Monday, October 19, 2009

LISTRIK: Proyek Penghasil Energi Terbarukan Perlu Insentif

Pemanfaatan energi terbarukan dalam penyediaan energi di Indonesia masih rendah. Padahal, itu bisa meningkatkan mutu lingkungan dan ikut mengurangi ketergantungan terhadap minyak mentah dan bahan bakar minyak yang ketersediaannya terus semakin turun.

Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi Pri Agung Rakhmanto, Sabtu (17/10) di Jakarta, menyatakan perlu ada insentif bagi para investor dalam bidang energi terbarukan yang menggunakan teknologi efisien dan ramah lingkungan.

Data Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral menyebutkan, pemanfaatan energi nonfosil jauh lebih kecil dibandingkan potensi yang ada.

Sampai tahun 2008, kapasitas terpasang energi nonfosil, seperti tenaga air baru 4,2 gigawatt (GW) dari sumber daya 75,62 GW atau baru termanfaatkan sebesar 0,5 persen.

Demikian juga dengan panas bumi. Dari total potensi 27.710 megawatt (MW) yang tersebar di beberapa wilayah, lapangan yang telah berproduksi, antara lain, adalah di Sibayak, Kamojang, Lahendong, Dieng, Wayang Windu, Darajat, dan Salak dengan total kapasitas 1.052 MW.

Adapun kapasitas lapangan yang dalam pengembangan sekitar 1.537 MW, sedangkan kapasitas yang akan ditenderkan 680 MW.

Rendahnya pemanfaatan energi terbarukan, antara lain, disebabkan tingginya investasi yang dibutuhkan sehingga biaya produksi energi dari nonfosil relatif mahal.

Sebagai perbandingan, biaya pokok produksi listrik dari bahan bakar minyak atau diesel Rp 1.600-Rp 1.800 per kilowatt hour (kWh), batu bara Rp 250-Rp 350 per kWh, gas Rp 350-Rp 450 per kWh, sedangkan panas bumi Rp 700-Rp 800 per kWh.

Direktur Divisi Transmisi dan Distribusi Siemens Indonesia Markus Strohmeier menyatakan, dukungan pemerintah terhadap pemanfaatan teknologi ramah lingkungan masih kurang.

Contohnya, pemerintah mematok harga sama untuk energi listrik yang dihasilkan pembangkit listrik tenaga batu bara ataupun pembangkit listrik tenaga angin dan panas bumi.

Padahal, biaya pokok produksi listrik dari tenaga angin dan panas bumi lebih mahal daripada BBM dan batu bara.

Tugas PLN

Dalam rencana strategis pemerintah 2010-2014 disebutkan, PT PLN ditugaskan melakukan diversifikasi energi primer untuk pembangkit tenaga listrik 10.000 MW tahap pertama.

Program 10.000 MW tahap kedua memberi porsi besar bagi kontribusi dari panas bumi, yaitu 4.733 MW yang akan mendorong pengembangan panas bumi.

Pri Agung menyatakan, insentif untuk proyek pembangkit listrik berbasis energi terbarukan akan menjadi daya tarik para investor untuk menanamkan modalnya.

Menurut Pri Agung, insentif yang bisa diberikan, antara lain, adalah pemerintah menanggung sebagian biaya eksplorasi, memberi keringanan pajak untuk barang-barang impor atau penundaan pembayaran pajak, serta ada jaminan bahwa energi listrik yang dihasilkan akan dibeli PLN.

Pemanfaatan panas bumi ini akan dapat mendorong sisi hilir, yaitu untuk meningkatkan penyediaan listrik bagi rakyat.

”Dengan meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan, maka akan mengurangi konsumsi minyak mentah dan BBM,” ujar Pri Agung.

Di beberapa negara maju, seperti Belanda dan Jerman, pemanfaatan teknologi yang efisien dan ramah lingkungan dengan energi terbarukan mendapat dukungan penuh dari pemerintah. (EVY)

Ruang Hijau Tingkatkan Kesehatan

Semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa hidup di sekitar ruang terbuka hijau dapat meningkatkan kesehatan. Penelitian di Jurnal epidemiologi dan kesehatan masyarakat mengatakan, pengaruh ruang terbuka hijau terutama dapat mengurangi penyakit mental. Keuntungan kesehatan didapat paling banyak untuk mengurangi penyakit jika ruang terbuka hijau itu berada pada radius 1 kilometer dari rumah. Pengecualian untuk ini adalah kecemasan, penyakit infeksi sistem pencernaan, dan gejala-gejala fisik yang tidak bisa dijelaskan secara medis. Keberadaan ruang terbuka hijau tetap memberi manfaat untuk mengurangi penyakit tersebut meskipun radius ruang terbuka hijau berkisar 3 kilometer dari tempat tinggal.(BBC/ELN)
Source:http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/19/03381852/kilas.iptek

Kutub Bakal Tak Punya Es

Para peneliti meramalkan Laut Artik (kutub) akan bebas es di musim panas dalam satu dekade mendatang. Setelah musim semi berlalu, para peneliti kembali mengukur ketebalan es sepanjang 450 kilometer dengan rute menyeberangi Laut Beaufort. Mereka menemukan sebagian besar es sangat tipis. Pemimpin ekspedisi dan pakar es lautan dari University of Cambridge, Peter Wadhams, mengatakan, pada musim semi tahun lalu rata-rata ketebalan es hanya 1,8 meter, menandakan usia lapisan itu sekitar satu tahun. Sementara, es yang sudah bertahun-tahun sekitar tiga meter. 

