Produksi minyak mentah siap jual atau lifting diperkirakan akan meningkat pada tahun 2014. Hal ini sebagai dampak kebijakan Menteri Kehutanan yang akan mempercepat proses izin pinjam pakai kawasan hutan untuk eksplorasi dan produksi migas.
Menurut Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) R Priyono, Jumat (16/4) di Jakarta, percepatan izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan migas membantu percepatan peningkatan produksi migas.
Selama ini banyak lapangan migas di kawasan hutan tidak bisa dieksplorasi dan berproduksi karena izin pinjam pakai untuk kegiatan migas itu tidak kunjung diberikan kementerian terkait. Padahal, potensi cadangan minyak di atas 100 juta barrel.
Kalau izin cepat terbit, kegiatan eksplorasi bisa dilakukan dalam 3-6 tahun. ”Jadi, lapangan migas di kawasan hutan bisa berproduksi paling cepat tahun 2014,” ujarnya.
Untuk menjaga kelestarian hutan yang dijadikan lokasi pengeboran, sektor hulu migas wajib menempatkan dana abandonment and site restoration (ASR) sebesar 141,45 juta dollar AS di sejumlah bank pemerintah. Dana ini adalah dana cadangan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) untuk membongkar fasilitas operasi perminyakan sebelum meninggalkan wilayah kerja yang akan ditutup.
”Dibanding pertambangan lain, migas relatif tidak merusak lingkungan karena wilayahnya tidak luas dan kegiatan di bawah tanah,” kata Priyono.
Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan menyatakan akan memprioritaskan pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan oleh industri pertambangan untuk mendukung peningkatan target lifting minyak. Menhut juga akan menyiapkan regulasi yang mendukung percepatan investasi untuk mengeksploitasi geothermal.
”Sektor migas menjadi perhatian kami, terutama untuk mendukung kenaikan target lifting. Kami juga menyiapkan aturan tentang pemanfaatan energi di kawasan hutan untuk pembangkit listrik,” kata Menhut.
Menurut Menhut, izin pinjam pakai kawasan hutan tidak butuh waktu lama. Namun, pengusaha yang telah mendapat izin pinjam pakai tetap harus mengurus analisis manajemen dampak lingkungan (amdal) untuk mencegah kerusakan lingkungan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Menhut memegang penuh hak kawasan hutan. Karena itu, semua kegiatan yang akan memakai kawasan hutan harus melalui persetujuan Menhut. (evy/ham)
17 April 2010
Source:http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/17/03473129/izin.pinjam.pakai.hutan.dorong.lifting
Membantu Lembaga Keuangan Bank dan Non Bank Dalam Penerapan Sustainable Finance (Keuangan Berkelanjutan) - Environmental & Social Risk Analysis (ESRA) for Loan/Investment Approval - Training for Sustainability Reporting (SR) Based on OJK/GRI - Penguatan Manajemen Desa dan UMKM - Membantu Membuat Program dan Strategi CSR untuk Perusahaan. Hubungi Sdr. Leonard Tiopan Panjaitan, S.sos, MT, CSRA di: leonardpanjaitan@gmail.com atau Hp: 081286791540 (WA Only)
Tuesday, April 20, 2010
Mata Rantai yang Hilang
Fosil dua tengkorak berusia sekitar 2 juta tahun ditemukan di dalam sebuah goa di lokasi penggalian arkeologi Malapa, dekat Johannesburg, Afrika Selatan. Satu fosil tengkorak perempuan dewasa berusia kira-kira 20-30 tahun dan satu lagi fosil tengkorak remaja laki-laki berusia 12 tahun.
Dua fosil dengan tinggi tubuh sama-sama 1,27 meter itu kemungkinan ibu dan anak. Penemuan ini diyakini sebagian ilmuwan sebagai mata rantai yang hilang yang bisa menjelaskan transisi dari spesies kera ke manusia modern Homo sapiens seperti kita.
Nama ”makhluk mirip manusia” yang ditemukan awal bulan ini, yaitu Australopithecus sediba atau Kera Mata Air dari Selatan (dalam bahasa Sesotho yang digunakan di Afrika Selatan, Sediba berarti Mata Air).
Kedua fosil itu ditemukan di kawasan yang dilindungi, Cradle of Humankind World Heritage, lokasi ini ditemukan melalui peranti lunak Google Earth. Di lokasi ini pula dalam beberapa tahun terakhir ditemukan fosil-fosil lain dengan kondisi beragam. Sebenarnya bagian-bagian kecil fosil tengkorak A. sediba sudah ditemukan sejak Agustus 2008. Tulang pertama, yakni tulang selangka tidak sengaja ditemukan Matthew (9), anak pemimpin tim peneliti dan ahli paleoantropologi Lee Berger dari University of the Witwatersrand, Afrika Selatan.
