Delegasi RI boleh bangga dengan pencapaian target Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan dalam Konferensi Perubahan Iklim 2009. Namun, pencapaian itu menyisakan persoalan besar. Setidaknya, ini menurut pendapat Forum Masyarakat Sipil (CSF) untuk Keadilan Iklim.
Skema Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) yang menjadikan hutan sebagai ”alat tukar” penurunan emisi dengan sejumlah uang dan teknologi dinilai CSF (gabungan sejumlah LSM dari Indonesia yang memantau negosiasi iklim) terlalu murah. Murah tidak hanya dalam artian nilai uang, tetapi juga risiko jangka panjang yang menyangkut hak hidup dan budaya masyarakat lokal dan masyarakat adat.
Pendanaan konservasi hutan dalam arti tertentu, dalam skema REDD, diyakini akan meminggirkan kontrol masyarakat terhadap hutan yang secara turun-temurun mereka hidupi. Sebaliknya, memberikan keleluasaan bagi industri, seperti industri bubur kertas dan kertas untuk menambah konversi hutan alam bila definisi hutan memasukkan tegakan hijau perkebunan monokultur.
Atas nama komitmen mitigasi perubahan iklim di negara berkembang, masyarakat dalam posisi rentan dijadikan ”kambing hitam” perusakan hutan. ”Indonesia terjebak dalam negosiasi pola negara maju dan tidak mementingkan kepentingan nasionalnya sendiri,” kata Teguh Surya dari Walhi yang hadir di Kopenhagen.
Hal yang sama diungkapkan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara yang menilai penerapan di lapangan justru akan memicu konflik kepentingan antara masyarakat dan pemerintah.
Dari data CSF, sepanjang tahun 2008 setidaknya tercatat 500 konflik terkait pengelolaan perkebunan sawit. Konflik itu akan terus bertambah selama pengakuan hak-hak masyarakat adat tidak dipandang sebagai sebuah hal yang penting.
Tekan negara maju
Koordinator CSF Giorgio Budi Indarto menilai, Indonesia seharusnya menekan negara-negara maju dalam negosiasi iklim. Khusus terkait hutan, tekanan diarahkan kepada tanggung jawab negara maju agar mengurangi permintaan produk hasil sumber daya alam.
”Tingginya permintaan negara maju itulah akar masalah kerusakan hutan dan degradasi lahan akibat pertambangan. Sayangnya, itu tidak menjadi titik pijak posisi Indonesia,” katanya.
Ketidakjelasan sikap delegasi RI juga disorot pada awal negosiasi, khususnya ketika Denmark mengeluarkan Danish Accord yang mengancam kepentingan nasional. Pasalnya, di dalamnya ada klausul mewajibkan negara berkembang menurunkan emisi gas rumah kaca yang jelas-jelas tidak diwajibkan sesuai dengan keputusan di Bali 2007.
Tidak seperti beberapa negara berkembang lain yang tegas menolak tawaran itu, Indonesia cenderung diam. Menurut delegasi RI, sikapnya sudah terwakili pendapat negara lain.
Ketidaksiapan lain adalah soal data jumlah dana bantuan asing yang dibutuhkan Indonesia untuk menurunkan emisi sebesar 41 persen pada 2020. Begitupun penerapan di lapangan yang hingga kini belum jelas.
Berdasarkan data resmi di sekretariat konferensi, jumlah anggota delegasi RI 188 orang, termasuk beberapa pejabat dalam rombongan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dari jumlah itu, negosiator inti yang memantau 16 sesi persidangan kurang dari 30 orang.
Secara perseorangan, beberapa anggota delegasi menduduki posisi penting sidang, seperti mengetuai atau co-chair grup kontak pembahasan sebuah isu. Mengikuti sidang dengan keseriusan tinggi bukanlah hal mudah. Mengenai jumlah delegasi, total jumlah Indonesia di bawah Brasil dan China. ”Tidak semuanya datang karena persoalan visa,” kata anggota delegasi, Ghafur Dharmaputra.
