Padang dan hampir 100 persen wilayah luar seperti Pariaman, Bukittinggi, Solok, Payakumbuh, Pasaman, Palangki dan Painan," kata Corporate Communications Telkomsel, Suryo Hadiyanto yang dihubungi dari Medan, Senin (5/10).

Suryo menjelaskan, selain mengoperasikan kembali 709 BTS, Telkomsel juga menyiapkan 20 pico BTS via satelit VSAT di daerah terpencil yang sulit dijangkau.

"COMBAT dioperasikan sebanyak lima unit yang ditempatkan di sekitar posko-posko dan pusat keramaian. Salah satu Combat dioperasikan di Jalan Jenderal Sudirman dilengkapi dengan WiFi connection untuk mendukung layanan data di Kantor Gubernur yang kini menjadi media center dan posko’rescue team’ dari luar negeri," katanya.

Mengutip pernyataan Direktur Utama Telkomsel, Sarwoto Atmosutarno, Suryo menyebutkan Telkomsel terus berupaya secepat mungkin memulihkan jaringan ditengah masih padatnya penggunaaan komunikasi dari dan ke daerah bencana. "Diharapkan dalam pekan ini seluruh layanan Telkomsel sudah normal kembali," katanya.

Untuk menjaga performa jaringan dan mempercepat pengoperasian kembali BTS-BTS yang kehilangan pasokan listrik, Telkomsel telah mendatangkan 74 mobile genset dari Jakarta, Palembang, Pekanbaru, Jambi dan Medan.

BTS juga dilengkapi dengan baterai "rechargeable" yang kuat mensuplai catudaya hingga enam jam. "Sebagai apresasi dan rasa turut prihatin, Telkomsel juga menambah masa pemberian gratis SMS kepada pelanggan di Sumbar dari tujuh hari menjadi 30 hari mulai H+1 gempa," katanya.

Telkomsel juga memperpanjang masa aktif dan masa isi ulang bagi seluruh pelanggan prabayar nomor Padang.

SENIN, 5 OKTOBER 2009 | 18:28 WIB

Penduduk Miskin Tersebar di Kawasan Pesisir



Lebih dari 60 persen penduduk miskin di Indonesia tercatat berada di wilayah pesisir dan pulau-pulau terkecil. Selama 5 tahun pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, penduduk miskin di wilayah pesisir Nusantara ini tidak berkurang. Ket.Foto: Toda, anak warga Kampung Nelayan, Muara Angke, Jakarta Utara, Selasa (14/10), bermain kapal-kapalan dari gabus di genangan air di sekitar tempat rumah orangtuanya. Gubuk-gubuk di tepi laut yang berdiri di atas tumpukan limbah cangkang kerang hijau itu merupakan salah satu potret kampung nelayan miskin di Jakarta.

Demikian disampaikan Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Riza Damanik, Sabtu (10/10). "Dalam 5 tahun terkahir, fakta kemiskinan tidak berkurang di daerah pesisir," ujar Riza, saat diskusi Lingkungan Hidup, di Jakarta.

Menurutnya, tingginya tingkat kemiskinan terjadi karena sekitar 90 persen kegiatan perikanan Indonesia merupakan perikanan tradisional. Di mana masih minimnya informasi dan pengetahuan, tidak adanya moda transportasi laut, dan buruknya pengelolaan kesejahteraan nelayan dan masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau terkecil di Indonesia.

"Mereka itu yang menangkap ikan di perairan kurang dari 3 mil dengan alat yang minim. Penghasilan juga hanya minim," ujarnya.

Kemudian, laut tempat nelayan ini mencari nafkah juga dicemari oleh kegiatan industri dan pertambangan. Hal ini mengakibatkan wilayah tersebut menjadi rentan terhadap bencana alam.

Tercatat, dari 84 persen kawasan yang rentan terhadap bencana alam di Indonesia, sekitar 80 persennya merupakan kawasan pesisir dan pulau terkecil. Dia mencontohkan, hampir sebagian besar korban bencana gempa dan tsunami di Aceh, gempa di Yogyakarta, serta gempa di Padang merupakan kawasan pesisir dan nelayan.

"Ini karena eksplorasi pertambangan kita tidak dihentikan. Kita harus menghentikannya," tandasnya.


SABTU, 10 OKTOBER 2009 | 13:10 WIB

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...