Kemudian di lokasi tersebut juga mulai dilakukan penggalian intensif dan ditemukanlah fosil tengkorak A. sediba kedua yang utuh itu di dalam reruntuhan goa. Tengkorak keduanya terpisah sejauh satu meter. Artinya, keduanya mungkin meninggal hampir bersamaan.
Lee Berger yakin, keduanya berhubungan darah ibu dan anak. Jika bukan, paling tidak keduanya saling kenal atau anggota dari kelompok yang sama. Dugaan para peneliti, keduanya tidak sengaja jatuh dan terjebak di dalam goa sedalam 30-45 meter kemudian terbawa arus hingga ke sungai bawah tanah ketika terjadi hujan badai.
Di sekitar lokasi penemuan kedua fosil tengkorak itu juga ditemukan fosil binatang seperti kucing hutan, tikus, kelinci, anjing liar, dan kuda.
”Sepertinya pada saat itu terjadi sesuatu yang dahsyat hingga menyatukan fosil-fosil ini di dalam goa yang sama. Mereka mungkin terjebak dan terkubur dalam goa,” kata anggota tim peneliti, Paul Dirks dari James Cook University, Queensland, Australia.
Perdebatan
Asal muasal A. sediba ini memicu perdebatan. Sebagian ilmuwan menilai A. sediba sebagai keturunan langsung spesies Homo. Sebagian lagi meyakini A. sediba masuk dalam pohon keluarga spesies kera. Satu hal yang disepakati bersama, A. sediba hidup sebelum spesies Homo muncul.
Bagi Berger penemuan kedua fosil itu membuka babak baru cerita evolusi manusia dan memberikan sedikit pencerahan tentang masa-masa penting ketika kera mengubah kebiasaan hidup yang semula di atas pohon menjadi menjejakkan kaki di darat.
”A. sediba ini bisa hidup di dua dunia. Memang keduanya belum menjadi Homo karena tidak memiliki bentuk utuh sebagai manusia,” ujarnya.
Hasil pemindaian dengan sinar X di European Synchrotron Radiation Facility (ESRF), Grenoble, Perancis, menunjukkan, kedua fosil itu memiliki gigi yang kecil-kecil, hidung mancung, rongga tulang pinggul yang maju, dan kaki yang panjang. Wajahnya pun lebih mirip manusia ketimbang kera. Dilihat dari struktur tubuhnya, bentuknya mirip manusia modern.
Namun, bentuk tubuhnya juga (masih) mirip kera dalam kelompok Australopithecine karena ukuran otaknya yang kecil dan tangan yang panjang dan kuat seperti orangutan. Jari-jarinya pun melengkung seperti biasa digunakan kera untuk memanjat pohon. Selain melengkung, jarinya juga pendek-pendek seperti jari manusia.
”Ukuran otak tengkorak yang laki-laki kecil, antara 420 dan 450 sentimeter kubik. Ukurannya lebih besar dibandingkan kelompok Australopithecines. Sementara ukuran otak manusia sekitar 1.196-1.605 sentimeter kubik,” demikian laporan penelitian tim peneliti.
Bukan keluarga Homo
Mempertimbangkan bentuk tubuh bagian atas dan ukuran otak itu, tim peneliti kemudian mengklasifikasikan kedua fosil itu ke dalam keluarga besar Australopithecus dan bukan keluarga Homo. Sebenarnya A. sediba memiliki mirip-mirip dengan kera dan manusia.
Colin Groves dari Australian National University menyimpulkan kedua fosil itu jelas bukan anggota keluarga besar Australopithecus, melainkan jenis baru dari keluarga Homo. ”Ada kesamaan bentuk dengan jenis Homo yang muncul pertama. Hanya ada sedikit kemiripan dengan Australopithecus. Tengkoraknya lebih mirip Homo floresiensis dari Indonesia,” ujarnya.
Direktur Proyek Asal Usul Manusia di National Museum of Natural History Smithsonian di Washington, AS, Richard Potts, mengakui, kombinasi dua keluarga spesies kera dan manusia seperti ini belum pernah ditemukan sebelumnya.