Sepekan tersisa, kemampuan bernegosiasi tim delegasi RI dipertaruhkan. Mengutip kata Ketua Negosiator RI Rachmat Witoelar, Indonesia fokus pada kepentingan nasional. (GESIT ARIYANTO dari Kopenhagen, Denmark)
Senin, 14 Desember 2009 | 03:35 WIB
Source:http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/14/03355796/negosiasi..kurang.cerminkan.kepentingan
Membantu Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank Dalam Penerapan Sustainable Finance (Keuangan Berkelanjutan) - Environmental & Social Risk Analysis (ESRA) for Loan/Investment Approval - Training for Sustainability Reporting (SR) Based on OJK/GRI - Penguatan Manajemen Desa dan UMKM - Membantu Membuat Program dan Strategi CSR untuk Perusahaan. Hubungi Sdr. Leonard Tiopan Panjaitan, S.sos, MT, CSRA di: leonardpanjaitan@gmail.com atau Hp: 081286791540 (WA Only)
Tuesday, December 15, 2009
Skema Kehutanan Disepakati, REDD Dituntut Tidak Tinggalkan Masyarakat Adat
Setelah melewati pembahasan alot selama lima hari, panduan metodologi Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan atau REDD disepakati di tingkat Badan Pembantu untuk Advis Teknologi dan Sains Pertemuan Para Pihak Ke-15, Sabtu (12/12) malam.
Pembahasan menyisakan aspek pendanaan dan pendekatan ke kelompok lain. Pencapaian itu dinilai sebagai kemajuan berarti delegasi meski belum selesai.
”Tanpa pencapaian di tahap metodologi, REDD plus tidak dapat diterapkan,” kata negosiator delegasi RI untuk REDD, Wandojo Siswanto, di Kopenhagen, Denmark, Minggu. Indonesia menargetkan, panduan metodologi, pendanaan, dan kebijakan bersama REDD plus yang dapat masuk dalam Kesepakatan Pasca-2012 bersifat jangka panjang.
Kelompok Indigenous Environmental Network menolak REDD dan menyebutnya ”COlonialism of forests”. Skema itu hanya akan merampas kontrol hutan adat dari masyarakat adat kepada pemilik modal dan pengemisi CO melalui negara.
Melalui mekanisme carbon offset, emisi industri di negara- negara makmur dapat berlanjut dengan membeli sertifikat reduksi emisi melalui konservasi hutan di negara berkembang.
Fitrian Ardiansyah dari WWF Indonesia menyebutkan, keputusan itu merupakan awal yang baik. Dengan kerja sama solid di antara negara berkembang, pendanaan REDD yang terpisah dari dana adaptasi lebih mudah dicapai.
REDD plus adalah skema mitigasi yang memungkinkan negara berkembang pemilik hutan, seperti Indonesia, Brasil, Kongo, dan Tanzania, mendapat pendanaan dari negara maju dengan mengurangi pembukaan hutan dan degradasi lahan.
Beberapa kewajiban yang disepakati termasuk pengakuan keterlibatan masyarakat adat dan komunitas lokal dalam pengawasan dan pelaporan. Di antaranya, identifikasi penyebab perusakan dan degradasi lahan, berbagai aktivitas penstabil stok CO dalam hutan, dan menggunakan pedoman Panel Ahli Antarnegara untuk Perubahan Iklim (IPCC).
”Kami sedang mengembangkan penerapan metodologi bekerja sama dengan Jerman dan Australia di Kalimantan, Sumatera, dan Jawa Timur,” kata negosiator RI, Koordinator Substansi REDD Nur Masripatin.
Menurut IPCC, ada beberapa kewajiban teknis yang harus diikuti terkait transparansi sistem pemantauan nasional, yakni perpaduan data penginderaan jauh dan pengecekan di lapangan. Kalkulasi harus transparan, konsisten, akurat, dan mengurangi ketidakpastian.
Kalimat ”pelibatan penuh dan efektif” dikhawatirkan melemahkan posisi tawar masyarakat adat. Pada draf awal, masyarakat adat mengusulkan pengakuan hak-hak kemerdekaan masyarakat adat sesuai dengan asas free, prior, and informed consent (bebas, diinformasikan dulu, dan disetujui) yang dilindungi Deklarasi PBB tentang Hak Masyarakat Adat.