Tipisnya lapisan tersebut menjadi indikasi penting kondisi memprihatinkan es di Laut Artik. ”Secara sederhana, es tipis itu akan sekejap hilang pada musim es mulai meleleh,” ujarnya. Angin dan arus laut dapat pula memecah es yang tipis itu. Es yang terpecah dan mengapung bebas akan mudah terdorong ke wilayah perairan yang lebih hangat dan mencair. Catlin Arctic Survey dan kelompok konservasi internasional WWF mendukung penemuan tersebut. Situasi es di Artik tersebut sangat dipengaruhi iklim dan kondisi alam. Kondisi es di Laut Artik kerap pula dikaitkan dengan perubahan iklim dan pemanasan global. (National Geographic/ INE)

Saatnya Mengembangkan Energi Panas Bumi


Tak ada alasan untuk menunda pengembangan energi panas bumi di Indonesia. Potensinya terbesar di dunia, kebutuhan listrik terus meningkat, UU Panas Bumi sudah ada, dan yang paling baru adalah pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di G-20 Summit Amerika Serikat beberapa waktu lalu. Ket.Foto:Salah satu instalasi energi panas bumi di Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, Rabu (14/10). Energi panas bumi atau geotermal yang berkapasitas 60 megawatt (MW) tersebut telah terhubung dengan sistem jaringan interkoneksi Jawa-Bali-Madura.

Indonesia, menurut Presiden, secara sukarela menargetkan pengurangan emisi CO sebesar 26 persen hingga tahun 2020. Untuk itu, selain mengurangi penggundulan hutan dan pengalihan pemanfaatan lahan, Indonesia segera melakukan investasi pengembangan energi terbarukan, antara lain pemanfaatan sumber energi panas bumi.

Kita patut bersyukur memiliki aneka ragam sumber energi. Selain sumber energi fosil, posisi Indonesia yang berada di Pasifik ring of fire membuat Indonesia memiliki potensi sumber energi panas bumi yang mencapai 28.000 MW. Potensinya tersebar di 265 lapangan di Sumatera, Jawa, Sulawesi, Bali, NTT, Maluku, dan sebagian Kalimantan.

Potensi sebesar itu merupakan 35 persen dari sumber panas bumi dunia. Jika bisa dimanfaatkan selama 30 tahun, maka itu setara dengan 12 miliar barrel minyak bumi untuk mengoperasikan pembangkit listrik. Kenyataannya, hingga saat ini Indonesia baru bisa memanfaatkan sumber energi panas bumi sebesar 1.189 MW meski sudah sejak 26 tahun lalu mengembangkannya. Tertinggal oleh Filipina.

Tekan emisi, hemat devisa

Berdasarkan laporan Badan Energi Internasional (IEA), Indonesia berada di urutan ke-15 penyumbang emisi CO. Pada tahun 2004, produksi emisi gas rumah kaca atau CO Indonesia sebesar 360 juta ton. Kendati industri energi di dalam negeri bukan penyumbang utama, namun diversifikasi energi dengan meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan yang ramah lingkungan akan menurunkan produksi CO.

Pengembangan sumber panas bumi sebesar 4.600 MW melalui program pembangunan pembangkit listrik 10.000 MW tahap II menjadi taruhan janji Presiden dalam G-20. Jika berhasil dilaksanakan, maka sampai 2014 sumber energi panas bumi yang dimanfaatkan berjumlah 5.789 MW. Ini setara dengan pengurangan emisi CO sebesar 38 juta ton dari pengalihan pemanfaatan batu bara atau 25 juta ton dari penggantian pemakaian BBM.

Di sisi lain, pemanfaatan sumber panas bumi tadi juga setara dengan penghematan 88 juta barrel minyak bumi per tahun atau 13 juta ton per tahun penggunaan batu bara. Kajian Asosiasi Panasbumi Indonesia (API), pemanfaatan sumber panas bumi hingga 5.796 MW bisa menyelamatkan penerimaan negara sebesar 4,5 miliar dollar AS per tahun dari penghematan BBM atau 1,5 miliar dollar AS per tahun dari penghematan batu bara.

Panas bumi merupakan sumber energi bersih lingkungan karena tidak memproduksi emisi CO. Selama kondisi geologi dan hidrologi terjaga keseimbangannya, pembentukan sumber energi panas bumi yang terkait dengan pembentukan magma gunung api pada ring of fire terus-menerus terjadi (sustainable). Selain itu juga tidak memerlukan kilang, pengangkutan, bongkar muat, dan bersifat lokal. Dengan demikian, seharusnya tidak tergantung pada fluktuasi harga energi fosil.

