Tak ada alasan untuk menunda pengembangan energi panas bumi di Indonesia. Potensinya terbesar di dunia, kebutuhan listrik terus meningkat, UU Panas Bumi sudah ada, dan yang paling baru adalah pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di G-20 Summit Amerika Serikat beberapa waktu lalu. Ket.Foto:Salah satu instalasi energi panas bumi di Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, Rabu (14/10). Energi panas bumi atau geotermal yang berkapasitas 60 megawatt (MW) tersebut telah terhubung dengan sistem jaringan interkoneksi Jawa-Bali-Madura.
Indonesia, menurut Presiden, secara sukarela menargetkan pengurangan emisi CO sebesar 26 persen hingga tahun 2020. Untuk itu, selain mengurangi penggundulan hutan dan pengalihan pemanfaatan lahan, Indonesia segera melakukan investasi pengembangan energi terbarukan, antara lain pemanfaatan sumber energi panas bumi.
Kita patut bersyukur memiliki aneka ragam sumber energi. Selain sumber energi fosil, posisi Indonesia yang berada di Pasifik ring of fire membuat Indonesia memiliki potensi sumber energi panas bumi yang mencapai 28.000 MW. Potensinya tersebar di 265 lapangan di Sumatera, Jawa, Sulawesi, Bali, NTT, Maluku, dan sebagian Kalimantan.
Potensi sebesar itu merupakan 35 persen dari sumber panas bumi dunia. Jika bisa dimanfaatkan selama 30 tahun, maka itu setara dengan 12 miliar barrel minyak bumi untuk mengoperasikan pembangkit listrik. Kenyataannya, hingga saat ini Indonesia baru bisa memanfaatkan sumber energi panas bumi sebesar 1.189 MW meski sudah sejak 26 tahun lalu mengembangkannya. Tertinggal oleh Filipina.
Tekan emisi, hemat devisa
Berdasarkan laporan Badan Energi Internasional (IEA), Indonesia berada di urutan ke-15 penyumbang emisi CO. Pada tahun 2004, produksi emisi gas rumah kaca atau CO Indonesia sebesar 360 juta ton. Kendati industri energi di dalam negeri bukan penyumbang utama, namun diversifikasi energi dengan meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan yang ramah lingkungan akan menurunkan produksi CO.
Pengembangan sumber panas bumi sebesar 4.600 MW melalui program pembangunan pembangkit listrik 10.000 MW tahap II menjadi taruhan janji Presiden dalam G-20. Jika berhasil dilaksanakan, maka sampai 2014 sumber energi panas bumi yang dimanfaatkan berjumlah 5.789 MW. Ini setara dengan pengurangan emisi CO sebesar 38 juta ton dari pengalihan pemanfaatan batu bara atau 25 juta ton dari penggantian pemakaian BBM.
Di sisi lain, pemanfaatan sumber panas bumi tadi juga setara dengan penghematan 88 juta barrel minyak bumi per tahun atau 13 juta ton per tahun penggunaan batu bara. Kajian Asosiasi Panasbumi Indonesia (API), pemanfaatan sumber panas bumi hingga 5.796 MW bisa menyelamatkan penerimaan negara sebesar 4,5 miliar dollar AS per tahun dari penghematan BBM atau 1,5 miliar dollar AS per tahun dari penghematan batu bara.
Panas bumi merupakan sumber energi bersih lingkungan karena tidak memproduksi emisi CO. Selama kondisi geologi dan hidrologi terjaga keseimbangannya, pembentukan sumber energi panas bumi yang terkait dengan pembentukan magma gunung api pada ring of fire terus-menerus terjadi (sustainable). Selain itu juga tidak memerlukan kilang, pengangkutan, bongkar muat, dan bersifat lokal. Dengan demikian, seharusnya tidak tergantung pada fluktuasi harga energi fosil.
Sumber energi panas bumi juga tidak dapat diekspor sehingga hanya bisa dimanfaatkan untuk keperluan domestik atau lokal. Oleh sebab itu, pengembangan sumber energi panas bumi memiliki peran penting dalam diversifikasi energi atau mengurangi ketergantungan penggunaan minyak dan gas bumi serta membangun kemandirian energi lokal untuk membangun ketahanan energi nasional.
Tantangan dan dukungan
Pengembangan panas bumi masih membutuhkan dukungan semua pihak. Keberadaan UU Panas Bumi maupun berbagai peraturan yang ada belum mampu mewujudkan pemanfaatan sumber energi panas bumi secara maksimal. Berbagai hambatan dan tantangan masih membutuhkan keseriusan untuk dicarikan solusinya.
Berbeda dengan minyak bumi atau baru bara, karakteristik sumber energi panas bumi membuat pengembangan dan pengelolaannya tidak bisa mengikuti mekanisme pasar. Hukum permintaan dan penawaran tidak berlaku. Oleh sebab itu, peran pemerintah sangat diperlukan guna mengelola dan mengatur para pelaku industri pemanfaatan panas bumi.
Melalui peran pemerintah, kepentingan perusahaan penyalur listrik di hilir dan perusahaan pengembang sumber panas bumi (produksi uap/listrik) bisa dipertemukan. Bahkan sebaiknya pelayanan pengembangan panas bumi di hulu dan hilir dilakukan satu atap.
Pola satu atap ini diharapkan juga mengatasi hambatan pengembangan sumber energi panas bumi yang bersifat kedaerahan.
Pada daerah-daerah yang hanya memiliki sumber energi panas bumi, energi ini mendapat prioritas pertama untuk dikembangkan. Pemerintah ikut serta memikul risiko, terutama di sisi hulu, sehingga dapat mengurangi risiko bisnis pengusaha.
Potensi besar panas bumi di Indonesia juga merupakan tantangan bagi ilmuwan, akademisi, teknolog, maupun pengusaha nasional karena tidak semua negara beruntung memiliki sumber energi ini. Penguasaan teknologi pengembangan sumber energi panas bumi oleh pihak nasional menghasilkan nilai tambah industri, serta menumbuhkan kebanggaan karena menjadi tidak tergantung pada pihak asing.
Penulis: R Sukhyar, Kepala Badan Geologi, Departemen ESDM.
Jakarta, 19 Oktober 2009
No comments:
Post a Comment