Di Yogyakarta, Sabtu, belasan orang asal Jepara dan Madura berunjuk rasa di depan Kantor Badan Tenaga Nuklir Nasional, Sleman. Pengunjuk rasa yang tergabung dalam Majelis Pertimbangan Tenaga Nuklir itu menolak usulan penggunaan tenaga nuklir sebagai solusi bidang energi pada konferensi di Kopenhagen. (GESIT ARIYANTO dari Kopenhagen, Denmark/IRE)
Senin, 14 Desember 2009 | 03:47 WIB
Kopenhagen, Kompas - http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/14/03473882/skema.kehutanan..disepakati
Pembahasan menyisakan aspek pendanaan dan pendekatan ke kelompok lain. Pencapaian itu dinilai sebagai kemajuan berarti delegasi meski belum selesai.
”Tanpa pencapaian di tahap metodologi, REDD plus tidak dapat diterapkan,” kata negosiator delegasi RI untuk REDD, Wandojo Siswanto, di Kopenhagen, Denmark, Minggu. Indonesia menargetkan, panduan metodologi, pendanaan, dan kebijakan bersama REDD plus yang dapat masuk dalam Kesepakatan Pasca-2012 bersifat jangka panjang.
Kelompok Indigenous Environmental Network menolak REDD dan menyebutnya ”COlonialism of forests”. Skema itu hanya akan merampas kontrol hutan adat dari masyarakat adat kepada pemilik modal dan pengemisi CO melalui negara.
Melalui mekanisme carbon offset, emisi industri di negara- negara makmur dapat berlanjut dengan membeli sertifikat reduksi emisi melalui konservasi hutan di negara berkembang.
Fitrian Ardiansyah dari WWF Indonesia menyebutkan, keputusan itu merupakan awal yang baik. Dengan kerja sama solid di antara negara berkembang, pendanaan REDD yang terpisah dari dana adaptasi lebih mudah dicapai.
REDD plus adalah skema mitigasi yang memungkinkan negara berkembang pemilik hutan, seperti Indonesia, Brasil, Kongo, dan Tanzania, mendapat pendanaan dari negara maju dengan mengurangi pembukaan hutan dan degradasi lahan.
Beberapa kewajiban yang disepakati termasuk pengakuan keterlibatan masyarakat adat dan komunitas lokal dalam pengawasan dan pelaporan. Di antaranya, identifikasi penyebab perusakan dan degradasi lahan, berbagai aktivitas penstabil stok CO dalam hutan, dan menggunakan pedoman Panel Ahli Antarnegara untuk Perubahan Iklim (IPCC).
”Kami sedang mengembangkan penerapan metodologi bekerja sama dengan Jerman dan Australia di Kalimantan, Sumatera, dan Jawa Timur,” kata negosiator RI, Koordinator Substansi REDD Nur Masripatin.
Menurut IPCC, ada beberapa kewajiban teknis yang harus diikuti terkait transparansi sistem pemantauan nasional, yakni perpaduan data penginderaan jauh dan pengecekan di lapangan. Kalkulasi harus transparan, konsisten, akurat, dan mengurangi ketidakpastian.
Kalimat ”pelibatan penuh dan efektif” dikhawatirkan melemahkan posisi tawar masyarakat adat. Pada draf awal, masyarakat adat mengusulkan pengakuan hak-hak kemerdekaan masyarakat adat sesuai dengan asas free, prior, and informed consent (bebas, diinformasikan dulu, dan disetujui) yang dilindungi Deklarasi PBB tentang Hak Masyarakat Adat.
Di Yogyakarta, Sabtu, belasan orang asal Jepara dan Madura berunjuk rasa di depan Kantor Badan Tenaga Nuklir Nasional, Sleman. Pengunjuk rasa yang tergabung dalam Majelis Pertimbangan Tenaga Nuklir itu menolak usulan penggunaan tenaga nuklir sebagai solusi bidang energi pada konferensi di Kopenhagen. (GESIT ARIYANTO dari Kopenhagen, Denmark/IRE)
Senin, 14 Desember 2009 | 03:47 WIB
Kopenhagen, Kompas - http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/14/03473882/skema.kehutanan..disepakati
COP-15 Copenhagen: Negara Afrika Desak Hasil Mengikat
Negara-negara Eropa mendesak negara berkembang berjanji menurunkan emisi, sementara Indonesia menginginkan pendanaan dari luar ditambah.