Apa pun posisi kedua fosil tengkorak itu, apakah di pohon keluarga kera atau pohon keluarga manusia, penemuan ini menarik karena seperti menemukan ”mesin waktu” yang bisa menjelaskan proses evolusi yang terjadi 1,8-2 juta tahun lalu.
Selama ini, garis silsilah manusia diyakini dimulai antara 1,8-2 juta tahun yang lalu. Namun, selama ini pula belum pernah ditemukan fosil yang berasal dari periode waktu itu. Karena itu, yang muncul hanya dugaan-dugaan dan perkiraan-perkiraan.
Hingga kini, periode waktu kemunculan spesies Homo masih misteri bagi kaum ilmuwan. Penemuan paling akhir ini diharapkan bisa sedikit menyibak misteri itu. Yang jelas, kini peneliti dan ilmuwan sepakat, penemuan ini membuktikan pohon keluarga manusia amat beragam.
(Luki aulia dari Berbagai Sumber)
17 April 2010
source:http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/17/0406419/mata.rantai..yang.hilang
Dua fosil dengan tinggi tubuh sama-sama 1,27 meter itu kemungkinan ibu dan anak. Penemuan ini diyakini sebagian ilmuwan sebagai mata rantai yang hilang yang bisa menjelaskan transisi dari spesies kera ke manusia modern Homo sapiens seperti kita.
Nama ”makhluk mirip manusia” yang ditemukan awal bulan ini, yaitu Australopithecus sediba atau Kera Mata Air dari Selatan (dalam bahasa Sesotho yang digunakan di Afrika Selatan, Sediba berarti Mata Air).
Kedua fosil itu ditemukan di kawasan yang dilindungi, Cradle of Humankind World Heritage, lokasi ini ditemukan melalui peranti lunak Google Earth. Di lokasi ini pula dalam beberapa tahun terakhir ditemukan fosil-fosil lain dengan kondisi beragam. Sebenarnya bagian-bagian kecil fosil tengkorak A. sediba sudah ditemukan sejak Agustus 2008. Tulang pertama, yakni tulang selangka tidak sengaja ditemukan Matthew (9), anak pemimpin tim peneliti dan ahli paleoantropologi Lee Berger dari University of the Witwatersrand, Afrika Selatan.
Kemudian di lokasi tersebut juga mulai dilakukan penggalian intensif dan ditemukanlah fosil tengkorak A. sediba kedua yang utuh itu di dalam reruntuhan goa. Tengkorak keduanya terpisah sejauh satu meter. Artinya, keduanya mungkin meninggal hampir bersamaan.
Lee Berger yakin, keduanya berhubungan darah ibu dan anak. Jika bukan, paling tidak keduanya saling kenal atau anggota dari kelompok yang sama. Dugaan para peneliti, keduanya tidak sengaja jatuh dan terjebak di dalam goa sedalam 30-45 meter kemudian terbawa arus hingga ke sungai bawah tanah ketika terjadi hujan badai.
Di sekitar lokasi penemuan kedua fosil tengkorak itu juga ditemukan fosil binatang seperti kucing hutan, tikus, kelinci, anjing liar, dan kuda.
”Sepertinya pada saat itu terjadi sesuatu yang dahsyat hingga menyatukan fosil-fosil ini di dalam goa yang sama. Mereka mungkin terjebak dan terkubur dalam goa,” kata anggota tim peneliti, Paul Dirks dari James Cook University, Queensland, Australia.
Perdebatan
Asal muasal A. sediba ini memicu perdebatan. Sebagian ilmuwan menilai A. sediba sebagai keturunan langsung spesies Homo. Sebagian lagi meyakini A. sediba masuk dalam pohon keluarga spesies kera. Satu hal yang disepakati bersama, A. sediba hidup sebelum spesies Homo muncul.
Bagi Berger penemuan kedua fosil itu membuka babak baru cerita evolusi manusia dan memberikan sedikit pencerahan tentang masa-masa penting ketika kera mengubah kebiasaan hidup yang semula di atas pohon menjadi menjejakkan kaki di darat.
”A. sediba ini bisa hidup di dua dunia. Memang keduanya belum menjadi Homo karena tidak memiliki bentuk utuh sebagai manusia,” ujarnya.
Hasil pemindaian dengan sinar X di European Synchrotron Radiation Facility (ESRF), Grenoble, Perancis, menunjukkan, kedua fosil itu memiliki gigi yang kecil-kecil, hidung mancung, rongga tulang pinggul yang maju, dan kaki yang panjang. Wajahnya pun lebih mirip manusia ketimbang kera. Dilihat dari struktur tubuhnya, bentuknya mirip manusia modern.