Sumber energi panas bumi juga tidak dapat diekspor sehingga hanya bisa dimanfaatkan untuk keperluan domestik atau lokal. Oleh sebab itu, pengembangan sumber energi panas bumi memiliki peran penting dalam diversifikasi energi atau mengurangi ketergantungan penggunaan minyak dan gas bumi serta membangun kemandirian energi lokal untuk membangun ketahanan energi nasional.

Tantangan dan dukungan

Pengembangan panas bumi masih membutuhkan dukungan semua pihak. Keberadaan UU Panas Bumi maupun berbagai peraturan yang ada belum mampu mewujudkan pemanfaatan sumber energi panas bumi secara maksimal. Berbagai hambatan dan tantangan masih membutuhkan keseriusan untuk dicarikan solusinya.

Berbeda dengan minyak bumi atau baru bara, karakteristik sumber energi panas bumi membuat pengembangan dan pengelolaannya tidak bisa mengikuti mekanisme pasar. Hukum permintaan dan penawaran tidak berlaku. Oleh sebab itu, peran pemerintah sangat diperlukan guna mengelola dan mengatur para pelaku industri pemanfaatan panas bumi.

Melalui peran pemerintah, kepentingan perusahaan penyalur listrik di hilir dan perusahaan pengembang sumber panas bumi (produksi uap/listrik) bisa dipertemukan. Bahkan sebaiknya pelayanan pengembangan panas bumi di hulu dan hilir dilakukan satu atap.

Pola satu atap ini diharapkan juga mengatasi hambatan pengembangan sumber energi panas bumi yang bersifat kedaerahan.

Pada daerah-daerah yang hanya memiliki sumber energi panas bumi, energi ini mendapat prioritas pertama untuk dikembangkan. Pemerintah ikut serta memikul risiko, terutama di sisi hulu, sehingga dapat mengurangi risiko bisnis pengusaha.

Potensi besar panas bumi di Indonesia juga merupakan tantangan bagi ilmuwan, akademisi, teknolog, maupun pengusaha nasional karena tidak semua negara beruntung memiliki sumber energi ini. Penguasaan teknologi pengembangan sumber energi panas bumi oleh pihak nasional menghasilkan nilai tambah industri, serta menumbuhkan kebanggaan karena menjadi tidak tergantung pada pihak asing.

Penulis: R Sukhyar, Kepala Badan Geologi, Departemen ESDM.
Jakarta, 19 Oktober 2009

Sunday, October 18, 2009

Target MDGs Sulit Tercapai

KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

Target pencapaian rencana pemberantasan kemiskinan global di bawah program PBB yang disebut Tujuan Pembangunan Milenium pada tahun 2015 tersisa enam tahun. Namun, delapan target yang menjadi sasaran masih jauh dari harapan sehingga muncul kekhawatiran target-target itu akan sulit tercapai.

Khusus mengenai angka kemiskinan Indonesia, diharapkan berkurang hingga 7,5 persen pada tahun 2015. Namun, kenyataannya, pada tahun 2008 angka kemiskinan masih 15,64 persen.

Demikian terungkap dalam dialog ”Evaluasi Anggaran Pencapaian MDGs (Tujuan Pembangunan Milenium) dan Agenda Prioritas Pemerintah terhadap Pemenuhan Anggaran Pencapaian Target MDGs”, Kamis (15/10) di Jakarta.

”Kebijakan, perencanaan, dan anggaran sejak dulu memang tidak pernah nyambung sehingga akibatnya target tidak tercapai,” kata Sekretaris Jenderal Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra) Yuna Farhan.

Selain kemiskinan, tujuh target MDGs adalah jangkauan layanan pendidikan dasar, pengarusutamaan jender dan pemberdayaan perempuan, penurunan angka kematian anak balita, peningkatan kesehatan ibu, pemberantasan HIV/AIDS, malaria dan penyakit lainnya, penanganan lingkungan berkelanjutan, serta kemitraan global untuk pembangunan.

Kedelapan target MDGs ini dikhawatirkan semakin tak tercapai jika kendala seperti bencana alam terus terjadi. Selain bencana alam, menurut Analis Kampanye dan Advokasi di United Nations Millenium Campaign Jakarta, Wilson Siahaan, perubahan iklim, krisis pangan, krisis energi, dan krisis keuangan juga berpotensi jadi kendala utama.

Target sulit tercapai sebenarnya juga akibat kebijakan pemerintah yang tidak difokuskan pada MDGs. Yuna dan Wilson sepakat tidak optimalnya upaya pencapaian target MDGs adalah karena belum ada komitmen dan kontribusi bersama dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, pemerintah daerah, organisasi masyarakat sipil, parlemen, media, dan swasta.

”Kita harus terus-menerus mengingatkan pemerintah untuk jangan lagi membuat komitmen tanpa memenuhi. Jika berkomitmen, penuhilah lalu terjemahkan menjadi kebijakan yang masuk akal,” kata Wilson. (LUK)

Jumat, 16 Oktober 2009 | 04:03 WIB

Jakarta, Kompas - http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/16/04030063/target.mdgs.sulit.tercapai

Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke

  | Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...