Indonesia yang masih disebut sebagai pengemisi gas rumah kaca terbesar di dunia, setelah China dan Amerika Serikat, 80 persen emisinya adalah dari kerusakan hutan dan lahan.
Pemimpin Komisi Eropa Jose Manuel Barroso mendesak Indonesia memperkuat kampanye dua jalur untuk merangkul negara maju dan negara berkembang berbuat lebih untuk menyelamatkan kesepakatan.
Demikian ujar Barroso dalam konferensi pers bersama seusai bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Brussels, Belgia, Senin (14/12).
”Indonesia bisa memberi tahu negara berkembang lain, termasuk negara berkembang yang pesat ekonominya, bahwa mereka harus berbuat lebih,” ujar Barroso tanpa menyebut India dan China. ”Kami juga akan mengatakan hal sama kepada negara-negara maju,” ujarnya. Dengan kekisruhan negosiasi saat ini, dia mengingatkan kemungkinan gagal ada kesepakatan berarti. Untuk menembus kebuntuan, solusinya adalah ”bertanya kepada setiap orang sebagai upaya mencari kemungkinan lain”.
Presiden COP-15 Connie Hedegaard minta bantuan Rachmat Witoelar dan Menteri Jerman memfasilitasi pertemuan agar terus berjalan. Pasalnya, sidang pleno terancam buntu karena negara berkembang terus menekan negara maju berkomitmen dengan angka penurunan emisi.
Penundaan pleno
Pada Senin sore di Kopenhagen terjadi penundaan sidang pleno. Delegasi Afrika menolak melanjutkan persidangan bila Presiden Pertemuan Para Pihak Ke-15 tidak mendahulukan pembahasan keberlanjutan Protokol Kyoto-sudah krusial sejak awal.
Protokol itu merupakan satu-satunya kesepakatan berkekuatan hukum yang mewajibkan negara maju menurunkan emisi gas rumah kaca, penyebab pemanasan global, dalam jumlah besar. ”Kami datang dengan posisi jelas, yakni ada kesepakatan mengikat dan melanjutkan Protokol Kyoto seperti kesepakatan di Bali,” kata salah satu wakil kelompok Afrika, Victor, kepada wartawan. Periode pertama Protokol Kyoto berakhir pada 2012.
Ada upaya negara maju ”membunuh” protokol Kyoto karena sejumlah negara maju mendorong negosiasi ke satu hasil keputusan yang menggabungkan dua jalur pembahasan, berarti menggantikan Protokol Kyoto.
Dalam persidangan, menurut wakil delegasi RI, Presiden COP-15 mendahulukan pembahasan draf teks soal Aksi Kerja Sama Jangka Panjang (LCA), yang banyak membahas kepentingan negara-negara maju. Adapun pembahasan Protokol Kyoto memberi peluang bagi negara berkembang menekan negara maju dengan komitmennya.
”Sikap Indonesia sama, kedua jalur harus berjalan bersamaan dengan dua hasil. Bukan penggabungan atau menggantikan Protokol Kyoto,” kata juru bicara delegasi RI, Tri Tharyat. Posisi Indonesia sama dengan Afrika dan kelompok G-77 plus China.
Dukungan kepada Afrika bermunculan. ”Ini bukan soal menghalangi persidangan. Ini soal kesiapan negara maju menjamin akan berbuat sesuatu untuk membantu keberlanjutan Afrika dan seluruh dunia,” kata Direktur Eksekutif Oxfam International Jeremy Hobbs. (GSA/DAY/AFP/ISW)
Selasa, 15 Desember 2009 | 10:44 WIB
BRUSSEL, KOMPAS - http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/15/10444938/negara.afrika.desak.hasil.mengikat
Indonesia yang masih disebut sebagai pengemisi gas rumah kaca terbesar di dunia, setelah China dan Amerika Serikat, 80 persen emisinya adalah dari kerusakan hutan dan lahan.