Namun, bentuk tubuhnya juga (masih) mirip kera dalam kelompok Australopithecine karena ukuran otaknya yang kecil dan tangan yang panjang dan kuat seperti orangutan. Jari-jarinya pun melengkung seperti biasa digunakan kera untuk memanjat pohon. Selain melengkung, jarinya juga pendek-pendek seperti jari manusia.
”Ukuran otak tengkorak yang laki-laki kecil, antara 420 dan 450 sentimeter kubik. Ukurannya lebih besar dibandingkan kelompok Australopithecines. Sementara ukuran otak manusia sekitar 1.196-1.605 sentimeter kubik,” demikian laporan penelitian tim peneliti.
Bukan keluarga Homo
Mempertimbangkan bentuk tubuh bagian atas dan ukuran otak itu, tim peneliti kemudian mengklasifikasikan kedua fosil itu ke dalam keluarga besar Australopithecus dan bukan keluarga Homo. Sebenarnya A. sediba memiliki mirip-mirip dengan kera dan manusia.
Colin Groves dari Australian National University menyimpulkan kedua fosil itu jelas bukan anggota keluarga besar Australopithecus, melainkan jenis baru dari keluarga Homo. ”Ada kesamaan bentuk dengan jenis Homo yang muncul pertama. Hanya ada sedikit kemiripan dengan Australopithecus. Tengkoraknya lebih mirip Homo floresiensis dari Indonesia,” ujarnya.
Direktur Proyek Asal Usul Manusia di National Museum of Natural History Smithsonian di Washington, AS, Richard Potts, mengakui, kombinasi dua keluarga spesies kera dan manusia seperti ini belum pernah ditemukan sebelumnya.
Apa pun posisi kedua fosil tengkorak itu, apakah di pohon keluarga kera atau pohon keluarga manusia, penemuan ini menarik karena seperti menemukan ”mesin waktu” yang bisa menjelaskan proses evolusi yang terjadi 1,8-2 juta tahun lalu.
Selama ini, garis silsilah manusia diyakini dimulai antara 1,8-2 juta tahun yang lalu. Namun, selama ini pula belum pernah ditemukan fosil yang berasal dari periode waktu itu. Karena itu, yang muncul hanya dugaan-dugaan dan perkiraan-perkiraan.
Hingga kini, periode waktu kemunculan spesies Homo masih misteri bagi kaum ilmuwan. Penemuan paling akhir ini diharapkan bisa sedikit menyibak misteri itu. Yang jelas, kini peneliti dan ilmuwan sepakat, penemuan ini membuktikan pohon keluarga manusia amat beragam.
(Luki aulia dari Berbagai Sumber)
17 April 2010
source:http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/17/0406419/mata.rantai..yang.hilang
Limbah Sawit Dijadikan Karbon Aktif
Limbah sawit berupa serabut ataupun ampas dari pemerasan biji sawit berhasil diriset Pusat Penelitian Fisika pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia untuk dijadikan karbon aktif. Selanjutnya, karbon aktif itu dimanfaatkan sebagai campuran grafit bahan pembentuk anoda pada baterai dan komponen keping bipolar untuk teknologi sel bahan bakar atau fuel cell.
”Kesepakatan aplikasi teknologinya sudah kami peroleh dari suatu perusahaan pengolah sawit di Kabupaten Lebak, Banten,” kata Bambang Prihandoko, periset Pusat Penelitian Fisika LIPI, Jumat (16/4) di Jakarta.
Menurut Bambang, limbah sawit selama ini dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk proses pengolahan minyak sawit.
Pengembangan limbah sawit untuk dijadikan karbon aktif ini, selain untuk menyediakan bahan baku komponen baterai dan fuel cell, juga ingin digunakan untuk mereduksi emisi karbon dari pembakarannya.
”Realisasinya dalam waktu dekat ini. Produksi karbon untuk keperluan bahan baku komponen baterai dan fuel cell juga diproduksi di Cilegon oleh suatu perusahaan Jerman, tetapi memanfaatkan residu pada proses pengilangan minyak bumi,” kata Bambang.
Dia mengatakan, bahan baku untuk komponen baterai dan fuel cell perlu dipersiapkan sejak awal. Hal ini menunjang pula untuk pemanfaatan hasil riset yang ditempuh saat ini berupa pengembangan produksi baterai litium.