Pemimpin Komisi Eropa Jose Manuel Barroso mendesak Indonesia memperkuat kampanye dua jalur untuk merangkul negara maju dan negara berkembang berbuat lebih untuk menyelamatkan kesepakatan.
Demikian ujar Barroso dalam konferensi pers bersama seusai bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Brussels, Belgia, Senin (14/12).
”Indonesia bisa memberi tahu negara berkembang lain, termasuk negara berkembang yang pesat ekonominya, bahwa mereka harus berbuat lebih,” ujar Barroso tanpa menyebut India dan China. ”Kami juga akan mengatakan hal sama kepada negara-negara maju,” ujarnya. Dengan kekisruhan negosiasi saat ini, dia mengingatkan kemungkinan gagal ada kesepakatan berarti. Untuk menembus kebuntuan, solusinya adalah ”bertanya kepada setiap orang sebagai upaya mencari kemungkinan lain”.
Presiden COP-15 Connie Hedegaard minta bantuan Rachmat Witoelar dan Menteri Jerman memfasilitasi pertemuan agar terus berjalan. Pasalnya, sidang pleno terancam buntu karena negara berkembang terus menekan negara maju berkomitmen dengan angka penurunan emisi.
Penundaan pleno
Pada Senin sore di Kopenhagen terjadi penundaan sidang pleno. Delegasi Afrika menolak melanjutkan persidangan bila Presiden Pertemuan Para Pihak Ke-15 tidak mendahulukan pembahasan keberlanjutan Protokol Kyoto-sudah krusial sejak awal.
Protokol itu merupakan satu-satunya kesepakatan berkekuatan hukum yang mewajibkan negara maju menurunkan emisi gas rumah kaca, penyebab pemanasan global, dalam jumlah besar. ”Kami datang dengan posisi jelas, yakni ada kesepakatan mengikat dan melanjutkan Protokol Kyoto seperti kesepakatan di Bali,” kata salah satu wakil kelompok Afrika, Victor, kepada wartawan. Periode pertama Protokol Kyoto berakhir pada 2012.
Ada upaya negara maju ”membunuh” protokol Kyoto karena sejumlah negara maju mendorong negosiasi ke satu hasil keputusan yang menggabungkan dua jalur pembahasan, berarti menggantikan Protokol Kyoto.
Dalam persidangan, menurut wakil delegasi RI, Presiden COP-15 mendahulukan pembahasan draf teks soal Aksi Kerja Sama Jangka Panjang (LCA), yang banyak membahas kepentingan negara-negara maju. Adapun pembahasan Protokol Kyoto memberi peluang bagi negara berkembang menekan negara maju dengan komitmennya.
”Sikap Indonesia sama, kedua jalur harus berjalan bersamaan dengan dua hasil. Bukan penggabungan atau menggantikan Protokol Kyoto,” kata juru bicara delegasi RI, Tri Tharyat. Posisi Indonesia sama dengan Afrika dan kelompok G-77 plus China.
Dukungan kepada Afrika bermunculan. ”Ini bukan soal menghalangi persidangan. Ini soal kesiapan negara maju menjamin akan berbuat sesuatu untuk membantu keberlanjutan Afrika dan seluruh dunia,” kata Direktur Eksekutif Oxfam International Jeremy Hobbs. (GSA/DAY/AFP/ISW)
Selasa, 15 Desember 2009 | 10:44 WIB
BRUSSEL, KOMPAS - http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/15/10444938/negara.afrika.desak.hasil.mengikat
Matahari dan Pemanasan Bumi Saling Menguatkan
Terjangan radiasi Matahari lebih dari 60 tahun lalu telah menyebabkan lapisan es di puncak gunung di Swiss meleleh lebih cepat daripada saat ini walaupun sekarang pun terekam ada kenaikan temperatur. Demikian hasil penelitian sejumlah ilmuwan yang dipaparkan pada Senin (14/12).
Penelitian mereka tentang dampak radiasi Matahari pada gletser Alpen membawa pada ”penemuan mengejutkan”. Penemuan tersebut adalah pada tahun 1940-an, terutama pada musim panas 1947, volume es yang meleleh adalah terbanyak sejak diukur dari 95 tahun lalu.
Penelitian yang dilakukan Zurich’s Federal Institute of Technology (ETHZ) ini juga mencatat kenaikan temperatur yang mempercepat proses melelehnya es pada tingkat yang tak terduga sebagai akibat pemanasan global. ”Yang baru adalah paradoks tersebut dapat dijelaskan dengan adanya radiasi,” ujar Matthias Huss, salah seorang peneliti.
Penelitian tersebut dipublikasikan dalam Geophysical Research Letters sebagai laporan dari penelitian besar yang dilakukan terkait dampak perubahan iklim dan peran radiasi Matahari dalam model iklim.
Dari penelitian ditemukan bahwa level radiasi Matahari pada tahun 1940-an adalah 8 persen lebih tinggi daripada radiasi rata-rata. Hal itu mengakibatkan salju meleleh sekitar 4 persen. (AFP/ISW)
Selasa, 15 Desember 2009 | 10:44 WIB
Geneva, Senin - http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/15/10441561/matahari.dan.pemanasan.bumi.saling.menguatkan
Penelitian mereka tentang dampak radiasi Matahari pada gletser Alpen membawa pada ”penemuan mengejutkan”. Penemuan tersebut adalah pada tahun 1940-an, terutama pada musim panas 1947, volume es yang meleleh adalah terbanyak sejak diukur dari 95 tahun lalu.
Penelitian yang dilakukan Zurich’s Federal Institute of Technology (ETHZ) ini juga mencatat kenaikan temperatur yang mempercepat proses melelehnya es pada tingkat yang tak terduga sebagai akibat pemanasan global. ”Yang baru adalah paradoks tersebut dapat dijelaskan dengan adanya radiasi,” ujar Matthias Huss, salah seorang peneliti.
Penelitian tersebut dipublikasikan dalam Geophysical Research Letters sebagai laporan dari penelitian besar yang dilakukan terkait dampak perubahan iklim dan peran radiasi Matahari dalam model iklim.
Dari penelitian ditemukan bahwa level radiasi Matahari pada tahun 1940-an adalah 8 persen lebih tinggi daripada radiasi rata-rata. Hal itu mengakibatkan salju meleleh sekitar 4 persen. (AFP/ISW)
Selasa, 15 Desember 2009 | 10:44 WIB
Geneva, Senin - http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/15/10441561/matahari.dan.pemanasan.bumi.saling.menguatkan
Pemanfaatan Panas Bumi Terus Dipacu
Pemerintah terus memacu produksi listrik dari sumber panas bumi atau geotermal. Salah satu kebijakan terbaru adalah pemerintah menugasi PT PLN untuk membeli listrik dari pembangkit listrik tenaga panas bumi dengan harga yang dianggap ”atraktif” atau menarik.
”Meskipun ada kebijakan-kebijakan baru, target yang harus dicapai masih pesimistis,” kata Direktur Eksekutif Bimasena Michael Sumarijanto dalam lokakarya mengenai panas bumi, Senin (14/12) di Jakarta.
Bimasena merupakan kelompok masyarakat pertambangan dan energi yang independen dan netral. Menurut Sumarijanto, pesimistis itu salah satunya karena lemahnya kontrol Departemen Kehutanan terhadap lahan yang akan digunakan untuk pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP), lahan itu ternyata sudah dirambah penduduk dan lahannya sudah dikonversi. ”Tidak mudah memanfaatkan lahan yang sudah dikuasai penduduk,” ujarnya. Di sisi lain, dalam implementasi kebijakan pemerintah soal energi panas bumi, ternyata sejumlah institusi pemerintah belum satu suara.
Kepala Badan Geologi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) R Sukhyar membacakan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Darwin Zahedy Saleh tertanggal 4 Desember 2009 tentang ”Harga Patokan Pembelian Tenaga Listrik oleh PT PLN (Persero) dari PLTP”.
”Atraktif”
Sukhyar menyebutkan, patokan harga itu cukup ”atraktif”, yakni harga patokan tertinggi 9,7 sen dollar AS per kwh untuk pembelian listrik oleh PT PLN.