”Baterai litium dalam bentuk kecil dan tipis, tetapi memiliki kapasitas listrik besar, merupakan kebutuhan masa kini dan mendatang. Produksinya di dalam negeri masih kurang,” kata Bambang.
Secara terpisah, perekayasa pada Balai Besar Teknologi Energi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Herliyani Suharta mengatakan, rekayasa di bidang teknologi energi dengan memanfaatkan bahan alami terbarukan menunjang target reduksi emisi yang ditetapkan pemerintah sebesar 26 persen pada 2020.
”Selama ini, sebagian masyarakat masih buang-buang energi, misalnya dengan pembakaran kayu tanpa ditunjang teknologi yang memadai,” kata Herliyani.
Berdasarkan riset yang dia lakukan, Herliyani mengatakan, penghematan bahan bakar kayu sebetulnya bisa ditempuh melalui rekayasa tungkunya. Ia telah berhasil merekayasa tungku yang dapat menghemat lebih dari 20 persen kayu bakar untuk menghasilkan energi yang sama. (NAW)
17 April 2010
source:http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/17/04075278/limbah.sawit.dijadikan.karbon.aktif.
”Kesepakatan aplikasi teknologinya sudah kami peroleh dari suatu perusahaan pengolah sawit di Kabupaten Lebak, Banten,” kata Bambang Prihandoko, periset Pusat Penelitian Fisika LIPI, Jumat (16/4) di Jakarta.
Menurut Bambang, limbah sawit selama ini dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk proses pengolahan minyak sawit.
Pengembangan limbah sawit untuk dijadikan karbon aktif ini, selain untuk menyediakan bahan baku komponen baterai dan fuel cell, juga ingin digunakan untuk mereduksi emisi karbon dari pembakarannya.
”Realisasinya dalam waktu dekat ini. Produksi karbon untuk keperluan bahan baku komponen baterai dan fuel cell juga diproduksi di Cilegon oleh suatu perusahaan Jerman, tetapi memanfaatkan residu pada proses pengilangan minyak bumi,” kata Bambang.
Dia mengatakan, bahan baku untuk komponen baterai dan fuel cell perlu dipersiapkan sejak awal. Hal ini menunjang pula untuk pemanfaatan hasil riset yang ditempuh saat ini berupa pengembangan produksi baterai litium.
”Baterai litium dalam bentuk kecil dan tipis, tetapi memiliki kapasitas listrik besar, merupakan kebutuhan masa kini dan mendatang. Produksinya di dalam negeri masih kurang,” kata Bambang.
Secara terpisah, perekayasa pada Balai Besar Teknologi Energi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Herliyani Suharta mengatakan, rekayasa di bidang teknologi energi dengan memanfaatkan bahan alami terbarukan menunjang target reduksi emisi yang ditetapkan pemerintah sebesar 26 persen pada 2020.
”Selama ini, sebagian masyarakat masih buang-buang energi, misalnya dengan pembakaran kayu tanpa ditunjang teknologi yang memadai,” kata Herliyani.
Berdasarkan riset yang dia lakukan, Herliyani mengatakan, penghematan bahan bakar kayu sebetulnya bisa ditempuh melalui rekayasa tungkunya. Ia telah berhasil merekayasa tungku yang dapat menghemat lebih dari 20 persen kayu bakar untuk menghasilkan energi yang sama. (NAW)
17 April 2010
source:http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/17/04075278/limbah.sawit.dijadikan.karbon.aktif.
Aktivitas di Lahan Gambut Harus Dibatasi
Rancangan peraturan pemerintah tentang pengendalian kerusakan ekosistem gambut diharapkan membatasi jenis aktivitas di lahan gambut. Sementara masyarakat yang telah bermukim di kawasan gambut harus tetap memiliki ruang hidup atas lahan gambut.
Yang pasti, lahan gambut diminta harus tertutup bagi aktivitas pertambangan.
Rancangan peraturan pemerintah (RPP) yang memasuki tahap akhir pembahasan itu menggolongkan lahan gambut yang kedalamannya kurang dari tiga meter dan bukan berupa kubah gambut sebagai Kawasan Budidaya Gambut (KBG).
Pasal 16 Ayat 1 RPP itu menyatakan, KBG bisa dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian, peternakan, perkebunan, kehutanan, perikanan, permukiman, pertambangan, transmigrasi, ekowisata, atau infrastruktur.
Tata cara pemanfaatan KBG gambut itu diatur Pasal 16 Ayat 2 yang mewajibkan pengendalian muka air, pencegahan oksidasi lapisan pirit, pencegahan tersingkapnya lapisan kuarsa, dan penaatan baku kerusakan KBG. Pengguna KBG diwajibkan mencadangkan sedikitnya 30 persen lahan gambut untuk dikembalikan ke kondisi asli.
Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Berry Nahdian Forqan menilai, RPP tentang pengendalian kerusakan ekosistem gambut yang diajukan Kementerian Lingkungan Hidup itu bersifat ambivalen. Di satu sisi, RPP itu membatasi penggunaan gambut dan menambah kriteria kawasan lindung gambut.
”Namun, di sisi lain, RPP itu juga melegitimasi pemanfaatan gambut yang sudah ada. RPP itu, bahkan, membuka kawasan yang dikategorikan sebagai KBG,” katanya.
Aktivitas di lahan gambut yang akan dilegalkan melalui RPP itu, tambahnya, terlalu banyak, bahkan termasuk pertambangan. Padahal, RPP itu seharusnya membatasi jenis aktivitas yang boleh dilakukan di lahan gambut. ”Misalnya, hanya boleh untuk permukiman masyarakat lokal dan aktivitas perikanan, atau pertanian berskala kecil,” kata Berry di Jakarta, Kamis (15/3).
Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) Rachmat Witoelar berharap, ”Jika ada RPP yang membatasi (aktivitas di lahan gambut) agar polusinya tidak bertambah, itu baik. Salah satu pasalnya mengatur tinggi permukaan air untuk mencegah lahan gambut mengering. Akan tetapi, jangan ada (pengembangan lahan gambut) lebih lanjut. Jangan sampai kita menargetkan penurunan emisi 26 persen pada 2020, tetapi juga mempermudah (pembukaan lahan gambut)”.
Rachmat menyatakan, pengelolaan lahan gambut memiliki dua sisi, yaitu pemanfaatan demi kesejahteraan manusia dan sisi kelestarian alam bumi.
”Jika kedua sisi itu bisa berjalan beriring, lebih baik. Akan tetapi, terkait agrikultur, lebih baik melakukan intensifikasi lahan yang ada daripada membuka lahan gambut,” kata Rachmat.
Di pihak lain, Direktur Jenderal Perlindungan Kehutanan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan Darori juga menilai bahwa RPP pengendalian kerusakan ekosistem gambut ambivalen.
”Membingungkan jika pemanfaatan yang sudah berlangsung bisa dibatasi pemanfaatannya, sementara justru bisa ada pembukaan lahan gambut baru,” kata Darori.
Dia meminta semua pemangku kepentingan duduk bersama untuk membicarakan pengaturan pemanfaatan gambut dalam RPP itu. ”Perusahaan pemegang izin pemanfaatan areal gambut tidak bisa memperpanjang izinnya, sementara mereka telah berinvestasi membangun pabrik misalnya. Hal seperti itu juga harus dibicarakan bersama,” katanya.
Darori menyatakan, semua proses perizinan pemanfaatan lahan gambut baru di areal hutan ditunda sementara, menunggu hasil kajian tim yang dibentuk Menteri. ”Menteri telah membentuk tim terdiri enam pakar dari sejumlah perguruan tinggi, untuk mengkaji dampak pemanfaatan gambut berkedalaman kurang dari tiga meter. Jadi, pemberian izin baru ditunda menunggu kajian itu. Untuk yang kedalaman lebih dari tiga meter, jelas tidak akan dibuka,” kata Darori. (ROW)
16 April 2010
source:http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/16/04271338/aktivitas..di.lahan.gambut.harus.dibatasi
Yang pasti, lahan gambut diminta harus tertutup bagi aktivitas pertambangan.
Rancangan peraturan pemerintah (RPP) yang memasuki tahap akhir pembahasan itu menggolongkan lahan gambut yang kedalamannya kurang dari tiga meter dan bukan berupa kubah gambut sebagai Kawasan Budidaya Gambut (KBG).
Pasal 16 Ayat 1 RPP itu menyatakan, KBG bisa dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian, peternakan, perkebunan, kehutanan, perikanan, permukiman, pertambangan, transmigrasi, ekowisata, atau infrastruktur.
Tata cara pemanfaatan KBG gambut itu diatur Pasal 16 Ayat 2 yang mewajibkan pengendalian muka air, pencegahan oksidasi lapisan pirit, pencegahan tersingkapnya lapisan kuarsa, dan penaatan baku kerusakan KBG. Pengguna KBG diwajibkan mencadangkan sedikitnya 30 persen lahan gambut untuk dikembalikan ke kondisi asli.
Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Berry Nahdian Forqan menilai, RPP tentang pengendalian kerusakan ekosistem gambut yang diajukan Kementerian Lingkungan Hidup itu bersifat ambivalen. Di satu sisi, RPP itu membatasi penggunaan gambut dan menambah kriteria kawasan lindung gambut.
”Namun, di sisi lain, RPP itu juga melegitimasi pemanfaatan gambut yang sudah ada. RPP itu, bahkan, membuka kawasan yang dikategorikan sebagai KBG,” katanya.
Aktivitas di lahan gambut yang akan dilegalkan melalui RPP itu, tambahnya, terlalu banyak, bahkan termasuk pertambangan. Padahal, RPP itu seharusnya membatasi jenis aktivitas yang boleh dilakukan di lahan gambut. ”Misalnya, hanya boleh untuk permukiman masyarakat lokal dan aktivitas perikanan, atau pertanian berskala kecil,” kata Berry di Jakarta, Kamis (15/3).
Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) Rachmat Witoelar berharap, ”Jika ada RPP yang membatasi (aktivitas di lahan gambut) agar polusinya tidak bertambah, itu baik. Salah satu pasalnya mengatur tinggi permukaan air untuk mencegah lahan gambut mengering. Akan tetapi, jangan ada (pengembangan lahan gambut) lebih lanjut. Jangan sampai kita menargetkan penurunan emisi 26 persen pada 2020, tetapi juga mempermudah (pembukaan lahan gambut)”.
Rachmat menyatakan, pengelolaan lahan gambut memiliki dua sisi, yaitu pemanfaatan demi kesejahteraan manusia dan sisi kelestarian alam bumi.
”Jika kedua sisi itu bisa berjalan beriring, lebih baik. Akan tetapi, terkait agrikultur, lebih baik melakukan intensifikasi lahan yang ada daripada membuka lahan gambut,” kata Rachmat.
Di pihak lain, Direktur Jenderal Perlindungan Kehutanan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan Darori juga menilai bahwa RPP pengendalian kerusakan ekosistem gambut ambivalen.
”Membingungkan jika pemanfaatan yang sudah berlangsung bisa dibatasi pemanfaatannya, sementara justru bisa ada pembukaan lahan gambut baru,” kata Darori.
Dia meminta semua pemangku kepentingan duduk bersama untuk membicarakan pengaturan pemanfaatan gambut dalam RPP itu. ”Perusahaan pemegang izin pemanfaatan areal gambut tidak bisa memperpanjang izinnya, sementara mereka telah berinvestasi membangun pabrik misalnya. Hal seperti itu juga harus dibicarakan bersama,” katanya.
Darori menyatakan, semua proses perizinan pemanfaatan lahan gambut baru di areal hutan ditunda sementara, menunggu hasil kajian tim yang dibentuk Menteri. ”Menteri telah membentuk tim terdiri enam pakar dari sejumlah perguruan tinggi, untuk mengkaji dampak pemanfaatan gambut berkedalaman kurang dari tiga meter. Jadi, pemberian izin baru ditunda menunggu kajian itu. Untuk yang kedalaman lebih dari tiga meter, jelas tidak akan dibuka,” kata Darori. (ROW)
16 April 2010
source:http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/16/04271338/aktivitas..di.lahan.gambut.harus.dibatasi
Penghentian Izin Tak Jelas Kelanjutannya
Penghentian sementara pembukaan hutan produksi di lahan gambut di Semenanjung Kampar, Riau, oleh Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan pada Desember 2009 hingga sekarang belum ada ketetapannya. Penyelamatan hutan gambut yang tersisa ini amat mendesak untuk tunjukkan keberpihakan terhadap iklim.
”Pemerintah harus memproteksi gambut yang masih tersisa di Semenanjung Kampar. Ini sebagai keberpihakan Indonesia terhadap iklim supaya tidak meningkatkan laju pemanasan global,” kata Juru Kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara, Bustar Maitar, Rabu (14/4) di Jakarta.
Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan pada Kementerian Kehutanan Hadi Daryanto mengatakan, saat ini sudah ada rumusan dari hasil survei tim independen yang dibentuk khusus untuk mengkaji pembukaan hutan produksi di Semenanjung Kampar. Hasilnya baru akan dibuka ke publik.
”Hutan produksi memungkinkan dijadikan hutan konservasi karena kandungan gambutnya,” kata Daryanto.