Patokan harga tertinggi listrik dari PLTP 9,7 sen dollar AS atau berkisar Rp 900 per kilowattjam (kwh), menurut Ketua Asosiasi Panasbumi Indonesia (API) Surya Darma, memberikan rasa optimis terhadap pencapaian target peningkatan kapasitas PLTP pada 2014 menjadi 4.700 megawatt (MW). Adapun kapasitas terpasang saat ini 1.196 MW. ”Rasa optimis itu didasari karena PT Pertamina sudah mempersiapkan pembangunan PLTP yang cukup signifikan,” kata Surya Darma.
Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Marzan Aziz Iskandar, yang juga hadir sebagai narasumber lokakarya tersebut, menyatakan, saat ini masih terjadi kekurangan tenaga ahli di bidang panas bumi. Setidaknya, untuk mempersiapkan kapasitas listrik 4.700 MW dari PLTP, masih dibutuhkan sekitar 4.000 ahli yang terdidik.
Menurut Surya, upaya untuk memacu produksi listrik dari panas bumi ini untuk menunjukkan pula komitmen Indonesia dalam mengembangkan energi ramah lingkungan. (NAW)
Selasa, 15 Desember 2009 | 10:43 WIB
Jakarta, Kompas - http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/15/10431795/pemanfaatan.panas.bumi.terus.dipacu
”Meskipun ada kebijakan-kebijakan baru, target yang harus dicapai masih pesimistis,” kata Direktur Eksekutif Bimasena Michael Sumarijanto dalam lokakarya mengenai panas bumi, Senin (14/12) di Jakarta.
Bimasena merupakan kelompok masyarakat pertambangan dan energi yang independen dan netral. Menurut Sumarijanto, pesimistis itu salah satunya karena lemahnya kontrol Departemen Kehutanan terhadap lahan yang akan digunakan untuk pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP), lahan itu ternyata sudah dirambah penduduk dan lahannya sudah dikonversi. ”Tidak mudah memanfaatkan lahan yang sudah dikuasai penduduk,” ujarnya. Di sisi lain, dalam implementasi kebijakan pemerintah soal energi panas bumi, ternyata sejumlah institusi pemerintah belum satu suara.
Kepala Badan Geologi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) R Sukhyar membacakan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Darwin Zahedy Saleh tertanggal 4 Desember 2009 tentang ”Harga Patokan Pembelian Tenaga Listrik oleh PT PLN (Persero) dari PLTP”.
”Atraktif”
Sukhyar menyebutkan, patokan harga itu cukup ”atraktif”, yakni harga patokan tertinggi 9,7 sen dollar AS per kwh untuk pembelian listrik oleh PT PLN.
Patokan harga tertinggi listrik dari PLTP 9,7 sen dollar AS atau berkisar Rp 900 per kilowattjam (kwh), menurut Ketua Asosiasi Panasbumi Indonesia (API) Surya Darma, memberikan rasa optimis terhadap pencapaian target peningkatan kapasitas PLTP pada 2014 menjadi 4.700 megawatt (MW). Adapun kapasitas terpasang saat ini 1.196 MW. ”Rasa optimis itu didasari karena PT Pertamina sudah mempersiapkan pembangunan PLTP yang cukup signifikan,” kata Surya Darma.
Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Marzan Aziz Iskandar, yang juga hadir sebagai narasumber lokakarya tersebut, menyatakan, saat ini masih terjadi kekurangan tenaga ahli di bidang panas bumi. Setidaknya, untuk mempersiapkan kapasitas listrik 4.700 MW dari PLTP, masih dibutuhkan sekitar 4.000 ahli yang terdidik.
Menurut Surya, upaya untuk memacu produksi listrik dari panas bumi ini untuk menunjukkan pula komitmen Indonesia dalam mengembangkan energi ramah lingkungan. (NAW)
Selasa, 15 Desember 2009 | 10:43 WIB
Jakarta, Kompas - http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/12/15/10431795/pemanfaatan.panas.bumi.terus.dipacu
Subscribe to:
Posts (Atom)
Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke
| Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...
-
PT Konsorsium Televisi Digital Indonesia (KTDI) menggelar uji coba siaran televisi digital di wilayah Jabotabek. Siaran uji coba itu merupak...
-
JAKARTA - PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) sangat sepakat mengenai ketentuan Bank Indonesia (BI) untuk membuat standarisasi sistem pembayaran pada...