Menurut Bustar, pemerintah harus tegas membatalkan seluruh perizinan hak pengusahaan hutan (HPH) ataupun penanaman hutan tanaman industri (HTI) di wilayah Semenanjung Kampar. Saat ini, seluas 300.000 hektar di lokasi tersebut telanjur dikelola untuk HPH dan HTI.
Seruan ke KPK
Manajer Kampanye Hutan dan Perkebunan Skala Besar pada Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Deddy Ratih menuntut peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta terkait kebijakan sektoral kehutanan yang sering kali merugikan negara.
”Korupsi yang terjadi dalam hal ini bukan berupa suap, melainkan adanya berbagai kebijakan sektoral kehutanan yang merugikan negara,” kata Deddy.
Hikmat Soeriatanuwijaya selaku Juru Kampanye Media Greenpeace Asia Tenggara mengatakan, sejak Maret 2009, Menteri Kehutanan, (waktu itu) MS Kaban, mengeluarkan perizinan rencana kerja tahunan (RKT) oleh 14 perusahaan pemegang HPH dan HTI di Semenanjung Kampar.
Pada Desember 2009, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan menghentikan proses industri yang membuka hutan dan lahan gambut di Semenanjung Kampar tersebut.
”Pada bulan Desember 2009 ditetapkan penghentian sementara oleh Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan sampai batas waktu yang belum ditentukan. Pada Januari hingga Februari 2010, sudah ada investigasi dari tim independen yang dibentuk Kementerian Kehutanan, tetapi hingga sekarang belum ada hasilnya,” kata Hikmat. (NAW)
16 April 2010
source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/16/04240150/penghentian.izin.tak.jelas.kelanjutannya.
”Pemerintah harus memproteksi gambut yang masih tersisa di Semenanjung Kampar. Ini sebagai keberpihakan Indonesia terhadap iklim supaya tidak meningkatkan laju pemanasan global,” kata Juru Kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara, Bustar Maitar, Rabu (14/4) di Jakarta.
Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan pada Kementerian Kehutanan Hadi Daryanto mengatakan, saat ini sudah ada rumusan dari hasil survei tim independen yang dibentuk khusus untuk mengkaji pembukaan hutan produksi di Semenanjung Kampar. Hasilnya baru akan dibuka ke publik.
”Hutan produksi memungkinkan dijadikan hutan konservasi karena kandungan gambutnya,” kata Daryanto.
Menurut Bustar, pemerintah harus tegas membatalkan seluruh perizinan hak pengusahaan hutan (HPH) ataupun penanaman hutan tanaman industri (HTI) di wilayah Semenanjung Kampar. Saat ini, seluas 300.000 hektar di lokasi tersebut telanjur dikelola untuk HPH dan HTI.
Seruan ke KPK
Manajer Kampanye Hutan dan Perkebunan Skala Besar pada Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Deddy Ratih menuntut peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta terkait kebijakan sektoral kehutanan yang sering kali merugikan negara.
”Korupsi yang terjadi dalam hal ini bukan berupa suap, melainkan adanya berbagai kebijakan sektoral kehutanan yang merugikan negara,” kata Deddy.
Hikmat Soeriatanuwijaya selaku Juru Kampanye Media Greenpeace Asia Tenggara mengatakan, sejak Maret 2009, Menteri Kehutanan, (waktu itu) MS Kaban, mengeluarkan perizinan rencana kerja tahunan (RKT) oleh 14 perusahaan pemegang HPH dan HTI di Semenanjung Kampar.
Pada Desember 2009, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan menghentikan proses industri yang membuka hutan dan lahan gambut di Semenanjung Kampar tersebut.
”Pada bulan Desember 2009 ditetapkan penghentian sementara oleh Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan sampai batas waktu yang belum ditentukan. Pada Januari hingga Februari 2010, sudah ada investigasi dari tim independen yang dibentuk Kementerian Kehutanan, tetapi hingga sekarang belum ada hasilnya,” kata Hikmat. (NAW)
16 April 2010
source: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/16/04240150/penghentian.izin.tak.jelas.kelanjutannya.
Subscribe to:
Posts (Atom)
Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Marke
| Carbon Policy Lab Understanding the Presidential Candidates’ Environmental Policies and Potential Stances for the Carbon Market Indonesi...
-
PT Konsorsium Televisi Digital Indonesia (KTDI) menggelar uji coba siaran televisi digital di wilayah Jabotabek. Siaran uji coba itu merupak...
-
JAKARTA - PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) sangat sepakat mengenai ketentuan Bank Indonesia (BI) untuk membuat standarisasi sistem pembayaran pada...